Lengkap
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Persaingan Antar Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Punya beberapa anak memang mengasyikkan, Pak Paul dan kita bersyukur kepada Tuhan tapi sebagai orang tua harapannya adalah anak-anak itu bisa hidup rukun dan bekerjasama dengan baik, bermain bersama, tapi kenyataan yang dihadapi sebagian besar orang tua adalah sulit sekali mengendalikan anak, anak yang satu tidak cocok dengan anak yang lain, ini sebenarnya bagaimana Pak Paul?
PG : Memang banyak sekali dinamika yang terlihat di antara kakak adik di dalam satu keluarga, misalkan adik dan kakak ada kecenderungan ingin merebut perhatian dari orang tua. Jadi secara alamih kita sebagai manusia memang ingin menjadi yang terutama dan mengharapkan bahwa semua perhatian dan kasih sayang tertumpah pada diri kita.
Dengan kata lain secara alamiah anak-anak akan berusaha merebut kasih sayang, itu sebabnya diantara anak seringkali terjadi pertengkaran karena merasa orang tua tidak adil, "Kenapa selalu membela adik, selalu mengutamakan adik? Kenapa saya yang harus selalu mengalah ?" Hal-hal seperti itu adalah dinamika berkakak-adik dalam keluarga dan dalam hal ini orang tua mesti mewaspadai, sehingga pada akhirnya jangan sampai ada anak yang disisihkan, dinomorduakan walaupun sebetulnya orang tua tidak sama sekali berniat seperti itu.
GS : Kadang-kadang dalam hal memberikan mainan Pak Paul, karena ada perbedaan usia antara kakak dan adik sudah tentu orang tua memikirkan mainan apa yang cocok untuk kakaknya atau adiknya jadi tidak mungkin sama. Ini bisa membentuk suatu pertengkaran di antara mereka, Pak Paul ?
PG : Betul sekali sebab yang satu akan berkata, "Kenapa saya tidak mendapatkan yang itu ?" dia beranggapan bahwa orang tua itu lebih mengasihi adiknya, sehingga adiknya mendapatkan mainan yang tu.
Dia tidak bisa melihat bahwa orang tua memilihkan mainan yang sesuai dan terbaik untuk dia, memang ada kecenderungan bagi anak-anak kecil untuk mulai membanding-bandingkan diri dan akhirnya mulai masuk dalam persaingan di antara mereka.
GS : Itu seringkali yang terjadi pada anak-anak yang sejenis atau berlawanan jenis ?
PG : Sebetulnya secara umum gejala ini bisa kita lihat pada semua anak, baik laki-laki maupun perempuan. Namun saya perhatikan kalau ini adalah anak perempuan dan usianya tidak terpaut begitu auh misalkan dalam hitungan 2 atau 3 tahun, pada umumnya persaingan itu akan lebih terasa, sebab pada umumnya yang pertama anak perempuan akan lebih perasa sehingga akan lebih melibatkan emosi.
Itu sebabnya lebih mudah merasakan tidak dikasihi, kurang diperhatikan dan anak perempuan mempunyai kecenderungan untuk merasakan sesuatu dengan lebih kuat. Kedua, memang tidak bisa kita sangkali bahwa anak perempuan lebih menitik beratkan pada penampilan fisik. Jadi kalau dia merasa dia tidaklah secantik kakak atau adiknya, ini akan membuat dia merasa belum apa-apa dia tidak berharga, seolah-olah orang tua pun nantinya tidak akan menghargai dia. Itulah sebabnya matanya cepat sekali menangkap tindakan-tindakan orang tua yang dianggapnya menomorduakan dirinya dan lebih menomorsatukan misalnya kakaknya yang dianggapnya lebih cantik. Jadi biasanya persaingan antar anak akan lebih terasa pada anak-anak perempuan yang usianya lebih berdekatan.
GS : Pak Paul, kita sebagai orang tua tentu berharap hal-hal seperti itu tidak terjadi atau kita bisa bersikap lebih adil lagi terhadap anak-anak kita. Dalam hal ini hal-hal apa yang perlu kita perhatikan, Pak Paul ?
PG : Ada beberapa yang kita mesti perhatikan, Pak Gunawan, yang kita mau soroti masalah persaingan antar anak ini dengan lebih menyeluruh, kita akan mempertimbangkan sisi baiknya, sisi positifna dan sisi buruknya.
Ada sisi positif dalam persaingan antar anak, jadi tidaklah tepat kalau kita mengatakan bahwa semua jenis persaingan antar anak pastilah buruk. Misalnya segi positif yang bisa saya lihat adalah dalam batas tertentu sebenarnya persaingan itu berupaya untuk menumbuhkan daya saing, dengan kata lain, dengan dia mau bersaing berarti dia mau bertahan, artinya dia mau pertahankan yang dia miliki, mempertahankan prestasi yang telah dicapainya, mempertahankan kwalitas yang telah dia lakukan. Itu adalah dorongan-dorongan untuk mempertahankan sesuatu dan sekaligus persaingan juga akan mendorong anak untuk meningkatkan prestasinya. Sehingga dia bisa berkata, "Baik saya akan coba lebih lagi." Misalkan si kakak mendapatkan nilai yang bagus dan tiba-tiba dia berkata, "Baik, saya harus mendapatkan nilai sebagus itu." Dalam arti atau dari segi ini saya justru bisa simpulkan persaingan memang ada segi positifnya, lewat persaingan kita bertahan untuk tidak mudah menyerah dan lewat persaingan kita juga dipacu untuk menghasilkan karya yang lebih baik. Jadi sewaktu anak berada pada suatu kancah persaingan, sebenarnya dia akan berkesempatan mengembangkan ketahanan sekaligus potensi dirinya.
GS : Peran orang tua supaya anak memiliki persepsi bahwa saya ini bersaing secara positif dengan saudara-saudara saya, apa yang orang tua bisa lakukan, Pak Paul?
PG : Berawal pada saat anak-anak yang masih kecil, memang kita tidak bisa terlalu menjelaskan hal ini karena memang mereka belum terlalu memahaminya tentang konsep-konsep. Yang kita bicarakan blum bisa kita bagikan kepada anak-anak namun ada hal-hal yang kita akan bahas tentang apa yang harus kita lakukan agar jangan sampai persaingan ini bisa menjadi sesuatu yang sangat negatif atau sangat buruk.
Sekali lagi kita akan menjaga, jangan sampai persaingan menjadi suatu pengaruh buruk tapi kita juga tidak mau dengan sengaja membuang persaingan, karena anak yang sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk bersaing, mereka berkemungkinan tidak mengembangkan daya juang yang tinggi bahkan justru mengambil jalan pintas yang mudah. Jadi misalnya dia cenderung mudah menyerah dan cepat putus asa dengan apa yang dihasilkannya, sebetulnya kemampuannya jauh di atas apa yang telah dihasilkan, tapi karena tidak ada semangat juang tersebut akhirnya dia cepat puas. Dalam hal ini persaingan mempunyai sisi positif. Menjawab apa yang Pak Gunawan tanyakan, apa yang orang tua mesti lakukan agar jangan sampai akhirnya anak makin terseret ke aspek negatif yang buruk tapi tetap bisa mengembangkan sisi positif dari persaingan itu, misalnya yang pertama kita ini sebagai orang tua jangan sampai mengobarkan semangat juang anak dengan cara membandingkan dia dengan kakak atau adiknya. Tindakan orang tua yang menyemangati anak lewat pertandingan malah akan mengadu domba anak. Pada akhirnya anak akan sulit dekat dengan kakak atau adiknya, dia melihat mereka sebagai pesaing bukan sebagai teman apalagi sebagai saudara.
GS : Sebagai orang tua sangat mudah untuk mencari pembanding lewat saudaranya. Atau kita mau mencari orang lain, maka siapa yang bisa digunakan sebagai pembanding. Atau ada cara lain, Pak Paul ?
PG : Sebaiknya kita tidak menggunakan pembanding, kadang-kadang orang tua beranggapan, "Saya tidak akan menggunakan anak sendiri sebagai pembanding tapi saya akan gunakan anak orang lain" atau rang tua akan gunakan saudara sepupunya dan sebagainya, tetapi tetap efek pembanding itu akan membuat anak merasa bahwa Papa atau Mama lebih menghargai orang lain, lebih meninggikan anak orang lain dari pada anak sendiri.
Jadi dengan kata lain, yang mesti orang tua lakukan adalah membandingkan anak dengan dirinya sendiri yaitu melihat kemampuan anak kemudian mengatakan, "Kamu memang bisa seperti ini, kenapa kamu tidak mencoba dengan keras ? Kenapa kamu hanya sampai disini saja ?" Dengan catatan orang tua sungguh-sungguh tahu kemampuan anaknya kalau memang dia lebih dari itu. Kadang-kadang orang tua tidak tahu kalau kemampuan anaknya tapi terus memaksa anak "Kamu harusnya lebih bisa, kamu kok hanya segini." Bagaimana cara agar orang tua tahu dengan tepat? Maka orang tua harus mengajak bicara dan cari tahu apa yang menjadi kesulitannya. Kenapa nilainya hanya segini? Apa yang telah dia lakukan? Belajarnya seperti apa? Waktu orang tua mengetahui anaknya seperti ini maka orang tua harus sadar, "Anak saya ini telah benar-benar melakukan semaksimal mungkin, tapi inilah kemampuannya atau memang karunianya yakni bukan di bidang ini, tapi di bidang lain." Waktu orang tua mengetahui dengan jelas itu semua maka dorongan atau pacuan orang tua akan lebih tepat. Tapi sekali lagi saya tekankan kalau mau membandingkan, maka bandingkanlah dengan kemampuannya sendiri, jangan bandingkan dengan kakak atau adiknya, karena ujung-ujungnya kalau membanding-bandingkan dengan kakak atau adiknya, si orang tua itu sebetulnya menciptakan jurang di antara anak-anaknya. Si anak melihat kakak-kakaknya sebagai pesaing bahkan kadang-kadang sebagai musuh, bukan lagi sebagai kakak, apalagi sebagai sahabat. Ini yang mesti dijaga oleh orang tua.
GS : Seringkali orang tua memiliki ambisi supaya anak mereka lebih pandai dari anak temannya atau anak saudaranya dan ini sulit untuk dihindari, Pak Paul.
PG : Orang tua ingin sekali melihat anaknya maju, memang ada 2 motivasinya yang pertama adalah agar si anak bisa berkembang dan yang menjadi harapan kita adalah masa depan dia menjadi lebih baik. Dan yang juga tidak bisa disangkal sebagai orang tua, kita punya motivasi yaitu bukankah kalau anak kita bisa cemerlang, kita juga nanti beroleh nama baik yaitu seolah-olah kita yang telah berjasa besar membesarkan anak-anak yang mampu untuk bersaing, mampu berprestasi dengan baik.
GS : Mungkin di rumah kita tidak membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain Pak Paul, tapi di sekolah seringkali para pengajar, guru-guru "Kamu tidak seperti ini," atau lewat nilai yang diperoleh, maka anak akan langsung tahu membandingkan dirinya dengan teman-temannya dan ini tidak bisa dihindari, Pak Paul.
PG : Betul, dalam kasus seperti itu memang anak akan menghadapi realitas dan ini bukan sesuatu yang buruk karena dia tidak sebaik temannya, angkanya tidak setinggi temannya. Itu sesuatu yang bak karena dia bisa misalnya berkata, "Saya memang tidak memberikan yang terbaik, saya tidak belajar dengan baik maka akhirnya seperti inilah hasilnya," tapi bisa juga dia berkata, "Saya telah mencoba semaksimal mungkin dan memang harus saya akui bahwa anak ini lebih baik dari pada saya."
Ini adalah sebuah sikap yang baik, sikap mau mengakui kemampuan, kapasitas, keterbatasan pribadi dan sikap bisa menghargai kemenangan orang, mengakui keunggulan orang. Hal-hal seperti inilah yang seyogianya terjadi. Sikap-sikap seperti ini dimulainya di rumah, anak yang susah menerima keunggulan temannya besar kemungkinan mereka tidak pernah belajar di rumah, dan kenapa dia tidak pernah belajar ? Bisa jadi karena cara-cara orang tua yang keliru seperti terlalu meninggikan anak, mengagung-agungkan bahwa dia yang paling cerdas, paling pintar, paling bisa, dan orang tua yang selalu mengadu domba anak dengan cara membanding-bandingkan anak akhirnya anak susah sekali menerima kekalahannya dan mengakui kekuatan orang lain.
GS : Mungkin ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan pada orang tua ?
PG : Yang lain adalah tindakan orang tua yang membandingkan anak, akan membuat anak merasa bahwa orang tua hanya akan mengasihinya kalau ia berprestasi di atas kakak atau adiknya. Kadang-kadangorang tua tidak sadar bahwa membanding-bandingkan dengan si kakak atau si adik yang angka di sekolahnya bagus kemudian memuji-muji, dan kalau si adik yang dapat prestasi bagus dipuji-puji akhirnya si anak merasa bahwa Papa atau Mama hanya akan mengasihi saya dan saya hanya akan bernilai di mata Papa dan Mama kalau saya berhasil dalam prestasi di atas kakak atau adik saya.
Karena atmosfir di dalam rumah adalah atmosfir perbandingan, ini sesuatu yang sangat tidak sehat, karena sekali lagi akhirnya tumpuan harga diri anak menjadi rapuh, bukanlah bertumpu pada kasih sayang orang tua yang apa adanya, tanpa syarat kepada dirinya, melainkan bertumpu pada perbandingan bahwa dia harus lebih dari orang lain maka barulah dia bernilai. Jadi kita sebagai orang tua tidak boleh menyuruh anak bersaing dengan kakak atau adiknya, biarlah persaingan ini bertumbuh secara alamiah di antara mereka. Kalau memang mereka ingin memacu diri mereka, maka jangan orang tua yang memacu atau membanding-bandingkan diri mereka, tapi biarkan dari mereka sendiri dan bukan dari orang tua yang seolah memacu ana,k membanding-bandingkan, ini justru yang tidak sehat.
GS : Lalu apa yang orang tua bisa lakukan Pak Paul ?
PG : Orang tua harus menekankan bahwa yang terpenting adalah anak melakukan sedapatnya atau sebaiknya. Hal ini yang perlu ditekankan pada diri seorang anak. Orang tua penting menekankan anak unuk tidak memaksakan diri dengan cara mengorbankan hal penting lainnya.
Jadi dengan kata lain orang tua harus mengajarkan kepada anak akan keterbatasan dirinya. Jika anak sampai kehilangan keseimbangan hidup dan mulai menampakkan masalah akibat menuntut diri berlebihan maka orang tua mesti cepat tanggap dan meminta anak untuk mengurangi tuntutan itu. Ada anak yang misalnya cepat marah karena hidupnya tidak lagi seimbang, ada lagi anak yang mengembangkan sikap tidak bersahabat dan egois akibat persaingan. Jika ini yang dilihat orang tua, maka orang tua mesti bertindak untuk menghentikan persaingan ini.
GS : Jadi orang tua bersikap seperti wasit, Pak Paul, di dalam pertarungan ini.
PG : Betul sekali sebagai wasit, pembuat garis, sebagai pendiri pagar, jangan sampai berlebihan. Ada anak karena ingin bersaing, ingin jadi yang nomor satu maka akan mengorbankan hal lain dalamhidupnya, menjadikan kestabilan emosinya tidak sehat, cepat marah, cepat memusuhi orang, maka orang tua harus melihat hal-hal seperti itu dan berusaha untuk mengendalikan, mengajarkan kepada anak "Yang penting adalah engkau melakukan sedapatnya, sebaiknya dan sesudah itu serahkan kepada Tuhan, jangan memaksakan harus mendapatkan yang kita inginkan kalau tidak dapat juga tidak apa, tapi yang terpenting adalah sebaiknya itu adalah tanggung jawab kita di hadapan Tuhan."
GS : Mungkin anak akan merasa aman atau tidak terlalu merasa harus bersaing, kalau kita sebagai orang tua menyatakan kasih kita kepada anak-anak kita, Pak Paul.
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan. Jadi orang tua harus sering-sering mengkomunikasikan kasih kepada anak di luar prestasinya. Dengan cara ini anak terus diingatkan bahwa dia dikasihi bukan oleh krena prestasinya, tapi karena orang tuanya.
Jadi lewat kasih dan penerimaan anak pun diajar untuk mengasihi saudara-saudaranya apa adanya. Dengan kata lain anak diajak untuk melihat persaingan sebagai sarana belaka untuk memacu diri bukan sebagai tujuan.
GS : Memang agak sulit menjelaskan hal ini kepada anak-anak karena mereka lebih mudah melihat hal-hal yang nyata, seperti angka-angka atau prestasi mereka tetapi dengan pendekatan yang terus-menerus dengan mengungkapkan kasih yang nyata, saya rasa mereka juga bisa mengerti, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi secara spontan orang tua sebaiknya memeluk anak, mencium anak mengatakan, "Saya bangga dengan kamu, saya sayang kepada kamu," tanpa ada alasan, tanpa ada prestasi yang dilihat tau diakui oleh orang tua.
Jadi benar-benar tidak ada angin tidak ada hujan, orang tua sering mengungkapkan kasih sayang dan penerimaan kepada anak. Tunjukkan karakter-karakter kepada anak, "Kamu ini sayang dengan adikmu, kamu orangnya siap membantu kakakmu," hal-hal seperti itu yang sering kita komunikasikan. Sudah tentu waktu dia memberikan prestasi yang baik kita juga mengasihi, waktu dia tidak memberikan prestasi yang baik, kita juga jangan cepat marah, kita hanya perlu tanyakan, "Kenapa? Apa yang terjadi ? Apakah kamu telah belajar dengan sebaik mungkin ?" Kalau memang si anak sudah mengakuinya, "Sudah" maka kita berkata, "Baik saya terima itu". Kalau dia berkata, "Sudah" tapi kita tahu kemarin dia banyak bermain video games, kita katakan, "Rasanya tidak seperti itu. Kemarin Papa melihat kamu banyak bermain video games sampai berjam-jam, itu sudah tidak benar, makanya sekarang hasilnya seperti ini. Saya minta kamu perbaiki, kurangi main video games, saya minta sekarang kamu lebih fokuskan pada pelajaranmu." Jadi hal seperti ini bisa dilakukan disamping terus mengkomunikasikan kasih dan penerimaan kepadanya.
GS : Dan itu harus dilakukan oleh kedua orang tuanya, Pak Paul. Jadi misalnya hanya ibunya yang mengatakan kasih dan ayahnya justru menerapkan persaingan, seringkali anak juga bingung.
PG : Betul sekali. Jadi akhirnya kalau itu yang terjadi si anak nantinya mempunyai keberpihakan, dia harus menjauhi diri dari si ayah yang menuntut dan dia akan mendekat dengan si ibu yang bisamenerima dia.
GS : Hal lain apa Pak Paul yang bisa dilakukan oleh orang tua ?
PG : Anak didasarkan pada konsep dirinya atas kemenangan belaka, konsep seperti ini merupakan benih keangkuhan. Jadi hati-hati kalau si anak mulai membangun konsep diri atas dasar kemenangan, kberhasilan, dan ini yang kita mesti jaga karena ini merupakan benih keangkuhan.
Dan lebih buruk lagi konsep seperti ini ibarat rumah yang dibangun di atas pasir, dia hanya berharga bila berhasil mengalahkan orang lain, ini tidak sehat dan juga tidak kuat. Berarti nanti kalau ada orang lain yang mengalahkan dia maka penghargaan dirinya langsung runtuh, dia bisa patah semangat tidak mau berusaha lagi, tidak bisa menghindar dari kekalahan sebab dia selalu mencari kemenangan. Jadi kalau dia antisipasi dia akan kalah, maka dia tidak mau melakukannya sehingga benar-benar kepercayaan dirinya makin hari makin rapuh.
GS : Dan bagaimana orang tua bisa membantu untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada diri anak?
PG : Pertama orang tua harus terus melimpahkan kasih dan penerimaan di luar prestasinya dan ini modal yang paling besar. Yang berikut adalah orang tua mengajarkan kepada anak apa yang menjadi kkuatan dan yang menjadi keterbatasannya.
Waktu anak bisa melihat hal ini anak mulai bisa menerima dirinya dan kita terus dorong dia untuk mengembangkan kekuatannya.
GS : Mungkin ada hal lain Pak Paul, yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Satu lagi yang terakhir adalah anak harus terus diajarkan bahwa anak tidak boleh menjadikan persaingan sebagai pemotivasi dirinya. Dia pun harus melihat sebagai konsekuensi dan efek sampinan bukan sebagai pencipta prestasi.
Anak yang menjadikan persaingan sebagai satu-satunya pemotivasi diri akan cepat kehilangan semangat jika tidak menemukan pesaing dan ini yang lebih serius. Sesungguhnya dia akan kehilangan arah hidup sebab semua yang dilakukannya bukan keluar dari dirinya sendiri melainkan dari luar dirinya, dia tidak tahu apa yang disukai atau tidak disukainya sebab dia tidak pernah melihat ke dalam dirinya, semua dilakukannya hanya untuk menang.
GS : Banyak orang tua yang mengatakan, "Persaingan itu terjadi di dunia orang dewasa, sehingga tidak apa-apa kalau anak saya ini saya latih supaya siap memasuki kancah persaingan dunia ini" dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Segala persiapan memang harus dilakukan secara bertahap, pada masa anak-anak muda persiapan itu mesti dilakukan sedikit mungkin, seminimal mungkin. Ketika dia jelas mengetahui kekuatan danketerbatasannya maka persaingan akan lebih mudah untuk dilakukan.
Kalau dia tahu dia terbatas di bidang ini, dan dia mengakui keunggulan orang, itu hal yang baik karena dengan dia mengakui keunggulan orang maka dia akan lebih memusatkan perhatiannya dan kekuatannya pada bidang itu. Dengan cara ini, nantinya dia akan lebih siap bersaing, orang yang siap bersaing adalah orang yang siap kalah bersaing, Pak Gunawan. Dan ini yang mesti orang tua sadari dan tanamkan pada anak, tidak ada yang namanya siap bersaing dengan pengertian hanya siap menerima kemenangan.
GS : Seringkali kita jumpai anak yang cepat putus asa, sebenarnya penyebabnya apa Pak Paul ?
PG : Karena pada waktu dia kalah, harga dirinya runtuh dan hidupnya itu akan bersemangat kalau ada saingan. Begitu tidak ada saingan dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan dan ini yang lebihparah, dia tidak tahu sebetulnya apa yang dia ingin lakukan, apa yang menjadi tujuan hidupnya, apa yang menjadi cita-citanya.
Dia tidak tahu semua itu sebab selama ini dia seperti boneka yang tangan dan kakinya diikat dan digerakkan oleh saingan-saingan itu, begitu tidak ada tali-tali yang mengikat dirinya maka semuanya jatuh lunglai.
GS : Tapi ada juga anak yang menjadi angkuh kalau dia mencapai suatu prestasi tertentu, dan ini bagaimana Pak Paul ?
PG : Kalau memang dia terus menjadi angkuh, itulah saatnya orang tua mengingatkan kepada si anak kamu sekarang sudah masuk ke dalam dosa. Kamu selalu meninggikan dirimu, kamu mulai merendahkan rang lain, ini tidak berkehendak di hadapan Tuhan, kamu harus takut kepada Tuhan sebab apa yang kamu miliki adalah pemberian Tuhan dan bukan kamu yang menciptakannya tapi ini dari Tuhan, jadi kamu tetap harus takut kepada Tuhan dan menghargai orang lain sebagaimana Tuhan menghargai mereka.
GS : Jadi disamping kita memberikan penghargaan kepada dia karena berprestasi, tapi juga semacam peringatan agar dia tidak menjadi sombong atau merendahkan teman-temannya atau bahkan saudaranya sendiri, Pak Paul.
PG : Betul, jadi memang harus ada dua pagar ini, agar anak-anak bisa berjalan dengan seimbang.
GS : Ada Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Di Amsal 16:8 Firman Tuhan berkata, "Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran, dari pada penghasilan banyak tanpa keadilan," ini yang penting yang anak-anak harus sadari, lebih bak penghasilan sedikit disertai kebenaran daripada penghasilan banyak tanpa keadilan.
Anak yang terikat dengan persaingan berpotensi menghalalkan segala cara untuk memperoleh kemenangan, ini yang perlu diperhatikan agar tidak terjadi.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Persaingan Antar Anak." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.