Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Dua Sumber Konflik". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam kita berinteraksi dengan pasangan, memang kita tidak bisa dihindarkan dari konflik yang terjadi. Tetapi kadang-kadang kita juga tidak tahu apa yang menyebabkan tiba-tiba konflik karena seringkali penyebab konflik adalah hal-hal yang sederhana yang kelihatan sepele tapi ternyata memicu suatu konflik, dan itu bagaimana?
PG : Jadi begini Pak Gunawan, ternyata semua kita tidak memulai dengan kesamaan. Artinya misalnya kesamaan kemampuan untuk menyelesaikan konflik, tetapi nyatanya kita memulai dalam perbedaan-pebedaan.
Itu sebabnya ada orang-orang yang bisa dengan cepat membereskan konflik tapi ada juga orang susah membereskan konflik, dan ada juga orang yang mudah menimbulkan konflik. Jadi pertanyaannya sebetulnya, apa yang menjadi penyebab sehingga ada sebagian orang mudah menimbulkan konflik dan susah menyelesaikannya? Sebaliknya ada orang yang sukar menimbulkan konflik dan kalau pun ada konflik mampu menyelesaikannya dengan baik. Ada dua hal yang akan kita bahas pada kesempatan ini dan yang pertama adalah ada sebagian orang yang tidak mampu menyelesaikan konflik alias tidak memiliki keterampilan. Itu sebabnya sewaktu dia menghadapi konflik, karena dia tidak mempunyai keterampilan menyelesaikannya maka konflik itu berkepanjangan atau hal yang seharusnya tidak menimbulkan konflik, tapi karena dia disitu akhirnya menjadi konflik.
GS : Kalau Pak Paul katakan menyelesaikan suatu konflik merupakan suatu keterampilan, itu sebenarnya bisa dilatihkan atau bisa diusahakan supaya dia menjadi terampil, Pak Paul?
PG : Jadi seharusnya kita pada masa-masa pertumbuhan belajar bagaimana menyelesaikan konflik tapi ada yang tidak mampu karena tidak belajar. Kita akan melihat itu namun sebelumnya kita akan menoba melihat Pak Gunawan, apa ciri-cirinya sehingga kita bisa tahu apakah kita termasuk dalam kategori itu.
Ada beberapa ciri orang tidak mempunyai keterampilan untuk menyelesaikan konflik, yang pertama adalah orang orang yang mudah sekali menyalahkan. Artinya kalau ada apa-apa tangannya cepat menuding orang lain dan langsung menyalahkan pihak luar sedangkan dia hanya bereaksi tapi orang lainlah yang membuat masalah ini. Jadi kalau kita mencoba untuk berdialog dengan dia menunjukkan bahwa dia pun mempunyai andil, maka akan sangat sulit, sebab kemampuan dia untuk mengakui bahwa ini adalah tanggung jawab saya pula, hampir tidak ada dan dia tidak mau untuk mengakui, jadi ini ciri yang pertama. Ada lima tanda yang akan saya bahas dan yang pertama adalah kesulitan mengakui tanggung jawabnya sehingga akhirnya mudah menyalahkan orang sebagai orang yang telah menyulut konflik itu.
GS : Jadi sejak dini dia adalah seorang yang tidak terlatih untuk menerima tanggung jawab yang diberikan orang lain kepadanya?
PG : Atau dia takut untuk memikul tanggung jawab karena kalau ketahuan dia berbuat salah maka dia akan dihajar oleh orang tuanya atau orang lain, sebab dari kecil memang terlatih bagaimana haru mengelak dari tanggung jawab salah satunya adalah menyalahkan orang lain.
Ini salah satu ciri orang yang tidak bisa atau tidak mempunyai keterampilan menyelesaikan konflik, cara mudah menyelesaikannya adalah dengan berkata, "Kamu yang salah dan dengan kamu yang salah kamu harus bereskan masalahmu," dia tidak bisa apa-apa. Jadi sekali lagi ini upaya dia menyelesaikan konflik, tapi ini upaya yang tidak sehat karena lama-kelamaan pasangannya akan segan, marah, lelah. "Kenapa semuanya salah saya dan kamu tidak pernah salah," jadi lama-kelamaan dia akan membuat orang tidak mau dekat dengan dia tapi itulah cara dia membereskan konflik yaitu dengan cepat menyalahkan orang supaya orang nanti membereskan buat dia.
GS : Kadang-kadang bukan orang yang disalahkan, bukan pasangannya yang disalahkan, tapi dia menyalahkan pihak lain di luar hubungan suami istri. Bisa juga menyalahkan keadaan dan sebagainya dan itu bisa terjadi Pak Paul?
PG : Betul, jadi dari pada mengakui di antara kita berdua terdapat masalah yang harus kita bereskan akhirnya cara termudah adalah menyalahkan kambing hitam ketiga "Ini yang membuat saya sepertiini," atau dalam istilah Indonesia yang populer akhir-akhir ini adalah ada provokatornya, semua hal pasti ada provokatornya.
Tentu tidak! Memang adakalanya provokator tapi yang kadang kala terjadi adalah ini masalah kedua belah pihak di dalam pernikahan dan kadang-kadang tidak ada kaitan dengan orang ketiga. Tapi orang yang tidak mampu untuk menyelesaikan konflik, mudah sekali menyalahkan faktor luar dan tidak mau melihat di antara kita berdua ada masalah yang harus kita bereskan.
GS : Tanda yang kedua apa Pak Paul?
PG : Tanda yang kedua mendiamkan pasangan. Ada orang-orang yang mendiamkan tidak mau berbicara sampai berminggu-minggu dan kadang-kadang saya kaget mendengar hal seperti ini. Tapi ada juga oran yang sanggup untuk tidak mengajak bicara, dia benar-benar mendiamkan, tujuannya apa? Sebenarnya ada dua, dengan dia mendiamkan sebenarnya dia sedang menghukum pasangannya, ini sebuah bentuk penghukuman yang tidak nampak jelas tapi sebetulnya sangat menyakitkan.
Kenapa dia menghukum, ini adalah cara dia membereskan konflik, dia melihat, "Ini salahmu, maka engkau harus mendapatkan hukuman dan hukuman yang paling efektif adalah kamu harus didiamkan tidak boleh diajak bicara." Sebetulnya ada juga yang kedua, kenapa dia mendiamkan pasangannya? Dia sedang mencoba untuk menenangkan dirinya kembali sebab sedikit konflik membuat dia kacau tidak bisa berpikir dan dia cenderung histeris. Dia tidak mau histeris, dia tidak mau kacau, dia tidak mau kalut sehingga kalau ada konflik sepertinya dia harus menutup keran emosinya sedemikian rupa, sehingga dia tidak perlu merasakan apa-apa dan dia bisa merasa tenang kembali. Dia perlu waktu misalkan dua atau tiga hari untuk bisa kembali tenang, dan barulah dia bisa hidup normal lagi. Ada tanda lagi, tanda yang sebetulnya menunjukkan kalau dia tidak sanggup membereskan konflik. Itu sebabnya kalau ada konflik dia terguncang dan guncangannya hebat sehingga dia harus diam, dia tidak boleh berbicara, dia tidak boleh berkomunikasi saat itu, kalau tidak maka dia akan kalut, dia bisa kehilangan akal sehatnya.
GS : Kalau pasangannya bisa mengerti maka tidak masalah kalau dia berdiam diri untuk menenangkan diri, tapi yang menjadi masalah kalau pasangannya tidak mau mengerti, bahkan pasangannya semakin agresif menyerang orang yang mendiamkan dia. Hal ini bisa runyam?
PG : Bisa menjadi runyam. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi, yang pertama adalah dia semakin melarikan diri, dia semakin menutup diri, semakin tidak mau diajak berbicara dan kalau terus didsak dia mungkin akan angkat kaki.
Atau kemungkinan yang kedua adalah dia didesak, semakin didesak akhirnya dia kalut, dia tidak bisa menghadapi, dia kacau sekali. Justru hal ini yang nanti dia takuti dan akhirnya benar-benar terjadi. Kalau kita tahu bahwa pasangan kita tidak bisa membereskan konflik dan kalau ada konflik dia harus diam mungkin untuk sementara, maka dia harus didiamkan dulu.
GS : Kadang-kadang ada orang yang sengaja menghindar dari pasangannya supaya konfliknya tidak berkepanjangan tapi sebenarnya dengan begitu masalahnya tidak selesai Pak Paul?
PG : Betul sekali dan malangnya adalah, tipe pertama dan kedua yang baru saja kita bahas seringkali bersatu dalam pernikahan. Jadi yang satu agresif sekali menyalahkan tapi yang satu lagi tidakbisa menghadapi konflik dan harus diam.
Maka semakin disalahkan semakin dia diam, yang satu semakin diam semakin didiamkan, semakin menyalahkan. Jadi seringkali dua tipe ini bersatu dalam keluarga.
GS : Dan sebenarnya Tuhan mempersatukan mereka untuk saling belajar?
PG : Betul seharusnya begitu.
GS : Ciri yang ketiga apa Pak Paul?
PG : Yang ketiga adalah orang yang menyerang. Jadi ini lebih dari menyalahkan tapi dia memang agresif. Tipe yang ketiga biasanya berbentuk fisik atau berbentuk kata-kata yang sangat-sangat kasa, mencaci maki dan sebagainya.
Sebetulnya orang yang langsung menyerang adalah orang yang tidak bisa menghadapi atau mengatur kemarahannya. Jadi saat emosinya bergejolak dia harus langsung mengeluarkan dan keluarnya dalam bentuk kemarahan. Kebanyakan orang kalau sedang bergejolak misalkan gejolaknya kecemasan maka yang keluar adalah kecemasan, gejolak kesedihan maka yang keluar adalah menjadi sendu. Tapi tipe ketiga ini tidak! Perasaan apapun yang bergejolak kecenderungannya yang keluar satu yaitu kemarahan, agresifitas. Ini adalah ciri ketiga yaitu orang yang tidak bisa menghadapi konflik, jadi kalau ada apa-apa, ada masalah dan sebagainya maka dia langsung meledak. Cara ini yang sebetulnya dia gunakan untuk menyelesaikan konflik walaupun kita tahu ini membibitkan konflik baru membuat masalah semakin melebar tapi dia tidak punya cara yang lain. Biasanya yang terjadi adalah karena dia meledak atau marah maka orang diam, bagi dia konflik selesai karena orang jadinya takut. Jadi cara intimidasi yang akhirnya diadopsi sebagai cara dia menyelesaikan konflik.
GS : Padahal pasangannya diam belum tentu menerima apa yang dia katakan Pak Paul?
PG : Betul sekali. Dan adakalanya ada orang yang sebetulnya bisa membereskan konflik tapi karena menikah dengan tipe yang agresif atau menyerang, akhirnya dia belajar untuk dia harus diam. Karea tipe orang yang agresif yang suka menyerang kalau mendapati bahwa kita berani berdialog, menyahut menjelaskan, maka dia menjadi kehilangan kendali, dan semakin marah.
Maka akhirnya pasangannya biasanya menjurus kepada mendiamkan, "Sudah tidak perlu ditanggapi, kalau ditanggapi akan semakin meledak." Tapi bahayanya atau jeleknya adalah yang suka menyerang akhirnya terus-menerus tidak bisa menyelesaikan konflik, sebab cara dia menyelesaikan konflik adalah dengan membuat orang lain "mati kutu", diam, semua takut dengan dia tapi konflik tetap ada dan masalah tidak pernah diselesaikan.
GS : Dan bentuk penyerangan itu kadang-kadang melebihi kata-kata tapi bisa dengan tindakan-tindakan?
PG : Biasanya memukul, kalau dia tidak mau memukul pasangannya dia akan hancurkan barang, akhirnya hal itu yang membuat orang takut berkonflik dengan dia. Cara itu yang digunakan untuk memberesan konflik, tapi itu cara yang tidak sehat.
GS : Mungkin belum tentu takut, hanya menghindar supaya tidak semakin parah, Pak Paul?
GS : Ciri yang keempat, apa Pak Paul?
PG : Ada orang yang histeris Pak Gunawan. Sedikit saja menghadapi konflik bertengkar dengan pasangannya maka dia bisa histeris, dia bisa berteriak-teriak, menangis keras, emosinya tiba-tiba nai, tidak bisa lagi menguasai dirinya.
Ini berbeda dengan yang tadi, yang tadi menyerang secara agresif tapi ini histeris. Histeris ini adalah kehilangan kendali, dia berteriak-teriak, menangis dan sebagainya. Ini adalah tipe orang yang memang tidak bisa mengatur emosinya, tidak bisa meregulasi emosi. Jadi seolah-olah dalam dirinya tidak ada katup, kalau orang lain terdapat katup sehingga kalau emosi sedang naik kita bisa katup sehingga tidak terus naik. Dia tidak ada katup, sehingga saat emosi sedang naik dan yang berbahaya adalah langsung mengalahkan fungsi rasionya karena tidak ada lagi fungsi rasio. Maka yang keluar benar-benar ekspresi emosi, teriakan dan sebagainya tapi sekaligus bagi dia ini merupakan caranya untuk menyelesaikan konflik. Karena dia kebalikan dari orang yang mendiamkan, kalau yang mendiamkan harus diam, dia ini harus berteriak-teriak dan setelah dia berteriak-teriak dia bisa lega, tekanannya hilang, dia reda kembali. Maka akhirnya ini cara yang diadopsi sebab bagi dia ada hasilnya. Dia membuat teriak-teriak histeris 1 atau ½ jam sudah itu dia tenang, dia membaik kembali. Sudah tentu kalau pasangan hidup dengan dia seperti ini pasangan lama-kelamaan akan berusaha menghindar dari konflik sebab dia tahu kalau ada konflik pasti orang ini akan berteriak-teriak lagi dan sebagainya. Jadi akhirnya orang-orang mengakomodasi dia. Tapi sekali lagi ini cara yang melestarikan problem, dia tidak bisa membereskan konflik sebab caranya ialah dia berteriak-teriak histeris mengeluarkan emosinya sampai semua orang harus diam.
GS : Setelah emosinya mereda Pak Paul, apakah dia bisa diajak bicara untuk menyelesaikan konflik?
PG : Bisa, ada orang-orang yang memang seperti itu. Setelah dia dingin sudah keluar semua emosinya, dia bisa diajak bicara. Dan dia akan berkata kepada pasangannya, "Tolong terima saya, saya meang perlu mengeluarkan semuanya, setelah saya mengeluarkan semua barulah saya bisa berbicara.
Ada orang yang seperti itu, tapi semua ledakan itu harus dibocorkan dulu.
GS : Tapi yang dikhawatirkan pasangan adalah kalau konflik itu dibicarakan dia akan meledak lagi, Pak Paul?
PG : Benar itu bisa. Jadi ada orang yang walaupun sudah mengeluarkan emosinya tapi kalau diajak berbicara tentang hal yang sama, dia kembali tidak bisa diajak berbicara.
GS : Dan yang kelima apa, Pak Paul?
PG : Ada juga orang yang kalau mengalami konflik Pak Gunawan, dia langsung sakit. Biasanya kita melihat pada anak-anak yang tidak bisa menghadapi ketegangan kemudian dia sakit. Biasanya itu dibwa sampai usia remaja sehingga kalau ada ketegangan, ada masalah dengan pasangannya, dia menjadi sakit kepala, sakit maag, sakit jantung dan lain-lain.
Jadi akhirnya orang diam karena takut sakit. Dengan dia diam sebetulnya itu merupakan cara untuk melepaskan ketegangan dan ketakutannya lewat sakit-penyakit. Dan itu adalah bukti bahwa dia memang tidak mempunyai daya tahan yang kuat sehingga waktu jiwanya tegang atau secara psikologis dia tidak bisa tahan, sepertinya tekanan itu jatuh menghantam batas psikologisnya, masuk ke fisik, sehingga tubuhnya cepat jatuh sakit, itu salah satu ciri yang umum kita lihat.
GS : Jadi sebenarnya kalau orang itu menyadari ciri-ciri dia kalau menghadapi konflik lalu timbul seperti itu dan dia sadar, dia bisa mengatasinya Pak Paul?
PG : Setidak-tidaknya karena dia menyadarinya, dia bisa memulai proses untuk membereskannya.
GS : Apakah ada kombinasi dari tanda-tanda itu di dalam diri seseorang ketika mengalami satu konflik?
PG : Ada, Pak Gunawan. Misalnya yang sering terjadi adalah yang histeris sering bergabung dengan yang menyerang atau agresif meskipun tidak selalu sama tapi adakalanya mereka itu bergabung menjdi satu.
Artinya kalau dia sudah histeris maka tinggal menunggu waktu dia akan lebih agresif menyerang. Misalkan yang suka menyalahkan seringkali bisa menjadi satu dengan orang yang agresif menyerang atau yang histeris itu juga satu paket. Yang mendiamkan dengan yang sakit fisik itu seringkali juga sama, Pak Gunawan.
GS : Apa yang biasanya menyebabkan orang bisa seperti itu?
PG : Setidak-tidaknya ada empat penyebab, Pak Gunawan. Yang pertama adalah kalau kita dibesarkan dalam rumah dimana memang tidak ada panutan, kita tidak pernah melihat orang tua itu membereskankonflik dengan cara yang sehat.
Akhirnya kita tidak bisa belajar bagaimana cara yang sehat, sehingga setelah kita besar kita akan menggunakan cara-cara orang tua kita yang salah itu. Yang cepat berteriak, yang cepat menyalahkan atau yang mendiamkan, atau yang tiba-tiba menjadi sakit. Yang kedua adalah lingkungan yang tidak sehat, ada orang-orang dibesarkan dalam lingkungan yang buruk sekali. Banyak perkelahian, sedikit-sedikit marah akhirnya dia belajar dari teman-temannya, tetangganya dan lain-lain, yang penting kalau ada yang bermasalah maka langsung saja pukul dan sebagainya. Akhirnya itulah yang diadopsi. Yang ketiga adalah kalau orang tua yang bermasalah, misalnya mereka memang sering bertengkar, ada yang tidak setia, ada yang mengkhianati keluarganya. Jadi si anak ini dari kecil marah dengan salah satu orang tuanya, baik Papa atau pun Mamanya sehingga kemarahan ini menjadi kebencian yang menumpuk, menjadi genangan kemarahan yang tinggi. Itu sebabnya setelah dia besar kalau ada masalah maka kemarahanlah yang akan langsung keluar meledak. Yang terakhir adalah ada orang-orang yang memang memiliki keterbatasan pribadi artinya ada orang-orang yang susah mengatasi emosi. Jadi sepertinya daya tampung emosinya lemah, kecil. Kalau emosi sudah mulai banyak dia tidak bisa lagi menangani sehingga akhirnya meluber kemana-mana, meledak kemana-mana. Tadi yang kita bahas tentang histeris atau yang agresif menyerang adalah ciri-ciri orang yang memang memiliki keterbatasan sehingga akhirnya tidak bisa menampung semuanya itu atau malah dia menjadi jatuh sakit.
GS : Jadi itu kombinasi antara kurangnya kepribadian dari seseorang dan juga pengaruh dari lingkungan?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Pak Paul, kalau tadi berbicara tentang dua sumber konflik dan tadi kita sudah bicarakan ketidakmampuan seseorang menyelesaikan konflik. Faktor atau sumber yang kedua apa, Pak Paul?
PG : Yang kedua adalah tidak terpenuhinya kebutuhan. Jadi kita memasuki pernikahan sudah tentu membawa kebutuhan-kebutuhan yang kita harapkan nanti bisa dipenuhi oleh pasangan. Sewaktu tidak tepenuhi kita mencoba meminta, kita mencoba komunikasikan, apakah pasangan bisa atau tidak? Mau memenuhinya atau memang tidak mempunyai kemampuan memenuhinya? Apa yang terjadi? Akhirnya kebutuhan itu semakin membesar ibarat tidak pernah diisi akhirnya tangki kita kosong.
Nantinya muncul masalah, kalau problem terjadi, konflik sedang ada dalam rumah tangga kita, kebutuhan yang tak terpenuhi itu tiba-tiba seperti kekuatan dari belakang yang menabrak kita, kuat sekali sebetulnya kesalahan pasangan kita kecil, tapi kita tidak bisa menahan diri lalu kita marah habis-habisan, kenapa? Karena kebutuhan kita ada yang tidak terpenuhi. Contoh misalkan dari dulu kita merasa pengorbanan tidak dihargai, menjaga anak dan sebagainya disepelekan oleh suami kita. Misalnya satu kali dia membuat kesalahan, maka dia meledak habis-habisan, marah, kita menghajar dengan kata-kata. Kenapa begitu? Sebab di dalam kondisi kita tidak stabil akibat kebutuhan kita yang tidak terpenuhi, kita tidak bisa menguasai diri kita dengan baik. Seolah-olah teriakan itu keluar dari kebutuhan yang tak terpenuhi.
GS : Kalau yang tadi ada tanda-tandanya, kalau ada pengharapan yang tidak terpenuhi apakah juga ada tanda-tandanya?
PG : Sekurang-kurangnya lima yang bisa saya pikirkan Pak Gunawan, yang pertama adalah orang-orang ini menjadi orang-orang yang terlalu menuntut karena kebutuhan yang tak terpenuhi menuntut pasagan untuk senantiasa mengerti dan memenuhi permintaannya, adakalanya pasangan memang kurang mampu memberikan kecukupan, adakalanya dia memang harus belajar juga menerima tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Apalagi kalau dia memasuki pernikahan dengan kebutuhan yang besar maka dia akan menuntut terus-menerus. Yang kedua adalah dia menjadi terlalu rapuh, artinya karena kebutuhan yang terlalu besar daya tahannya lemah dia mudah menyerah, sehingga kalau ada konflik perlu waktu yang lama untuk pulih. Karena satu pertengkaran saja membuat dia terlalu letih, seolah-olah habis. Tandanya yang ketiga terlalu mendendam, orang yang merasa dirinya terlalu berbuat banyak tapi kebutuhannya tidak dipenuhi maka dia mudah sekali menyimpan amarah, dendam sehingga sewaktu berbuat kesalahan dia tidak mudah untuk memaafkan. Yang lainnya lagi adalah dia menjadi terlalu kaku, artinya menunjukkan sedikit emosi tidak menunjukkan kepekaan, hidupnya benar-benar hampa emosi. Ini salah satu ciri orang yang akhirnya karena sudah putus asa kebutuhannya tidak dipenuhi maka dia jalani hidup tanpa perasaan seperti mesin. Dan ciri-ciri yang terakhir adalah terlalu menuntut kesempurnaan, sangat legalistik, tidak bisa fleksibel karena dia sendiri sudah lelah karena kebutuhannya tidak terpenuhi sehingga dia menjadi kaku dengan suami, anak, istri, harus begini, harus begini. Karena dirinya itu sangat lapar dan haus.
GS : Itu sangat menyangkut karakter dari seseorang yang katanya susah sekali untuk bisa dirubah?
PG : Bisa. Memang ini semuanya akhirnya menjadi bagian dari karakter dia, bisa juga sebelum dia menikah, dia sudah mempunyai karakter seperti itu pula. Jadi akhirnya dalam menghadapi konflik di tidak bisa lagi, karena kebutuhan dia yang tidak terpenuhi itu.
GS : Pasti ada faktor penyebabnya, Pak Paul?
PG : Ada, Pak Gunawan. Ada beberapa yang saya bahas misalnya yang pertama adalah orang tuanya terlalu mengabaikan dia, sejak dia kecil orang tua jarang di rumah kurang memberikan perhatian kepaa dia sehingga dia kosong, kebutuhan-kebutuhan dia tidak terpenuhi.
Ada lagi orang tua yang penuh dengan konflik sehingga energi orang tua habis tersita untuk membereskan masalah orang tua. Anak-anak mempunyai kebutuhan tapi tidak lagi bisa dipenuhi karena mereka sendiri sudah terlalu letih mengurus masalah mereka. Ada juga karena kebutuhan orang tuanya terlalu besar sehingga si anak sejak kecil harus memenuhi kebutuhan orang tuanya, dia ini anak tapi dia juga menjadi orang tua sebab si Mama atau si Papa tidak bertanggung jawab lebih kekanak-kanakan akhirnya kebutuhan dia tidak terpenuhi, tapi dia harus memikirkan kebutuhan orang tuanya. Dan yang terakhir adalah anak-anak yang dianiaya, kalau orang tua marah seringkali memukuli, mencaci maki atau malahan melecehkan secara seksual anak-anak mereka, akhirnya tersakiti dan tersakiti. Maka orang yang memasuki pernikahan dengan kebutuhan yang besar untuk menyembuhkannya atau membalutnya adalah diperlakukan dengan lembut dan sebagainya. Kalau kebutuhan tidak terpenuhi akhirnya dia terus-menerus konflik dengan pasangannya.
GS : Dari keempat faktor ini yang Pak Paul sampaikan, semuanya menyangkut orang tua. Jadi pengaruh orang tua besar sekali terhadap anak yang menikah ini?
PG : Sangat besar. Boleh dikatakan kalau kita memang mempunyai begitu banyak masalah dengan keluarga asal, seringkali akhirnya kita bawa ke pernikahan kita sendiri.
GS : Tetapi dengan kemurahan Tuhan saya rasa ini semua bisa diatasi Pak Paul?
PG : Bisa, Pak Gunawan, yang penting yang sudah saya singgung kita mau mengakuinya bahwa ini masalah kita, kita tidak lagi menuding pasangan kita, kita mengakui kalau saya yang bermasalah. Kedu kita datang kepada Tuhan minta Tuhan menolong kita.
Yang ketiga datang kepada pasangan kita juga untuk meminta pertolongannya, mengerti kita dan menolong kita. Sehingga kalau kita mempunyai masalah, kita bisa bekerjasama dengan pasangan kita, setelah bekerjasama barulah kita bereskan dan kita datang kepada Tuhan dan kita berdoa. Itu langkah-langkah yang harus kita jalani.
GS : Dan apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan bacakan dari Yakobus 4:1&2, "Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu meningini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi."
Ini semua memang bersumber dari hawa nafsu, hawa nafsu juga dapat kita katakan hal-hal yang kita minta, yang kita harapkan, yang kita belum dapatkan, ini seringkali menjadi sumber konflik.
GS : Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dua Sumber Konflik" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.