Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kontak Setelah Konflik", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, yang namanya kehidupan suami-istri meski kadang-kadang kita sudah mencegahnya tapi masih timbul konflik, pertengkaran, salah pengertian dan sebagainya. Nah, katakan kita sudah saling memaafkan, kita sudah mencoba berbaikan kembali, tapi rasanya ada suasana atau perasaan kurang nyaman itu bagaimana Pak Paul?
PG : Saya kira ini dialami oleh hampir semua kita Pak Gunawan, setelah konflik dan kita berdamai atau sudah bisa tenang kembali rasanya ada moment-moment yang tidak nyaman. Kita risi, kita cangung, kita harus berbuat apa, berkata apa, nah ini bisa terjadi antara kita dan pasangan kita, tapi bisa juga terjadi antara orang tua dan anak atau anak terhadap orang tuanya.
Nah, hal inilah yang saya kira kita perlu soroti agar kita bukan saja bisa mendamaikan konflik tapi kita juga bisa membangun sesuatu yang lebih baik setelah konflik terjadi.
GS : Nah, kira-kira langkah-langkah apa yang bisa dilakukan terutama dari pihak kita, supaya kita bisa proaktif, Pak Paul?
PG : Yang pertama, kita perlu memahami bahwa konflik merobek jalinan relasi. Memang ada orang berkata konflik itu menambah kemesraan, sebetulnya tidak; konflik itu sendiri tidak menambah kemesran, tidak mendekatkan kita dengan satu sama lain.
Yang sebetulnya mengencangkan ikatan relasi adalah penyelesaian konflik atau perdamaiannya. Jadi setelah konflik, penting bagi kita untuk berdiam diri sejenak, untuk membiarkan luka kering dan pendarahan berhenti. Jangan setelah konflik kita langsung mau ngomong dan sebagainya, apalagi kalau ini konflik yang berat. Sebaiknya berdiam diri, masing-masing ambil waktu; jangan terlalu banyak berbicara.
GS : Sampai seberapa lama Pak Paul, masa diam itu bisa ditolerir, kalau terlalu lama 'kan tidak enak?
PG : Betul, dan terlalu lama bisa membuat pasangan kita merasa didiamkan dan ini bisa memicu pertikaian yang baru. Maka saran saya, biasanya sebelum kita berkonflik kita mempunyai kesepakatan trlebih dahulu.
"Kalau sampai konflik, berapa lamakah waktu yang kita butuhkan untuk mengeringkan luka atau mengeringkan darah yang telah mengalir dari hati kita?" Ada orang yang langsung bisa sembuh, bisa langsung menjalin relasi kembali, tapi ada orang yang memerlukan waktu yang lebih panjang. Nah sebaiknya suami maupun istri duduk bersama dan masing-masing membagikan berapa waktu yang dibutuhkannya untuk mengeringkan luka. Jadi sekali lagi intinya bukanlah mendiamkan pasangan tapi berdiam diri dengan tujuan mengeringkan luka. Bagaimana pun saya tekankan, konflik itu merobek hati kita; kita biasanya terluka setelah konflik, kita tidak merasa disayangi lebih dekat lagi. Kalau kita berhasil menyelesaikannya, pada akhirnya kita akan merasa lebih kuat dan lebih dekat. Tapi tetap untuk mencapai sasaran itu kita harus melewati jalan yang cukup berat yaitu jalan berdarah, yaitu hati yang telah terluka. Maka perlulah kita berdiam diri agar luka kita kering terlebih dahulu.
GS : Tetapi lamanya berdiam diri itu juga ditentukan oleh seberapa berat masalah yang menyebabkan konflik itu tadi Pak Paul?
PG : Betul Pak Gunawan, sudah tentu kalau konflik itu ringan misalnya tentang kesalahpengertian yang sangat sepele, saya kira tidak perlu lama-lama berdiam diri. Mungkin ¼ jam kita bisa tenang ebentar, ya kita bisa berbicara lagi seperti dahulu kala.
Tapi kalau ini memang konflik yang sangat berat, misalkan pengkhianatan atau seseorang merasa dilecehkan atau diperdaya, otomatis orang itu memerlukan waktu yang lebih panjang untuk bisa akhirnya berkomunikasi kembali.
GS : Biasanya, waktu berdiam diri itu justru digunakan untuk mencari kesalahan pasangan, Pak Paul. Kita merêka-rêka, "Ya...Ya... memang saya ini betul disakiti," jadi setelah berdiam diri lalu timbul lagi masalah baru.
PG : Betul, maka pada masa berdiam diri, yang saya sarankan adalah: "Ayo.....kita berkilas balik, kita coba lihat apa yang telah terjadi, kita renungkan kembali." Nah, ada orang yang melewati knflik tanpa memperoleh tambahan pemahaman apapun.
Dia adalah orang yang tidak berhikmat, yang bisanya hanya berkelahi. Orang yang bijak, akan mempelajari sesuatu dari konflik yang telah terjadi, dan ini akan bermanfaat untuk mencegah timbulnya konflik selanjutnya. Jadi waktu berdiam diri bukanlah waktu untuk mencari kesalahan pasangan atau anak atau orang tua kita, tapi waktu untuk mengintrospeksi diri. Benar-benar terbuka dan melihat apa yang telah kita lakukan dan kalau memang kita sadari ada kesalahan yang kita buat, ada andil kita dalam masalah ini, jangan ragu untuk meminta maaf atau mengatakan apa yang telah kita pelajari dari peristiwa yang telah terjadi itu.
GS : Tapi biasanya kita memang melihat orang lain Pak Paul, bahwa dia yang menyebabkan saya marah, dia yang menyebabkan konflik ini terjadi. Pada saat terdiam itu, keluar semua pikiran-pikiran ini.
PG : Biasanya begitu, sebab sering kali pada waktu kita berdiam diri memang kita itu makin merasakan luka yang kita sudah alami. Jadi waktu kita merasakan luka, kita ada kecenderungan melihat 'iapa yang bersalah yang menimbulkan luka itu dan apa yang bisa kita perbuat untuk membalas,' supaya tindakannya yang melukai kita itu bisa terbayarkan.
Sering kali itu yang kita lakukan, kita berdiam diri jadinya untuk mengumpulkan amunisi. Makanya tadi saya tekankan, kita perlu berdiam diri. Kenapa? Sebab bisa jadi awalnya kita akan memikir-mikir apa yang telah terjadi, kenapa dia begitu dan apa yang bisa kita lakukan untuk membalasnya dan sebagainya. Tapi saya duga setelah kita melewati fase itu, emosi kita mulai turun, kita akhirnya mulai tenang, reda, kita mulai berpikir dengan lebih jernih. Nah, harapan saya pada fase kedua inilah kita bisa berpikir dengan lebih jernih, kita mulai melihat diri kita, apa itu yang telah kita lakukan atau tidak seharusnya kita lakukan, nah itu nantinya yang bisa kita pelajari sebagai hikmah dan mudah-mudahan kita bisa bagikan kepada pasangan kita. Bahwa, "Inilah yang telah aku lakukan yang keliru, inilah yang tidak aku lakukan yang seharusnya aku lakukan, nah aku minta maaf atas kesalahanku itu," ini yang bisa langsung kita katakan pada pasangan kita.
GS : Biasanya ada orang yang mengatakan saya ini tidak enak kalau tidak ngomong, karena itulah yang menjadi masalah. Memang mau dibicarakan, begitu dibicarakan, pasangannya atau orang yang kepada siapa dia berkonflik merasa bahwa tadi diam itu dipikir sudah selesai, tapi ini malah muncul lagi. Jadi timbul problem lagi.
PG : Nah, kalau sampai masalah itu rasanya belum selesai sehingga harus timbul lagi pertikaian, mungkin sekali memang harus kita hadapi dulu. Berarti tadi itu memang belum selesai, itu tadi hanalah jeda, kalau begitu silakan kita masuk ke babak berikutnya kita coba lagi bereskan, kita coba lagi bicarakan masalah itu agar sampai pada titik temu.
Namun kalau memang sudah selesai tapi bisa memancing kemarahan dari pasangan kita, mungkin kita langsung membicarakan hal-hal yang berat. Dan hal-hal yang berat ini kita bicarakan dan pada akhirnya memunculkan kesan bahwa kita tidak peka dengan apa yang telah terjadi. Bahkan seolah-olah kita ini memberikan kesan kepada pasangan kita bahwa yang baru terjadi itu, konflik yang baru saja meledak itu tidaklah berarti banyak. Karena apa? Ya karena setelah konflik itu selesai, kita enak-enak saja membicarakan hal-hal yang berat, meminta pertimbangan atau keputusan yang berat. Pasangan kita akan berkata: "Kok engkau tidak terpengaruhi sama sekali oleh konflik tadi, aku babak belur, aku luka-luka parah, engkau enak-enak saja seperti ini." Maka saya sarankan, setelah konflik dan setelah kita berdiam diri, mulailah berbicara hal-hal yang ringan. Sapalah dia, tanyalah mau makan atau tidak, misalkan kita tanya nanti makan apa atau apa, jadi benar-benar menanyakan hal-hal yang ringan, hal-hal yang tidak membuka peluang munculnya konflik yang baru. Nah, ini saya kira suatu permulaan yang baik, setelah kita berdiam diri 'ayo kita ngomong' tapi mulailah dari hal-hal yang ringan terlebih dahulu.
GS : Nah, itu biasanya kita enggan atau ragu untuk memulainya, masing-masing itu akan bertahan menunggu pihak yang lain memulai terlebih dahulu.
PG : Sering kali setelah konflik kita itu benar-benar seperti burung elang; saling melihat, melihat, siapa yang akan mulai berbicara terlebih dahulu. Kenapa begitu? Sebab kita ini mempunyai angapan, dan ini anggapan yang memang tidak tepat.
Kalau orang itu memulai berbicara terlebih dahulu, berarti dia mengakui kesalahannya. Jadi kita mengharapkan bahwa pasangan kitalah yang akan menyapa terlebih dahulu, dengan dia menyapa seakan-akan kita dibenarkan. "Betul 'kan, dia yang salah, maka dia itu merasa perlu untuk mulai berbicara terlebih dahulu." Jadi intinya adalah kita masih membawa ketidakdewasaan atau kekanak-kanakan kita itu, dan akhirnya menambah panjang masalah yang seharusnya telah bisa selesai saat itu. Dengan kita menahan-nahan diri, tidak mau berbicara, menunggu-nunggu pasangan kita terlebih dahulu memulai, seharusnya yang sudah selesai menjadi tidak selesai. Bahkan bisa jadi karena dia pun berpikiran yang serupa dengan kita, masing-masing saling tunggu dan masing-masing tidak mau menyapa atau mengatakan hal-hal yang ringan, akhirnya dua-dua marah. Dua-dua merasa, "Engkau kok tidak mau menyapa terlebih dahulu," akhirnya malah meledak. Maka dewasalah, benar-benar kedewasaan kita itu teruji dalam konflik terutama setelah konflik. Apakah kita cukup dewasa untuk memulai terlebih dahulu ataukah kita terlalu kekanak-kanakan untuk mulai terlebih dahulu.
GS : Keadaan itu lebih sulit lagi kalau pada saat malam mau tidur Pak Paul, ini menjadi sulit. Kadang-kadang salah satu lari dulu ke kamar untuk cepat-cepat tidur (entah tidur atau tidak) hanya untuk menghindari komunikasi.
PG : Betul sekali, entah mengapa kita mempunyai suatu pikiran yang sedikit magis, bahwa kalau dia tidur dan kita tidur besok paginya akan menyapa lebih gampang. Memang ada benarnya, besok pagi ood kita telah berubah lebih ringan dan sebagainya sehingga kita lebih mudah menyapa.
Seolah-olah yang kemarin itu lembaran yang bisa kita lupakan. Tapi sebaiknya kita memulai terlebih dahulu, sebaiknya siapapun yang mulai merasakan itu mulailah. Karena apa? Karena kalau ada salah satu pihak yang tidak mau memulai terlebih dahulu, pihak itu nantinya akan dirugikan. Kenapa? Sebab kita yang melihat pasangan kita yang dari dulu kalau ada konflik tidak pernah memulai berbicara terlebih dahulu, akhirnya kita akan menyimpan kemarahan buat dia. Dan kita akan menganggap, "Kamu kok kekanak-kanakan ya, setiap kali konflik saya yang harus mulai terlebih dahulu, setiap kali saya harus mulai terlebih dahulu; kamu selalu menunggu untuk membuktikan dirimu benar, dirimu tinggi." Jadi akhirnya kita tambah marah kepada dia. Nah kalau itu yang terjadi, saya kira kita harus duduk baik-baik dan berbicara dengan pasangan kita. "Setiap kali kita konflik, saya yang terlebih dahulu harus berbicara," misalkan dia berkata: "Kapan engkau ingat bahwa engkau berbicara terlebih dahulu?" Nah, mungkin dia akan gelagapan sebab memang tidak pernah memulai untuk berbicara terlebih dahulu. Dan kita katakan kepada dia: "Selama ini saya telah memulai terlebih dahulu, namun kalau engkau terus-terusan seperti ini, tidak mau mulai terlebih dahulu engkau sedang meresikokan hubungan kita ini. Bahwa suatu hari kelak aku pun akan seperti engkau dan kalau kita dua-dua seperti engkau, berarti relasi ini akan retak untuk selamanya. Apakah itu yang engkau inginkan." Ini adalah sikap tegas, jadi saya juga ingin mengajarkan kepada kita semua untuk kadang-kadang bersikap tegas. Tidak bijaksana terus-menerus untuk bersikap lembek dan lunak; relasi dibangun di atas respek bukan saja di atas kasih tapi di atas respek. Dan respek itu baru bisa bertunas kalau kita melihat pasangan kita tegas untuk hal yang benar.
GS : Memang itu resikonya bisa menimbulkan konflik baru Pak Paul, tetapi kita akan mencoba untuk mengevaluasi kenapa timbul konflik itu. Nah, bagaimana caranya berbicara supaya tidak menimbulkan konflik baru?
PG : Saya ingin menggarisbawahi tentang mengevaluasi ini Pak Gunawan. Memang betul kita perlu mengevaluasi, tapi saya sudah singgung introspeksilah, lihatlah diri sendiri; apa bagian kita dan aa yang perlu kita sampaikan.
Mungkin ini suatu permintaan maaf atau apa, namun saya ingin juga menegaskan bahwa adakalanya justru tindakan terbaik adalah tidak membicarakannya. Kadang memaksakan diri untuk membicarakannya malah membangkitkan kemarahan yang belum sepenuhnya padam, jadi adakalanya biarkan dulu lewat. Memang sebaiknya kita bisa menyelesaikan dengan lebih segera, tapi adakalanya segera itu bukan berarti lebih baik, malahan bisa lebih memperlebar masalah, lebih merusakkan masalah. Jadi adakalanya biarkan saja, lain kali mungkin lain hari waktu suasananya tepat barulah kita munculkan. Kalau kita munculkan dalam kurun yang tidak terlalu terpaut jauh dari pertengkaran itu, kekhawatiran saya adalah kita hanyalah menambahkan minyak pada api yang belum tuntas padam.
GS : Pak Paul, sebenarnya mana yang lebih cepat selesai, konflik antara suami-istri dan konflik antara orang tua dengan anak yang tentunya sudah menjelang dewasa?
PG : Menurut saya umumnya konflik lebih bisa cepat diselesaikan antara anak dan orang tua. Karena apa? Dari pihak anak sendiri umumnya kalau anak-anak yang relatif sehat, baik-baik saja yang meang bukan bermasalah; umumnya mereka masih menghormati kita sehingga mereka itu tahu saya salah kalau mendiamkan Papa atau Mama sampai selama ini.
Atau kalau kita di pihak orang tua, kita masih tetap bisa berkata kepada diri kita: "Ya, ini anak, memang dia belum dewasa dan tugas sayalah sebagai orang tua untuk mendidiknya. Ya sudahlah saya mengalah, ya sudahlah saya memulai terlebih dahulu." Tapi kita kurang bisa menerapkan prinsip yang sama terhadap pasangan kita. Kita akan berkata saya dan engkau sama, kita sama-sama orang dewasa, jadi kita lebih sulit untuk mengalah karena anggapannya adalah kita setara.
GS : Memang kadang-kadang yang agak sulit itu hubungan orang tua dan anak yang kalau tidak serumah itu akan lebih sulit lagi untuk menyelesaikan konflik ini.
PG : Ya betul sekali, kalau sudah tidak serumah masalah bisa berbeda. Karena apa? Karena si anak sudah di luar dan dia lebih bisa mengelak, menghindar dari orang tuanya dan mendiamkan orang tuaya.
Maka perlu sekali, kalau kita berhasil berbicara kembali dengan anak kita atau pasangan kita, kita perlu juga di hari atau waktu yang cocok mengutarakan harapan atau permintaan kita. Misalkan, salah satunya tadi yang Pak Gunawan munculkan yaitu kita berkata bahwa: "Saya sangat khawatir dan ingin sekali mendengar suaramu dan saya mencoba meneleponmu setelah konflik yang terjadi pada hari apa itu, namun engkau tidak pernah ada di rumah atau tidak mau menjawab telepon dan itu sangat mengganggu saya. Nah, saya meminta lain kali kalau pun engkau belum siap berbicara, tolong angkat telepon dan beritahu saya; saya belum siap ngomong Pak, saya belum siap ngomong Ma; Ok! Tidak apa-apa, saya akan biarkan engkau untuk tenang, untuk teduh, untuk bisa mengeringkan luka yang ada di hatimu. Sebab mungkin saja saya telah melukai kamu." Jadi pada waktu suasananya memang pas, jangan ragu dan sebaiknyalah kita melontarkan atau menyampaikan harapan kita. Apa yang telah terjadi, di mana kita salah kita perlu minta maaf, kita minta maaf. Tapi kalau ada hal-hal yang memang kita perlu meminta kita inginkan dia perbuat, di situlah kita menyampaikannya kepada dia.
GS : Memang konflik ini lebih cepat mencair kalau ada pihak yang mau meminta maaf, tetapi masalahnya kita masing-masing gengsi untuk memulai meminta maaf. Kita merasa saya tidak salah maka saya menunggu dia untuk meminta maaf dulu.
PG : Mungkin sekali memang kita tidak salah, dalam pengertian masalah itu bukan disebabkan oleh tindakan kita, bisa jadi ditimbulkan oleh pasangan kita atau anak kita. Tapi saya kira hampir pad setiap konflik, kita mungkin sekali telah mengatakan kata-kata yang terlalu keras, suara kita terlalu keras atau sikap kita yang tadi terlalu acuh tak acuh kepadanya dan sebagainya.
Nah untuk hal di luar masalah itu, saya kira kita masih bisa meminta maaf; kita masih bisa berkata: "Maaf ya tadi aku memang melihatmu dengan mata yang membelalak, dengan kata-kata yang keras, saya minta maaf." Jadi ada hal-hal yang bisa kita petik dari perbuatan kita waktu konflik yang bisa kita katakan saya minta maaf, saya keliru. Nah, apa gunanya? Gunanya adalah sewaktu seseorang bisa meminta maaf untuk hal-hal yang kecil seperti itu, itu akan mendorong pasangannya atau si anak, si orang tua untuk melakukan hal yang sama. Sebab kita cenderung lebih berani meminta maaf kalau kita melihat bahwa pasangan kita pun telah mundur selangkah dan meminta maaf. Jadi lihatlah hal-hal kecil seperti itu yang bisa kita ingat dan kita tahu tidak seharusnyalah kita melakukannya, itulah yang kita katakan saya minta maaf.
GS : Ada pasangan atau hubungan orang tua-anak itu yang di dalam konfliknya dia tidak mau meminta maaf. Tapi dia menunjukkannya dalam perbuatan misalnya mau mengantarkan kembali, mau mendampingi pada saat belajar atau apa, tapi tidak ada permintaan maaf. Tetapi ada orang lain yang memang menuntut, bahkan sampai katakan lawannya harus meminta maaf. Nah, dia merasa saya ini sudah meminta maaf dengan tindakan saya.
PG : Sebetulnya memang ada dua tahapan dalam menyampaikan permintaan maaf atau menunjukkan penyesalan itu. Pertama, melalui perbuatan dan kedua melalui pengakuan. Dan menurut saya dua-duanya pelu, pengakuan juga perlu demikian pula perbuatan.
Nah, kalau dua-dua diperlukan dan kita pun sebetulnya ingin melihat dua-duanya dari orang lain, mengapa kita tidak memberikan dua-duanya kepada orang lain.
GS : Sebenarnya memberi maaf atau meminta maaf ini sangat dianjurkan oleh firman Tuhan. Apakah ada firman Tuhan yang Pak Paul mau sampaikan?
PG : Saya bacakan dari Matius 6:14-15, "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, apamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu."
Kenapa Tuhan begitu tegas tentang hal pengampunan ini? Sebab Tuhan itu sudah mengadopsi kita sebagai anak-anak-Nya, jadi Tuhan menginginkan kita mewarisi sifat-sifat-Nya. Dan salah satu sifat Tuhan yang hakiki, yang sangat-sangat lekat dengan siapa diri-Nya adalah sifat mengampuni. Jadi kalau kita mengklaim kita anak Tuhan, namun susah sekali mengampuni, saya kira kita itu sudah keluar jalur, kita tidak mewarisi sifat Allah. Sifat Allah yang pengampun itu haruslah juga kita cerminkan, kita bagikan, ampuni. Dan sebagai manusia kalau Tuhan tidak pernah bersalah, Tuhan tidak perlu meminta maaf. Kalau kita sebagai manusia, kita perlu minta maaf. Dan ini adalah sifat yang kedua yaitu sifat rendah hati, dan ini juga dikatakan oleh Tuhan Yesus. Turutilah contoh-Ku atau teladan-Ku, karena Aku ini lemah lembut dan rendah hati. Tuhan rendah hati, kita juga perlu rendah hati karena kita mewarisi sifat Tuhan yang rendah hati itu. Minta maaf kalau memang kita salah. Jadi mengampuni dan rendah hati, itu dua syaratnya.
GS : Ada orang itu yang sampai bertahun-tahun tidak bisa mengampuni, bahkan saudara kandungnya sendiri atau orang tuanya. Karena lukanya yang terlalu dalam.
PG : Orang yang tidak mau mengampuni, orang yang hidup dalam belenggu dan dia tidak mencicipi kemerdekaan lagi.
GS Hanya pada saat-saat dia mengingat itu, kalau tidak dan dia lupa sudah tidak apa-apa. Tapi begitu diingatkan tentang hal itu, rasa dendamnya atau marahnya itu timbul lagi.
PG : Kalau hanya sebatas marah, saya kira itu wajar. Karena mungkin sekali peristiwa itu begitu menyakitkan, sehingga tatkala teringat kembali maka seolah-olah hati itu berdarah kembali. Maka mrah adalah manifestasinya atau wujud nyatanya, saya kira sampai batas itu, itu masih batas yang wajar.
Kita itu manusia dan kalau sakit, kita teringat kita bisa marah. Tapi jangan kita menyuburkan dendam, apalagi merancang-rancang cara untuk membalasnya, itu yang Tuhan tidak kehendaki.
GS : Ya, itu mungkin bagian yang sulit Pak Paul, tetapi kita percaya dengan pertolongan Roh Kudus kita akan bisa mengampuni orang lain karena kita sudah memperoleh pengampunan dari Tuhan sendiri. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kontak Setelah Konflik." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.