Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang bersama dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang " Mencari Wanita yang Sayang Anak ", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, setahu saya bahwa wanita itu sangat dekat dengan anak, maka guru-guru TK kebanyakan adalah wanita, jarang ada seorang pria yang mau menjadi guru TK. Apakah ini masih perlu dicari lagi, Pak Paul?
PG : Masih perlu dicari lagi Pak Gunawan, sebab ini berdasarkan pengamatan saya makin banyak wanita lebih siap melahirkan anak daripada membesarkan anak, nah ini masalah. Terlalu banyak yang saa lihat sekarang yang menyerahkan tanggung jawab mengurus anak kepada pembantu rumah tangga atau suster dan ini benar-benar 24 jam.
Bukannya pulang kerja main dengan anak, bercanda, gurau dengan anak, tidak, benar-benar tidak menyentuh anak lagi. Pulang kerja sudah malam, tinggal ketemu anak mungkin ¼ jam, ½ jam bertanya ini, itu kemudian suster lagi yang mengurus, sampai-sampai tidur dengan suster, dimandikan, diberi makan oleh suster, pelajarannya pun diajarkan oleh suster, sampai seperti itu. Bahkan ini yang sering saya lihat juga, waktu pergi berdarma wisata atau pergi makan keluar, yang membawa anak juga suster, satu anak satu suster, tiga anak tiga suster, sampai seperti itu. Jadi kapankah si ibu ini menyentuh si anak, ini yang saya khawatirkan mungkin sangat-sangat sedikit sekali.
GS : Berdasarkan pengamatan Pak Paul, itu sebenarnya apa penyebab utamanya?
PG : Memang awalnya ada pengaruh dari karier, dari pekerjaan. Banyak wanita sekarang keluar rumah kemudian bekerja dan mendapatkan imbalan-imbalan juga dari pekerjaannya dan mereka menyenangi hdup seperti itu.
Tapi saya kira itu bukanlah alasan, sebab banyak wanita di jaman dahulu juga bekerja, pulang sore atau menjaga toko dan sebagainya, tapi tetap mengurus anak. Nah, sekarang ini memang tidak lagi mengurus wanita, sebab apa ya alasannya? Saya cenderung menyimpulkan alasan utamanya adalah tidak lagi mau repot dan melihat anak sebagai sumber kerepotan dan itu yang tidak lagi mereka inginkan. Jadi kalau saya boleh gunakan istilah yang sedikit lebih keras (ya saya mohon maaf, kalau ini menyinggung para pendengar kita yang wanita) yang saya harus katakan, tingkat egoisme itu makin menanjak, mementingkan diri itu menjadi fokus, sehingga tidak lagi bersedia direpotkan oleh kehadiran anak ini.
WL : Pak Paul, saya pikir selain mengejar karier, saya juga sering mendengar keluhan para wanita atau Pak Paul tadi menggunakan istilah ego semakin meningkat, apakah ego semakin meningkat atau kesadaran wanita sekarang lebih tercelik atau lebih berani mengungkapkan diri. Keluhannya seperti ini, "Saya sekolah tinggi-tinggi, kapan saya mengejar karier, OK katakanlah kesempatan sekarang ada dengan suami juga, tapi ada ketidakadilan ini. Kita sama-sama bekerja sekian jam, begitu pulang yang wanita masih mempunyai beban tugas yang begitu banyak di rumah. Mengurus rumah tangga, mengurus anak, sampai sekecil-kecilnya juga mengurus suami, suami 'kan hanya dari pagi sampai seore saja di kantor?" Itu Pak yang akhirnya menyebabkan para wanita berpikir bahwa ini benar-benar tidak adil, jadi solusinya menggunakan baby sitter.
PG : Sudah tentu saya kira pria itu harus terlibat dalam membesarkan anak, Tuhan memerintahkan bukan kepada wanita sebenarnya untuk mendisiplin anak, tapi kepada pria sebagai ayah, jadi sudah tntu ayah itu harus terlibat, tidak benar kalau ayah itu tidak terlibat sama sekali.
Jadi saya bukannya hanya ingin menyalahkan wanita, saya hanya mau mengungkap satu fenomena yaitu makin banyaknya wanita yang tidak lagi merasakan dorongan untuk dekat membesarkan anak. Sedangkan di Amerika, yang saya lihat ini, di sana rata-rata suami-istri bekerja, pulang ke rumah jam 06.00, jam 07.00 malam, namun saya perhatikan hubungan orang tua dalam hal ini mama dengan anak, jauh lebih dekat karena memang di sana jarang ada orang yang bisa mempunyai seorang suster, karena mahal sekali jadi kebanyakan diurus sendiri. Dan karena memang tidak ada suster, jadi para ibu itu juga harus bergaul dengan anaknya, nah justru itu yang saya lihat keluarga, suami-istri ke taman, membawa anak-anak bercanda, main, olah raga, naik sepeda dan sebagainya, itu pemandangan yang sangat umum. Sedangkan di Indonesia saya perhatikan itu menjadi pemandangan yang semakin langka, si mama dan papa berjalan di depan, di belakang 3 orang suster berjalan menggendong anak-anak mereka. Makan disuapi oleh suster, semua diurus oleh suster dan ini yang mengkhawatirkan saya, karena bagi saya ini memang sudah melewati batas kewajaran.
WL : Tapi kalau diperbandingkan dengan Amerika, saya mendengar juga di sana begitu menjamurnya day care sepanjang hari, itu sama juga dengan orang lain yang mengasuh, Pak Paul?
PG : Dari pagi sampai sorenya saya tidak mempermasalahkan, karena memang orang harus bekerja. Dan saya mengerti ada sebagian wanita yang lebih efektif di rumah, kalau dia bekerja di luar. Tidaksemua wanita mempunyai panggilan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu, justru kalau diwajibkan diam di rumah penuh waktu dia tambah tidak efektif, dia mungkin tambah tidak bisa menguasai dirinya, tambah emosional dan sebagainya.
Justru waktu dia bekerja, dia pulang ke rumah lebih efektif. Nah yang ingin saya soroti adalah meskipun sudah pulang ke rumah, tetap tidak mau diganggu oleh anak. Dan memang anak pada masa-masa kecil, dia akan merepotkan, itu adalah kodrat yang harus kita terima, tapi inilah kodrat yang ingin ditolak oleh sebagian wanita yang saya perhatikan.
GS : Ya, pengamatan ini mungkin banyak terjadi di kota-kota besar Pak Paul, sedangkan di desa-desa atau di kampung-kampung hal ini masih belum menggejala seperti itu. Tetapi arahnya juga bisa ke sana, Pak Paul ya? (PG : Bisa.) Nah Pak Paul, sehubungan dengan kurang perhatiannya para ibu terhadap anaknya, apakah ada hal-hal yang ingin Pak Paul sarankan?
PG : Ada Pak Gunawan, yang pertama adalah rasa sayang kepada anak bergantung pada kedekatan antara ibu dengan anak, ini yang saya ingatkan kepada kaum ibu. Semakin jarang kita bersama dengan ank, semakin berkurang rasa sayang kita terhadapnya.
Jadi orang tua atau mama yang memang tidak memberikan waktu untuk anaknya, rasa sayangnya pun makin hari makin menipis. Dan makin tidak merasakan kebutuhan untuk dekat dengan anak, dan kebalikannya si anak juga sama dengan mamanya. Jadi sekali lagi rasa sayang bergantung pada kedekatan dengan si anak. Justru kita melihat orang tua yang menghabiskan waktu dengan anak, memberikan waktunya pada anak, rasa sayangnya pun berlimpah, tapi orang tua yang memang tidak menyentuh anak, rasa sayangnya pun juga sangat menipis.
WL : Pak Paul, kalau ada slogan yang mengatakan "semakin jarang ketemu, rindunya pun akan semakin membesar, makin menggunung", berarti itu kurang tepat ya Pak Paul?
PG : Kurang tepat, bukankah suami-istri yang jarang ketemu akhirnya bercerai, itu faktanya, sama juga dengan orang tua dan anak yang sama sekali jarang ketemu, bercerai secara emosional. Si ana tidak merasakan ini orang tuanya, si orang tua tidak begitu merasakan ini anaknya.
GS : Kalau begitu apa saran Pak Paul, dengan keterbatasan waktu para ibu sekarang yang kebanyakan bekerja di luar?
PG : Waktu pulang ke rumah baik suami maupun istri, dua-dua harus meluangkan waktu dengan anak. Ajak anak mengobrol, ajak anak bermain, bacalah untuk anak, nah inilah yang perlu dilakukan. Sayatidak berkata semua perempuan harus diam di rumah, oh tidak.
Saya mengerti ada sebagian perempuan yang jauh lebih cocok bekerja di luar daripada penuh waktu di rumah. Nah, ini memang hal yang harus kita terima dan tidak apa-apa, tapi begitu di rumah tolong berikan waktu, ambil alih tugas dari suster kita, kembalikan kepada kita sebagai orang tua, hari libur Sabtu dan Minggu kembalikan, alihkan fungsi itu kembali kepada kita, kita yang merawat mereka, kita yang memberikan makan kepada mereka. Jangan sampai anak kita tidak mau kita berikan makan hanya maunya suster yang memberi makan, jangan sampai anak kita tidak mau tidur dengan kita, maunya tidurnya dengan suster, jangan sampai anak kita tidak mau mendengarkan perkataan kita, hanya maunya mendengarkan perkataan suster, itu berarti kita sudah menjual anak kita dan itu bagi saya suatu tindakan yang sangat salah.
GS : Itu berarti membutuhkan pengorbanan, membutuhkan kedisiplinan dari seorang ibu Pak Paul?
PG : Tepat sekali, dan sudah tentu si ayah juga harus berperan, menolong, terlibat juga, dua-dua di sini harus terlibat.
GS : Karena ada ibu yang mengatakan kalau saya sudah lelah dari pulang kerja lalu menghadapi anak-anak yang rewel dan sebagainya, itu dia menjadi gampang marah Pak Paul?
PG : Kalau memang itu yang terjadi kemungkinan memang pekerjaan si ibu harus dikurangi, sehingga dia lebih tenang sedikit. Pulang lebih pagi satu jam saja, itu membawa perbedaan yang cukup besar.
WL : Atau bekerja paroh waktu, part time.
PG : Ya atau bekerja paroh waktu.
GS : Apakah ada hal lain yang harus dipertimbangkan, Pak?
PG : Wibawa orang tua di hadapan anak bergantung pada kedekatan orang tua dengan anak. Semakin tidak dekat, maka kita semakin tidak berwibawa di hadapan anak. Anak menganggap kita tidak mempunyi hak mengatur hidupnya, apalagi mendisiplinnya dan ini berarti tatkala anak besar, kita tidak mempunyai kendali atas hidupnya.
Nah, ini yang terjadi, banyak orang tua kewalahan setelah anaknya menginjak usia remaja, tidak bisa lagi mereka kontrol. Anak itu benar-benar mempunyai pendapat dan kepala sendiri, orang tua tidak lagi mempunyai wibawa. Kenapa? Sebab memang tidak ada kedekatan. Sebab sekali lagi kedekatan antara orang tua dengan anaklah yang sebetulnya menumbuhkan wibawa orang tua. Kalau kita tidak merasakan orang tua dekat dengan kita, kita akan merasakan: "Engkau tidak mempunyai hak mengatur saya, jangan beritahu saya engkau tidak punya hak itu." Nah, jangan sampai anak kita nantinya berpikiran seperti ini tentang kita.
GS : Nah, itu kadang-kadang orang tua menggunakan pengasuh anak itu juga untuk mendisiplin anak itu, jadi orang tuanya ini tidak secara langsung memberitahu kepada anaknya hal-hal yang boleh dan tidak boleh tetapi melalui baby sitter atau pengasuh yang lain.
PG : Masalahnya adalah anak-anak ini hanya mendengarkan suster mereka sampai usia tertentu, setelah itu dia tidak akan mendengarkan lagi. Kenapa, sebab si anak tahu bahwa dia majikan dan susteritu adalah orang yang bekerja untuknya.
Nah, ini juga yang saya takutkan, akan ada anak-anak yang benar-benar tidak mempunyai rem dalam hidupnya. Anak harus bertumbuh besar dengan mempunyai dua perlengkapan yaitu rem dan gas. Apa yang saya maksud dengan rema dan gas, gas adalah si anak mempunyai motivasi mencapai target. Nah, saya takut kalau anak-anak tidak diawasi dengan baik oleh orang tua, tidak ada motivasi mencapai target karena dia semaunya sendiri. Dan ini juga yang menakutkan saya yaitu anak-anak ini tidak mempunyai rem, artinya tidak bisa mengatakan 'tidak' kepada dirinya sendiri, semua kehendaknya harus dituruti. Dia minta apa, susternya harus memberikan; dia minta apa, pembantu rumah tangganya harus memberikan, jadi benar-benar dia bertumbuh besar tanpa rem dan ini akan menjadi masalah setelah dia menginjak usia remaja. Apa yang dia kehendaki harus dituruti oleh orang tuanya jug adan karena orang tuanya tidak pernah dekat dengan dia, orang tuanya sudah kehilangan wibawa. Si anak tidak merasakan takut atau pun hormat kepada orang tuanya, nah masalah akhirnya meledak setelah mereka menginjak usia remaja.
WL : Dan otoritas suster tidak setinggi orang tua ya Pak Paul, sehingga suster berpikir daripada anak ini rewel ya sudah beri saja yang dia mau.
PG : Dan suster berpikir, memang ini bukan anak saya dan ini bukan tanggung jawab saya. Makanya kadang-kadang kita melihat anak yang sangat tidak hormat atau kurang ajar kepada suster, karena mmang orang tuanya juga tidak ada di rumah untuk mendisiplinkan si anak itu.
GS : Pak Paul, ada keluarga yang sejak anaknya masih kecil sudah disekolahkan di luar kota bahkan di luar negeri, itu bagaimana menurut pandangan Pak Paul?
PG : Saya tidak setuju, sebaiknya anak-anak itu baru boleh dikirim ke luar setelah usia remaja. Jadi paling awal sekitar usia 15, 16 tahun, sebisanya setelah lulus SMA. Dalam kasus tertentu ana-anak ini memang sudah bisa mandiri, sudah sangat dewasa dan hubungan dengan orang tuanya sangat baik, takut akan Tuhan, nah mau disekolahkan lebih awal saya tidak berkeberatan, tapi secara umum sebaiknya memang setelah lulus SMA.
GS : Pak Paul, ada anak yang sejak kecil ditinggal oleh orang tuanya entah karena perceraian atau kematian, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Saya kira akan ada dampaknya, karena kehilangan orang tua berarti kehilangan sumbangsih masukan-masukan yang seharusnya diterima oleh si anak. Nah, saya ingin menekankan juga satu hal di sni yaitu meskipun kehilangan ayah akan berdampak pada pertumbuhan anak, namun kehilangan ibu berdampak lebih besar terhadap anak.
Kenapa, sebab pada tahap awal pertumbuhan, ibu berperan besar sebagai pengasuh, nah ini peran yang dominan sekali dalam kehidupan si anak. Biasanya peranan ayah menjadi lebih besar pada tahap berikutnya anak-anak sudah SD apalagi nanti sudah remaja. Dengan kata lain peran ibu membangun pondasi struktur jiwani anak, itu sebabnya tanpa ibu sebetulnya anak itu bertumbuh rapuh, tubuhnya besar tapi jiwanya rapuh. Sebab apa, pada awal-awal kehidupannya di mana dia seharusnya menerima kasih sayang seorang ibu tapi dia tidak menerimanya, dia benar-benar seperti anak yang kehilangan gizi untuk pertumbuhan mendasarnya itu.
WL : Pak Paul, saya pernah membaca suatu penelitian yang diadakan di Amerika terhadap bayi-bayi yang ada di panti asuhan, mereka memang tidak mempunyai orang tua. Bayi-bayi ini dibagi dalam dua kelompok, kelompok yang pertama sama sekali tidak pernah disentuh oleh perawat (perawat di sini istilahnya berstatus menggantikan ibu) jadi kalau memberikan susu, botolnya cuma ditaruh begitu saja ke mulutnya tanpa sentuhan tangan, tidak digendong dan sebagainya. Kemudian kelompok satu lagi, benar-benar ada relasi antara perawat dengan bayi. Waktu diberikan minum susu, bayi itu digendong, diajak berbicara, dirawat, dan ternyata hasil yang mencengangkan adalah untuk kelompok yang pertama bayi-bayi itu beberapa bulan kemudian meninggal, itu mengagetkan saya. Terus kalaupun ada sisa yang masih hidup, anak-anak itu pun bermasalah sekali. Kemudian disimpulkan, betapa besar peran seorang ibu walaupun itu istilahnya ibu pengganti dalam masa-masa awal pertumbuhan seorang anak.
PG : Betul sekali, itulah yang saya juga saksikan Ibu Wulan, dulu saya bekerja menangani anak-anak yang dianiaya, yang dibius. Saya sering kali berpikir, kenapa anak-anak yang dibius ini yang ahirnya masuk ke dalam sistem rumah asuh kok akhirnya setelah remaja keluar dari rumah asuh ini bermasalah.
Rata-rata yang sudah remaja itu nantinya terlibat narkoba, berkelahi, hamil di luar nikah, masih usia belasan tapi bermasalah sekali. Kenapa sampai seperti itu, bukankah mereka dikeluarkan dari rumah, diselamatkan dari orang tua yang menganiaya mereka, dan ditaruh di rumah asuh, seharusnya bisa menjadi lebih baik. Nah, ini akhirnya yang saya simpulkan, rumah asuh itu hanya boleh mengurus anak untuk jangka waktu tertentu. Jadi ada penggolongannya, misalkan umur berapa dengan umur berapa, 0 - 3 tahun ditaruh dalam satu rumah, umur 3 sampai umur berapa harus di rumah yang berikutnya. Jadi dipecah-pecah, sehingga si anak-anak itu kalau sampai umur 17, 18 tahun di rumah asuh, mereka itu mungkin sudah harus melewati sekitar 5, 6 rumah. Berarti apa, berarti tidak pernah ada kesempatan terjadinya kelekatan dengan orang tua. Nah, anak-anak yang tidak ada kelekatan, tidak menerima masukan-masukan dari orang tuanya, begitu keluar dari sistem rumah asuh ini mereka bermasalah. Jadi jangan sampai kita ini menciptakan satu generasi anak-anak yang bermasalah nantinya gara-gara kita sekarang menjadi orang yang terlalu mementingkan diri, tidak mau direpotkan oleh anak.
GS : Banyak orang tua juga yang mengatakan tidak mau terlalu memanjakan anaknya atau terlalu dekat dengan anaknya, supaya anaknya itu bisa mandiri Pak Paul?
PG : Nah, masalahnya anak akan mandiri pada usianya, anak mempunyai jadwalnya untuk mandiri dan tidak perlu dipaksakan dia akan mandiri. Nah kita sekarang, apakah masih senang disuapi, dibayar un kita tidak mau disuapi, karena memang jadwal itu sudah sampai.
Kita tidur dengan orang tua sekarang ini ya tidak nyaman, sampai usia tertentu kita merindukan tidur dengan orang tua kita, jadi anak-anak mempunyai jadwalnya sendiri untuk mandiri. Tidak perlu disuruh pun, kalau kita membesarkan anak-anak dengan baik, seharusnya dia akan bertumbuh mandiri. Jadi penting sekali ya kita memberikan yang cukup dan yang benar kepada anak.
GS : Berarti itu suatu kekhawatiran yang berlebihan?
GS : Apakah ada hal lain lagi Pak Paul, yang harus dipertimbangkan?
PG : Yang berikutnya adalah anak menyerap terbesar pada masa kanak-kanak, dan apa yang terhilang pada masa ini, tidak tergantikan pada masa berikutnya. Jika kita tidak dekat dengan anak sekaran, kedekatan ini tidak bisa diciptakan lagi di kemudian hari, karena sudah habis waktunya.
Ada waktunya anak merindukan kehadiran kita di sampingnya, kalau waktu itu kita lewati, kita tidak hadir di sampingnya ya sudah nanti waktu dia sudah remaja kita baru mau dekat dengannya, dia tidak mau lagi membuka pintu itu. Dan kalau pun nantinya kita akan dekat, kedekatan itu tidak sama. Sebab apa, kelekatan emosional itu tidak bisa diciptakan pada usia besar. Saya berikan contoh yang lebih gampang, kita dengan teman kita, bukankah teman-teman yang akrab atau dekat dengan kita pada umumnya teman-teman yang kita sudah kenal, sudah bergaul sejak masa kecil. Berbeda dengan teman-teman yang baru kita kenal pada usia dewasa, kedekatan itu tidak sama dengan teman-teman yang sejak kecil kita merasa benar-benar menyatu, nah itu adalah teman bukannya orang tua, nah bayangkan kalau itu orang tua yang terus bersama kita, membesarkan kita, kedekatan itu tidak bisa tergantikan.
WL : Apalagi pada moment-moment penting Pak Paul, misalnya waktu anak itu sedih, waktu dia malu di sekolah, waktu pulang ada orang tua yang siap memeluk, menerima, menguatkan dibandingkan dengan yang tidak ada siapa-siapa kemudian dia harus menangis kepada siapa.
PG : Betul sekali, dan akhirnya mereka belajar menelan perasaannya, sebab pulang ke rumah, rumah kosong, mau berbicara malam-malam orang tua sudah sibuk, capek, dan tidak ada waktu buat mereka uga maunya menyendiri saja.
Akhirnya mereka dikurung sendiri di kamar dan lama-lama menelan penderitaan sendiri, nah nanti sudah besar anak-anak itu mengalami problem, orang tua baru mengeluh: "Kamu kok tidak mau cerita kepada kami?" Nah waktunya sudah lewat.
GS : Ya memang waktu ini perlu disediakan Pak Paul, saya membaca suatu cerita, ada anak itu yang berkata kepada ayahnya mau membeli waktu ayahnya, dia bertanya kepada ayahnya, ayah dibayar berapa dalam satu bulan? Kemudian dia katakan saya mau bayar.
PG : Betul, jadi yang seharusnya diberikan dengan cuma-cuma menjadi begitu mahal sekarang ini.
GS : Dan saya melihat waktu kebersamaan dengan anak itu tidak lama Pak Paul ya, mungkin hanya 10 sampai 15 tahun saja.
PG : Tepat sekali, bahkan 15 tahun pun sudah jarang sekarang ini. Kebanyakan anak-anak menginjak usia 12 tahun sudah mulai mandiri, tidak lagi mau diperlakukan seperti anak-anak, kita mau dekatdekat; dia tidak terlalu mau dekat, kita mau peluk dia; dia menjauh dari kita.
Dan itulah memang jadwalnya dia menjauh dari kita, nah jadwalnya dia dekat dengan kita itu yang harus selalu kita gunakan.
GS : Sehubungan dengan ini Pak Paul, apakah ada bagian firman Tuhan yang menguatkan pembicaraan ini?
PG : Saya akan bacakan dari Yohanes 19:25-26, "Dan dekat salib Yesus berdiri ibuNya. Ketika Yesus melihat ibuNya dan murid yang dikasihiNya di sampingNya, berkatalah Ia kepadaibuNya: "Ibu, inilah, anakMu!" Kemudian kataNya kepada murid-muridNya: "Inilah ibumu!" Dengan kata lain pada saat Tuhan Yesus disalib, siapakah yang tetap menyertai dan mendampingi Yesus, mamaNya, itu suatu hal yang luar biasa.
Dan Tuhan langsung meminta kepada Yohanes untuk mengurus mamaNya setelah Ia pergi. Sebab apa, Dia tahu bahwa mamaNya akan kehilangan Dia dan perlu ada seorang anak yang bisa menggantikan, maka Dia meminta Yohanes untuk mendampingi ibuNya. Apa yang bisa kita lihat di sini, relasi anak dan ibu yang dekat. Jadi Maria telah menjadi mama yang baik buat Yesus, Maria telah menjadi mama yang hadir dalam kehidupan Tuhan Yesus, dia mengikut Tuhan Yesus sampai ke kayu salib. Dalam penderitaan di mana orang meninggalkan, di mana orang sudah tidak lagi berani mengikut Tuhan Yesus, mama Maria tetap menyertai Tuhan Yesus. Nah, saya berharap kedekatan seperti inilah yang tercipta antara ibu dan anaknya.
GS : Padahal di kalangan orang Yahudi, tadi Pak Paul sudah singgung bahwa yang mendidik anak itu Bapak, tapi kedekatan ini terbentuk dari apa Pak Paul?
PG : Karena memang orang tua terlibat dalam kehidupan si anak, ayah memberikan disiplin, mengarahkan si anak; ibu menyediakan kasih sayang, memberikan waktu, memberikan makanan dan gizi-gizi emsional kepada si anak.
GS : Jadi memang saat-saat ini sangat diperlukan khususnya oleh anak-anak, seorang ibu yang perhatian atau yang memberikan kasih sayangnya kepada mereka sebagai anak. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini juga Ibu Wulan. Dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Anda sekalian yang telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dicari Wanita yang Sayang Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.