Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tatkala Anak Akil Baliq'', kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, saya melihat sering kali terjadi pada keluarga-keluarga saat ini, saya sendiri juga mengalami di mana ketika anak-anak itu akil baliq atau remaja itu sudah harus meninggalkan rumah Pak Paul, artinya untuk jangka waktu yang lama berpisah dengan kita. Nah kami merasa ada masalah-masalah yang muncul dan saya rasa itu juga akan dialami oleh banyak keluarga. Apakah memang begitu, Pak Paul?
PG : Memang benar Pak Gunawan, jadi yang tadi Pak Gunawan kemukakan sekarang ini terjadi perubahan trend, di masa lampau, anak-anak itu tidak keluar kota untuk bersekolah, kebanyakan mereka tidk bersekolah lagi setelah SMA misalnya, membantu orang tua berdagang dan sebagainya.
Tapi sekarang anak-anak biasanya kuliah dan cukup banyak di antara anak-anak itu yang berkuliah di tempat yang jauh dari rumah. Dengan kata lain orang tua akan harus mengalami perpisahan dengan anak-anak mereka dan kalau tidak dipersiapkan dengan baik memang perpisahan ini bisa menimbulkan gejolak dalam kehidupan keluarga, bisa menimbulkan gejolak pada orang tua yang ditinggalkan atau bisa juga menimbulkan masalah pada si anak yang pergi jauh dari rumah.
GS : Bahkan kalau saya sendiri memang mengalami ketika anak kami sudah lulus SMA Pak Paul, tetapi saya juga melihat banyak teman-teman saya itu yang anaknya SMA saja sudah pisah dari orang tuanya, apakah itu dampaknya bisa lebih besar atau sama atau bagaimana Pak?
PG : Sudah tentu kita harus melihat masalah ini kasus per-kasus, jadi saya tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa kalau anak dipisahkan pada usia remaja misalnya SMA dari orang tuanya pasti brdampak negatif pada si anak, memang belum tentu.
Secara umum saja sebagai prinsip saya menyarankan kalau memungkinkan anak tidak dipisahkan dari orang tua setidak-tidaknya sampai lulus SMA, dengan kata lain sampai dia menginjak usia 18, 19 tahun. Namun saya juga menyadari terjadi adanya perkecualian, ada keadaan-keadaan yang memaksa kita untuk berpisah dengan anak pada usia yang lebih dini. Nah sudah tentu pertimbangan itu harus dilAndasi atas faktor kesiapan si anak itu juga. Kalau memang dia belum mampu dan dipisahkan pada usia yang dini, bisa berdampak buruk pada si anak itu. Nah dengan kata lain memang sebaiknya orang tua tetap bisa memantau perkembangan anak, sampai anak-anak itu menginjak akil baliq.
GS : Kalau ada akibat yang buruk atau dampak yang buruk Pak Paul, dampak apakah itu Pak Paul?
PG : Pertama-tama kita melihat dampaknya itu ternyata bergantung pada kwalitas relasi orang tua-anak itu sendiri. Bila relasi orang tua-anak relatif positif, biasanya perpisahan hanya akan mencptakan rasa sedih dan rasa kehilangan.
Jadi kalau keluarga kita sehat, hubungan kita dengan anak baik, pada waktu anak meninggalkan rumah yang biasanya akan kita alami hanyalah rasa kehilangan atau rasa sedih. Dengan kata lain perasaan kita cukup homogen, terkonsentrasi satu warna. Sebaliknya kalau hubungan kita dengan anak tidak baik, ada masalah-masalah, kekurangserasian, sering bertengkar antara kita dengan anak dan sebagainya, kepergian anak akan menimbulkan perasaan-perasaan yang bercampur dan justru sering kali saling bertentangan. Saya jelaskan, maksud saya adalah begini, adakalanya sewaktu anak itu pergi kita akan merasa lega di satu pihak dia itu pergi berarti kita tidak usah harus bertengkar dengan dia lagi, tapi di samping rasa lega misalkan juga ada rasa takut kalau-kalau nanti dia di sana membuat masalah yang baru, kalau-kalau dia itu nanti karena kita tidak bersamanya akan mengambil keputusan yang salah, membuat masalah lagi. Jadi kepergiannya di satu pihak membuat kita lega, kita tidak usah lagi bertengkar dengannya namun di pihak lain menimbulkan kecemasan, sehingga setiap hari kita bukan saja merasa lega tapi merasa cemas, misalkan seperti itu. Atau rasa sayang kita berpisah dengan dia karena dia anak kita, kita sayang meskipun sering bertengkar dengan dia, tapi kepergiannya juga memancing rasa marah dari hati kita. Sebab misalnya kita tidak setuju dia pergi, karena kita anggap dia belum cukup dewasa tapi dia sudah memaksakan diri mau pergi, kalau tidak pergi berarti masalah baru buat kita di rumah. Nah jadi di satu pihak kita sedih karena dia anak kita dan kita menyayanginya, tapi di pihak lain kita juga marah karena kok dia pergi, nah itulah beberapa contoh Pak Gunawan di mana perpisahan dalam keluarga yang kurang serasi akan menimbulkan perasaan-perasaan bercampur dan juga saling berlawanan.
GS : Ya memang biasanya perasaan kehilangan itu lebih besar daripada perasaan leganya Pak Paul, itu yang saya alami.
PG : Pasti ya, tapi biasanya kehilangan itu karena memang hubungan kita relatif dekat, namun kalau hubungan kita itu tidak terlalu dekat tapi sering bertengkar, selain rasa kehilangan juga akanada rasa lega bahwa dia pergi dan kita tidak lagi harus bertengkar.
Misalkan, dia sering bertengkar dengan istri kita sehingga akhirnya kita juga susah di tengah-tengah memisahkan istri dan anak, nah sekarang dia pergi berarti kita tidak harus lagi menjadi penengah antara istri dengan dia. Jadi di satu pihak kita akan merasa senang, lega, damai, tapi di pihak lain juga merasa kehilangan, di pihak lain juga kita kesal kenapa si anak sampai harus pergi gara-gara hubungan dengan istri kita kurang baik, misalkan seperti itu. Nah jadi itulah contohnya di mana kepergian si anak justru menimbulkan perasaan-perasaan yang begitu bercampur dan saling bertentangan.
GS : Nah kalau kita melihat dari sisi kita sebagai orang tua, nah perasaan anaknya itu sendiri bagaimana, Pak Paul?
PG : Saya kira juga akan mirip, kalau anak itu dibesarkan di keluarga yang sehat, dia justru akan menanti-nantikan masanya dia pergi. Ini berbeda dengan anak yang dibesarkan di keluarga yang kuang serasi misalkan orang tuanya terlalu membatasinya, atau anak ini memang cenderung mau bebas, mau berontak sehingga orang tua harus membatasinya.
Nah kalau anak ini menikmati hubungan yang serasi dengan orang tuanya dia akan menanti-nantikan waktunya dia pergi. Tapi dia menantikannya secara tepat, maksudnya misalkan orang tua sudah memberitahukan bahwa nanti waktu kamu kuliah, kamu akan pergi, kuliah di mana misalnya. Nah si anak sudah mulai memikirkan kepergiannya, namun dia nantikan itu dengan suatu sikap yang positif. Kira-kira alasannya seperti ini, kalau si anak dibesarkan di keluarga yang sehat, hubungan dengan orang tuanya hangat, dia akan membangun rasa percaya pada dunia ini, pada hidup ini, jadi dia akan siap untuk melangkah keluar rumah bertemu dengan orang-orang yang belum dikenalnya, sebab bagi dia dunia ini positif, dunia ini masih ada kebaikannya sebab dia mengalami kebaikan itu di dalam rumah tangganya sendiri. Kebalikannya pada anak-anak yang dibesarkan di keluarga yang bermasalah misalkan, dia tidak merasakan kasih sayang dari orang tuanya atau bahkan dia mengalami banyak penolakan dari orang tuanya, akibatnya dia justru sudah mempunyai persepsi bahwa dunia ini atau hidup ini tidaklah simpatik, tidaklah ramah, dunia ini akan menyakitinya. Jadi dia akan pergi keluar rumah, di satu pihak dia ingin keluar supaya dia bebas, di pihak lain dia keluar dengan juga pertanyaan yang besar, dengan keragu-raguan, dengan ketidakpercayaan, dengan kecurigaan, dengan sikap bermusuhan kepada dunia luar. Atau dalam contoh yang lainnya dia tidak bisa lagi menunggu untuk buru-buru keluar rumah karena tidak tahan lagi dalam rumah, jadi selalu berpikir untuk keluar rumah, namun beda dengan keluarga yang sehat tadi. Yang dari keluarga yang sehat, dia menantikan keluar rumah dengan sikap positif, bahwa hidup ini ada kebaikannya dan dia ingin menjadi bagian dari hidup, memberikan sumbangsih kepada hidup. Tapi pada anak-anak yang dibesarkan di rumah yang bermasalah sudah terbangun rasa tidak suka dengan hidup atau dunia ini, jadi dia akan melangkah keluar rumah juga dengan konsep bahwa hidup ini tidak baik, nah dia harus berhati-hati karena kalau tidak dia akan dirugikan oleh orang-orang di luarnya.
GS : Pak Paul, kalau keduanya itu siap untuk berpisah dalam arti kata sementara karena studi dan sebagainya itu saya rasa lebih gampang mengatasinya. Tetapi bukankah tidak semua keluarga yang baik itu dari pihak orang tua maupun si anak ini yang siap untuk berpisah seperti itu. Tetapi kalau itu toh harus dilakukan apakah menimbulkan dampak yang buruk?
PG : Saya kira kalau orang tua atau anak tidak siap bisa menimbulkan dampak yang buruk, itu sebabnya nasihat saya adalah sedini mungkin dipersiapkan. Saya berikan contoh dengan diri saya sendir Pak Gunawan, dalam waktu setahun setengah kalau Tuhan menghendaki anak saya yang paling besar akan lulus SMU berarti dia akan meninggalkan rumah juga untuk studi.
Sejak kira-kira setahun yang lalu saya sudah sering memikirkan kepergiannya, dan istri saya sering membicarakan mengenai moment di mana kami harus melepaskannya. Dan saya harus akui belum pergi, pikiran bahwa dia akan pergi saja cukup untuk membuat saya menangis, jadi kadang-kadang saya akan meneteskan air mata memikirkan waktu di mana saya harus melepaskan dia. Nah kami juga mulai menyiapkan diri dengan cara membiarkan diri kami berduka dari sekarang atau bahkan dari setahun yang lalu saya sudah mulai memikirkan ini dan kadang-kadang saya juga akhirnya bersedih hati. Sudah tentu saya sadar bahwa pada saatnya saya akan tetap sedih kehilangan dia, namun karena saya sudah mulai mempersiapkan diri setidak-tidaknya peristiwa itu tidak lagi menjadi sesuatu yang mengejutkan saya dan akan menggoncangkan hidup saya karena saya sudah persiapkan mulai dari sekarang. Saya pun juga dengan istri mulai mempersiapkan anak kami, jadi secara berkala tidak setiap hari, tidak setiap minggu, tidak dua minggu sekali tapi secara berkala kami memunculkan topik perpisahan ini. Kadang-kadang kami munculkan dengan nada bercAnda, kadang-kadang kami munculkan dengan nada sedih, kadang-kadang saya berkata kepada dia: "Nanti kalau saya kehilangan kamu, boleh tidak saya ke kamar kamu dan berdiam mengingat-ingat kamu di kamar kamu?" Nah hal-hal seperti itu saya kadang-kadang ungkapkan. Nah jadi saya masih ingat sekali anak saya pun mulai berani mengutarakan pikiran dan perasaannya tentang perpisahan ini. Saya ingat suatu hari dia pernah berkata begini : "Saya menanti-nantikan waktu saya akan pergi sekolah karena saya senang bisa pergi sekolah dsb, tapi dia berkata : tapi saya sangat senang bisa berada di rumah ini, saya menikmati sekali ada di sini jadi saya juga percaya karena nanti saya tinggalkan rumah saya juga akan kehilangan rumah." Nah dengan kata lain dia pun juga mulai membicarakan hal ini. Dan kami juga memunculkan topik ini dengan adik-adiknya, kami katakan misalnya: "Nanti setelah kakakmu pergi, kamu pasti akan kehilangan dia ya?" Dia akan berkata: "Ya." Atau saya bicara dengan adiknya lagi adiknya berkata: "Ya mungkin saya akan kehilangan, tapi kakak akan lebih kehilangan kami," dan sebagainya. Jadi kami mulai memunculkan secara natural, tidak sering-sering tapi ada waktu-waktu di mana kami memunculkan. Harapan kami adalah masing-masing mulailah menatap, mulailah memikirkan masa di mana kami harus berkata selamat tinggal.
GS : Ya sering kali justru disibukkan atau banyak disita waktu kita untuk mempersiapkan hal-hal yang sifatnya seperti materi atau sekolah mana yang dituju, tetapi unsur-unsur yang jauh lebih penting seperti itu sering kali tidak mendapat porsi yang cukup Pak Paul.
PG : Betul, sering kali kita ini tidak terlalu memikirkan keterampilan untuk hidup mandiri dan kita tidak memikirkan membekali anak dengan keterampilan untuk hidup mandiri. Jadi kalau kita tahuya bahwa anak kita nanti akan kita sekolahkan di tempat yang agak jauh, terpisah dari rumah mulailah dari misalnya dua, tiga tahun sebelumnya secara sadar dan terencana kita mulailah memberikan bekal-bekal itu.
Nanti kalau ini terjadi begini atau kita mulai ajarkan dia cara masak, menyiapkan masakan untuk makan pagi, makan siang dan kita mulai ajarkan tipe-tipe orang misalkan seperti itu, tipe teman, kita bicarakan hal-hal seperti ini. Dengan kata lain kita terus mulai secara terencana mulai membekali anak sehingga pada waktunya dia lebih siap. Sebab kalau anak belum siap untuk pergi dan hidup mandiri, dia juga nanti akan menyusahkan orang lain di sana atau dia tidak mau pergi justru karena dia sangat bergantung kepada kita. Jadi kita janganlah sampai terlalu menggiring anak bergantung kepada kita.
GS : Nah itu memang tadi Pak Paul katakan anak kadang-kadang tidak mau pergi Pak Paul, karena tidak terlalu percaya diri atau bagaimana, kok dia merasa tidak saya di rumah saja.
PG : Kadang-kadang kalau rumah terlalu nyaman anak memang bisa kurang motivasi untuk pergi. Itu sebabnya sebaiknya kalau kita memang merencanakan anak pergi kuliah agak jauh, dari jauh-jauh har saya sarankan misalkan tiga, empat tahun sebelumnya kita sudah membicarakan hal ini, seolah-olah ini adalah suatu ketetapan yang harus dia ikuti sehingga dia tidak memikirkan alternatif yang lain.
Jadi kita sudah arahkan bahwa inilah yang akan terjadi, ini jalurnya engkau akan pergi sekolah. Ini lebih baik daripada 6 bulan di muka baru kita katakan, bisa jadi si anak memang kurang siap. Kita juga karena dari jauh hari sudah mempersiapkan, kita pun mulai memikirkan situasi kehidupan kita, jadwal hidup kita, aktifitas sehari-hari, nah kita mulai pikirkan nanti apa yang akan kita lakukan, apalagi kalau semua anak kita sudah pergi, saran kita kosong nah apa yang akan kita lakukan. Kita sudah harus mulai memikirkan hal-hal itu, jangan sampai barulah kita pikirkan setelah anak pergi. Kita bingung, ini waktu kita mau kemanakan atau apakan nah itu akhirnya bisa menimbulkan gejolak yang baru di antara hubungan suami-istri.
GS : Tetapi justru kadang-kadang Pak Paul, hubungan kita sebagai suami-istri itu yang kurang baik, dan kita mengharapkan anak yang ada di tengah-tengah kita itu bisa menjadi semacam penengah, kita bisa berbicara dengan dia karena mau berbicara langsung dengan pasangan kita ini bermasalah.
PG : Adakalanya hubungan suami-istri buruk dan hubungan suami-istri itu hanya bisa berjalan kalau ditopang oleh anak, anak berfungsi sebagai penengah, sebagai pendamai, sebagai penghibur, sebagi tempat curahan hati.
Nah adakalanya dalam keluarga seperti ini kepergian anak akan menimbulkan gejolak yang besar dalam keluarga bermasalah ini. Karena apa? Ya karena yang mendamaikan tidak ada lagi, yang menjadi tempat curahan hati tidak ada lagi, yang melindungi, misalkan si ibu sering dicaci maki atau mungkin dipukul oleh suaminya, nah kehadiran anaklah yang melindungi si ibu dari tindakan penganiayaan dari suami. Bagaimanakah si anak pergi sekarang? Nah sering kali ini menimbulkan masalah baik pada relasi orang tua atau pun pada diri si anak. Si anak pergi dengan ketakutan, dengan ketegangan dia cemas memikirkan orang tuanya di rumah, apa jadinya mereka tanpa saya di rumah. Apalagi kalau dia sudah berfungsi sebagai kakak yang mengurus adik-adiknya juga, jadi bukan saja dia memikirkan orang tua dia juga memikirkan adik-adiknya. Nah kalau pada anak-anak bisa menimbulkan dampak seperti ini, dampak pada orang tua juga bisa cukup parah, mereka bisa lebih sering bertengkar, sekarang tidak ada lagi yang mengontrol. Misalkan si suami sekarang bisa berkata tidak ada lagi anakmu yang bisa membelamu dan sebagainya. Atau dalam keluarga yang lain kehadiran anak berhasil menutupi problem, kadang kala ini yang terjadi Pak Gunawan. Rumah tangga ini sebetulnya menyimpan potensi konflik yang besar, namun tertunda oleh kehadiran anak dan anak hadir di tengah-tengah hubungan orang tua untuk waktu yang lama, berbelasan tahun. Setelah anak pergi problem yang lama itu muncul nah itu sebabnya kita melihat salah satu usia di mana orang sering bercerai adalah usia paro baya. Memang usia yang pertama adalah usia awal pernikahan, di mana kedua orang harus menyesuaikan diri dengan susah payah. Tapi kelompok usia kedua di mana orang sering bercerai adalah usia paro baya, usia di antara 45 hingga 55-an. Mengapa sampai terjadi? Sebab salah satunya problem itu sebetulnya tersimpan namun tertunda karena adanya anak. Sekarang anak-anak tidak ada lagi problem akhirnya meledak keluar.
GS : Pak Paul, kalau ada orang tua yang menyekolahkan anaknya hanya sekadar karena melihat teman-temannya itu menyekolahkan anaknya baik keluar pulau bahkan keluar negeri, sebenarnya mereka itu siap atau tidak Pak Paul?
PG : Saya takut kalau orang tua hanya ikut-ikutan, orang tua gagal melihat kondisi anak secara realistik, jadi jangan sampai orang tua tidak melihat kondisi anaknya. Saya kebetulan dulu sekolahdi luar negeri, saya berjumpa dengan cukup banyak anak-anak muda yang sebetulnya tidak siap pergi, yang memang begitu bersemangat menyekolahkan adalah orang tuanya.
Akhirnya disekolahkan bertahun-tahun, sekolah di luar negeri, menghabiskan uang yang begitu besar tapi pulang tidak membawa satu gelar pun, itu cukup banyak saya saksikan di sana.
GS : Bukankah itu bisa menimbulkan masalah baru buat keluarga itu Pak?
PG : Saya setuju, mungkin ya mereka atau orang tua ini berpikir anak-anak saya bermasalah di sini, biarlah saya kirim keluar mudah-mudahan terjadilah mujizat di sana anak saya berubah. Apakah aa yang berubah? Ya ada, saya harus akui juga ada.
Ada anak-anak di sana bertobat menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya dan mengalami hidup yang baru. Tapi saya juga melihat ada sebagian lagi yang tidak bertobat malah hidup tidak benar dan menghabiskan banyak uang orang tuanya.
GS : Pak Paul, apakah dalam perpisahan ini, jarak itu mempunyai pengaruh Pak Paul. Maksud saya begini 'kan ada yang berpisah tapi jaraknya tidak terlalu jauh hanya dalam radius 100, 200 Km, tapi ada juga yang sampai keluar pulau bahkan keluar negeri.
PG : Saya kira jarak berpengaruh, karena secara spsikologis anak tetap merasa terpantau kalau jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi begitu misalkan menginjak luar pulau, anak akan merasakan sekali ekarang pantauan itu sudah sangat tipis, apalagi menginjak keluar negeri wah....pantauan
itu benar-benar lepas dari orang tua. Jadi adakalanya anak-anak yang tidak siap justru setelah meninggalkan rumah mengalami goncangan, perubahan-perubahan, yang tadinya rajin ke gereja sekarang tidak ke gereja sama sekali. Jadi di sinilah orang tua mempersiapkan anak untuk berpisah dan hidup mandiri jauh-jauh hari, menilai, mengamati perkembangan emosinya dan kehidupan kerohaniannya benar-benar membekali mereka sehingga waktu menginjak keluar rumah mereka telah siap.
GS : Makanya ada yang menggunakan cara waktu SMA, mereka berpisah tapi tidak jauh-jauh Pak Paul, baru nanti setelah Perguruan Tinggi agak lebih jauh lagi.
PG : Cara begitu masuk akal tapi sebetulnya tidak perlu, karena sekali lagi kalau anak itu menerima bekal yang cukup dari kita, disayangi, tapi juga menerima disiplin yang baik dari kita pada satnya dia harus pergi, dia akan siap pergi.
GS : Dan ada orang yang mengatakan kalau sekali anak itu pergi meninggalkan rumah kita, dia tidak akan balik kembali dalam arti kata dia tidak akan tinggal bersama dengan kita seterusnya Pak Paul.
PG : Kadang-kadang itu yang akan terjadi tapi tidak selalu sebab adakalanya anak kembali untuk tinggal dengan kita karena kita yang membutuhkan mereka untuk merawat kita, adakalanya itu yang tejadi.
GS : Nah Pak Paul dukungan firman Tuhan untuk perbincangan kita ini apa Pak?
PG : Saya akan ambil dari Amsal 27:23-27, "Kenallah baik-baik keadaan kambing dombamu, perhatikanlah kawanan hewanmu, karena harta benda tidaklah abadi. Apakah mahkota tetap trun-temurun? Kalau rumput menghilang dan tunas muda nampak, dan rumput gunung dikumpulkan, maka engkau mempunyai domba-domba muda untuk pakaianmu dan kambing-kambing jantan untuk pembeli ladang, pula cukup susu kambing untuk makananmu dan makanan keluargamu, dan untuk penghidupan pelayan-pelayanmu perempuan."
Saya senang sekali bagian pertama ini kenallah baik-baik keadaan kambing dombamu, perhatikanlah kawanan hewanmu. Sebetulnya kata perhatikanlah itu perhatikanlah dengan penuh hati-hati, dengan cermat dengan kata lain kita bertugas sebagai orang tua mengenal anak kita, memperhatikan anak kita sedekat dan sebaik-baiknya, saatnya tiba mereka pergi kita melepaskan mereka dengan lega, mereka pun meninggalkan kita juga dengan lega, kita akan memetik hasilnya.
GS : Terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan kali ini. Nah para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tatkala Anak Akil Baliq". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.