Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahya, S.Psi. dan juga kali ini kami ditemani oleh Bapak Heman Elia seorang Magister dalam bidang Psikologi dan beliau berdua adalah pakar-pakar di bidang konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Dan kali ini kami akan berbincang-bincang dengan satu tema yaitu "Ambisi". Maka dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Heman, terima kasih bisa bersama-sama dengan kami kembali pada saat ini, dan kita coba membahas tentang masalah ambisi. Apakah semua orang memang mempunyai ambisi, Pak?
HE : Ya semua orang punya dan seharusnya memang punya.
(1) GS : Hanya kadarnya saja yang berbeda-beda. Apa sebenarnya yang disebut dengan ambisi itu?
HE : Ambisi itu adalah suatu dorongan di dalam diri kita yang membuat kita terpacu untuk mengerjakan sesuatu dengan hasil yang baik tentunya dan kita mempunyai tujuan biasanya di dalam ambis itu, apa yang ingin kita capai.
GS : Kalau memang seperti yang Pak Heman tadi katakan, kenapa banyak orang menafsirkan atau mengartikan bahwa ambisi itu sesuatu yang negatif?
HE : Terlanjur terbentuk suatu konotasi mungkin, untuk ambisi kalau orang misalnya menginginkan sesuatu dengan sangat misalnya kedudukan, uang lalu dikatakan bahwa dia berambisi. Nah karena tu sering kali ambisi dikaitkan dengan hal-hal yang seperti itu, terlalu berambisi.
Padahal sebetulnya saya kira ambisi yang sehat itu seharusnya kita miliki dan supaya kita bisa berprestasi dengan baik, menghasilkan karya terbaik.
ET : Mungkin tidak Pak Heman, ada orang di dunia ini yang sama sekali tidak punya ambisi apa-apa?
HE : Selama kita hidup dan tadi saya katakan yang normal, yang wajar, yang sehat itu harusnya ada ambisi. Mungkin pada orang-orang yang sungguh-sungguh cacat begitu ya, cacatnya sampai beratsekali nah itu bisa terjadi tidak punya ambisi karena dia tidak bisa berpikir dengan baik, dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik tapi selama seseorang hidup dan masih bertumbuh, masih punya keinginan dia masih punya ambisi.
ET : Dulu falsafah Jawa atau mungkin Timur juga banyak yang istilahnya 'nerimo' kira-kira ini hal yang berlawanan atau tidak dengan masalah ambisi?
HE : Saya lebih melihat falsafah 'nerimo' itu adalah dalam kaitan kita bisa menerima hal-hal buruk yang terjadi atas diri kita. Dalam arti begini, kalau misalnya kita mempunyai ambisi tetapikita tidak bisa mencapainya ya kita tidak di dalam falsafah 'nerimo' ini berarti meredam sehingga tidak terjadi akibat yang merugikan yang memukul diri kita karena ambisi yang tidak tercapai.
(2) GS : Lalu apakah ambisi dengan keinginan seseorang itu beda atau sama?
HE : Ada beberapa hal yang sama dalam arti begini, keinginan itu merupakan suatu dorongan dan dorongan itu ingin mencapai suatu tujuan tertentu. Kalau ada suatu tujuan dorongan atau energi, aka itu merupakan suatu ambisi, seperti itu.
GS : Jadi pada dasarnya sebenarnya ambisi itu sendiri bukan sesuatu yang negatif, cuma masalahnya kalau sudah ekstrim itu tadi yang Pak Heman katakan tadi. Akibatnya apa Pak, kalau seseorang itu sampai berlebihan di dalam ambisinya itu?
HE : Kalau ambisi terlalu besar dan itu tidak sebanding dengan kekuatan ataupun potensi yang seseorang miliki, maka yang akan terjadi biasanya orang tidak bisa melihat lagi realita dengan jeas dan tepat.
Akibatnya tentu bermacam-macam, ada berbagai gejala yang bisa dirasakan misalnya secara garis besar ada gejala fisik yang ditampilkan, ada gejala kejiwaan dan juga perilaku.
GS : Gejala kejiwaan itu seperti apa, Pak?
HE : Dalam gejala kejiwaan seperti tadi bahwa orang ini tidak bisa melihat realita dengan tepat karena itu di dalam gejala kejiwaan, orang ini sering kali hidup di dalam alam yang tidak nyat, yang dikaburkan atau didistorsikan, diselewengkan.
Dan kadang-kadang secara ekstrim orang-orang ini bisa menderita beberapa macam gangguan jiwa.
ET : Mungkin itu seperti ini Pak Heman, misalkan sering kita melihat mungkin film tentang rumah sakit jiwa. Orang-orang yang mungkin merasa dirinya sebagai seorang presiden atau sebagai seorang pemimpin, apakah itu juga memang dampak dari gejala kejiwaan dari ambisi yang terlalu besar itu juga, Pak Heman?
HE : Ada kemungkinan seperti itu.
ET : Lalu tentang tadi Pak Heman sempat singgung juga soal perilaku, kira-kira apa yang bisa nampak nyata dari akibat ini?
HE : Kalau dari perilaku kadang-kadang bisa terjadi seperti ini, ada yang suka omong besar karena dia tidak bisa mencapainya di dalam kenyataan lalu dia ngomong besar. Ada juga yang di dalampersaingan misalnya dia takut kalah bersaing, dia berusaha menghalangi kemajuan orang lain kalau perlu menyingkirkan orang lain.
Ada gejala-gejala mungkin cepat marah, mudah tersinggung, baik di pekerjaan maupun di rumah. Ada yang karena dia berusaha melarikan diri dari kenyataan kemudian misalnya menggunakan obat-obatan berlebihan, suka melamun atau sulit mengendalikan diri di dalam hal pengeluaran karena dia berambisi menjadi orang kaya, ingin seperti orang lain yang mampu lalu tidak bisa lagi mengontrol pengeluarannya. Bahkan misalnya banyak yang berhutang tidak bisa membayar dan sebagainya. Itu gejala-gejala perilaku di mana ambisi itu sangat besar dan tidak bisa dikontrol lagi, melampaui potensi yang kita miliki.
ET : Jadi semuanya itu sepertinya kembali lagi menggambarkan orang-orang ini tidak lagi hidup dalam dunia yang realistis ya, Pak Heman?(HE : Betul).
GS : Tapi itu sebenarnya harus ada semacam pemicunya, ambisi seseorang itu tidak tiba-tiba menjadi besar mungkin tadinya dia cuma biasa-biasa saja. Tapi apakah mungkin lingkungan sekelilingnya atau apa yang mendesak dia sampai kebablasan itu tadi?
HE : Saya kira ambisi ini karena merupakan salah satu energi yang mendorong kita berperilaku, adakalanya energi di dalam kita itu besar dan ini sebetulnya perlu penyaluran yang pas, itu kala dari dalam diri kita.
Faktor dari lingkungan juga cukup banyak, misalnya saja anak-anak yang tumbuh di dalam keluarga yang orang tuanya selalu memacu anak ini untuk mencapai sesuatu hal yang kadang-kadang terasa tidak mungkin. Tetapi karena misalnya kalau anak ini sekali waktu bisa mencapai harapan orang tuanya, orang tuanya menghadiahi berbagai macam. Lalu anak ini akan melakukan usaha-usaha misalnya. Saya kasih contoh anak yang kalau ulangan tidak bisa mencapai angka 8, 9 dan 10, tetapi karena keinginan orang tuanya dan dianggap anak ini baru berharga kalau dia mendapat ulangan yang setinggi ini, maka dia akan misalnya sampai mencontek tanpa ketahuan orang tuanya dan sebagainya. Nah dengan cara demikian anak ini dilatih, dibentuk menjadi orang yang berambisi antara lain juga misalnya dengan dia membual lalu teman-temannya menghargai dia. Dia menjadi terlatih untuk membual dan mempunyai ambisi yang berlebihan seperti itu, ditambah lagi kalau lingkungan kita sekarang ini adalah lingkungan persaingan yang sangat ketat. Dan sering kali persaingan-persaingan ini tidak didasarkan kepada hal yang baik, yang jujur. Kita lihat di mana-mana orang yang hidupnya dengan kerja keras dan sebagainya justru mereka sering kali tidak berhasil secara ekonomi dan sebagainya dan orang kurang dihargai, maka orang-orang yang berambisi untuk menjadi kaya mereka cenderung mencari jalan pintas. Lalu mereka menjadi berlebihan di dalam ambisinya ini, di dalam perilakunya.
GS : Rupanya untuk mencapai atau memuaskan ambisinya itu, dia akan menghalalkan semua cara ya?
HE : Ya kalau tidak terkontrol bisa seperti itu.
(3) ET : Masalahnya memang kadang-kadang saya tertarik yang tadi Pak Heman katakan, dari orang tua yang kadang-kadang berambisi yang begitu besar, kemudian mereka harapkan perwujudannya ada anaknya.
Jadi anak-anak dipacu sedemikian rupa untuk memenuhi ambisi orang tuanya, yang akhirnya buat si anak sepertinya yang dia kejar memang bukan buat dirinya sendiri tetapi buat orang tuanya. Akibatnya sering kali saya amati pada anak-anak yang zaman sekarang seperti mereka punya harapan, punya cita-cita yang sebenarnya jauh di atas kemampuan yang mereka miliki. Kira-kira apa dampak yang mungkin terjadi pada anak-anak yang seperti itu, Pak Heman?
HE : Selain dampak yang tadi saya sebutkan, bisa jadi anak ini kemudian memanipulasi dan kemudian melakukan banyak kebohongan. Kemungkinan lain adalah justru sebaliknya anak-anak ini menjadianak yang cenderung mudah patah semangat, karena dia merasa tidak bisa mencapai apa yang ditargetkan oleh lingkungannya kepadanya.
Jadi sebelum bertanding kalah duluan kira-kira seperti itu, mereka bahkan justru bisa menjadi orang yang apatis, yang tidak mau tahu. Kalau didorong oleh orang tua untuk belajar dan sebagainya mereka memberontak. Kalau tidak berani terang-terangan mungkin mereka kelihatannya belajar, tapi sebetulnya melamun dan sebagainya. Jadi bisa ada 2 macam ya, bisa anak ini kemudian karena dipaksa melampaui potensinya dia membual, berbuat seolah-olah dia mampu atau bertingkah laku seolah-olah dia bisa dan yang kedua sebaliknya dia menjadi apatis, menjadi tidak mau tahu.
(4) GS : Pak Heman, kalau tadi di awal Pak Heman katakan bahwa hampir semua orang itu punya ambisi, orang-orang yang tergolong normal dan sehat. Nah tentunya ambisi ini bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang positif, nah masalahnya bagaimana memanfaatkan ambisi itu untuk sesuatu yang positif?
HE : Ya ada beberapa hal yang harus kita kendalikan dari ambisi ini supaya bisa mempunyai dampak yang positif. Yang pertama kita perlu peka terhadap batas-batas kemampuan kita sendiri, meman ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.
Tetapi kita perlu melatih diri untuk bisa menilai diri, melihat diri apakah kita lebih atau kurang dari yang sebenarnya. Kalau kita terbiasa melatih, menyesuaikan ambisi kita dengan realita kehidupan kita maka kita bisa lebih wajar di dalam ambisi kita. Kita tidak perlu iri misalnya terhadap orang-orang yang di atas kita, sebaliknya kita juga tidak perlu merasa terlalu bangga kalau kita lebih dari orang lain. Yang kedua kita juga perlu secara tajam bisa menganalisa realitas dengan cara pandang yang benar, kita perlu punya suatu tujuan dan misi yang jelas. Saya beri contoh misalnya di dalam kehidupan Kristus sendiri, Dia mempunyai suatu misi untuk tidak mencari nama bagi diriNya sendiri, tetapi sebaliknya Dia datang justru untuk melayani dan memberikan nyawaNya bagi tebusan banyak orang. Nah saya kira kalau misalnya setiap orang Kristen itu mempunyai tujuan seperti ini, melayani orang lain dan kemudian berkorban bagi orang lain, mengasihi orang lain, menjunjung tinggi bukan namanya sendiri tetapi nama Tuhan, maka Allah dalam hal ini justru akan memuliakan atau meninggikan kita, bahkan Allah akan menghargai kita. Saya kira ini ambisi yang seharusnya dicapai oleh yang dimiliki oleh setiap orang Kristen. Kita lihat misalnya di
Filipi 2:9 justru karena Yesus itu tidak merasa perlu mempertahankan kedudukanNya yang istimewa, maka Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama. Yang ketiga kita belajar mencukupkan diri dengan apa yang telah diberikan kepada kita. Kita bersyukur dengan pemberian Tuhan untuk kita. Dan yang keempat kita perlu mengendalikan ambisi karena biasanya hidup kita itu didasarkan pada kedagingan kita. Nah kita perlu menundukkan diri kita kepada hukum Roh dan bukan kepada hukum kedagingan. Dan kita tahu dari Alkitab bahwa hukum roh itu adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri. Kalau kita mempunyai ambisi dan kita selalu cenderung mempunyai keinginan daging, memuaskan keinginan kita sendiri maka kita harus menundukkan diri kita pada kuasa Roh Kudus, saya kira itu beberapa hal yang terpenting.
GS : Ya tadi Pak Heman memberikan contoh antara lain Tuhan Yesus, kita tahu bahwa Tuhan Yesus itu punya kuasa yang demikian hebat, besar. Tetapi mungkin yang jadi masalah bagi kita orang awam ini justru mengendalikan kekuasaan yang kita miliki, kalau sudah punya kuasa itu kecenderungannya adalah menggunakan kuasa itu untuk memenuhi ambisi kita.
HE : Ya dan itulah yang sering kali membuat orang itu saling sikut, saling bertengkar. Juga di rumah Tuhan, seperti murid-murid Tuhan Yesus yang berebut di sebelah kanan, di sebelah kiri Tuhn Yesus kalau misalnya Dia menjadi Raja dan sebagainya.
Tapi itu semua adalah pandangan-pandangan atau keinginan-keinginan kedagingan kita. Yesus memberikan suatu prinsip yang terbalik, siapa yang menjadi terbesar dia harus menjadi hamba, saya kira tidak mudah tapi ini yang harus kita tuju. Ini yang harusnya menjadi tujuan dari ambisi kita yaitu menjadi hamba yang melayani.
ET : Kalau saya tadi tertarik pada bagian pertama yang Pak Heman katakan, tentang peka terhadap batas kemampuan diri. Jadi memang idealnya kalau seseorang tahu lalu dia bisa dengan dorongan tau ambisi itu mencapai yang terbaik, lalu bagaimana halnya dengan memang orang-orang yang ternyata pengenalan terhadap batas kemampuan ini terlalu rendah, rendah diri seperti itu mungkin.
Bagaimana caranya apabila dalam keadaan seperti itu, tapi dia tetap bisa mempunyai ambisi yang sehat, Pak Heman?
HE : Orang yang rendah diri sering kali memerlukan konfirmasi dari orang lain, jadi tampaknya perlu suatu bantuan dari orang lain yang lebih dewasa untuk menilai orang itu secara pas dan wajr.
Orang yang rendah diri harus belajar menghargai dirinya sendiri, nah supaya dia bisa mempunyai ambisi yang pas sering kali orang yang rendah diri bisa jadi ambisinya itu berfluktuasi begitu. Kadang-kadang terlalu tinggi, kadang-kadang rendah, nah memang kalau di dalam keadaan dia tidak bisa memandang dirinya dengan tepat dan jelas dia perlu bantuan orang lain. Kalau perlu seorang ahli begitu yang membantu dia mengevaluasi dirinya, tapi di lain pihak juga teman-teman yang baik, teman-teman yang cukup matang kerohaniannya sering kali juga bisa membantu memberikan evaluasi dan yang penting juga teman-teman ini tidak boleh segan untuk memberikan teguran selain juga pujian.
ET : Ya, karena saya cukup sering melihat orang-orang yang sebenarnya kalau kita sebagai orang luar melihat dia bisa mencapai lebih, tapi dia merasa sudah segini saja karena dia memang mempuyai penilaian yang memang sudah puas.
Tapi bukan ukuran puas yang tepat dalam arti karena dia melihat kemampuannya serendah itu, dia merasa ambisinya pun cukup sekian sementara kalau kita lihat dia mau punya harapan yang lebih tinggi rasanya dia juga bisa mencapainya begitu.
HE : Ya, betul itu pada akhirnya satu prinsip yang harus kita semua miliki yaitu sebetulnya yang penting bukan seberapa besar potensi kita, seberapa banyak potensi kita tetapi seberapa besaratau seberapa maksimal usaha kita untuk menggali semua potensi yang ada di dalam diri kita.
Jadi artinya kadang-kadang kita tidak perlu bertanya-tanya lagi apa yang saya bisa atau apa yang saya tidak mampu, tetapi kita usahakan supaya semua potensi yang ada dalam diri kita bisa dimaksimalkan. Dalam hal ini Tuhan tidak menghargai terutama kaya atau miskin dan sebagainya, orang yang rendah diri sering kali mendasarkan ambisinya ini kepada potensi-potensi yang secara fisik itu sudah tidak bisa diubah, kaya miskin kemudian cantik kemudian IQ yang tinggi dan sebagainya. Itu sudah tidak bisa diubah, yang bisa dia usahakan adalah dia memaksimalkan supaya dia bisa menggunakan ini semua dengan semaksimal mungkin.
GS : Nah, Pak Heman apakah seseorang itu pada suatu saat bisa memiliki beberapa macam ambisi?
HE : Ya, itu sangat mungkin.
GS : Jadi ingin yang ini dan juga ingin meraih yang lain ya, Pak?
GS : Lalu bagaimana dia mengonsentrasikan dirinya?
HE : Ya, bagaimana mengonsentrasikan dirinya adalah mau tidak mau menentukan prioritas apa yang bisa paling efektif dia lakukan. Dan untuk itu kadang-kadang diperlukan juga trial and error, oba-coba begitu dan sampai pada suatu ketika setiap orang perlu memakai skala prioritas, mana yang paling efektif yang dia lakukan, mana yang paling produktif.
GS : Kalau dia sudah mencapai sesuatu, dia pasti akan terpacu lagi untuk mencapai yang lebih-lebih lagi yang dia inginkan. Bagaimana itu Pak, rasanya tidak ada habis-habisnya?
HE : Betul, dan ambisi seharusnya seperti itu. Masalahnya begini, apa yang ingin kita capai itu jangan terlalu tinggi dari apa yang saat ini kita ada. Jadi artinya begini kadang kita sampai ada tingkat 6 misalnya, ambisi kita atau tujuan kita jangan 10 atau 12 tetapi 7.
Setelah 7 tercapai otomatis kita naikkan lagi target kita sampai 8 dan seterusnya. Dan itu adalah ambisi yang lebih sehat, kalau terlalu tinggi kita akan mengalami frustasi, stres dan berbagai gejala yang tadi kita sudah bahas.
GS : Nah dalam hal ini Pak Heman, dalam hubungannya dengan ambisi yang baru saja kita bahas apakah ada firman Tuhan itu yang bisa dijadikan pegangan selain tadi contoh-contoh yang sudah sebutkan, khususnya untuk para pendengar kita dan kita semua.
HE : Ada satu ayat firman Tuhan yang saya ingin bacakan dan bagikan, ayat firman Tuhan ini terutama berbicara tentang ambisi untuk menjadi lebih dalam hal materi. Dari Ibrani 13:5, "Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu, karena Allah berfirman Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau,".
Satu lagi dari
Filipi 4:6-7, "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur, damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus."
GS : Ayat-ayat ini saya rasa cukup jelas, khususnya bagi kita semua dan tentunya masalah ambisi itu bukan sesuatu yang buruk. Masalahnya adalah bagaimana mengelola ambisi itu dalam diri kita sehingga menjadi lebih bermanfaat dan bukan malah menghancurkan kita atau menghancurkan orang lain. Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M. Psi. dan juga Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilahkan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, tanggapan serta pertanyaan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.