Kata kunci: Yang mesti kita genggam adalah identitas diri dan tujuan hidup yang baru, menjadi pelayan dan saksi bagi Yesus, melepaskan adalah sebuah karunia, bukan hasil usaha kita tapi pemberian Tuhan, mulai dari hal yang kecil sampai pada yang besar.
TELAGA 2022
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Karunia Melepaskan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, saya perhatikan kita sebagai manusia sering berpikir bahwa apa yang kita miliki itu bersifat kekal, kita bisa nikmati tanpa batas, kita bisa nikmati selama-lamanya. Oleh karena itu kita suka mengakumulasi, kita menimbun, mengumpulkan harta atau pengaruh, atau kekuatan, apa saja yang membuat kita merasa aman. Mengapa, Pak Paul, kita sebagai manusia bisa bersikap seperti demikian?
PG: Memang kecenderungan kita adalah menggenggam, Pak Necholas, bukan melepaskan, itu sebab sejak kecil kita cenderung menggenggam mainan atau apapun yang kita sukai. Namun hidup tidak selalu memungkinkan kita untuk terus menggenggam apa yang kita sukai, kadang kita harus melepaskannya. Itu sebab kita memerlukan hikmat untuk membedakan apa yang mesti kita genggam dan apa yang mesti kita lepaskan dan kapan kita mesti melepaskan. Nah, marilah kita melihatnya dengan seksama, Pak Necholas. Pertama, yang mesti kita genggam adalah identitas diri dan tujuan hidup didalam Kristus. Pada waktu Yesus Tuhan kita memanggil Paulus, Ia menetapkannya untuk menjadi pelayan-Nya dan saksi-Nya. Kita bisa baca ini dalam KPR 26. Didalam dua panggilan ini termaktub identitas diri dan tujuan hidup didalam Kristus. Mulai saat itu Paulus menjadi pribadi yang baru dengan identitas dan tujuan hidup yang baru. Seperti Paulus kita pun dipanggil untuk menjadi pelayan Kristus. Kita mesti mendengarkan perkataan Kristus dan menaati apa yang diperintahkan-Nya. Bukan saja bermuatan fungsi, istilah pelayan juga mencakup sikap hidup yakni menghamba kepada Kristus dan melayani sesama. Sebagaimana Yesus berkata bahwa Anak Manusia datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani, maka kita pun dipanggil untuk melayani bukan untuk dilayani. Melayani mesti menjadi cara atau panduan kita hidup. Seperti Paulus kita juga dipanggil untuk menjadi saksi yakni memberitakan apa yang Yesus telah perbuat dan apa yang ditunjukkannya kepada kita. Inilah tujuan hidup dan tugas kita, melihat apa yang Yesus perbuat serta apa yang Ia nyatakan kepada kita kemudian menceritakannya kepada sesama. Dengan kata lain, kita ditetapkan untuk menjadi alat di tangan Tuhan, untuk membuka mata orang supaya berbalik dari kegelapan kepada terang, dari kuasa iblis kepada Allah supaya mereka menerima pengampunan dosa dan warisan bersama segenap orang yang dikuduskan oleh iman dalam Yesus. Nah, kita mesti menggenggam kedua penetapan Tuhan ini, Pak Necholas, menjadi pelayan dan saksi bagi Yesus. Sebab bukan saja keduanya adalah panggilan dari-Nya, tapi keduanya bersifat kekal, sampai kapan pun dan dalam kondisi seperti apapun kita dapat menjadi pelayan dan saksi bagi Kristus, kaya atau miskin, sehat atau sakit, masih bekerja atau sudah pensiun, terkenal atau terbenam, berpendidikan tinggi atau rendah, tua atau muda, kita dapat menjadi pelayan dan saksi Yesus.
ND: Boleh dikatakan bahwa karunia melepaskan ini, hanya kita dapat ketika kita sudah betul-betul percaya kepada Tuhan dan menerima Dia sebagai Juruselamat kita.
PG: Betul sekali, jadi kita baru bisa memunyai karunia melepaskan ini kalau kita memang melepaskan identitas diri kita, tujuan hidup kita dan menggantinya dengan identitas diri yang Tuhan tetapkan buat kita serta tujuan hidup yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Nah, waktu kita mengadopsi identitas diri ini, tujuan hidup ini, didalam Kristus, kita melepaskan apa yang tadinya kita genggam itu. Misalnya saya berikan contoh, sewaktu John Sung pulang dari Amerika ke Tiongkok, ia itu mau melepaskan identitas diri dan tujuan hidupnya, sebab sebelumnya itulah yang menjadi identitas diri dan tujuan hidupnya, sebab sebelumnya itulah ia menjadi orang yang sukses, bisa mengongkosi kehidupan keluarganya, ia bersekolah tinggi di Amerika. Nah, dalam perjalanan ia membuang ijazah sarjananya dan magisternya, ia hanya memegang ijazah doktoralnya dan ia menjadi seorang hamba Tuhan. Kita hanya bisa mengadopsi identitas diri yang Tuhan berikan dan tujuan hidup yang Tuhan tetapkan bila kita melepaskan identitas diri kita dan tujuan hidup kita.
ND: Bagaimana, Pak Paul, dengan orang yang sehari-hari bukan di bidang rohani atau dia bukan sebagai "full-timer" bagaimana ia dapat mengajukan identitas dia sebagai pelayan Tuhan juga menyelaraskan tujuan hidupnya sebagai saksi Kristus?
PG: Dia tidak mesti menjadi pengkhotbah atau pergi kemana-mana menjadi penginjil, tidak, ia tetap bisa menjadi seorang pelayan dan saksi Kristus dimana pun Tuhan tempatkan dia, di dalam keluarga, di dalam lingkungan tempat tinggalnya maupun dalam lingkungan kerjanya lewat perbuatan-perbuatannya. Sewaktu orang melihat hidup kita berbeda, kita tidak membalas pada waktu orang berbuat sesuatu yang buruk kepada kita, waktu kita cepat mengampuni, waktu kita cepat menolong orang, waktu kita penuh kasih kepada orang yang berkekurangan, orang melihat bahwa kita itu berbeda dan mungkin sekali orang mau mengetahui mengapa kita begitu berbeda. Waktu orang melihat karena kita adalah seorang Kristen, disitu kita sudah mulai menjadi pelayan dan saksi bagi Kristus. Saya ingin tekankan ini karena ini adalah kekal, identitas diri apapun tidak kekal, tujuan hidup apapun tidak kekal, tetapi menjadi pelayan dan saksi Kristus kekal. Kita selalu bisa menjadi pelayan dan saksi Kristus apapun kondisi kita.
ND: Jadi dalam hal yang kekal inilah yang harus kita genggam, yaitu identitas sebagai pelayan Tuhan dan tujuan hidup sebagai saksi Kristus, lalu bagaimana Pak Paul dengan hal yang seharusnya kita lepaskan?
PG: Yang mesti kita lepaskan adalah semua yang bersifat sementara dan semu seperti impian, harta kekayaan, popularitas, anak, orang tua, teman dan penilaian orang. Saya jelaskan satu per satu, impian tidak selalu menjadi kenyataan, jadi jangan pegang erat-erat. Harta kekayaan tidak permanen, ada waktu kita bisa kehilangan segalanya, itu sebab jangan genggam kekayaan. Popularitas datang dan pergi, akan ada masa dimana bukan saja orang tidak mengenal kita, orang pun tidak lagi mengingat kita. Anak tidak selalu dapat diandalkan dan tidak selalu anak menjadi seperti yang diharapkan, kadang anak justru mengecewakan dan tidak jarang malah menyusahkan. Itu sebab jangan genggam anak, lepaskanlah. Orang tua juga adalah manusia biasa, tidak semua dapat diandalkan apalagi dibanggakan, kadang kitalah yang justru mesti menanggung malu akibat perbuatan orang tua, jadi jangan pegang erat-erat. Teman juga datang dan pergi, tidak selalu teman berada disamping kita tatkala kita membutuhkan mereka dan tidak selalu mereka bersedia atau dapat menolong, jadi jangan genggam mereka. Penilaian orang adalah sesuatu yang tidak dapat kita kendalikan, apalagi pastikan, jadi jangan kejar, jangan genggam. Pada akhirnya kita mesti menjadi diri kita sendiri, terlepas dari penerimaan orang. Jadi ini nanti membawa kita kepada poin yang ketiga, Pak Necholas, yaitu kapankah kita perlu melepaskan. Kita melepaskan sewaktu kita tidak lagi dapat mengendalikan atau apa yang diharapkan, tidak lagi menjadi kenyataan. Mungkin ada di antara kita yang bergantung pada penilaian orang, kita takut dinilai buruk dan kita ingin diterima. Itu sebab kita melakukan apa saja, supaya orang menilai kita secara positif dan menerima diri kita, namun pada akhirnya, kita mesti menerima kenyataan bahwa tidak selalu kita dapat menyenangkan hati orang. Akan datang waktunya dimana kita harus berdiri sendiri dan bersikap beda dari apa yang diharapkan orang. Pada saat seperti itulah kita harus melepaskan pengakuan orang dan menerima konsekwensi, tidak disukai bahkan ditolak orang. Akan tiba pula waktu dimana orang yang kita andalkan berbalik dan bahkan mengecewakan hati kita. Sudah tentu kita terluka dan biasanya kita berusaha memerbaiki relasi, kadang kita pun terdorong untuk "meluruskan" jalan orang supaya tidak menyimpang dari arah yang benar dan baik namun pada akhirnya kita mesti menyadari bahwa kita tidak dapat mengubahnya, seberapa besar usaha yang kita keluarkan, tetap tidak membuahkan hasil. Nah, di saat itulah kita mesti melepaskannya, Pak Necholas.
ND: Jadi banyak sekali, Pak Paul, yang harus dilepaskan. Boleh dikatakan, segala sesuatu yang ada dalam hidup kita, impian, harta yang menopang hidup kita, kemudian teman, anak. Pada akhirnya kita harus melepaskan itu semua, Pak Paul.
PG: Kita akan pegang karena memang selama ada kita bisa pegang ya kita pegang, tapi kita memang tidak boleh menggenggamnya. Kita mesti siap melepaskannya. Kadang Tuhan yang memberikannya kepada kita, harta kekayaan, teman, pendukung dan sebagainya, tapi jangan genggam erat-erat. Siaplah untuk lepaskan, jangan sampai kita bergantung pada apa yang ada di tangan kita. Waktu kita melepaskan, bukan saja kita akan merdeka dari apa yang kita genggam itu, tapi kita akan lebih berakar dalam iman, bersandar pada Tuhan, bukan pada manusia. Jadi akhirnya saya simpulkan, Pak Necholas, melepaskan adalah sebuah karunia. Dengan kata lain, pemberian, bukan dari diri sendiri, sebab sesungguhnya kita tidak ingin melepaskan, kita justru ingin terus menggenggam, jadi kita mesti datang kepada Tuhan dan memohon kepada-Nya untuk memberikan karunia melepaskan apa yang mesti dilepaskan. Kita harus terus berdoa sampai kita berhasil membuka tangan dan melepaskan, begitu. Jadi sekali lagi saya tekankan, memang kita perlu datang meminta kepada Tuhan karena melepaskan adalah sebuah karunia, bukan hasil usaha kita, tapi pemberian Tuhan kepada kita. Ini sebetulnya karunia melepaskan.
ND: Jadi apa yang kita harus tahu dan bisa membedakan hal-hal yang harus kita lepaskan, juga hal yang harus kita genggam seumur hidup, yaitu yang tadi Pak Paul sempat sampaikan.
PG: Identitas diri sebagai pelayan dan tujuan hidup sebagai saksi Kristus. Sekarang untuk mengakhiri, kita akan membahas apa yang akan terjadi sewaktu kita melepaskan, Pak Necholas. Ada dua, yang pertama, kita akan beriman, melepaskan bukan berarti membiarkan, melainkan menyerahkan kepada Tuhan. Sewaktu kita menyerahkan, kita memercayai Tuhan untuk mengurus dan berhubungan langsung dengan apapun dan siapapun yang kita lepaskan. Disinilah iman bertumbuh, kita bersandar, berharap penuh pada kekuasaan Tuhan. Ini yang kami lakukan sewaktu anak kami meninggalkan iman, Pak Necholas. Kami melepaskan, kami menyerahkannya kepada Tuhan, kami memercayai Tuhan untuk mengurusnya, berhubungan langsung dengannya. Waktu kita berbuat seperti itu, iman bertumbuh, pada waktu kita bersandar, berharap penuh pada kekuasaan Tuhan. Kedua, apa yang terjadi sewaktu kita melepaskan, kita akan bebas, sewaktu kita melepaskan, kita akan dimerdekakan. Kita tidak lagi diikat oleh apapun dan siapapun, kita sadar kemampuan kita terbatas dan usaha kita bukan saja tidak berhasil tapi malah dapat menjadi bumerang yang memukul kita atau memerparah masalah. Bebas tidak berarti bebas dari perasaan sedih atau kecewa, karena kita peduli, kita akan tetap merasa sedih atau kecewa, tapi kita tidak lagi merasa tertindih, sewaktu melepaskan kita menanggalkan beban dan membiarkan orang untuk memikul beban yang diciptakannya sendiri. Sewaktu melepaskan, kita pun memisahkan diri dari orang, kita tidak lagi terseret atau terdakwa. Ia menjadi manusia terpisah. Nah, di Alkitab ada satu contoh tentang orang yang tidak bisa melepaskan, namanya adalah Raja Saul. Dia tidak dapat melepaskan takhtanya, Pak Necholas, sebab ia berusaha membunuh Daud yang dianggapnya sebagai orang yang berambisi merebut takhta. Ia pun tidak dapat melepaskan impiannya, yaitu menjadikan putranya, Yonatan, sebagai raja. Dan ia tidak dapat melepaskan kebutuhannya untuk diterima orang, itu sebabnya ia melakukan apa saja supaya diterima dan dipuji orang. Ia memilih menjadi raja yang menyenangkan hati orang, bukan hati Tuhan. Tidak heran pada akhirnya ia tidak lagi beriman dan tidak lagi hidup merdeka. Ia bergantung sepenuhnya pada perhitungannya, alhasil ia melepaskan iman dan malah hidup dalam ketidaktaatan, biarpun hidup dibelenggu oleh kebencian dan ketakutan karena melepaskan kemerdekaannya untuk hidup bebas dari kebencian dan ketakutan. Sayangnya adalah ini, Pak Necholas, Saul tidak pernah meminta karunia untuk melepaskan, ia malah terus menggenggam. Pada akhirnya, Tuhan membuka tangannya dan memaksanya melepaskan apa yang digenggamnya, yaitu yang sementara dan yang semu itu.
ND: Jadi bisa dikatakan bahwa Tuhan ingin kita beriman, jadi ketika kita melepaskan itu sebetulnya kita bukan ‘cuek’ saja atau kita tidak peduli lagi terhadap apa yang kita lepaskan, namun pada saat kita melepaskan, kita memercayakan Tuhan untuk mengurusnya. Pada saat kita memercayakan iman kita justru bertumbuh, begitu ya, Pak Paul?
PG: Betul sekali, betul sekali. Kita bukan tidak peduli, maka kita tidak bisa berkata, "Seharusnya kalau sudah melepaskan, sudah, tidak lagi merasa apa-apa, tidak merasa sedih", oh tidak, karena kita menyayangi orang itu, kita peduli dengan dia. Kita akan terluka, kita akan sedih, tidak bisa kita lepaskan perasaan-perasaan itu, namun kita berkata, "Tuhan, saya memercayakan dia atau urusan ini kepada-Mu, biar Engkau yang urus". Pada waktu kita berkata seperti itu, kita menaruh iman pada Dia. Kita percaya Dia akan dapat mengurusnya, lebih baik daripada kita sendiri yang mengurusnya.
ND: Jadi kita menyerahkan kontrol itu, kendali, didalam tangan Tuhan, bukan lagi didalam tangan kita.
PG: Betul sekali dan memang ini tidak mudah sebab seringkali kita akan merasa lebih aman dan nyaman bila kita sendiri yang mengurusnya, membereskannya dengan mata kepala kita. Kita mesti sadar, Tuhan lebih bisa, Ia lebih berkuasa, Ia lebih sanggup, kita justru tidak akan bisa melakukan sebaik Tuhan. Jadi lepaskan, dalam pengertian serahkan pada Tuhan. Percayakan kepada-Nya, Dia bisa mengurusnya lebih baik daripada kita.
ND: Sebagai manusia, kita seringkali kurang sabar, Pak Paul, kita ingin langsung bertindak, melakukan apa yang benar menurut kita dan kita tidak mau menunggu.
PG: Ini memang masalah yang susah untuk kita lepaskan, Pak Necholas. Dalam tugas saya sebagai seorang konselor, seringkali saya melihat ini, seringkali orang secara rasional berkata, "Ya saya mengerti seharusnya saya biarkan, saya diamkan, saya lepaskan, tapi pada kenyataannya tidak bisa, justru ini yang mengikat dan karena kita tidak bisa lepaskan, kita tetap mau bereskan, kita tetap mau beritahu dia, kita tetap mau mengubahnya". Makin parah masalahnya, makin rusak relasi. Ini akhirnya menjadi masalah yang besar, kalau saja kita bisa lepaskan dan serahkan kepada Tuhan, biarkan, justru kita akan lebih bisa hidup lebih bebas, lebih tenang, lebih damai. Penting sekali kita bisa melakukan ini, jadi begini, Pak Necholas, firman Tuhan di Pengkhotbah 3:11 mengatakan, "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktu-Nya". Saya temukan ini seringkali, Tuhan baru membuat segala sesuatu indah pada waktu kita melepaskan apa yang ada dalam genggaman. Ini kuncinya, kita mau melihat Tuhan membuat sesuatu yang indah, tapi tangan tidak bisa lepaskan, justru waktu kita lepaskan, apapun itu dari tangan kita, barulah Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Jadi lepaskanlah, serahkanlah kepada-Nya, baru Dia akan melakukan dan membuat sesuatu yang indah.
ND: Pengkhotbah ini juga sebelumnya diawali tentang pengkhotbah yang berkeluh kesah tentang segala sesuatu yang sia-sia di bawah matahari, seperti yang tadi Pak Paul sempat katakan, impian, harta, popularitas, anak, orang tua dan penilaian dari orang lain.
PG: Betul sekali, si pengkhotbah, yaitu Salomo telah mencicipi segalanya, pada akhirnya dia menyimpulkan bahwa semua ini memang sia-sia, semu, sementara, jadi jangan itu yang kita pegang, kata Salomo. Pada akhirnya, takutlah akan Tuhan, sembahlah Dia, berbaktilah kepada Dia. Tuhan yang kita pegang, bukan hal-hal yang semu dan yang sementara.
ND: Lalu, Pak Paul, tadi waktu saya mendengar contoh dari Raja Saul, saya juga merasa bahwa kita perlu belajar untuk melepas sedikit demi sedikit, dalam arti sejak awal kita sudah mulai sedikit kita sudah melepaskan, kalau sudah begitu lama kita menggenggam sesuatu hal yang menjadi kekuatan bagi kita, akan menjadi sulit untuk melepaskannya.
PG: Poin yang baik sekali, Pak Necholas, kita memang harus mulai melepaskan hal yang kecil, kita tidak bisa langsung nantinya melepaskan hal yang besar. Kalau hal-hal yang kecil, tidak bisa kita lepaskan, kita genggam terus, jangan harap nantinya kita bisa melepaskan hal-hal yang besar itu.
ND: Baik, terima kasih banyak, Pak Paul atas diskusi kita kali ini.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Karunia Melepaskan". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.