oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kata kunci: Biasakan diri hidup apa adanya, keinginan adalah cermin kehidupan dan cermin diri yang kita dambakan, hiduplah sesuai dengan kenyataan, ikuti rencana Tuhan dan taat pada kehendak-Nya
TELAGA 2022
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Keinginan dan Kenyataan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, seiring dengan bertambahnya usia seseorang tentunya kita merasa sedih karena secara fisik kondisi kita menurun, tetapi di sisi lain tentunya ada kematangan hidup yang kita alami. Kita menjadi lebih tenang, bisa melihat dengan jelas apa yang sudah kita lewati, apa yang telah kita lakukan dan hal-hal yang kita harus terima saja. Demikian ya, Pak Paul kalau kita menjalani hidup dan bertambah usia?
PG: Betul sekali, Pak Necholas, saya masih ingat dulu saya pernah membaca buku yang ditulis oleh Golden McDonald, beliau seorang pendeta. Beliau berkata, "Saya sekarang sudah lewat usia 50 tahun, saya merasa hidup saya lebih baik di usia yang tua daripada muda. Saya melihat perubahan dalam diri saya, saya tidak cepat bereaksi, saya lebih bisa melihat masalah dengan lebih jernih dan sebagainya". Saya harus mengamini yang dikatakan oleh beliau, Pak Necholas, bahwa makin tua, makin kita melihat hidup ini dengan lebih jernih dan ada satu lagi yaitu kita dapat melihat kenyataan hidup, sewaktu muda kita hanya bisa berangan-angan, atau menduga-duga tapi di usia tua barulah kita bisa melihat kenyataan. Kita ini sudah tentu boleh memunyai keinginan, namun pada akhirnya kita harus menerima kenyataan apabila keinginan tidak tercapai. Kematangan jiwa diperlihatkan dari apakah kita bersedia menerima kenyataan atau tidak. Sudah tentu akan ada kenyataan yang sesuai harapan tapi akan ada pula kenyataan yang tidak sesuai harapan. Di saat itu kita diperhadapkan dengan dua pilihan, mengakui dan hidup sesuai dengan kenyataan atau menyangkal dan tidak hidup sesuai dengan kenyataan. Bila kita memutuskan menerima kenyataan maka kita mesti menyangkal keinginan, sebaliknya bila kita memutuskan untuk hidup sesuai keinginan, maka kita harus menyangkal kenyataan. Dari dua pilihan ini sudah tentu pilihan yang baik adalah menerima kenyataan dan tidak menuruti keinginan namun saya mengerti betapa sukarnya menerima dan hidup dalam kenyataan dan betapa jauh lebih mudah untuk hidup dalam keinginannya. Kita jadi mau bertanya, mengapa begitu sukar bagi kita sesuai dengan kenyataan?
ND: Saya jadi teringat, saya pernah melihat sebuah film yang menampilkan percobaan sosial, bagaimana kemampuan dari orang-orang berusia 20-an, 30-an, 40-an, 50-an dan 60-an ternyata yang berprestasi lebih baik justru yang 20-an dan 50-an keatas. Yang usia 30-an, 40-an lebih kurang. Apa ada kemungkinan dalam usia-usia tersebut pada umumnya seseorang punya keinginan yang sangat banyak, dia sangat berambisi dan baru membangun keluarga mungkin, jadi hal itu membuat dia justru kinerjanya bisa menurun atau dia jadi sulit untuk melihat hal-hal yang nyata disekeliling dia.
PG: Saya kira memang tidak bisa dihindari, kita harus melewati jalur itu, jalur jatuh bangun, karena pada masa muda kita punya banyak keinginan dan kita berharap bahwa kenyataan itu akan seperti yang kita harapkan atau kita dambakan, namun lewat situasi demi situasi yang kita hadapi, kita berbenturan dengan kenyataan. Pada waktu kita berbenturan dengan kenyataan, kita disadarkan bahwa kita tidak bisa mengubahnya. Ternyata keinginan kita tidak dapat kita wujudkan, haruslah kita sekarang menerima kenyataannya. Pada akhirnya saya kira kita sampai pada titik kita bisa menerima kenyataan, setelah kita melewati benturan-benturan itu, Pak Necholas. Saya kira memang kita tidak bisa menghindari jalur kehidupan itu.
ND: Kalau tadi di awal saya teringat Pak Paul ada mengutip dari Golden McDonald, tadi Pak Paul katakan bahwa di usia diatas 50, apakah memang rata-rata manusia setelah usia 50 keatas lebih mampu melihat hidupnya dengan lebih nyata?
PG: Ya, maka seorang ahli jiwa yang bernama Carl Jung, beliau juga mengatakan mirip bahwa sebetulnya dia menyebut istilah Individuasi, jadi seseorang itu benar-benar menjadi dirinya yang asli, yang seharusnya, yang terbaiknya itu di usia di atas 40, maka mungkin Pak Necholas pernah mendengar pepatah yang berkata, "Hidup ini berawal di usia 40", itu sebetulnya berawal dari atau bersumber dari pemikiran-pemikiran para ahli jiwa ini, sebab memang ada benarnya, Pak Necholas, di usia-usia pertengahanlah setelah kita berhadapan dengan kenyataan dibentuk, dipaksa untuk melihat kenyataan dan menerimanya, kita akhirnya membuahkan kematangan didalam jiwa kita. Kita lebih bisa menerima apa adanya, kenyataan hidup ini, lebih bisa melihat apa yang bisa kita kerjakan, apa yang tidak bisa kita kerjakan. Lebih bisa bukan saja meraih, menggapai tapi juga melepaskan, membiarkan. Nah ini biasanya susah dilakukan sewaktu kita masih muda.
ND: Atau mungkin juga waktu masih muda kita sangat dibentuk atau dikekang oleh lingkungan kita ya, jadi kita berusaha untuk hidup sesuai dengan harapan keluarga, orang tua kita atau lingkungan atau komunitas tempat kita berada.
PG: Bisa, itu juga bisa terjadi, akhirnya kita tidak menjalani hidup kita. Kita menjalani hidup orang lain. Badannya kita, suaranya kita, tapi sebetulnya didalamnya, pikirannya bukan kita, tapi orang lain. Pada titik tertentu di usia-usia pertengahanlah kita disadarkan dan didorong untuk mendobrak cetakan itu, bahwa kita harus menjadi seperti yang diharapkan oleh orang lain. Di saat itulah kita berkata, "Tidak". Saya sadar saya bukan seperti itu, saya sadar saya seperti ini. Mulai saat ini saya akan menjalani hidup saya ini, bukan lagi hidup orang lain yang saya adopsi masuk kedalam diri saya.
ND: Tetapi mengapa Pak Paul, kita begitu sulit untuk menerima kenyataan atau realitas yang terjadi dalam hidup kita dan mengapa begitu sukar bagi kita untuk hidup sesuai dengan kenyataan?
PG: Ada tiga penyebab yang dapat saya pikirkan, pertama adalah keinginan adalah cermin kehidupan dan cermin diri yang kita dambakan, yang biasanya lebih indah daripada kehidupan atau diri kita sekarang ini. Itu sebab sewaktu kehidupan dan diri yang diidamkan tidak menjadi kenyataan, kita tidak siap dan tidak mau menerimanya. Kita berontak dan malah berusaha menggenggam keinginan atau impian itu. Kita tidak mau dan tidak rela menerima kehidupan dan diri yang tidak sebaik yang kita idamkan. Sebagai contoh, misalkan kita kehilangan pekerjaan, setelah melamar kesana kesini akhirnya jelas terlihat bahwa pekerjaan yang ada ialah jenis pekerjaan yang bukan sesuai keinginan kita. Bukannya diambil tapi menolak dan terus menunggu jenis pekerjaan yang sesuai keinginan kita, akhirnya kita menjadi pengangguran. Masalahnya makin lama menganggur, makin mengecil bukan membesar kemungkinan memeroleh pekerjaan apapun. Ini adalah contoh mengapa susah menerima kenyataan sebab keinginan adalah cermin kehidupan dan diri yang kita dambakan. Itu sebab susah kita lepaskan diri yang kita idamkan itu. Kita pegang terus tidak dilepas-lepaskan meskipun kita seharusnya sudah menerima kenyataan.
ND: Kita tidak ingin melepaskan diri yang kita idamkan itu, karena itu terlihat lebih indah, terlihat lebih hormat mungkin, ya. Lebih menarik misalnya ia ingin menjadi orang dermawan atau dia ingin menjadi orang yang terkenal tetapi kenyataannya dia tidak mampu saat itu untuk sampai pada tahap itu.
PG: Saya melihat beberapa orang yang dulunya kaya raya tapi akhirnya tidak lagi kaya raya, memang tidak miskin, tidak, tapi tidak lagi sekaya raya dulu. Saya melihat orang-orang ini mengalami kesulitan, saya gunakan istilah ‘turun takhta’, sulit sekali mereka pegang erat-erat singgasana mereka itu. Mereka tidak mau menerima kenyataan bahwa sesungguhnya mereka tidak lagi duduk di singgasana, mereka sudah turun takhta sekarang dan seharusnyalah mereka menyesuaikan hidup, tapi tidak mau. Terus menunjukkan seolah-olah mereka itu sekaya raya dulu, akhirnya apa yang terjadi, masalah demi masalah karena apa yang didapatnya tidak cukup untuk membiayai kehidupannya yang seperti itu.
ND: Jadi orang akhirnya ingin dilihat oleh orang lain atau gambaran diri yang begitu terhormat yang ingin dia tampilkan dan dia tidak bisa melepaskannya itu.
PG: Betul, ini kesulitan yang pertama, Pak Necholas. Jadi susah sekali melepaskan diri yang kita dambakan itu, maka akhirnya kita tidak mau menerima kenyataan hidup ini.
ND: Mungkin penyebab yang berikutnya kenapa, Pak Paul, kita sulit untuk menerima kenyataan hidup?
PG: Kita merasa malu, Pak Necholas, mungkin kita telah banyak berbicara tentang diri kita atau tentang orang yang kita banggakan. Kita tidak sanggup mengakui bahwa ternyata yang kita bicarakan itu tidak menjadi kenyataan. Akhirnya kita tutupi dan terus berharap supaya keadaan berubah secara ajaib, kita tidak perlu lagi malu, kita tahu jarang sekali ini terjadi. Sebagai contoh, misalkan kita berharap tinggi pada anak kita. Sejak kecil kita sering memuji anak, tidak hanya kita menyekolahkan anak di sekolah yang baik, kita pun mengharuskan anak mengambil banyak les untuk menambah keterampilan, namun setelah anak besar ia berbalik arah, ia tidak ingin menjadi diri seperti yang kita dambakan. Akhirnya anak melanglang buana hidup dalam pengembaraan dan ketidakmenentuan, daripada mengakui kenyataan kita malah menutupi. Kita malu, kita membuat alasan di ranah anak berada, apa yang dilakukannya, padahal tidak seperti itu. Kita hidup dalam keinginan dan menyangkali kenyataan karena kita malu.
ND: Mungkin ini yang disebut dengan, kalau anak muda sekarang menyebut halusinasi, hidup didalam bayangan dia saja, bahwa dia begitu terkenalnya atau anak dia begitu hebatnya dan dia terus menyangkali kenyataan hidup.
PG: Banyak yang seperti itu, Pak Necholas.
ND: Tentunya hal ini juga berpengaruh negatif, ya Pak Paul, bagi anak kita dalam kasus seperti ini?
PG: Sudah tentu kalau memang ini sesuai dengan talenta dan kebisaannya, harapan-harapan kita itu bisa dipenuhinya, karena memang itulah diri dia, ya tidak masalah, tapi kalau memang bukan diri dia, selama ini dia hanya menerima saja, biasanya pada satu titik si anak itu akan berontak. Dia akan lepaskan semua ‘baju-baju’ yang kita berikan kepadanya. Baju dalam pengertian harapan mental kita yang dia sebelumnya kenakan, dia tanggalkan, dia tunjukkan dirinya yang berkebalikan dari apa yang kita harapkan. Jadi itu dampaknya yang tidak sehat pada anak.
ND: Baik, Pak Paul, selain kita merasa malu dan juga bahwa keinginan itu adalah cermin kehidupan yang kita dambakan, apalagi Pak Paul, hal yang membuat kita sukar untuk hidup sesuai dengan kenyataan?
PG: Kita tidak ingin berubah, Pak Necholas, kita terlalu nyaman dengan kehidupan yang selama ini kita jalani, kita sudah terbiasa dan terkait dengan aktivitas yang rutin kita lalui, kenyataan memaksa kita untuk mengubah semua itu tapi kita tidak mau, kita sulit meninggalkan segala sesuatu yang memberikan kenyamanan. Itu sebab kita menolak kenyataan. Tadi saya sudah berikan contoh tentang orang yang dulunya kaya sekarang tidak lagi sekaya itu, tapi susah hidup dalam kenyataan, banyak yang memilih hidup seakan-akan mereka masih kaya raya, akhirnya ini yang terjadi, pengeluaran dan gaya hidup tetap tinggi namun penghasilan rendah. Akhirnya apa yang mereka lakukan, pinjam uang kanan kiri, tidak bisa bayar, sebagian malah jatuh kedalam dosa penipuan dan kejahatan lainnya. Jadi kita belajar bahwa pada akhirnya kita harus memilih kenyataan, Pak Necholas, saya kutip dari kata-kata Dallas Willard, seorang filsuf dan penulis Kristen, dia berkata bahwa, "Awalnya memang keinginan menang, kita tidak dapat menyangkal, menutupi kenyataan namun pada akhirnya kenyataan akan menang dan keinginan kalah". Kita tidak dapat mengalahkan kenyataan. Jadi sudah selayaknya kita hidup sesuai dengan kenyataan.
ND: Bagaimana Pak Paul kita bisa hidup dalam kenyataan atau kita bisa "move on" dari angan-angan, keinginan kita lalu kita mulai merangkul hal yang memang nyata didalam hidup ini.
PG: Ada tiga masukan, yang pertama, kita mesti mengakui keinginan kita dan mengakui mengapa kita tidak mau menerima kenyataan. Kadang karena ingin terlihat rohani, kita menyembunyikan keinginan atau menyangkal bahwa kita tidak ingin menerima kenyataan. Sebagai gantinya kita menyajikan alasan-alasan yang tidak tepat, tetapi terlihat baik. Nah, tidak perlu menyembunyikannya karena Tuhan tahu, jadi akuilah baik keinginan maupun kesulitan kita menerima kenyataan. Misalkan kita berkata, "Tuhan, sesungguhnya aku mau memunyai pekerjaan yang lebih baik, saya mau menerima penghasilan yang lebih besar" dan sebagainya. Atau, "Saya ingin berumah tangga", apapun keinginan kita itu, akui, jangan malu, Tuhan tahu, beritahukan kepada Tuhan, katakanlah apa adanya, bahkan dalam relasi dengan orang, dengan teman dekat yang kita bisa percaya, tidak apa kita mengakui bahwa inilah keinginan kita, namun kalau memang tidak mendapatkannya, ya sudah, kita terima kenyataan itu.
ND: Jadi bisa membedakan antara keinginan yang memang kita ingin raih di masa depan kita, dengan kenyataan yang kita harus terima.
PG: Betul sekali, jadi kita mesti dapat membedakan keinginan kita dan kenyataannya. Kita tidak menutup-nutupi keinginan kita, kita akui apa adanya, itu menolong kita nantinya menerima kenyataan.
ND: Dan kita tetap diharapkan untuk memunyai keinginan, Pak Paul, meskipun kenyataan seperti itu bukan berarti kita pasrah saja, tapi kita juga ada usaha untuk mencoba mencapai apa yang kita dambakan.
PG: Betul, boleh memunyai keinginan asal kita mengakuinya dihadapan Tuhan dan pada akhirnya dapat menerima kenyataan kalau keinginan itu tidak terwujud.
ND: Saran yang berikutnya apa lagi, Pak Paul, supaya kita bisa hidup dalam kenyataan.
PG: Dari awal biasakan diri untuk hidup apa adanya, sesuai dengan kondisi dan kemampuan. Jangan menyajikan diri yang lebih baik daripada aslinya dan sudah tentu jangan membesar-besarkan diri, jangan tonjolkan kekuatan sebaliknya beranilah mengakui kekurangan. Makin kita hidup apa adanya, makin ringan beban yang dipikul. Kita tidak perlu bekerja keras menjadi diri yang bukan apa adanya, sewaktu keinginan tidak tercapai, kita pun lebih mudah mengakuinya karena kita tidak diikat rasa malu dan tidak harus sempurna. Kita adalah manusia biasa. Saya kagum sekali misalkan dengan pengakuan pendeta Billy Graham dalam autobiografinya beliau menulis bahwa di awal pelayanannya dia sebagai Gembala Sidang, dia harus memersiapkan khotbah berhari-hari sebelumnya, bukan saja memersiapkannya, ditulisnya dan sebagainya tapi juga penyampaiannya, jadi dia akan ke gerejanya, dia akan berkhotbah didepan bangku kosong setiap hari sampai hari Minggu, karena dengan cara itulah dia belajar, nah dia mengakui dia bukan orang yang bertalenta berkhotbah, dia bisa berkhotbah seperti apa adanya, karena kerja keras. Ini hal yang mesti juga kita lakukan, kita akui apa adanya diri kita. Kita mengerti, tahu kelemahan kita dan hidup sesuai dengan diri kita.
ND: Jadi kalau dari sarannya Pak Paul, semakin kecil perbedaan antara diri yang kita tampilkan dengan diri yang sebenarnya, itu akan semakin baik, karena kalau jurangnya semakin lebar, kita semakin sulit untuk kembali kepada kenyataan ini.
PG: Betul, makin berat, makin tidak merdeka, makin terbelenggu. Tapi kalau kita hidup apa adanya, hidup ini akan lebih ringan.
ND: Baik, selain itu ada saran apa lagi untuk pendengar supaya mereka dapat hidup didalam kenyataan?
PG: Yang ketiga dan yang terakhir, yaitu bawalah keinginan dan kekecewaan kita kepada Tuhan. Tidak salah membawa keinginan kita kepada Tuhan selama kita pun rela dimurnikan, sebab tidak semua keinginan kita berkenan kepada Tuhan dan baik bagi kita. Mazmur 37:4 berkata, "Dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu". Dan tidak apa mengakui kekecewaan kepada Tuhan pada waktu apa yang diharapkan tidak terjadi. Berdoalah sebagaimana Tuhan kita Yesus berdoa di malam Ia ditangkap, "Bukan kehendakku melainkan kehendak-Mu yang terjadi". Tuhan tahu apa yang baik untuk kita dan Ia memunyai rencana yang baik untuk kita. Jadi ikutlah rencana-Nya dan taatilah kehendak-Nya.
ND: Jadi Pak Paul ingin menekankan bahwa keinginan dan kekecewaan itu kita perlu bawa kepada Tuhan karena bisa jadi keinginan kita bukan sesuatu yang berkenan pada Dia.
PG: Betul, dan itu tidak mesti keinginan itu jelek, salah atau berdosa. Belum tentu, tapi tidak berkenan dalam pengertian itu bukan rencana Tuhan. Jadi ya sudah, kita datang bawa keinginan kita, selama kita rela dimurnikan dan keinginan kita nantinya dibelokkan, diperbarui atau digantikan, datanglah kepada Tuhan dan siaplah terima kalau memang bukan kehendak-Nya, tidak apa-apa, kita jalani.
ND: Menarik sekali, Pak Paul, keinginan yang baik pun bisa jadi sebetulnya itu tidak baik menurut Tuhan.
PG: Betul, betul, jadi belum tentu apa yang kita anggap baik, yang kita anggap berkenan, dalam rencana Tuhan. Contohnya adalah tadi saya bicara tentang Pdt. Billy Graham, penyanyi didalam KKR-nya adalah George Beverly Shea, beliau sebetulnya, awalnya mau menjadi seorang penyanyi klasik, penyanyi opera tapi kemudian diundang oleh Pdt. Billy Graham muda bergabung di KKR-nya. Dia tinggalkan, apakah keinginan itu salah menjadi penyanyi ? Tidak salah, tapi Tuhan memunyai rencana lain dan dia menaatinya, dia dipakai Tuhan lebih dari 5 dekade melayani bersama-sama dengan Billy Graham. Jadi kita mau pegang firman Tuhan di Amsal 3:7 dan 8, "Jangan engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan, itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu". Sewaktu kita ikut rencana Tuhan dan taat pada kehendak-Nya, kita akan hidup dalam kenyataan dan ini akan menyembuhkan tubuh kita dan menyegarkan tulang-tulang kita. Kita akan hidup tanpa beban.
ND: Baik, terima kasih banyak, Pak Paul atas penjelasan dan pemaparan materi pada sesi kali ini.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keinginan dan Kenyataan". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.