Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Dan perbincangan kami kali initentang "Tantangan Penggembalaan: Tetap Mendarat". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Tema ini seperti pesawat yang mau mendarat, apa artinya "Tantangan Pengembalaan: Tetap Mendarat" ini?
PG : Mendarat dalam pengertian membumi, tetap bisa mengerti pergumulan jemaat, tetap menyatu dengan jemaat, tidak terus menerus melambung sehingga akhirnya tidak lagi bersentuhan dengan kehidupan yang nyata. Atau nantinya semakin hari semakin angkuh. Tidak merasa dirinya sama dengan orang, harus diperlakukan lebih tinggi dari orang lain. Nah, tantangan seorang gembala adalah bagaimana untuk tetap mendarat, karena begini, semakin lama kita melayani sidang jemaat maka semakin besar kemungkinan kita akan diterima dan dihargai, Pak Gunawan. Sudah tentu hal ini hanya terjadi bila kita melayani dengan baik. Masalahnya adalah ini, semakin dihargai semakin besar pula kemungkinan kita besar kepala. Akhirnya kita menjadi angkuh, tidak peduli dengan perasaan orang, semakin melambung ke atas. Maka singkat kata kita semakin tidak bersentuhan dengan kehidupan dan pergumulan jemaat. Jadi kita akan bahas dan melihat beberapa saran supaya kita sebagai gembala tetap mendarat meski dihormati atau disanjung oleh jemaat.
GS : Iya. Usul Pak Paul apa yang pertama?
PG : Pertama kita senantiasa mengingatkan diri bahwa kita adalah pelayan. Sebagai gembala kadang kita harus memimpin dan mengatur, itu betul. Tapi pada dasarnya kita adalah pelayan. Tuhan Yesus memanggil kita untuk melayani bukan untuk dilayani dan Ia telah memberi tauladan untuk itu. Jadi biasakan diri untuk tidak menuntut. Bukankah pelayan tidak menuntut melainkan melayani tuntutan. Juga biasakan diri untuk berpikir secara nyata bukan teoritis dan bertanya bagaimana saya bisa melayani jemaat dengan lebih baik. Nah, dalam penyampaian firman Tuhan misalnya, sedapatnya kita tidak membicarakan diri sendiri. Ada kalanya kita perlu menceriterakan pergumulan pribadi supaya jemaat tahu bahwa kita pun mengalami pergumulan yang sama. Namun jangan sampai kita asyik membicarakan diri sendiri. Jangan sampai kita jatuh ke dalam godaan untuk memerlihatkan betapa pandainya dan berpengetahuannya kita. Ingat, seorang pelayan tidak membicarakan dirinya. Ia hanya mengerjakan perintah tuannya. Jadi dalam menyampaikan firman kita harus tetap fokus kepada firman Tuhan. Ingat, pergeseran dimulai sewaktu mata mulai sering memandang diri sendiri.
GS : Iya. Tetapi kadang-kadang banyak orang merasa dia tidak menyombongkan dirinya, yang disampaikan hanya ilustrasi khotbah atau contoh bagi jemaatnya. Padahal disitu terselip kesombongan yang kita bisa rasakan. Ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan katakan. Jadi kita sebagai hamba Tuhan terkadang tidak jujur dengan diri sendiri. Sebetulnya dalam hati yang terdalam, kita ini ingin menonjolkan diri kita bahwa kita ini bisa ini, bisa itu dan sebagainya. Namun karena kita takut disangka sombong atau apa jadi kita membungkusnya dalam bentuk kesaksian untuk kemuliaan Tuhan dan sebagainya. Kita harus jujur dengan diri kita sendiri. Kalau kita tahu bahwa sebetulnya ada niat untuk meninggikan diri maka lebih baik kita hilangkan bagian itu. Supaya kita tidak menyebut-nyebut diri kita.
GS : Tapi biasanya itu tidak bisa dikenali oleh dirinya sendiri; perlu orang lain untuk mengkonfirmasi lalu menasehati dia. Nah, siapa orang yang paling tepat untuk melakukan konfirmasi nasehat itu, Pak Paul?
PG : Sudah tentu kalau hamba Tuhan tersebut menikah maka pasangannya yang harus berbicara dengan dia secara pribadi. Kalau misalkan tidak ada pasangan mungkin sekali teman dekatnya sepelayanan yang bisa juga memberitahukan dia, atau mungkin mentornya dan kalau tidak ada mungkin penatua gereja yang dekat dengan dia bisa berbicara langsung dengan dia. Sudah tentu kalau dia hanya melakukannya sekali-sekali atau kelepasan maka kita mau mengertinya karena manusia tidak sempurna. Tapi kalau kita melihat sebuah pola yang terulang lagi, kalau berbicara maka berbicara tentang dirinya maka ini adalah suatu masalah yang harus memang kita angkat supaya hamba Tuhan tersebut disadarkan.
GS : Sebenarnya berulang kali, sehingga jemaat bisa merasakan bahwa ada hal yang tidak betul di dalam kotbahnya. Tetapi untuk menegur jemaat juga enggan.
PG : Biasanya memang yang dekat dengan hamba Tuhan itu yang bisa berbicara atau lebih cocok berbicara dengannya. Kalau jemaat merasakan hal itu maka mungkin ada baiknya berbicara dengan seorang penatua, dimana penatua itu nanti bisa bicara dengan rekan sepelayanan atau penatua yang lain supaya bisa berbicara dengan hamba Tuhan tersebut.
GS : Iya. Hal kedua yang Pak Paul usulkan apa?
PG : Supaya tetap mendarat dan tidak melambung ke atas maka seorang hamba Tuhan harus memilih untuk merendah. Ada banyak kesempatan yang muncul untuk meninggikan diri dan kita mesti melawan godaan itu, Pak Gunawan. Keberhasilan adalah topik pembicaraan yang bukan saja memuaskan tetapi juga menguatkan; membicarakan keberhasilan membuat diri kita merasa diri benar dan baik. Ini semakin memperkokoh kepercayaan diri sekaligus mengingatkan orang untuk lebih mendengarkan perkataan kita. Jadi kita harus ingat bahwa kita adalah pelayan Kristus, nanti yang dipuji ialah Kristus bukan manusia; baik itu diri sendiri maupun orang lain. Terkadang kita tergelitik untuk mengingatkan orang bahwa apa yang kita katakan dulu terbukti benar. Kita ingin orang mengakui bahwa pemikiran dan saran kita baik, apalagi bila dulu orang tidak menggubrisnya. Semakin besar keinginan bahwa pendapat kita ternyata benar. Jangan sampai kita terjebak masuk ke perangkap meninggikan diri, sebab sekali masuk kita susah keluar. Kita sulit merendahkan diri. Lukas 14:11 mengingatkan, "Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."
GS: Iya. Tapi Pak Paul kalau kita itu atau hamba Tuhan mau meluruskan sesuatu yang selama ini pandangan jemaat keliru sekarang sudah terbukti bahwa perkataannya yang dulu benar. Hamba Tuhan itu hanya meluruskan persoalan ini saja?
PG : Nah, kalau memang dia harus katakan hal itu maka tidak apa-apa, cukup sekali. Misalkan kita tahu Paulus, sewaktu dia diangkut dalam kapal untuk dibawa ke Roma dan dalam perjalanan kapalnya mengalami musibah diterpa badai sehingga akhirnya karam dan mereka harus berenang ke pantai, ke pulau Malta. Paulus memang ada berkata begini bahwa kalau saja kalian dulu mendengarkan saya, karena sebetulnya dia melarang nahkoda itu untuk melanjutkan pelayarannya karena dia sudah ‘baca’ bahwa kapal ini akan diterpa oleh badai. Tapi nahkoda tidak mendengarkan dia, dia berpikir "Ini siapa kamu? Tahanan mengatur-atur!" Jadi Paulus mengatakan itu, "Kalau saja kamu dulu mendengarkan saya, maka hal ini tidak terjadi." Namun kita melihat bahwa dia berkata satu kali saja, karena memang tujuannya memang bukan untuk meninggikan diri tapi hanya mengingatkan bahwa kalian berbuat kekeliruan dan kalau kalian lebih terbuka mendengarkan masukan orang lain maka tidak sampai semuanya mengalami kerugian yang besar. Jadi kalau kita mau mengatakan sesuatu dan kebetulan kita dulu memang berpendapat yang benar itu tapi tidak digubris, maka tidak apa-apa misalnya jika ada kesempatan kita berbicara, "Kalau saja kalian mendengarkan yang saya katakan maka ini tidak terjadi." Tapi sudah, hanya sekali saja. Kalau kita sering-sering berbicara tentang hal ini maka tentu ini jelas bahwa kita sedang meninggikan diri bahwa kita bijaksana, pikirannya bagus dan sebagainya.
GS : Jadi yang menjadi persoalan ialah motivasinya apa berbuat itu?
PG : Betul.
GS : Mau mendidik jemaat atau untuk meninggikan dirinya sendiri.
PG : Betul.
GS : Baik, Pak Paul. Saran yang ketiga apa, Pak Paul?
PG : Kita harus tetap menyisihkan waktu untuk berkunjung. Saya mengerti betapa tidak mudahnya membagi waktu di dalam pelayanan apalagi bila kita makin dikenal dan makin sering diundang. Dalam kesibukan biasanya bagian pelayanan yang kita kurangi adalah perkunjungan. Pada awalnya kita terpaksa mengurangi tapi lama kelamaan kita terus mengurangi, sampai akhirnya berkunjung bukan lagi bagian dari pelayanan kita. Nah, tugas pastoral pun akhirnya terpangkas menjadi dua; misalnya memersiapkan rapat, khotbah, atau pemahaman Alkitab dan menyampaikannya. Itu saja. Pada akhirnya kita semakin terpisah dari jemaat dan makin menjauh melambung ke atas dan jauh dari kenyataan. Berkunjung adalah pintu masuk ke dalam kehidupan jemaat. Lewat perkunjungan kita berkesempatan melongok kebutuhan dan pergumulan jemaat. Alhasil, kita pun turut merasakan kemenangan dan kegagalan mereka. Jadi dapat kita simpulkan, lewat perkunjungan kita disatukan dengan jemaat. Kita mengerti dan merasakan denyut jantung mereka. Bukan saja kotbah kita tetap mendarat, sikap kita pun semakin mendarat. Tidak muluk dan tidak angkuh.
GS : Dan perkunjungan itu idealnya sifatnya harus merata. Tapi ada yang dilakukan itu hanya pada jemaat-jemaat tertentu saja?
PG : Iya. Sayangnya itu yang sering terjadi, Pak Gunawan. Mungkin pada awalnya gembala tidak menyadari hal itu sebab kebetulan saja yang mengundang dia orang-orang tertentu itu. Tapi lama-kelamaan akhirnya dia bisa lupa bahwa jemaatnya itu bukan hanya orang-orang ini tapi banyak orang-orang yang lainnya. Karena sudah terbiasa dan nyaman dengan orang-orang tertentu ini maka orang-orang inilah yang sering dikunjungi dan yang lain tidak. Sudah tentu hamba Tuhan juga harus jaga, jangan sampai dia hanya mengunjungi orang yang kaya. Ini kadang-kadang terjadi, Pak Gunawan. Karena mungkin orang kaya itu baik kepadanya, mendukung, memberikan uang untuk anaknya sekolah atau anaknya sakit, maka orang kaya itu yang memberi uang pengobatan. Jadi akhirnya sungkan. Lebih sering berbicara, mengobrol, berkunjung. Kami-kami ini sebagai gembala sidang memang mesti ingat bahwa gembala untuk semua dan menaungi semua; kaya atau miskin. Jadi jangan sampai akhirnya kita hanya mengunjungi orang-orang yang kaya, kita harus mengunjungi semua.
GS : Tapi karena jumlah jemaat sampai 1000 lebih, Pak Paul. Tentu saja itu sulit bagi gembala itu untuk bisa mengunjungi secara merata?
PG : Betul. Tidak mungkin memang. Jadi kita tetap harus berkunjung meskipun kita tahu, kita mungkin sekali tidak bisa mengunjungi semua. Tapi tetap harus dijadwalkan bahwa kita memunyai tugas untuk berkunjung; melihat kondisinya, mengetahui kebutuhannya, berdoa bagi mereka. Meskipun kita tidak mengunjungi jemaat, misalnya karena memang belum ada kesempatan. Tapi kalau jemaat itu tahu bahwa kita berkunjung dan kita berkunjung dengan tidak memilih-milih orang, baik miskin maupun kaya maka itu memang sudah cukup. Dalam pengertian, jemaat tidak akan menuduh bahwa kita tidak mau peduli dengan jemaat atau kita memilih-milih orang. Jadi selama jemaat bisa melihat bahwa kita memang melakukan tugas pastoral kita untuk mengunjungi jemaat, itu memang menjadi hal yang baik bagi jemaat.
GS : Dan biasanya di dalam perkunjungan seperti itu, apa yang dibicarakan?
PG : Biasanya memang kita ini akan mau menanyakan keadaan mereka seperti apa, apakah ada pergumulan tertentu, apakah ada yang bisa kita doakan dan kita juga undang mereka untuk tetap terlibat dalam pelayanan, bisa kita tanyakan apa yang menjadi kerinduan mereka untuk mereka lakukan di gereja. Hal-hal itulah yang bisa kita katakan di dalam perkunjungan. Kita melihat contohnya jelas dalam Tuhan Yesus. Sewaktu Dia di bumi, Dia menghabiskan waktunya bersama dengan para murid dan orang yang dilayaninya. Tuhan tidak menunggu orang datang mencari-Nya di Bait Allah, sebaliknya Dia mencari mereka. Dengan kata lain, Tuhan Yesus mengunjungi orang dimana mereka berada; ada yang berada di pinggir sumur yaitu si wanita di kota Samaria, ada yang berada di tepi pantai yaitu para murid-murid sewaktu dipanggil menjadi murid Tuhan, ada yang berada di danau, ada yang berada di rumah, ada yang berada di jalanan, ada yang tengah berduka, dan ada yang tengah bersuka. Tidak heran, Yesus mengerti pergumulan kita sebagaiman diungkapkan di Ibrani 4:14-15, "Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita. Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa."
GS : Iya. Pak Paul, di tengah kesibukan seorang gembala jemaat biasanya karena tidak mampu menjangkau seluruh jemaat maka dibentuklah tim-tim untuk perkunjungan. Tetapi jemaat itu juga tidak puas kalau yang datang hanya sesama anggota jemaat, ini bagaimana ?
PG: Saya mengerti bahwa jemaat itu sebetulnya bukan ingin menyiksa gembalanya. Bukan. Jemaat itu hanya ingin melihat bahwa gembalanya peduli dengan mereka. Jadi sekali lagi tadi saya tekankan bahwa kalaupun mereka belum berkesempatan dikunjungi tapi kalau jemaat melihat dan mendengar bahwa gembala mereka turun ke tengah-tengah jemaat dan mengunjungi mereka maka itu cukup untuk jemaat yang lain berkata bahwa gembala kami peduli dengan kami. Dan itu pun juga mengundang jemaat yang lain kalau ada apa-apa untuk datang meminta bantuan gembala sidang atau pendeta. Kalau jemaat sudah punya konsep pendeta kami itu tidak peduli dengan kami jemaatnya makanya tidak mau mengunjungi jemaat dan sebagainya maka mereka enggan mencari pendeta kalau ada masalah. Sebab mereka sudah memiliki pemikiran, "Gembala kami tidak peduli dengan kami." Jadi sekali lagi penting gembala sidang itu berkunjung.
GS : Itu untuk menjalin keakraban supaya memudahkan komunikasi berikutnya jika mereka membutuhkan sesuatu, Pak Paul ya?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi saya perhatikan sebetulnya itu di dalam penggembalaan untuk membangun relasi sebetulnya penting. Ini yang justru seringkali diabaikan oleh gembala atau hamba Tuhan karena terlalu sibuk. Jadi mereka harus memprioritaskan mana yang penting dan mereka harus memersiapkan pemahaman Alkitab atau sebagainya, akhirnya tidak ada waktu. Padahal membangun relasi dan menjalin keakraban merupakan hal yang luar biasa penting. Banyak persoalan akan selesai kalau fondasi keakraban itu sudah ada. Sebaliknya banyak masalah bahkan yang kecil tidak selesai karena fondasi keakraban tidak ada. Jadi penting gembala disana itu membangun fondasi dengan baik, yaitu keakraban dengan jemaat.
GS : Iya. Hal keempat yang Pak Paul ingin sampaikan apa?
PG : Saran keempat untuk tantangan supaya gembala tetap mendarat adalah harus mencegah jemaat untuk mengidolakan mereka. Mungkin kita berpikir selama kita tidak meninggikan diri itu sudah cukup. Sesungguhnya itu belum cukup, kita mesti berbuat lebih. Kita mesti berusaha untuk mencegah jemaat meninggikan kita. Ada banyak cara untuk mencegah jemaat mengidolakan kita, salah satunya dengan mengakui kelemahan atau kekeliruan kita secara terbuka. Jangan ragu untuk mengakui pergumulan kita sewaktu kita tengah mengkotbahkan sesuatu yang kita sadari yang kita pun masih bergumul untuk melakukannya. Jangan sampai kita memberi kesan bahwa hidup kita ibarat jalan tol tanpa hambatan. Tidak. Ibarat jalan tikus bahwa hidup ini berliku dan berlubang. Cara lain adalah tidak memberi umpan kepada jemaat untuk memuji kita. Memang benar kita tidak dapat menghentikan jemaat memuji kita tapi kita bisa menghentikan jemaat untuk terus memuji kita. Ini yang mesti kita lakukan. Jadi saran saya yaitu jangan tampik pujian orang kalau orang memuji kita misalnya, "Pak, khotbahnya bagus. Ibu terima kasih atas wejangannya." Berterima kasihlah dan kemudian lanjutkan percakapan tapi jangan memutar-mutar di topik itu atau pujian itu. Jangan! Di dalam acara atau kegiatan gerejawi biasakan orang lain memberi sambutan. Tidak selalu harus kita yang mendapat kehormatan itu. Hal-hal kecil tapi memang kita harus perhatikan Pak Gunawan seperti angkat bicara. Kalau kita membiasakan diri, kita selalu yang harus menyampaikan kata sambutan akhirnya itu semakin hari kita sepertinya semakin tinggi hati. Jangan! Kita tidak boleh membiarkan jemaat mengidolakan kita.
GS : Iya. Tetapi itu kadang-kadang sikap spontan dari jemaat yang mengagumi dan menghormati pendetanya. Jadi sulit bagi seorang pendeta atau gembala untuk menolak dan orang memang haus pujian.
PG : Iya. Maka kalau kita sadari kita memiliki kelemahan, kita haus pujian maka kita lebih harus berjaga-jaga, jangan sampai kita mencari-cari kesempatan untuk dipuji-puji. Saya setuju dengan Pak Gunawan. Kadang jemaat secara spontan menghormati hamba Tuhannya karena memang merasa diberkati oleh pelayanannya, tapi jangan kita secara terencana dan sengaja untuk memancing pujian itu atau mendorong jemaat untuk terus mengidolakan kita. Itu yang memang mesti kita lawan. Ini memang perlu disiplin, Pak Gunawan. Sebab kalau tidak akhirnya kita sebagai gembala terseret maka tahu-tahu kita sudah di atas sana. Semakin hari semakin susah turun kalau kita sudah di atas sana.
GS : Memang dikatakan rasul Paulus kepada Timotius bahwa jemaat itu harus memberikan hormat dua kali lipat kepada penatua-penatua yang berkotbah dan dalam hal ini pendeta. Ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Jadi memang Paulus itu menekankan: yang pertama kita harus memberikan hormat atau penghargaan kepada yang bekerja keras. Kemudian Paulus juga memang menekankan tentang yang mengajar atau berkhotbah untuk diberikan penghargaan. Jadi memang memunyai penghargaan dan menghormati gembala adalah hal penting, tapi jangan sampai kita sebagai gembala yang memancing-mancing orang untuk menghormati kita dan menghargai kita. Kalau orang menghargai kita secara spontan, maka bisa kita terima. Tapi jangan berlama-lama dalam pujian tersebut. Berterima kasihlah dan lanjutkan percakapan. Jangan juga ciptakan situasi-situasi dimana orang akhirnya harus menatap kita, melihat kita dan memuji-muji kita. Jangan! Jadi lebih baik biasa saja. Biarkan nanti kalau Tuhan yang meninggikan kita maka Tuhan akan lakukan sendiri dengan cara Tuhan. Jangan kita berandil di dalam upaya meninggikan diri kita sendiri.
GS : Iya. Apakah masih ada lagi?
PG : Yang kelima dan terakhir adalah kita mesti bertekad untuk tidak meninggalkan jejak kaki kita di pelayanan. Jejak kaki yang mesti ditinggalkan adalah jejak kaki Yesus Tuhan dan Juruselamat kita. Sejak memulai pelayanannya, saya memberi contoh Dr. James Dobson seorang psikolog Kristiani yang dikenal luas di Amerika memutuskan bahwa dia tidak mau meninggalkan jejak kakinya di pelayanan yang dirintisnya yaitu "Focus on the Family". Dia memersembahkan pelayanan itu sepenuhnya kepada Tuhan. Secara perlahan dia mulai melepaskan diri dari berbagai jabatan yang dipegangnya. Dan pada akhirnya dia meninggalkan pelayanan itu untuk memulai pelayanan yang baru. Jadi ini contoh yang baik dimana dia tidak mau meninggalkan jejak kakinya di pelayanan. Itu sebab dia juga berkata bahwa memilih tidak mencantumkan namanya di dalam nama organisasi pelayanan ini. Tidak. Dan secara konkret perlahan-lahan tapi pasti dia mencabut dirinya keluar dari berbagai peran-peran itu. Sampai terakhirnya dia bahkan keluar dari organisasinya, bukan hanya dia melepaskan diri dari jabatan tetapi masih ada dalam pelayanan itu. Terakhir bahkan dia keluar dari pelayanan itu dan mendirikan pelayanan yang lain lalu memisahkan diri sehingga pelayanan itu tetap berdiri sendiri secara mandiri. Saya kira itu langkah dan contoh yang baik dimana kita tidak meninggalkan jejak kaki kita sendiri di pelayanan. Tapi meninggalkan jejak kaki Kristus.
GS : Iya. Tapi kadang-kadang bukan yang bersangkutan yang mau meninggalkan jejak pelayanan itu tetapi orang-orang di sekelilingnya atau bahkan jemaat yang mau supaya ada jejaknya dengan cara kalau membangun sebuah gedung atau ruangan maka gedung itu diberi nama itu tadi. Mungkin yang bersangkutan sudah meninggal lama, tapi dengan mencantumkan nama-nama itu keluarga masih ada dan masih terlibat, ini apakah baik atau tidak?
PG : Iya. Saya pribadi tidak merekomendasikan hal itu yaitu menamakan gedung ini nama ini. Sebab memang betul sekali, Pak Gunawan, kalaupun orang itu sudah tidak ada tapi anak, istri, atau cucu masih ada jadi menurut saya memang kurang begitu bijaksana. Lebih baik tidak perlu namakan siapa-siapa. Kalaupun mau menamakan sesuatu pakai nama di Alkitab atau apa supaya kita memang sedapatnya menghilangkan jejak-jejak manusia di dalam pelayanan.
GS : Tapi tujuannya memang untuk menghormati?
PG : Betul. Nah, ini kita lakukan sewaktu si hamba Tuhan tersebut masih hidup. Kita bisa katakan langsung bahwa saya diberkati dengan pelayanan ibu atau bapak dan mengucapkan terima kasih. Atau bisa tulis surat kita katakan bahwa keluarga kami menerima berkat dari pelayanan bapak atau ibu. Nah, hal seperti itu sudah tentu adalah imbalan pakar nilai bagi seorang hamba Tuhan. Hamba Tuhan itu senang dan sangat menghargai tanggapan yang membangun dari jemaat yang mengokohkan keyakinannya bahwa dia atas anugerah Tuhan memakainya untuk menjadi berkat bagi jemaat. Setelah itu sudah biasa-biasa saja dan jangan sampai akhirnya berlebihan, jangan sampai akhirnya memuji-muji. Jangan sampai menghadiahi pendeta itu dengan banyak barang. Jangan!
GS : Iya. Pak Paul, sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin ada ayat firman Tuhan yang Pak Paul sampaikan ?
PG : Saya bacakan dari Yohanes 13:16, "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya." Tuhan Yesus menekankan bahwa Dia sebagai Guru, sebagai Tuhan merendahkan diri-Nya untuk mencuci kaki murid maka Dia juga berharap dan meminta murid-murid-Nya melakukan yang sama yaitu merendahkan diri utnuk melayani orang-orang lain. Di dalam pelayanan itulah yang mesti kita lakukan supaya kita tetap mendarat, selalu harus kita ingat bahwa kita hanyalah hamba dan tugas kita hanya melayani. Terus pikirkan itu. Jangan pikirkan jabatan kita. Kalau bisa jangan. Supaya kita mendarat, menyatu dengan jemaat dan bisa memenuhi kebutuhan mereka.
GS : Iya. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tantangan Penggembalaan: Tetap Mendarat".Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.