Oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi.
Kata kunci: Pernikahan sehat bukan karena rukun tapi bertumbuh, untuk memelihara pertumbuhan kita mesti menghadapi masalah, mesti berubah, mesti setia, berani mengoreksi pasangan, bersedia belajar dari siapapun, mesti terus mencari dan menaati kehendak Tuhan, kita mesti menjadi alat Tuhan untuk menggenapi misi-Nya di dunia.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pernikahan Dibangun Di Atas Pertumbuhan, Bukan Hanya Kerukunan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, biasanya kalau ada mempelai yang baru menikah itu kita mengucapkan "Selamat dan harapan semoga tetap rukun sampai tua; sampai kakek-nenek" dan itu pun menjadi harapan kita semua. Kita tentu tidak menghendaki ada pasangan yang bentrok dan sebagainya. Tapi kita juga sering melihat ada pasangan yang kelihatannya rukun, ke gereja bersama, rekreasi dengan anak-anak bersama. Tetapi kemudian kita dikejutkan dengan berita bahwa mereka bercerai. Ini apa sebabnya, Pak Paul ?
PG : Begini, Pak Gunawan. Pertanda bahwa pernikahan sehat bukanlah kerukunan. Kita ini bisa hidup rukun tanpa kasih, alias tanpa relasi. Selama kita menjaga batas dan bersedia patuh pada syarat ‘gencatan senjata’, kita dapat memertahankan kerukunan. Namun kita tahu kerukunan seperti itu bukanlah pertanda bahwa pernikahan kita sehat. Pertanda bahwa pernikahan sehat ialah adanya pertumbuhan. Pernikahan sehat jika anggotanya terus bertumbuh. Jadi kenapa ada orang seperti tadi yang Pak Gunawan katakan, kelihatannya rukun tapi tiba-tiba bercerai dan sebagainya. Memang pertanda kerukunan itu tidak menjamin adanya pernikahan yang sehat. Kita akan melihat bahwa yang kita mau tekankan adalah pertumbuhan, sebab pertumbuhan itulah yang memerlihatkan berapa sehatnya pernikahan kita.
GS : Tanda-tanda pertumbuhan seperti apa itu, Pak Paul, di dalam pernikahan ?
PG : Ada beberapa, yang pertama adalah orang yang bertumbuh itu ialah orang yang menghadapi masalah, Pak Gunawan. Kita boleh menunda atau mendinginkan hati sewaktu menghadapi masalah. Kita pun boleh melindungi diri dari bahaya yang timbul dari masalah yang dihadapi. Namun kita tidak boleh menghindar atau melarikan diri dari masalah. Pertumbuhan baru terjadi pada saat kita menghadapi masalah. Bukan saja kita menjadi lebih kuat dan tabah, kita pun dipaksa untuk menjadi lebih kreatif dan bijak sewaktu menghadapi masalah. Hubungan dengan Tuhan pun diperkuat sebab kita akan lebih bergantung pada Dia. Saya sadar tidak mudah memaksa diri apalagi memaksa pasangan untuk menghadapi masalah. Kadang kita tergoda untuk mendiamkan masalah, kita menghadapinya dan berharap masalah bisa selesai dengan berjalannya waktu, adakalanya kita letih dan tidak tahu mesti berbuat apa; akhirnya kita berdiam diri. Tidak apa berdiam diri dan tidak apa beristirahat sewaktu letih dan kehabisan akal. Tidak apa untuk datang kepada Tuhan dan menantikan tuntunan yang lebih jelas daripada-Nya. Namun setelah itu jika kita sudah tahu apa yang mesti dilakukan, kita harus bertindak kita mesti menghadapi masalah. Jadi sekali lagi saya ulang. Ciri pertama atau hal pertama yang mesti kita perbuat supaya kita bisa terus bertumbuh dalam pernikahan adalah kita mesti menghadapi masalah.
GS : Iya. Kita berani menghadapi masalah itu, Pak Paul, tapi memecahkan masalah itu belum tentu kita bisa lakukan.
PG : Ini poin yang bagus, Pak Gunawan. Tidak mesti kita itu bisa memecahkan masalah. Ada kalanya masalah itu bergantung pada banyak faktor di luar kendali kita, sehingga tidak terpecahkan. Tapi terpenting adalah kita hadapi. Ada masalah yang memang menuntut waktu untuk bisa selesai; tidak bisa dipaksakan hari ini juga selesai. Maka kita hadapi itu, sebagai contoh misalnya kalau anak kita tiba-tiba berkata bahwa dia hamil di luar nikah. Kita bertekad harus menghadapinya dan kita juga mau menghadapinya dengan mendampingi dia. Kita akan menjaga bayi ini sampai nanti lahir, nanti terserah mau diadopsi atau tidak. Tapi poinnya adalah kita menghadapinya. Kapan bisa selesainya, ya memang nanti tidak bisa sekarang karena anak ini akan hamil selama 9 bulan, jadi kita harus menunggu. Terkadang tidak bisa masalah selesai hari ini, tapi terpenting adalah kita menghadapinya.
GS : Iya. Ini ada dalam hubungan orangtua dan anak. Orangtua yang menganggap bahwa dia perlu mendidik anak ini sehingga orangtuanya berkata, "Ya sudah tanggung sendiri, biar diselesaikan sendiri", mereka tidak mau ikut-ikut akan masalah ini. Ini bijaksana atau tidak ?
PG : Ada waktu-waktu tertentu kita harus membiarkan anak kita menghadapi, sebab kita melihat pola anak kita ‘enaknya saja’, tidak mau bertanggung jawab, tidak mau menghadapi masalah. Ada waktu-waktu memang kita harus mendidik anak kita untuk tabah menghadapi masalah dan tidak lari dari kenyataan. Tapi ada juga waktu-waktu kitalah yang mesti menghadapi masalah dan tidak lari dari masalah. Sebagai contoh tadi misalkan anak kita berkata bahwa dia hamil, kita memang memunyai pilihan untuk bersembunyi, menutupi masalah dan sebagainya. Sebaiknya memang ya tidak; kita hadapi apa adanya. Orang tahu ya tidak apa-apa, kita hadapi. Dengan cara seperti itulah kita bertumbuh dalam pernikahan.
GS : Ciri yang kedua dari pertumbuhan itu apa, Pak Paul ?
PG : Kita mesti berubah. Pertumbuhan baru terjadi sewaktu kita berubah atau beradaptasi dengan kondisi yang dihadapi. Pernikahan menuntut penyesuaian secara terus-menerus, sebab kita sendiri mengalami perubahan baik secara jasmaniah, psikologis dan sosial. Pertambahan usia membuat kita berubah. Pertumbuhan anak menuntut perubahan pada diri kita sebagai orangtua dalam membesarkan dan mendidiknya. Perkembangan karier juga menimbulkan perubahan pada bagaimana kita menjalani hidup. Singkat kata, kita adalah makhluk yang terus-menerus mengalami perubahan dan ini menuntut perubahan dalam menyikapinya. Bila kita menolak berubah dan menuntut pasangan serta anak untuk tidak berubah, kita pasti akan membentur tembok. Kita akan mengalami konflik dan membuat pasangan serta anak menjauh dari kita. Mungkin kita akan senang karena kondisi tetap sama tapi sebenarnya kita hanya menyimpan ‘api dalam sekam’. Tinggal tunggu waktu masalah akan meledak. Namun terlebih penting lagi penolakan kita untuk berubah membuat kita berhenti bertumbuh, bukan hanya kita secara pribadi tapi juga kita secara keluarga.
GS : Jadi perubahan itu yang harus kita lakukan itu sesuatu yang akan terjadi secara alamiah membuat kita berubah atau memang kita harus merencanakan itu ?
PG : Kita tidak terlalu bisa merencanakan semuanya karena memang perubahan itu seringkali terjadi secara alamiah, misalnya tadi saya sudah singgung yaitu pertambahan usia, pertumbuhan anak-anak, perubahan karier dan sebagainya. Tidak bisa tidak kita akhirnya dituntut untuk menerima perubahan tersebut. Sebagai contoh misalkan begini: kita ini bekerja, kita menghasilkan kemudian kita ini akhirnya mulai menua. Yang biasa kita kerjakan karena menuntut kemampuan fisik, sekarang tidak bisa lagi kita kerjakan. Akhirnya pekerjaan kita semakin hari semakin sedikit, yang meminta kita untuk bekerja semakin berkurang. Pasangan kita mengalami kebalikannya, karena melihat kita semakin berkurang penghasilannya maka dia berinisiatif untuk membuka usaha ini dan itu, akhirnya berkembang maju. Misalnya pasangan kita meminta kita untuk membantu dan kita tidak mau, kita tetap mau mengerjakan pekerjaan kita yang sebetulnya sudah tidak ada lagi pekerjaan dan sudah tidak menghasilkan apa-apa. Tapi kita tidak mau. Kelihatan kita tidak punya pekerjaan malah sekarang membantu pasangan kita, daripada kita menerima perubahan itu maka kita terus bersikukuh ‘tidak mau’. Hal-hal seperti ini membuat kita tidak bertumbuh, Pak Gunawan. Kita justru bertumbuh sewaktu kita bersedia beradaptasi; "Ya sudah kita memang telah mencapai usia segini, pekerjaan kita memang menuntut kekuatan fisik dan sekarang kita tidak ada lagi kekuatan fisik itu. Maka sudah kita bantu pasangan kita mengembangkan usahanya sebisa-bisanya, kita turun dalam usaha ini. Dan tidak apa-apa orang berkata bahwa sekarang membantu istri kita". Kalau kita menolak justru kita tidak bertumbuh dan nanti malah menimbulkan masalah dalam keluarga.
GS : Jadi perubahan itu harus dimulai dari kita. Kita tidak bisa menuntut orang lain yang berubah menyesuaikan dengan kita padahal sebenarnya kitalah yang harus berubah dulu, Pak Paul.
PG : Tepat, Pak Gunawan. Jadi memang kita ini maunya, kecenderungan kita menuntut orang yang berubah supaya kita tidak perlu berubah. Tapi tidak bisa. Kita harus memulai dengan diri kita.
GS Iya. Pak Paul, apa ada yang ketiga, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah kita mesti setia. Pertumbuhan dimungkinkan tatkala kita setia di dalam relasi. Bila kita mencari kesenangan dan ketenangan di luar pernikahan, kita tidak akan bertumbuh. Memang tidak mudah untuk setia sewaktu pernikahan bergolak akan ada godaan besar untuk mencari pemuasan di luar penikahan. Sungguh pun demikian kita harus menolaknya. Kita tidak boleh mengambil jalan pintas. Lebih baik kita susah karena bergumul daripada kita menjalin relasi di luar nikah. Nah, kita harus terus menjunjung tinggi janji nikah yang telah kita ikrarkan. Jadi kalau kita tidak setia, ada jalan pintas dengan membangun relasi yang baru dengan orang lain di luar nikah, maka kita tidak akan bertumbuh. Pernikahan yang sehat adalah pernikahan yang bertumbuh dan salah satu cirinya yaitu setia. Apapun yang terjadi kita tetap setia pada pasangan kita, pada pernikahan kita. Dalam kesetiaan itu, tekad kita setia itulah barulah kita bisa bertumbuh.
GS : Tapi memang tekad untuk setia ini harus dibarengi dengan fakta bahwa memang kita belajar memulai setia dari hal-hal yang kecil-kecil itu dulu. Kalau yang kecil-kecil kita tidak bisa setia maka akan sulit sekali untuk memegang kesetiaan pada saat yang besar ini digoncangkan. Seperti tadi Pak Paul katakan, hubungan pernikahan ini bisa rusak karena kita tidak setia pada pasangan kita.
PG : Betul. Sudah tentu memang dimulainya dari hal-hal kecil. Apa yang kita janjikan, kita tepati, apa yang kita memang sudah komitmen untuk lakukan maka kita lakukan meskipun hal-hal kelihatannya tidak berarti. Dari hal-hal yang kecil seperti itulah kita membangun kesetiaan. Akhirnya waktu kita mengalami goncangan dalam pernikahan, godaan untuk menerima uluran tangan orang lain atau membina relasi dengan orang lain di luar pernikahan, godaan ini akan ada. Tapi jika kita sudah terbiasa setia dalam hal-hal yang kecil maka kita lebih akhirnya terdorong untuk setia dalam hal yang penting dan besar ini.
GS : Iya. Seringkali masalah di dalam keluarga itu bisa menimbulkan kesetiaan tapi juga terkadang melunturkan kesetiaan di dalam komitmen terhadap keluarga itu.
PG : Betul. Karena sekali lagi waktu kita mengalami masalah dalam rumah tangga kita itu rentan untuk mencari penyelesaian. Nah, penyelesaian yang mudah itu akan sangat menarik, Pak Gunawan. Sehingga waktu ada orang lain di luar yang sepertinya mau mendengarkan kita berbicara, mau menolong kita atau apalah, mau mengantar kita akhirnya kita susah untuk melawannya. Tapi saya mau tekankan, kalau kita mau melihat pernikahan kita bertumbuh maka kita mesti setia.
GS : Iya. Yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang keempat adalah, untuk bisa bertumbuh kita mesti berani untuk mengoreksi pasangan. Bila kita takut kehilangan pasangan atau terlalu ‘memberhalakannya’ besar kemungkinan kita tidak akan berani menegurnya sewaktu ia melakukan kesalahan. Relasi yang miskin koreksi akan menjadi relasi yang stagnan, tidak ada pertumbuhan. Sebab pertumbuhan baru dapat terjadi bila kita saling mengoreksi. Sudah tentu kita mesti terbuka dan siap untuk dikoreksi. Jika kita bersikap defensif dan malah menyerang balik tatkala dikoreksi akhirnya pasangan akan enggan untuk mengoreksi. Daripada bertengkar akhirnya dia memilih diam. Bila itu terjadi sebetulnya orang yang paling dirugikan adalah diri kita sendiri. Kita tidak akan mengalami pertumbuhan. Jadi sekali lagi saya tekankan untuk bertumbuh dalam pernikahan kita mesti berani saling mengoreksi.
GS : Iya. Jadi mengoreksi dan dikoreksi begitu, Pak Paul ya?
PG : Betul.
GS : Sebenarnya kita mau saja dikoreksi, Pak Paul. Tapi caranya mengoreksi yang sangat penting. Kita bisa menerima koreksi itu atau tidak, itu dari cara dia menyampaikan.
PG : Betul. Memang kita mesti belajar cara menyampaikan koreksi, jangan sampai sepertinya kita menghina, merendahkan, memerintah. Kalau bisa kita berbicara dengan halus, dengan nada yang lembut bukan dengan nada marah-marah. Nah, cara-cara seperti itu memang kita perlu pelajari. Tapi memang saya mesti akui, Pak Gunawan, ada orang yang sulit menerima koreksi. Mungkin karena dia terbiasa dianggap benar terus oleh orang lain, atau memang dia dibesarkan dalam keluarga dimana sering disalahkan sehingga dia mudah sekali defensif, tidak mau menerima teguran orang atau koreksi orang. Sudah tentu tidak mudah mengubah ini. Tapi saya mau mengingatkan kalau kita mau bertumbuh dalam pernikahan maka kita mesti bersedia untuk menerima koreksi dan mesti berani juga mengoreksi. Saya sudah lihat pasangan nikah yang tidak melakukan ini, Pak Gunawan. Tidak ada saling koreksi, karena mungkin dia tidak mau melukai hati pasangan atau apa sehingga akhirnya tidak jalan sistem koreksi ini. Dan relasi itu akhirnya stagnan, tidak bertumbuh.
GS : Ada pasangan yang mau mengoreksi pasangannya, tetapi setiap kali dia melakukan koreksi itu, pasangannya menjadi marah besar, Pak Paul. Sehingga dia merasa "Buat apa saya mengoreksi ?"
PG : Betul, betul. Ini saya tahu terjadi. Ada orang yang seolah-olah maunya terbuka "Oke koreksi saya, saya orang yang mau belajar", begitu dikoreksi marah. Memang orang-orang seperti ini baik di luar maupun dalam pernikahan akhirnya susah sekali untuk bertumbuh.
GS : Juga ini, Pak Paul, kadang-kadang ada koreksi yang dilakukan berulang-ulang, terus-menerus tidak ada berhentinya. Koreksi itu diucapkan sekali, dua kali maka lama-lama yang dikoreksi juga bosan mendengar koreksi ini. Seolah-olah diungkit-ungkit terus kesalahannya.
PG : Ini poin bagus. Jadi kita ini mesti sadar bahwa tidak ada di dunia ini yang senang ditegur, dikoreksi. Tidak ada. Jadi sedapat-dapatnya sekali, dua kali sudah lalu kita diam. Berikan kesempatan pada orang untuk mencernanya, jangan kita terus mengejarnya dengan koreksi kita.
GS : Iya. Jadi sebenarnya hal apa lagi yang bisa kita pelajari dari membangun di atas pertumbuhan ini, Pak Paul ?
PG : Kelima, kita mesti bersedia belajar dari siapa pun. Pernikahan yang bertumbuh adalah pernikahan yang terbuka untuk belajar dari siapa pun. Apabila kita hanya memberi ijin kepada pasangan untuk mengoreksi kita maka kita akan kehilangan kesempatan untuk belajar dari orang lain. Sama dengan itu, jika kita tidak membolehkan seorang pun mengoreksi pasangan maka pasangan dan kita tidak akan mengalami pertumbuhan. Jadi seyogyanyalah kita ini berinteraksi dengan sesama. Pertumbuhan baru dapat terjadi sewaktu kita menjadi bagian dari komunitas. Apabila kita memisahkan diri dari komunitas maka pertumbuhan pun akan berhenti. Itu sebab penting untuk kita membiarkan diri sendiri dan pasangan secara terpisah bergaul dengan sesama dan terbuka untuk menerima koreksi. Jadi penting jika kita menjalin relasi dengan orang di luar keluarga kita sendiri. Dan membuka diri terhadap koreksi dari orang-orang itu. Kalau kita ini menutup diri, tidak mau dikoreksi oleh orang luar hanya boleh oleh pasangan sendiri maka kita dirugikan. Atau kita melarang orang mengoreksi pasangan kita. Kalau orang mengoreksi pasangan kita maka kita langsung marah, mengamuk. Akhirnya tidak ada yang berani mengoreksi pasangan kita, kita merugikan pasangan kita. Jadi perlu kita ini hidup dalam komunitas, kita memertanggungjawabkan hidup kita bukan hanya saja kepada pasangan tapi juga kepada orang-orang di luar pernikahan kita.
GS : Iya. Memang kalau kita tidak akrab untuk dikoreksi dan mengoreksinya itu agak sulit, Pak Paul. Karena itu persekutuan-persekutuan suami-istri seperti Kelompok Bina Keluarga itu penting sekali, dimana kita bisa saling belajar.
PG : Betul, betul. Orang yang memang tidak menundukkan diri pada orang di luar keluarganya akan susah untuk belajar dari orang-orang di luar. Betapa besarnya kerugian itu, Pak Gunawan, sebab kita tahu berapa banyak hal yang bisa kita pelajari dari orang lain dan betapa beruntungnya kita kalau orang juga mau menyampaikan teguran kepada kita agar kita peka maka kita justru diuntungkan; kita belajar banyak dari orang-orang di luar. Nah, betapa besar kerugian kalau kita tutup pintu dan membangun benteng sehingga kita tidak mendengar lagi masukan dari orang lain.
GS : Biasanya yang kita perlu pelajari dari orang lain itu apa, Pak Paul ?
PG : Seringkali kita perlu mendengar dari orang sifat-sifat kita atau karakter-karakter kita yang kurang baik dari orang lain. Kebanyakan begini, Pak Gunawan, kalau kita sudah terbiasa hidup dengan pasangan kita misalnya kita melihat kekurangannya, karakter yang kurang baik apa karena kita sudah terbiasa dan kita terima dia apa adanya akhirnya kita diam saja, tidak apa-apa. Meskipun sebetulnya itu karakter yang kurang baik. Orang di luar ‘kan tidak akan setoleransi kita, tidak mungkin sesabar dengan kita. Jadinya itu sewaktu mereka mengalami sesuatu akibat perbuatan kita di luar itu mereka biasanya akan bereaksi keras dan memberitahukan kita, "Kamu jangan begini, kamu mengapa begini ? Kamu mengapa mementingkan diri ? Kamu tidak memertimbangkan orang lain dan sebagainya, itu adalah masukan-masukan yang sangat berharga yang sebetulnya juga kita memang lakukan dalam rumah tangga kita. Tapi karena pasangan kita telah terbiasa akhirnya tidak berani lagi menegur atau "Ya sudah" mendiamkan kita.
GS : Tapi ‘kan pandangan-pandangan orang luar tadi itu harus kita saring lagi; cocok tidak buat keluarga kita. Mungkin saja itu cocok untuk keluarga orang lain, tapi untuk kita belum tentu cocok.
PG : Betul. Jadi tidak semua masukan dari luar kita akan terima begitu saja. Sudah tentu kita saring lalu siap atau tidak, tepat atau tidak tepat. Jadi sekali lagi keterbukaan kita itu akan membuat kita belajar banyak tentang diri kita dan itu membuat kita bertumbuh.
GS : Iya. Hal yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang keenam adalah untuk kita terus bertumbuh kita mesti terus mencari dan menaati kehendak Tuhan. Pernikahan yang bertumbuh adalah pernikahan yang menempatkan Tuhan di takhta kehidupan, dimana kehendak Tuhan diutamakan di atas kehendak pribadi. Pernikahan yang tidak bertumbuh adalah pernikahan yang sarat dengan kehendak pribadi. Sebaliknya sewaktu masing-masing mengesampingkan kehendak pribadi maka pertumbuhan akan terjadi. Jadi sekali lagi saya tekankan betapa pentingnya menundukkan kehendak pribadi dan meninggikan kehendak Tuhan. Orang yang bisa menekan kehendak pribadi dan mengutamakan kehendak Tuhan adalah orang yang akan terus bertumbuh.
GS : Jadi disitu dibutuhkan pasangan yang memang seiman, Pak Paul, kalau tidak akan agak sulit, Pak Paul ?
PG : Betul. Seiman dan juga memang sehati dalam memegang dan mengutamakan kehendak Tuhan.
GS : Apa masih ada yang lain, Pak Paul ?
PG : Yang ketujuh dan terakhir, kita mesti menjadi alat Tuhan untuk menggenapi misi-Nya bagi dunia. Pernikahan akan bertumbuh bila kita terlibat dalam pekerjaan Tuhan yang jauh melampaui pernikahan atau keluarga sendiri. Pernikahan yang berkutat pada kepentingan dan rencana sendiri tidak akan mengalami pertumbuhan yang berarti. Sebaliknya pernikahan yang dapat keluar dari kepentingan keluarga dan memerhatikan pekerjaan Tuhan di luar akan bertumbuh. Jadi kita lihat keluarga yang juga berbagi berkat dengan orang, terlibat dalam pekerjaan Tuhan, mengurus bukan saja yang dalam keluarga tapi juga yang di luar keluarga akan menjadi keluarga yang bertumbuh atau pernikahan yang bertumbuh. Tapi pernikahan yang hanya mengurus diri sendiri, anak sendiri, semua sendiri maka sampai kapan pun tidak akan bertumbuh.
GS : Iya. Karena panggilan Tuhan kepada kita juga termasuk keluarga kita itu menjadi saluran berkat Tuhan bagi orang lain, Pak Paul ?
PG : Tepat sekali.
GS : Bukan hanya menikmati berkat-berkat-Nya tetapi membagikan berkat itu pada orang lain.
PG : Betul.
GS : Pak Paul, untuk mengakhiri perbincangan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Mazmur 92:14 mengingatkan bahwa "Mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah kita." Jika kita menancapkan akar pernikahan kita di atas kebenaran dan kehendak Tuhan maka kita akan bertumbuh dan berbuah di pelataran kehidupan ini. Saya harap kita semua bisa mengerti apa yang dikatakan, yaitu pentingnya kita membangun pernikahan di atas kebenaran dan kehendak Tuhan. Barangsiapa membangunnya di atas kebenaran dan kehendak Tuhan, melakukannya maka kita akan berbuah di dalam kehidupan. Bukan saja untuk keluarga kita tapi juga untuk orang-orang lain.
GS : Iya. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pernikahan Dibangun Di Atas Pertumbuhan, Bukan Hanya Kerukunan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.