Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Tetap Orang Tua Walau Sudah Tua" bagian ke-2 , kami berharap Anda sekalian bisa mengikuti perbincangan ini dengan baik. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kita sudah pernah memperbincangkan tentang "Tetap Orang Tua Walau Sudah Tua" pada bagian yang pertama di kesempatan yang lalu, Pak Paul. Sebelum kita melanjutkan perbincangan kita, ada baiknya mungkin Pak Paul bisa mengulangi atau mengulas secara singkat hal-hal apa yang sudah kita perbincangkan pada bagian yang pertama dulu.
PG : Masalah anak tidak berhenti sewaktu mereka itu akil balig. Tidak jarang justru setelah anak dewasa, barulah masalah muncul. Nah, jadi kita mencoba untuk menyoroti beberapa masalah yang kadang muncul setelah anak dewasa. Misalnya, pilihan studi dan karier anak. Kadang kita tahu anak kita memilih jurusan yang tidak cocok atau karier yang juga tidak ‘pas’ dengan dirinya, tapi anak kita beritahu tidak mendengar. Akhirnya menjadi masalah. Atau dalam hal memilih pasangan hidup. Kita kadang tidak setuju dengan anak kita, memilih pasangannya. Karena perangainya tidak baik, kebiasaan hidup yang buruk, atau relasinya penuh dengan pertengkaran dan imannya juga tidak cocok; tidak sama dengan iman anak kita. Hal-hal seperti itu mesti kita hadapi. Nah kita mesti katakan, kita mesti berikan bimbingan kepada anak kita. Yang berikut adalah ada masalah muncul gara-gara pilihan iman kepercayaan. Tidak mesti anak itu setelah dewasa akan mengikuti iman kepercayaan kita. Terkadang dia memilih hidupnya, jalan hidupnya sendiri. Ini sudah tentu mengecewakan dan melukai hati kita. Jadi saya sarankan agar kita berdialog dengan dia. Yang berikut adalah masalah yang sering muncul, gaya hidup dan nilai moral anak. Adakalanya anak setelah dewasa memilih hidup yang berdosa. Bekerja secara tidak legal, tidak sesuai, lalu memunyai nilai-nilai moral yang begitu buruk. Itu mengganggu kita. Nah, kita harus memang juga menyatakan sikap bahwa kita tidak setuju dan kita tidak mau mencicipi buahnya. Jadi apapun yang diberikan kepada kita, kalau kita tahu hidupnya seperti begitu, diperoleh dengan cara tidak halal maka kita tolak. Dan yang berikut adalah masalah muncul dalam relasi dengan menantu atau besan (orang tua menantu) kita. Jadi saya harapkan kita tidak berbicara langsung dengan menantu atau besan kita, tapi lebih baik kita berbicara dengan anak saja biar anak kita yang coba untuk menyelesaikan.
GS : Iya, Pak Paul. Seringkali kalau kita memberikan nasehat kepada anak kita yang sudah dewasa, mereka menyanggahnya dan mengatakan "Saya ini sudah besar, jadi sudah tidak membutuhkan lagi bimbingan dari orang tua", ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Iya kita akan katakan bahwa kami tidak bisa memaksakan kehendak, kami tidak bisa membuat kamu melakukan yang kami inginkan. Kami hanya bisa memberitahukan kamu. Jadi anggaplah ini sebagai peringatan, "Apakah kamu mau dengar atau tidak terserah kamu. Tapi asal kamu tahu, kamu sudah diperingati".
GS : Tetapi kalau seandainya anak ini tidak mau mengikuti saran kita, ‘kan buat kita itu menjadi suatu beban di masa tua, Pak Paul ?
PG : Sudah pasti, Pak Gunawan. Jadi memang harus saya juga akui ada orang tua yang makin tua semakin bahagia. Tapi ada orang tua yang makin tua makin tidak bahagia. Karena apa? Karena masalah anak-anaknya. Jadi akhirnya membebani orang tua, sehingga sampai di hari tua pun harus memikirkan anak-anaknya.
GS : Iya. Masalah yang keenam yang kalau kita boleh katakan, karena pada kesempatan yang lalu sudah ada 5 hal yang sudah Pak Paul sampaikan tadi. Yang keenam apa, Pak Paul ?
PG : Masalah si anak dalam pernikahannya. Jadi maksudnya relasi nikah anak itu memburuk. Waduh, kita juga menjadi susah ini. Tadinya hubungan dengan menantu baik, hubungan dengan besan baik, tapi sekarang muncul masalah. Nah, kita mesti bersikap objektif. Kita mesti berdiri di atas kebenaran, bukan di atas hubungan darah. Jadi anak kalau salah kita harus katakan itu salah. Kita tidak membela anak, karena dia anak kita. Sebaiknya kita rujuk mereka untuk mencari pertolongan dari pihak ke-3, bukan dari kita. Sebab bagaimanapun kita terikat hubungan keluarga. Jadi misalkan kita minta dia berbicara dengan hamba Tuhan atau dengan konselor untuk membereskan masalah mereka itu.
GS : Biasanya mereka datang itu dalam kondisi kehidupan pernikahan yang sudah sangat buruk begitu, Pak Paul. Sehingga mereka datang pada kita dan berkata, "Aku mau cerai dengan pasangan ini". Reaksi kita yang pertama pasti kaget Pak Paul.
PG : Sebagai orang tua setelah kita mencari tahu apa duduk masalahnya dan kalau kita tahu memang anak kita yang salah, menurut saya kita memang harus menyatakan teguran kita kepada anak kita kalau dia salah. Misalnya, anak kita itu berselingkuh. Jangan sampai kita ini justru menyalahkan menantu kita; "Kamu ini dasar tidak bisa menyenangkan suami. Makanya suamimu sekarang tidak setia". Tidak! Jangan sampai kita menyalahkan menantu kalau yang salah anak kita. Jadi kalau memang salah anak kita, kita minta maaf kepada menantu kita ; "Maaf anak saya berbuat serong. Anak saya berkhianat kepada kamu. Anak saya yang salah" dan kita jelas-jelas mau berpihak kepada kebenaran. Kalau menantu kita yang benar kita bela dia, kita tidak apa akhirnya hubungan sama anak rusak, tidak apa-apa. Asal kita berdiri di atas kebenaran.
GS : Iya, tetapi kalau kita mendengar berita dari anak kita tentu dia akan membenarkan dirinya sendiri dan menyalahkan pasangannya, Pak Paul.
PG : Nah, sebaiknya memang kalau kita mau menolong, kita dengarkan yang anak kita sampaikan setelah itu kita memang mau tahu dari pihak menantu kita apa yang terjadi. Tapi kalau kita rasa menantu tidak mau berbicara, kita beritahukan saja "Coba kamu hubungi si ini atau siapa untuk mendapatkan pertolongan".
GS : Jadi orang tua dalam hal ini tidak berupaya untuk merujukkan mereka kembali begitu, Pak Paul?
PG : Saya kira sampai titik tertentu kita harus mencoba berbicara, tapi kalau memang kita lihat ini masalah lebih rumit daripada yang kita duga, lebih baik daripada kita terlibat terlalu dalam nanti kita terseret-seret dan dianggap membela anak kita memang lebih baik kita rujuk mereka ke pihak ke-3 untuk ditolong.
GS : Padahal biasanya dalam kondisi seperti itu mereka agak sulit untuk diajak atau diminta untuk berkonsultasi dengan pihak ke-3. Mereka mau apa yang mereka putuskan, ya sudah cerai. Ini diketahui oleh orang tua dan mereka resmi bercerai begitu, Pak Paul.
PG : Iya. Memang kadang-kadang begitu. Tapi tetap saya anjurkan, kita sebagai orang tua menyuarakan pendapat. Sebab saya sudah lihat Pak Gunawan, cukup banyak anak yang masih sungkan atau menyegani orang tua. Jadi waktu orang tua bicara mereka itu lebih sungkan untuk melawan sehingga akhirnya ikut; apa yang diminta oleh orang tuanya. Jadi sebagai orang tua saya kira, kita bisa menggunakan posisi kita itu untuk mengarahkan anak mencari pertolongan.
GS : Iya. Dalam hal ini tentunya, bagaimana sikap kita pada masa tua ini menghadapi anak dan menantu itu, supaya kesan mereka terhadap kita itu positif. Kalau kesan terhadap kita tidak bagus, mereka akan paksakan apa yang mereka mau.
PG : Betul. Itu betul sekali. Kalau kita memang tidak direspek (dihormati) oleh menantu kita, apapun yang kita katakan dia tidak akan dengar.
GS : Kita sebagai orang tua, kadang-kadang memikirkan juga anak-anak yang akan mereka tinggalkan. Itu apakah bijaksana bahwa orang tua ini lalu berkata, "Anak-anakmu biar ikut saya saja"?
PG : Sudah tentu sebaiknya tidak. Sebaiknya barkan mereka bertanggung jawab mengurus anak-anaknya. Kecuali memang kalau tidak ada yang mau mengurus. Anak-anak itu terlantar. Nah, lebih baik kita yang tangani daripada anak-anaknya terlantar.
GS : Tapi sejauh mereka masih mau bertanggung jawab, kita serahkan kepada keputusan mereka begitu Pak Paul. Hal yang lain apa, Pak Paul?
PG : Yang ketujuh masalah yang biasanya muncul setelah anak dewasa adalah kepedulian anak terhadap kita, orang tuanya. Setelah anak dewasa dan kita tua barulah kita dapat melihat warna anak yang sesungguhnya; ada yang egois, tidak peduli dengan orang tua, ada yang sayang dan peduli dengan orang tua. Nah, bila itu yang terjadi kita tidak perlu menuntut, terimalah kenyataan kalau anak kita itu tidak peduli dengan kita dan memang egois. Tidak apa kita menjadi dekat dengan anak yang lebih peduli dengan kita dan tidak apa kita juga tidak terlalu dekat dengan anak yang begitu peduli dengan kita. Tidak apa-apa.
GS : Apakah itu tidak menimbulkan iri hati di antara saudara-saudaranya?
PG : Bisa jadi iya. Tapi saya kira kita mau realistik berkata bahwa "Bagaimana saya bisa dekat dengan kamu karena kamu itu tidak peduli dengan kami. Dan kenapa kamu menyalahkan kami dekat dengan kakakmu, karena dia itu memang mempedulikan kami". Jadi biar anak juga melihat bahwa perbuatannya akan mengundang akibat dan mereka juga harus tanggung akibat itu.
GS : Tapi ‘kan tentunya anak ini juga berkata bahwa "Saya seperti ini karena akibat tindakan papa mama terhadap saya di masa lalu" tentunya.
PG : Oke. Kalau kita memang bisa lihat itu yang terjadi, kita akui kita salah. Tidak apa-apa. Kita minta maaf kepada dia begitu. Sehingga relasi kita bisa kembali terjahit dengan dia. Mungkin dia menyimpan kepahitan kepada kita, itu yang perlu dibereskan.
GS : Iya. Dan ini Pak Paul, kalau anaknya itu tunggal lalu tidak peduli dengan orang tuanya, ini menjadi masalah. Kalau tadi Pak Paul katakan "Tidak apa, tidak diperhatikan anak, ‘kan ada anak yang lain", dia bisa lari kesana. Tetapi kalau anak tunggal susah, Pak Paul?
PG : Iya, iya. Kita hidup tidak dalam dunia yang ideal, Pak Gunawan. Jadi adakalanya itu, anak itu memang menunjukkan warna aslinya. Dia adalah anak yang egois, tidak begitu peduli dengan kita. Tapi adakalanya memang kita yang salah, Pak Gunawan. Kita itu tidak begitu memerhatikan dia sewaktu dia kecil atau lebih muda. Atau kita terlalu sering menyakiti hati dia, sehingga dia ini tidak mau lagi dekat dengan kita. Nah, kalau itu memang yang terjadi kita mesti mengakui bahwa kita salah, banyak merugikan dan melukai dia.
GS : Tapi ada juga orang tua yang sudah memberikan perhatian yang perlu kepada anaknya, tetapi di masa tua anak itu tetap tidak mau peduli kepada orang tuanya.
PG : Iya, ada Pak Gunawan. Jadi memang tidak semua anak kita itu bertumbuh besar menjadi anak-anak yang baik, yang mengasihi orang, yang mau berkorban, yang memperdulikan orang tuanya. Memang tidak semua begitu.
GS : Jadi dalam hal ini orang tua tidak perlu, katakan, harus meminta-minta supaya dia dipedulikan begitu, Pak Paul?
PG : Tidak. Saya pikir sudah biarkan saja apa adanya. Kalau memang mereka tidak begitu peduli dengan kita, sudah. Kita terima itu.
GS : Mungkin ada hal yang lain Pak Paul, masalah yang timbul antara anak-orang tua pada masa tua?
PG : Masalah kedelapan yang adakalanya timbul setelah anak dewasa adalah ketidakharmonisan hubungan dengan kakak adiknya. Artinya anak-anak kita itu tidak cocok, sering bertengkar, ada yang bahkan bermusuhan, tidak berbicara. Intinya adalah yang ingin saya katakan, ketidakcocokan di antara anak mencapai puncaknya pada waktu anak dewasa. Pada waktu anak kecil, remaja belum. Setelah anak dewasa, barulah kita akan melihat apakah relasi mereka itu sungguh-sungguh baik. Pada umumnya persaudaraan memang mengalami perubahan drastik setelah anak dewasa; baik karena karakter si anak yang tidak begitu baik, atau karena pasangan. Jadi adakalanya dalam satu keluarga, misalnya ada 4 anak, 3 anak dekat satu sama lain. Ada satu anak yang tidak bisa dekat. Kenapa? Sebab memang yang satu anak bermasalah, sehingga yang 3 anak yang lain tidak suka dekat dengan dia. Tapi masalah itu baru muncul dengan jelas setelah mereka dewasa. Jadi kita sebagai orang tua kadang-kadang susah hati kita. Karena kita maunya anak-anak itu rukun, tapi adakalanya mereka tidak bisa rukun.
GS : Itu penyebabnya kenapa Pak Paul, pada masa dewasa baru muncul masalah ini?
PG : Biasanya karena sudah ada uang, Pak Gunawan, sudah bekerja. Orang mulai perhitungan itu kelihatan sekali. Ada yang mau tolong saudaranya, ada yang mau bantu kalau saudaranya lagi kesusahan, ada yang bakal tidak mau bantu seperti apapun susahnya tidak mau bantu sama sekali. Kadang memikirkan keluarganya saja. Tapi juga adakalanya karena pasangan hidupnya, menantu kita. Karena menantu itu tidak suka dengan kakak atau adik suaminya atau istrinya. Sehingga dia melarang untuk bantu, untuk apa. Jadi akhirnya anak kita tidak bisa; tangannya terikat. Kalau dia terlalu membela saudara-saudaranya, hubungan dengan pasangannya tambah rusak. Dan akhirnya sudah, dia mengalah. Dia yang akhirnya yang tidak terlalu banyak campur dalam hidup kakak atau adiknya.
GS : Iya. Tetapi memang masalah ketidakcocokan di antara saudara ini, cukup banyak juga di dalam Alkitab sendiri diungkapkan seperti anak-anaknya Daud, lalu antara Yakub dan Esau begitu, Pak Paul.
PG : Jadi ada anak-anak yang perhitungan sekali, Pak Gunawan. Ada anak yang memberi kepada orang tuanya tanpa menghitung-hitung. Ada anak yang "Tidak", dia harus memastikan bahwa kakak atau adiknya juga memberikan, kalau tidak memberikan dia tidak mau memberikan kepada orang tuanya. Walaupun sebetulnya ‘kan ini orang tuanya, ini bakti dia kepada orang tuanya. Tapi dia tidak mau sebab dia bilang "Kakak dan adik tidak memberikan, kenapa saya harus berikan?".
GS : Atau katakan ada saudara-saudaranya yang mau membantu orang tuanya, dia tetap tidak mau memberikan, ada juga Pak Paul. Yang berkata "Untuk kepentingan kami sendiri saja, kami kurang".
PG : Iya. Walaupun sebetulnya kita tahu bagi orang tua yang penting bukan jumlahnya, tapi kepeduliaannya itu. Meskipun dia kasih hanya sedikit, kita tahu dia memang mampunya hanya sebesar itu. Kita sudah senang luar biasa. Kita tidak butuh. Kita tidak mau dia itu memberi kita yang dia juga tidak mampu berikan.
GS : Tapi ada orang tua yang menuntut anak-anaknya supaya memberi, karena merasa sudah menyekolahkan, sudah membesarkan begitu Pak Paul, ini bagaimana orang tua seperti ini ?
PG : Iya. Ada yang begitu. Karena merasa sudah selayaknya anak-anak itu mendukung dia sebab dulu waktu masih muda dia yang bekerja keras mendukung anak-anaknya. Menurut saya memang seharusnya tidak begitu, sebab kalau dia begitu dia menjadikan relasi dengan anak seperti relasi kerja; "Kamu sekarang harus kerja buat saya, karena saya dulu kerja buat kamu", jangan begitu. Ada orang tua yang begitu. Tapi juga ada orang tua yang saya tahu Pak Gunawan yang memang berorientasi kepada uang (‘mata duitan’). Juga ada yang begitu. Jadi memikirkan pokoknya harta saja, uang saja. Anak itu akhirnya menjadi seperti sapi perah. Mintanya uang saja, kalau tidak diberi uang dia akan kesal, marah. Anaknya mengalami apa, juga dia tidak tanya. Yang penting uangnya masuk, sudah begitu saja.
GS : Seringkali memang ketidakcocokan di antara keluarga ini terjadi karena iri hati satu dengan yang lainnya, begitu Pak Paul?
PG : Iya, iya. Jadi kadang-kadang kita sedih sebagai orang tua melihat anak-anak ini tidak bisa rukun karena banyak iri hati. Yang kesembilan, Pak Gunawan yang saya mau angkat adalah, yang seringkali juga menjadi masalah, kesulitan ekonomi. Pada kenyataannya tidak semua anak akan mencapai kemapanan ekonomi. Jika itu yang terjadi sebaiknya kita tidak meminta bantuan dari anak yang lain. Usahakanlah menolongnya dari kantong kita sendiri. Jadi maksud saya, jangan suruh adiknya kakaknya yang keluarkan uang, untuk membantu si anak ini; "Kasihan ini kakakmu atau adik kamu, kasihan". Saya pikir lebih baik jangan. Biarkan anak-anak kita yang lainnya tergerak memberikan, sebab kalau kita yang menyuruh apalagi dia sudah menikah ada pasangannya, pasangannya ini bisa tidak senang dengan kita. Jadi sudahlah. Jika kakak atau adik tidak mau menolong, saya juga mau mengatakan itu belum tentu salah. Sebab adakalanya kesulitan ekonomi disebabkan oleh diri sendiri. Misalnya anak ini terus saja salah perhitungan, berbisnis tidak tepat atau apalah, sudah diberitahu tetap saja mau memulai bisnis itu. Akhirnya ‘rontok’ semuanya. Jadi akhirnya kakak atau adiknya berkata, "Saya tidak mau bantu lagi. Jera saya. Dari dulu kamu itu meminta terus lalu kami bantu terus. Akhirnya semuanya habis". Tapi jika tidak ada kasus seperti itu, anak kita memang kesulitan saja namun saudara-saudara tidak mau memberi, kita harus bersedih. Berarti mereka memang tidak peduli dengan adiknya atau kakaknya itu.
GS : Disitu keakraban di antara mereka itu menjadi nyata, Pak Paul. Kalau mereka memang akrab satu dengan yang lain, saya rasa kepedulian itu tentu secara spontan mereka mau membantu begitu; sebagai saudara kandungnya. Tapi yang menjadi masalah kadang-kadang yang dibantu ini adalah orang yang tidak bisa dibantu, artinya uang bantuan itu selalu dihabiskan lagi dengan tindakan-tindakan yang misalnya berjudi, atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak terpuji.
PG : Jadi makanya tadi saya sudah berkata sebagai orang tua kita mesti bijaksana. Jangan pokoknya si anak butuh, maka kakak atau adiknya harus sumbang, kasih dia uang. Tentu tidak juga, kalau anak itu memang hidupnya tidak benar. Jangan kita menyuruh adik atau kakaknya menyokong dia.
GS : Iya. Biasanya pada mulanya pada awal-awalnya orang masih mau membantu dia, saudaranya. Tetapi setelah tahu bahwa sikap hidupnya seperti itu, mereka malah membiarkan. Bahkan ada yang saya pernah tahu itu, keluarga yang mengatakan "Sudah biarkan yang satu ini di penjara sekalipun, biar dia merasa jera. Biar bertobat dia disana".
PG : Nah, kalau kita mau membantu atau meminta anak-anak kita yang lain membantu. Kita langsung membantunya secara spesifik, yaitu anak-anaknya misalnya perlu uang sekolah. Kita pergi ke sekolah anak-anaknya dan kita katakan kita akan membayar uang sekolah anak-anak itu. Jadi kita langsung membantu secara spesifik, sehingga uang itu tidak bisa dipakai oleh anak kita untuk hal-hal yang salah.
GS : Tapi nanti dikira kita itu mencampuri urusan keluarganya, Pak Paul.
PG : Sudah tentu kita perlu berbincang dengan dia dan katakan bahwa saya mau membantu tapi saya tidak akan serahkan ini, uang ini kepada kamu. Saya akan langsung serahkan kepada pihak sekolah.
GS : Iya. Tapi memang didalam satu keluarga ini, dalam satu saudara ini kadang-kadang sering ada satu dua orang yang menimbulkan masalah bagi orang tuanya ini, Pak Paul. Ada hal lain lagi, Pak Paul?
PG : Yang terakhir yang kesepuluh adalah masalah sakit penyakit, baik fisik maupun jiwa. Hidup ini tidak ideal, Pak Gunawan. Jadi kadang di usia yang relatif muda, anak menderita sakit baik fisik ataupun jiwa, yang membuatnya tidak lagi produktif. Bila itu yang terjadi, kita mesti mengajak keluarga berbicara dan memikirkan jalan yang baik untuk menolongnya. Jika kakak atau adik bersedia membantu, baik. Jika tidak, itu pertanda mereka tidak peduli. Ya sudah, kita tidak bisa paksakan, jadi kita coba bantu sendiri. Yang saya maksud dengan sakit fisik misalnya adalah ada anak-anak yang memang di usia muda sudah terkena misalnya diabetes atau dia kecelakaan sehingga akhirnya tidak bisa bekerja, lumpuh, atau apa. Atau ada yang menderita gangguan jiwa. Ini juga kenyataan hidup. Di usia-usia tertentu anak kita itu akhirnya tidak bisa lagi bekerja, tidak bisa berfungsi karena pikirannya sudah kacau, delusional atau apa. Kita orang tua tidak bisa tidak dibuat repot di hari tua oleh anak kita itu. Tapi kita juga harus ingat bahwa dia begini bukan karena salah dia, tapi karena memang inilah kondisi tubuhnya dan kondisi jiwanya.
GS : Ada yang bukan salahnya tetapi ada juga yang kita sebenarnya orang tua sudah ingatkan, misalnya tentang makanan atau tentang keselamatan di jalan raya dan sebagainya. Tapi ternyata dia tidak menghiraukan, lalu timbul masalah ini. Sakit parah atau kecelakaan itu tadi dan cacat begitu Pak Paul. Ini kadang-kadang orang tua mengatakan "Sudah. Kami tidak bisa bantu".
PG : Iya. Jadi hidup ini tidak ideal. Ada yang akhirnya di hari tua justru harus merawat anak, Pak Gunawan. Karena kalau tidak maka tidak ada yang merawat. Ada yang sudah menikah, anaknya sudah menikah, tapi waktu dia sakit dan akhirnya jatuh miskin maka pasangannya meninggalkan dia. Siapa yang harus merawat dia selain kita, karena siapa lagi. Ya sudah, maka kita terima tanggung jawab itu.
GS : Nah, kalau itu masih dalam kemampuan kita sebagai orang tua itu mungkin tidak masalah begitu Pak Paul. Tapi kadang-kadang kita di masa tua justru membutuhkan dana untuk diri kita sendiri, merawat kesehatan kita sendiri saja sudah kerepotan. Sekarang kalau harus merawat anak lagi bagaimana ini, Pak Paul?
PG : Betul, betul. Iya, inilah hidup yang tidak ideal kita tidak selalu punya jalan keluar terhadap masalah kita. Itu masalah yang nyata, Pak Gunawan. Saya tahu itu terjadi. Orang tua akhirnya terpaksa mengorbankan masa depannya atau masa tuanya. Dia simpan uang untuk masa tua, tapi sekarang harus mengurus anak yang sakit.
GS : Ya itu lebih mending kalau masih dia punya simpanan-simpanan dan sebagainya. Katakan itu untuk dirinya sendiri saja sudah kesulitan. Sekarang anaknya menderita, padahal penderitaannya ini timbul karena dulu sudah diperingatkan oleh orang tuanya.
PG : Iya itu susah. Pada akhirnya kita harus memilih, antara memberikan kepada dia dan ini kita tahu kesalahan dia sendiri atau kita tegakan hati untuk tidak menolong dia terserah dia bagaimana. Tapi saya duga kita sebagai orang tua pada akhirnya tidak akan tega, Pak Gunawan.
GS : Iya. Karena kita melihat ini darah daging kita sendiri, Pak Paul. Tetapi kemampuan kita terbatas juga, apalagi kalau saudara-saudaranya tidak mau memberikan dukungan. Ini agak sulit. Kita tidak bisa memaksakan. Tidak bisa memaksa saudara-saudaranya untuk memberikan bantuan.
PG : Betul, betul. Iya, memang tidak mudah. Kalau misalkan kita mau untuk membantu kita pun tidak hidup selamanya, kita akan meninggal dunia. Siapa nanti yang akan membantu dia juga. Kadang-kadang akhirnya anak itu terlantar karena tidak ada yang mau membantu dia.
GS : Pak Paul dalam hal ini apakah ada firman Tuhan yang Pak Paul sampaikan?
PG : Amsal 20:29 berkata "Hiasan orang muda adalah kekuatannya, dan keindahan orang tua ialah uban". Pada waktu muda kita masih kuat dan dengan kekuatan yang kita miliki, kita menyelesaikan masalah yang muncul. Pada saat tua kita tidak lagi memiliki kekuatan, kita sudah lemah. Yang tersisa adalah iman dan hikmat yang keluar dari tempaan hidup. Nah, kita tidak bersadar lagi pada kekuatan sendiri. Kita bersandar pada hikmat dan pemeliharaan Tuhan. Itulah keindahan kita pada masa tua, Pak Gunawan.
GS : Iya. Dan ini ‘kan harus dimulai sejak kita itu masih kuat, masih muda. Kita ‘kan tidak bisa tiba-tiba pada masa tua itu lalu menjadi orang yang berhikmat lalu bijaksana dan sebagainya. Ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Iya, jadi kalau kita memang dari muda sudah belajar memetik hikmat dari hidup ini, makin tua kita makin berhikmat. Kita juga kalau dari muda sudah bersandar pada Tuhan, kita percaya Tuhan akan memelihara kita dengan kata lain kita hidup dari iman. Di hari tua kita menjadi orang yang justru lebih beriman, Pak Gunawan. Kita lebih tidak khawatir karena kita sudah melihat Tuhan bisa menolong, Tuhan bisa memelihara.
GS : Dan itu baik sebagai suatu teladan untuk anak-anak kita, Pak Paul.
PG : Betul, sehingga kita melihat papa mama bersandar pada Tuhan dan inilah hasilnya. Mereka menjadi orang yang diberkati oleh Tuhan di hari tua. Mereka hidup dari iman mereka dan juga mereka belajar banyak dari pengalaman ini. Sehingga mereka menjadi orang yang berhikmat.
GS : Iya Pak Paul, terima banyak untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tetap Orang Tua Walau Sudah Tua" bagian yang kedua dan terakhir. Bagi Anda yang berminat mengetahui lebih lanjut melalui acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) di Jalan Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.