Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bpk. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pasangan yang Menderita Gangguan Jiwa". Dan topik ini merupakan topik yang terakhir dari rangkaian berawal dari satu. Ini adalah topik yang kedua belas. Jadi kami percaya bahwa topik pasangan yang menderita gangguan jiwa ini akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul pada bagian yang terakhir dari topik berawal dari satu ini kita bicara tentang pasangan yang menderita gangguan jiwa dan supaya para pendengar yang mungkin baru sekarang mendengarkan acara ini mempunyai gambaran yang lebih jelas apa yang sudah kita bicarakan sampai 11 topik yang lalu, mungkin Pak Paul bisa menjelaskan.
PG : Oke, topik pertama kita adalah "Berawal Dari Satu". Nah, kita ini biasanya berpikir bahwa kalau sampai ada masalah keluarga tentulah disebabkan oleh kedua belah pihak, suami dan istri. Tapi pada kenyataannya seringkali masalah rumah tangga itu berawal dari satu, satu pihak maksudnya. Nah, kita telah membahas masalah-masalah yang acap kali dimunculkan oleh satu pihak. Yang terakhir kali ini adalah pasangan yang menderita gangguan jiwa. Jadi, pasangan yang menderita gangguan jiwa tidak bisa tidak nantinya akan mempengaruhi kita yang merawatnya dan juga anak-anak kita. Dan nanti itu juga bisa memicu konflik di dalam rumah tangga.
GS : Kalau pada kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan pasangan yang menderita sakit secara jasmani, sekarang kita membicarakan yang penderita gangguan jiwa. Sebenarnya mana yang lebih berat Pak Paul?
PG : Sebetulnya sudah tentu masing-masing mempunyai tuntutannya, tapi memang ada kesamaan, ada perbedaannya juga. Sama seperti gangguan fisik, gangguan jiwa pun muncul dalam berbagai jenis, ini persamaannya. Perbedaannya adalah gangguan fisik terlihat jelas, sedang gangguan jiwa tidak selalu tampak. Beda lainnya adalah jika gangguan fisik hanya merepotkan yang lain dan mengganggu diri sendiri saja. Gangguan jiwa biasanya merepotkan dan mengganggu yang lainnya pula. Itu sebab tidak jarang bila pasangan menderita gangguan jiwa maka pada akhirnya rumah tangga pun mengalami masalah yang berat.
GS : Yang Pak Paul maksudkan dengan mengganggu yang lain juga ini pasangannya begitu Pak Paul atau anaknya juga begitu Pak Paul?
PG : Bisa, bisa Pak Gunawan. Jadi apapun yang dilakukan oleh orang yang menderita gangguan jiwa seringkali berdampak pada pasangannya dan juga anak-anaknya. Sebagai contoh Pak Gunawan, ada orang dalam gangguan jiwanya itu tidak bisa mengontrol dirinya, sehingga mulai meludah. Kemana-mana di rumahnya itu dia meludah. Nah, anak-anak kan tiba-tiba melihat orang tuanya meludah kesana kesini. Ya sudah tentu terganggu sekali, jijik dan sebagainya. Istri juga melihat, atau suami juga melihat kalau istrinya yang sakit, meludah kesana kesini, sudah tentu itu juga sangat mengganggu. Belum lagi kalau misalnya dia berteriak-teriak, apalagi berteriak-teriaknya di malam hari. Nah, berarti itu kan akan mengganggu ketenangan di tetangga, dan yang harus menjelaskan pasangannya; "Kemarin ada apa kok bisa sampai ribut kayak begitu?". Jadi sekali lagi ya gangguan fisik ya seringkali mengganggu penderitanya, memang merepotkan yang merawatnya, tapi kalau gangguan jiwa juga mengganggu yang merawatnya
GS : Ya Pak Paul, kok ada orang yang mau menikah dengan orang yang menderita gangguan jiwa ya?
PG : Nah, memang ini pertanyaan yang bagus ya, kok sampai ada yang mau menikah. Nah, jawabannya adalah karena tidak selalu gangguan jiwa menampakkan diri dengan jelas, tidak selalu. Sebagai contoh, bila pasangan menderita gangguan obsessive compulsion dissorder (OCD) ini gejalanya adalah melakukan suatu perbuatan berulang kali. Misalnya, sudah kunci belum, kunci lagi, sudah kunci belum, kunci lagi; sudah dibersihkan belum, bersihkan lagi, belum bersih lalu dibersihkan lagi, terus mengulang-ulang. Nah, besar kemungkinan kita tidak dapat mengetahuinya sebelum tinggal serumah dengannya. Misalkan yang lain, dia mandi bukan hanya berkali-kali tetapi sampai berbelasan kali per hari karena merasa tubuhnya belum bersih. Nah, bukankah kita baru dapat mengetahuinya setelah kita menikah dengannya? Contoh lain, gangguan kepribadian paranoia, itu gangguan yang membuat seseorang itu berpikiran yang tidak-tidak, mencurigai segalanya, pikirannya tidak rasional, menuduh kanan kiri. Nah, karena kita hanya bertemu dengan dia sekali atau dua kali seminggu pada masa berpacaran dan hanya berbicara hal-hal yang umum, kita pun tidak mengetahui bahwa sebenarnya pasangan menderita gangguan kepribadian paranoia. Setelah menikah, baru kita sadari bahwa kecurigaan dan ketidakpercayaannya tidak wajar. Dia selalu menuduh orang bermaksud buruk dan bahwa orang berniat mencelakakannya, dia pun terus mencurigai kita berbuat salah dan menutupinya, padahal kita tidak melakukan apa-apa. Nah, dari contoh-contoh ini bisa kita akhirnya lihat memang tidak selalu kita bisa melihat pasangan kita itu ada gangguan, setelah menikah baru kita sadar.
GS : Apakah memang gangguan jiwa ini merupakan penyakit turunan gitu Pak Paul? Karena banyak orang terutama yang generasi kita yang terdahulu itu mengingatkan sebelum menikah itu untuk melihat orang tuanya.
PG : Ada Pak Gunawan. Jadi gangguan jiwa makin serius makin besar faktor bawaannya. Bisa diturunkan langsung dari generasi orang tua ke generasi kita. Kadang-kadang juga skip (melewati) satu generasi, lompat generasi, misalnya dari kakek-nenek, orang tua kita tidak ada yang terkena, malah di generasi kita ada yang kena. Namun tidak berarti kalau salah seorang dari orang tua kita terkena pasti kita semuanya kena. Tidak, tidak seperti itu. Namun memang ada beberapa gangguan jiwa yang berat-berat yang faktor bawaannya itu kuat. Tapi di samping itu cukup banyak gangguan jiwa lain yang muncul bukan karena faktor bawaan tapi karena faktor kehidupan. Misalkan dia tertekan untuk waktu yang berkelamaan. Bener-bener stres berat, akhirnya ini bisa membuat dia menderita gangguan, misalkan seperti depresi.
GS : Jadi memang sulit untuk menebak seseorang, calon pasangan kita itu, apakah dia berpotensi untuk menderita gangguan jiwa atau tidak,Pak Paul?
PG : Ya, kecuali kita memang sudah mulai mendeteksinya sebelum kita menikah Pak Gunawan, kalau tidak memang agak susah
GS : Ya tapi, kita sulit juga mendeteksi karena kita jarang....
PG : Betul
GS : Bertemu atau berkumpul. Kan tidak bisa intensif gitu ya
PG : Betul, betul. Jadi ya saya mengerti kenapa ada orang–orang yang tidak menyadari bahwa pasangannya itu mempunyai gangguan jiwa hingga dia menikah dengannya.
GS : Ya dan itu pun tidak langsung, biasanya sampai punya keturunan, anaknya sudah agak besar baru muncul itu.
PG : Ada yang begitu Pak Gunawan, ada. Ada beberapa gangguan misalkan tadi yang saya bilang gangguan obsessive compulsive dissorder, yang mau melakukan terus menerus tidak bisa berhenti. Itu bisa muncul kapan saja Pak Gunawan. Dan itu tidak memerlukan adanya faktor bawaan, tidak. Ada orang yang terkena gangguan itu di usia tua, tidak ada angin tidak ada hujan, muncul. Jadi memang ini ada gangguan-gangguan yang bersumber di kimia senyawa di otak kita.
GS : Lalu, sebagai pasangan itu apa yang mesti kita perbuat Pak Paul?
PG : Oleh karena ada berbagai jenis gangguan jiwa maka kita harus membahasnya secara spesifik ya Pak Gunawan. Misalnya ini ya, bila pasangan menderita gangguan jiwa yang bersifat ke dalam, seperti depresi; maksudnya ke dalam adalah mengganggu diri sendiri. Maka tugas kita adalah merawat dan mengambil alih tanggung jawab sehari-harinya. Sebagaimana kita ketahui depresi apalagi yang berat, bersifat melumpuhkan secara psikis, sehingga penderitanya kehilangan motivasi, bukan saja untuk melakukan apa-apa, tapi juga untuk hidup. Pasangan yang menderita depresi biasanya tidak lagi bersemangat untuk mengerjakan tugasnya sehari-hari dan menjadi sangat pesimis dan negatif. Itu sebab kita mesti membawanya ke psikiater atau ke dokter jiwa agar pasangan dapat menerima pengobatan yang tepat untuk mengangkatnya keluar dari lembah depresi. Kita pun harus membawanya ke seorang psikolog atau konselor yang bisa menolongnya mencerna apa yang menyebabkannya mengalami depresi dan langkah apa yang dapat diambil untuk keluar dari depresinya. Nah, tidak bisa tidak kita pun harus menanggung beban tanggung jawabnya, baik di dalam maupun di luar rumah, sebagai contoh, gara-gara dia depresi berat , dia tidak kerja Pak Gunawan. Nah, ada yang hanya mengalami depresi berat misalnya selama beberapa minggu tapi ada yang bisa berkelanjutan sampai berbulan-bulan. Berarti beban finansial ada pada pundak kita sekarang.
GS : Iya, kalau dia memang sudah tidak punya gairah untuk hidup Pak Paul, lalu diajak ke psikiater atau ke dokter dan sebagainya itu apakah dia mau kira-kira Pak Paul?
PG : Memang perlu bujukan-bujukan Pak Gunawan. Nah kadang-kadang ada yang bersedia, tapi kadang-kadang ada yang tidak mau, dan juga satu hal yang membuat mereka itu kadang-kadang tidak mau makan obat karena memang ada efek sampingannya. Misalnya cukup banyak yang mengeluhkan setelah makan obat maka kok ludahnya berkurang, sehingga lidah itu, mulut itu kering bawaannya. Ada yang juga mengeluh, aduh bawaannya kok lemas, maunya tidur terus, jadi tidak enak. Akhirnya tidak mau makan obat lagi. Ya memang tidak terlalu gampang membawa pasangan yang sakit secara jiwani ke dokter
GS : Ya apalagi untuk ke konselor itu, dia agak sulit untuk diajak bicara, karena semangat hidupnya sangat rendah.
PG : Betul
GS : Dan repotnya itu biasanya berimbas kepada kesehatan fisiknya.
PG : Ya
GS : Ia sakit, lalu dibawa ke dokter umum dan sebagainya, memang diobati, tapi tidak sembuh-sembuh karena memang intinya bukan dari situ.
PG : Betul, betul. Belum lagi memang bisa jadi dia itu sakit benar-benar secara fisik karena dia depresi, dia tidak banyak bergerak, dia banyaknya diam dan misalnya suka makan. Nah berarti ya dia tidak lagi hidup berimbang, mudah sekali terkena penyakit. Contoh yang lain, misalnya pasangan menderita gangguan jiwa OCD, obsessive compulsive yang tadi sudah saya sebut, kita juga mesti membawanya ke psikiater, guna memperoleh pengobatan dan ke seorang psikolog atau konselor untuk menolongnya mengatasi kecemasan yang tinggi pada dirinya. Tidak bisa tidak, bila kondisinya sedang buruk kita pun harus mengambil alih tanggung jawabnya seperti mengurus anak dan lainnya. Jadi kalau kecemasan yang begitu tinggi, dia terus mengerjakan seuatu berulang-ulang, anak-anak akhirnya tidak terurus. Nah, siapa yang harus mengurusnya? Tentu kita. Misalkan kita harus bekerja tapi sekarang harus mengurus anak, berarti kita minta cuti atau apa. Jadi, sebagaimana dapat kita lihat Pak Gunawan, dari beberapa contoh ini dampaknya pada kita bukan hanya kerepotan, tapi juga adanya keharusan mengambil alih tanggung jawab,. Sebagai manusia kita juga punya keterbatasan dan bila ini terjadi berulang kali, tidak bisa tidak kita letih dan bisa kehilangan kesabaran. Kita tidak lagi mau mengerti karena sudah tidak tahan lagi, mungkin pertama dituduh oleh dia yang paranoia, mungkin kita masih dapat memahaminya. Tapi bila ini terjadi hampir setiap minggu, kita dituduh melakukan sesuatu yang tidak benar, hal ini membuat kita pun marah. Atau pada awalnya pasangan menderita depresi kita masih mengerti bahwa ini terjadi di luar kendalinya; dia tidak mau depresi maksud saya. Namun jika terjadi bukan saja berkali-kali tapi terus tidak sembuh-sembuh, kita susah mengerti. Kita akan menuntutnya untuk kuat, akhirnya kita bertengkar.
GS : Ya, karena ada pasangan yang melihatnya begini Pak, karena secara fisik dia tidak apa-apa, jadi artinya sehat begitu sebenarnya. Mestinya bisa bekerja, mestinya. Nah, jadi tuntutannya ini malah memperberat si penderita gangguan jiwa ini begitu Pak Paul. Karena dianggap dia sehat padahal sebenarnya dia kan sakit. Sakit. Gangguan jiwanya ini. Jadi bagaimana Pak Paul?
PG : Memang perlu hikmat Pak Gunawan. Karena saya juga harus akui ada kalanya memang dia tidak bisa bekerja karena dia sakit ya Pak Gunawan, secara jiwani, tapi ada juga orang-orang yang memang tidak begitu rajin. Jadi kita tidak bisa berasumsi bahwa semua orang sebetulnya rajin dan mau bekerja. Ada orang-orang yang memang senang tidak kerja dan senangnya bergantung pada pasangannya, ada yang seperti itu. Jadi, misalnya dia tertekan sedikit atau sakit sedikit, dia gunakanlah kesempatan itu untuk tidak kerja dengan alasan "Saya tidak siap. Saya begini, saya begitu", dan saya memang menemukan kasus-kasus seperti ini Pak Gunawan. Jadi ada orang itu yang memang sengaja tidak mau bekerja Pak Gunawan, sampai lama sekali dan berusaha mendapatkan uang dengan segala cara. Ini emang kejadiannya di Amerika, jadi mendapatkan bantuan dari negara supaya didukung terus, pokoknya tidak perlu bekerja. Jadi ada orang-orang yang seperti itu juga. Memang pernah sedikit terkena penyakit, pernah misalnya, salah satu apa, tetapi seharusnya sudah bisa kerja, tapi tidak mau, lebih senang kayak begini hidupnya.
GS : Memanipulasi begitu Pak Paul? Sebenarnya orang yang seperti ini kan bukan menderita gangguan jiwa, cuma alasan saja?
PG : Betul, artinya mula-mula dia mungkin saja ada gangguan, tapi setelah itu sudah sembuh, akhirnya dia betah dalam kemalasannya. Karena memang bawaannya dia adalah malas begitu, maunya itu bergantung dan maunya memanfaatkan orang.
GS : Jadi sebenarnya kalau sebagai pendamping, sebagai pasangan Pak Paul, yang tidak dengan jelas mengetahui kapan dia menderita dan kapan dia sembuh itu sebenarnya kita bisa dimanipulasi?
PG : Bisa, bisa. Jadi saya ada temukan kasus seperti ini, misalnya itu yang sehat itu akan terus memaksa dia untuk bekerja, tapi dia tidak mau. Dia tidak mau, tetap memanipulasi, mengatakan bahwa dia belum sehat, dia harus ke dokter atau apa, terus begitu. Sehingga yang harus bekerja adalah pasangannya, yang banting tulang. Karena lalu bagaimana lagi, semua harus dikasih makan. Kalau tidak bekerja berarti tidak bisa makan, jadi pasangannya yang banting tulang, walaupun yang satunya benar-benar enak sekali hidupnya.
GS : Iya, jadi sebenarnya Pak Paul, seperti kita bahas di dalam orang yang pasangannya sakit secara jasmani Pak Paul. Orang yang menderita atau pasangan yang menderita sakit jiwa ini pun, gangguan jiwa ini pun, menguras keuangan keluarga, Pak Paul?
PG : Bisa Pak Gunawan. Misalnya ini ada yang memang mengurasnya secara pasif dalam pengertian dia tidak lagi memberikan kontribusi karena dia tidak kerja, dia hanya bisa pakai uang, tapi ada yang dalam pengertiannya dia menuntut untuk dibawa ke psikolog atau dibawa ke psikiater, untuk beli ini, beli itu. Dan itu semuanya juga memakan uang yang besar. Nah, itu gangguan yang memang berat, kita harus tanggung, tapi yang lebih berat adalah kalau pasangan kita menderita gangguan jiwa yang mengganggu sekali dan kadang mengancam keselamatan, yaitu gangguan yang bersifat keluar artinya objek gangguannya adalah orang lain. Misalnya ini, jika pasangan menderita gangguan kepribadian narsisistik, artinya semuanya diri sendiri. Borderline, cara pikirnya yang sangat kaku sekali, menuntut orang pokoknya harus memenuhi keinginannya dan setia kepadanya, mencintainya sepenuh hati. Apalagi psikopat, orang-orang yang tidak mempunyai hati nurani, bisa menyiksa orang. Jika pasangan kita seperti itu, tidak bisa tidak, kita pasti menderita. Ketiga gangguan ini yang tadi saya sebut membuat penderitanya hanya memikirkan kepentingan pribadi. Jadi hidup kita selamanya untuk dia, misalnya ini, penderita borderline dan psikopat sanggup melakukan perbuatan yang kejam untuk membuat kita tunduk kepada kehendaknya. Kalau kita tidak ikuti, dia bisa mengamuk, dia bisa pukuli kita, belum lagi karena rasa tidak amannya, dia membatasi pergaulan kita sehingga akhirnya kita tidak lagi punya teman, tidak punya, karena dia tidak kasih keluar. Kalau keluar dia bilang nanti kamu ini, itu, tidak mau ini, bahaya, jadi akhirnya kita seolah-olah dipenjara oleh dia dalam rumah. Ini gangguan yang bersifat keluar karena merugikan orang-orang di luar dirinya. Dan tidak bisa tidak ini akan sangat sangat mempengaruhi rumah tangga juga kesejahteraan anak-anak kita
GS : Ya, yang paling terancam dalam hal ini tentunya pasangan yang serumah dengan dia itu, termasuk anak-anaknya itu Pak Paul. Dan itu bagaimana mereka bisa melindungi diri Pak?
PG : Memang kalau orang tua kita ada yang sakit seperti itu sebaiknya, sebaiknya kita tidak tinggal sama dia. Karena anak-anak itu akan menjadi korban yang sangat sangat berat. Apalagi kalau misalnya gangguan itu itu menyiksa. Dan ada orang-orang yang memang menyiksa anaknya secara fisik, secara emosional, sehingga anak-anak itu akan rusak benar-benar. Jadi kalau kita melihat pasangan kita sudah begitu merusak, dan kita tahu tidak bisa lagi untuk diubah, memang langkah terakhir yang juga berat adalah kita harus memikirkan kepentingan anak dan berpisah dengan dia. Karena kita tidak mau nanti anak-anak kita mengulang atau menjadi masalah baru buat keluarganya.
GS : Iya, selain hal itu Pak Paul ada gangguan jiwa yang lain Pak Paul?
PG : Ada yang perlu kita juga soroti adalah gangguan psikosis, yaitu gangguan yang memang membuat orang itu kehilangan kontak dengan realitas dan hidup di dalam dunianya sendiri. Dalam dunianya, dia bicara sendiri, dia tertawa sendiri, dia menangis sendiri. Walau sesungguhnya tidak ada seorang pun yang berbicara dengannya, tapi bagi dia ada orang yang lagi bicara dengan dia, makanya dia tertawa, berbicara sendiri. Sudah tentu jika pasangan kita seperti itu, dia tidak bisa lagi berfungsi di masyarakat apalagi bekerja. Dan kita pun juga mungkin malu untuk membawa dia ke mana-mana, ke restoran atau apa, karena dia bisa bikin ulah Pak Gunawan. Dia ngomong sendiri, dia tertawa-tertawa sendiri, orang akan lihat, jadi kita akhirnya susah. Nah, sudah tentu jika kita punya kemampuan finansial, tindakan terbaik adalah memasukannya ke rumah perawatan jiwa. Mungkin kita merasa bersalah, tapi itulah jalan terbaik agar dia memperoleh perawatan dan agar dia tidak mengganggu perkembangan jiwa anak-anak. Kalau dia tidak mau, itu mungkin pilihan yang lain adalah memang kita harus memikirkan untuk berpisah dengannya agar dia tidak merusak perkembangan anak-anak kita.
GS : Tapi kalau dia ditinggalkan Pak Paul, tidak ada menolong dia, artinya tidak ada yang merawat dia nantinya. Kalau memang bisa dimasukkan ke dalam rumah perawatan jiwa, itu yang terbaik. Jadi memang kehidupan yang terpisah tetapi masih ada yang merawat dia di sana, namun jika ditinggalkan begitu saja, kok sulit?
PG : Gangguan-gangguan jiwa yang tadi saya sebutkan Pak Gunawan, memang gangguan jiwa yang dapat dikatakan tidak bisa sembuh, sebetulnya. Misalnya gangguan kepribadian borderline, orang-orang ini akan menuntut kesetiaan total dari pasangannya, mesti ikuti semua perkataannya, huruf-hurufnya pun harus ikuti, kalau tidak habis sama dia. Itu tidak ada obatnya memang. Gangguan misalnya sosiopat, gangguan yang orang ini tidak punya hati nurani lagi dan kesenangannya adalah memperalat, menggunakan orang, menyiksa orang dan waktu dia menyiksa orang, dia ada rasa puas, ada rasa senang, tidak ada obat untuk gangguan seperti ini. Nah, yang ada obatnya adalah gangguan-gangguan yang lebih bersifat seperti tadi yang saya katakan contohnya depresi ada obatnya, gangguan kecemasan, itu ada. Tapi untuk kepribadian yang seperti itu memang tidak ada, susah sekali sembuhnya, atau gangguan schizophrenia. Benar-benar orang itu terlepas di dalam dunianya sendiri, hidup dalam fantasinya sendiri, berbicara sendiri, ketawa sendiri, dan sebagainya. Memang ada obat bisa menolongnya, tapi kebanyakan kambuh lagi, kambuh lagi, kambuh lagi, kambuh lagi. Lalu bagaimana dampaknya itu bisa kita minimalkan pada anak, kalau tinggal serumah memang hampir tidak bisa. Kalau anak harus melihat papanya tertawa-tertawa sendirian, papanya berbicara dengan pohon, papanya keluar telanjang-telanjang, di tengah jalan berteriak-teriak, kasihan memang anak-anaknya harus melihat itu semua. Itu semuanya bisa sangat mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Mereka bisa luar biasa minder Pak Gunawan, atau mereka mengembangkan kebencian yang luar biasa dan bukan hanya pada papanya yang sakit, juga pada mamanya yang tidak berbuat apa-apa.
GS : Katakan saja tidak bisa disembuhkan begitu Pak Paul. Tetapi ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi dampaknya begitu Pak Paul?
PG : Kalau kita mau mengurangi dampaknya, tidak ada jalan lain kalau kita hidup dengan orang yang borderline atau psikopat atau narsisistik, kita harus ikuti kehendaknya Pak Gunawan. Apapun yang dia katakan, huruf per huruf kita harus lakukan. Tidak bisa tidak. Karena kalau kita tidak lakukan, langsung itu memancing kebencian dan kemarahannya, jadi memang kita hidup dalam situasi yang hampir mustahil.
GS : Tapi kalau kita menuruti segala permintaannya itu akan juga lebih memperburuk keadaannya.
PG : Betul sekali.
GS : Seolah-olah kita menyetujui apa yang dia lakukan itu?
PG : Betul. Dan tidak mungkin juga kita bisa selalu mengikuti kehendaknya, tidak mungkin juga. Oleh karena itu saya tadi berkata, hidup dengan orang seperti ini memang mustahil sebetulnya. Maka kalau memang tidak ada jalan lain, memang harus berpisah, kalau dia bersedia dimasukkan ke dalam rumah perawatan. Kalau dia tidak bersedia memang kita tidak bisa tinggal lagi sama dia. Kita harus pikirkan bagaimana dia harus tinggal dan sebagainya, tapi memang sebaiknya kita lindungi anak-anak kita dari dia.
GS : Atau dikembalikan ke keluarganya begitu Pak Paul. Ke orang tuanya atau kalau masih ada orang tuanya atau saudara-saudaranya. Tapi kalau mereka juga tidak mau terima terus bagaimana?
PG : Betul. Makanya jalan terakhir adalah memaksa dia masuk ke rumah perawatan dan dirawat di sana.
GS : Atau dipaksa begitu, jadi diberi obat bius lalu dibawa ke rumah sakit itu. Rumah perawatan itu, untuk bisa dirawat di sana.
PG : Betul
GS : Pak Paul, apakah dengan hal ini apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan.
PG : Menghadapi semua ini memang kita hanya dapat mohon kekuatan Tuhan. Mazmur 59:17 berkata "Tetapi aku mau menyanyikan kekuatanMu, pada waktu pagi aku mau bersorak sorai karena kasih setiaMu, sebab Engkau telah menjadi kota bentengku, tempat pelarianku pada waktu kesesakanku". Jadi kita mau datang kepada Tuhan, minta pertolonganNya dan minta hikmat apa yang mesti kita lakukan dalam situasi yang luar biasa sulit ini.
GS : Karena kalau kita tidak bisa mengucapkan seperti yang pemazmur yang ucapkan ini Pak Paul, kita itu akan selalu mempunyai rasa bersalah; "Jangan-jangan saya yang mengambil bagian di dalam hal yang memicu dia sampai menderita seperti itu", Pak Paul. Nah ini bagaimana mengatasi rasa bersalah itu?
PG : Akhirnya kita harus tentukan prioritas Pak Gunawan. Memang kita akan merasa bersalah, "Mengapa saya begini? Mengapa saya tidak tinggal bersama? Mengapa kita tidak merawatnya?", tapi akhirnya kita harus tentukan prioritas bahwa kita mau melindungi anak-anak kita. Kita sendiri mungkin masih bisa untuk bertahan, tapi anak-anak kita jiwanya masih begitu muda, terkena ini semuanya bisa benar-bener jiwa mereka rusak.
GS : Jadi terutama kita melindungi anak-anak dan juga melindungi diri kita sendiri. Tapi ini sangat penting bagaimana pun keadaan kita, kita akan tetap memuji Tuhan dan bersorak sorai karena kasih setia Tuhan.
Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini.
Dan para pendengar sekalian kami juga mengucapkan terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pendeta Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pasangan yang Menderita Gangguan Jiwa". Dan ini merupakan bagian yang terakhir dari rangkaian pembicaraan tentang "Berawal Dari Satu". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silahkan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, jalan Cimanuk 56, Malang. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.