Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan rangkaian dari suatu topik besar yaitu Berawal dari Satu. Kita sudah membicarakan delapan judul, sekarang kita memasuki judul ke-sembilan yaitu Pasangan yang Tidak Konsisten secara Moral dan Spiritual. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, dari sekian banyak masalah yang sudah kita bahas, delapan kali itu, kali ini kita akan bicara tentang pasangan yang tidak konsisten, baik secara moral maupun secara spiritual. Ada ya orang yang seperti itu, Pak Paul?
PG : Ada, Pak Gunawan. Yang kita maksud adalah orang yang perkataan dan perbuatannya tidak sepadan. Dia mengucapkan perkataan yang baik dan rohani tetapi perbuatannya tidak seperti itu. Mungkin dia terlibat dalam pelayanan gerejawi namun kehidupannya tidak berbeda dengan orang dunia. Atau dia bisa memberi nasehat, tapi dia sendiri tidak melakukannya. Singkat kata hidupnya tidak konsisten atau dalam istilah yang lebih umum dia itu munafik.
GS : Ada yang mengatakan orang ini adalah orang yang tidak punya integritas dalam kehidupannya, Pak Paul.
PG : Betul. Integritas berarti keutuhan ya. Sama luar dalam. Nah, orang ini memang tidak sama, Pak Gunawan. Kalau kita menikah dengan orang yang seperti ini, tidak bisa tidak, pernikahan kita nantinya akan menuai konflik.
GS : Adakah orang yang konsisten secara spiritual tetapi secara moral dia tidak konsisten? Bisa ya, Pak Paul?
PG : Oke. Biasanya begini, Pak Gunawan. Orang yang misalkan ke gereja itu bisa karena ada hal-hal yang bisa kita ikuti secara perilaku. Memang itu juga dilihat oleh orang, kalau kita melakukannya kita mendapat tanggapan positif, dipuji orang, orang ini rohani dan sebagainya. Jadi, kita lebih termotivasi. Nah, di luar, waktu kita tidak diawasi oleh orang, kita tidak bersama orang-orang yang mengenal kita di gereja, biasanya warna asli kita mulai keluar. Kalau kita tidak seperti itu, maka akhirnya tindakan kita juga tidak konsisten. Nah, selain dari di luar rumah, seringkali kita juga tidak konsisten di dalam rumah, Pak Gunawan. Apa yang kita khotbahkan di luar itu padahalnya tidak kita lakukan di dalam rumah kita sendiri. Ini yang nantinya menjadi bibit masalah.
GS : Ya. Jadi, sebenarnya orang ini tidak betul-betul konsisten secara rohani ya? Hanya di permukaannya saja.
PG : Betul. Biasanya orang ini hanya memerlihatkan perilaku-perilaku rohani. Perilaku yang dikaitkan dengan kerohanian. Tetapi sebetulnya di dalamnya tidak seperti itu. Jadi, dalam keluarga, dalam pernikahan, akhirnya mulai terlihat oleh anak dan pasangannya dan itu membuat anak dan pasangannya marah, tidak bisa terima dan kecewa.
GS : Jadi, apa dampaknya di dalam atau bagi kehidupan keluarga ya?
PG : Pertama, RESPEK. Begitu kita melihat pasangan hanya dapat berkata tapi tidak berbuat maka merosotlah respek kita kepadanya. Kita sukar menerima wejangan rohaninya. Kita tahu tidak selayaknyalah dia mengatakan hal-hal seperti itu. Pada akhirnya kita pun susah mendengar perkataannya yang berkenaan dengan hal-hal lain sebab kita berkesimpulan bahwa dia hanya dapat berbicara tetapi tidak sanggup melakukannya. Nah, dampak merosotnya respek itu dalam, Pak Gunawan. Begitu respek tumbang, tumbang pulalah rem yang tadinya menahan kita untuk mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan sewaktu berselisih dengannya. Sekarang rem itu sudah tidak ada, semua kata keluar dengan bebas karena kita tidak lagi respek kepadanya. Akhirnya hubungan dengannya lebih diwarnai oleh tuntutan agar dia membuktikan perkataannya terlebih dahulu sebelum mengucapkannya atau sebelum dia meminta kita melakukan sesuatu. Singkat kata di dalam hati kita berkata, "Lakukanlah dulu. Jangan bisanya menuntut orang saja". Akhirnya ini menjadi warna relasi kita dengan pasangan. Apapun yang dikatakannya kita akan tergoda untuk selalu berkata "Tunjukkan dulu. Jangan hanya bisa bicara saja".
GS : Yang Pak Paul maksudkan dengan respek adalah rasa hormat pasangan terhadap orang ini, ya?
PG : Betul. Jadi, kalau kita melihat pasangan kita tidak konsisten, bisanya bicara tapi tidak melakukan, bicaranya bagus-bagus apalagi di depan orang dia rohani, padahal dia tidak begitu, respek kita hilang, Pak Gunawan.
GS : Ya. Ini bukan hanya menyangkut hal-hal yang rohani ya. Kadang-kadang ada orang yang suka bicara soal keuangan. Dia pandai sekali membuat teori-teori atau berbicara tentang, "Oh, kita itu harus begini begini begini di tengah keluarga untuk memerbaiki keuangan keluarga." Tapi faktanya dia tidak berbuat apa-apa sehingga kondisinya juga tambah lama tambah buruk.
PG : Ya. Ada, Pak Gunawan. Ada orang-orang yang mengajarkan kepada anak-anaknya, "Kita harus begini sama uang, harus kerja keras, harus irit." Tapi dia sendiri tidak melakukannya. Nah, waktu anak atau pasangan melihat kita seperti itu, tidak bisa tidak, respek mereka terhadap kita merosot.
GS : Ya. Yang kebetulan saya tahu, ada orang yang suka bicara tentang pendidikan anak. Sebelum menikah dia memang seorang guru. Sampai sekarang pun dia sering bicara tentang pendidikan-pendidikan itu. Tapi di keluarganya sendiri, dia tidak mampu mendidik anak-anaknya.
PG : Mungkin ada yang sengaja mau menutupi kekurangan dengan cara membicarakan hal-hal yang lebih baik, lebih muluk-muluk. Tapi mungkin ada kalanya kita ini tidak begitu menyadari dampaknya. Kita berpikir, "Ya sudahlah saya tidak melakukannya. Tapi yang penting saya membicarakannya, mengajarkannya supaya anak-anak saya lebih menghargai nilai pendidikan." Tapi ya kita mesti menyadari bahwa kalau kita sendiri tidak melakukannya maka perkataan kita itu bukannya memancing hormat justru memancing rasa tidak hormat kepada kita.
GS : Itu yang memang terjadi. Anak-anaknya menjadi lebih hormat kepada ibunya daripada kepada ayah yang suka bicara tentang pendidikan itu, Pak Paul.
PG : Kalaupun dia mau bicara tentang pendidikan sedangkan dia tidak seperti itu lagi, lebih baik dia jujur dengan berkata, "Saya ini mengaku saya tidak seperti yang saya katakan. Saya masih banyak kekurangan. Tapi saya mau membagikan hal-hal ini supaya mudah-mudahan kamu akan menjadi orang yang lebih baik daripada saya." Nah, kalau kita mengatakannya seperti itu, kemungkinan besar anak-anak kita akan lebih bisa menerima dan tetap menghormati kita.
GS : Nah, itu yang sulit sekali untuk mengatakan hal seperti itu. Dia seolah-olah paling benar dalam hal ini, tapi istri dan anak-anaknya tidak melihat kenyataannya dalam kehidupannya. Selain respek, adakah pengaruh lainnya, Pak Paul?
PG : KEPERCAYAAN, Pak Gunawan. Begitu kita melihat bahwa perbuatan pasangan tidak seperti perkataannya, hilanglah kepercayaan kita kepadanya. Apapun yang diucapkannya sekarang kita pertanyakan ketulusannya. Kita meragukannya sebab kita tidak lagi tahu apakah dia tengah berkata benar atau tidak dan apakah yang dimaksudkannya itu benar-benar terkandung di dalam perkataannya. Juga sewaktu kita melihat perbuatannya, kita langsung berpikir apakah dia melakukannya secara tulus atau tidak. Misalkan dia menolong kita menawarkan jasa mau mengantar kita atau apa, tiba-tiba dia baik seperti itu, kita bertanya tulus apa tidak, apakah ada udang di balik batu. Nah, selain dari itu akhirnya menyebarlah ke wilayah yang lain dalam relasi kita, Pak Gunawan. Tidak bisa tidak kita pun mulai memertanyakan cintanya dan niat baiknya kepada kita. Sewaktu dia menyatakan cinta, kitapun bertanya-tanya apakah memang benar demikian dan tatkala dia melakukan sesuatu yang baik, kita pun memertanyakan apakah ada maksud lain yang terkandung di dalam perbuatan baik itu. Singkat kata, hilangnya kepercayaan melemahkan sendi pernikahan secara perlahan tetapi pasti. Akhirnya relasi pun mulai retak karena kita tidak tahu lagi dia sungguh-sungguh atau tidak, tulus atau tidak, apakah ada maksud tersembunyi di belakang ini. Karena apa? Ya karena hidup dan perkataannya tidak konsisten.
GS : Kalau pasangan ini sudah tidak bisa dipercaya, bukankah sulit sekali membina hubungan atau relasi nikah seperti itu?
PG : Sulit, Pak Gunawan. Sebab misalnya kita tidak bicara tentang pasangan. Kita bicaranya tentang orang, teman, tetangga, atau siapalah. Kalau misalnya kita tahu hidupnya tidak lagi konsisten, kita sadar, "Ah, dia hanya bisa bicara tapi perbuatannya tidak seperti itu." Terus terang kita akan malas berteman dengan dia. Malas. Karena kita juga tidak mau mendengarkan dia bicara. Kita sudah beranggapan, "Kamu hanya bisa bicara tapi kamu tidak bisa melakukannya." Mendengarkannya saja kita tidak mau. Nah, bayangkan kalau orang itu adalah pasangan hidup kita, Pak Gunawan. Dia tinggal serumah dengan kita, pasti kita akan sering mendengar dia bicara.
GS : Tetapi ada juga yang acuh tak acuh dan mengatakan, "Memang sifatnya seperti itu, ya saya mau apa, ya sudah. Pokoknya omongannya tidak saya anggap."
PG : Betul. Akhirnya kebanyakan langkah itu yang kita ambil. Sudahlah, tidak usah kita anggap. Karena kalau kita terus perhatikan, kita terus cocokkan, kita jadi capek sendiri dan hati kita penuh dengan kejengkelan. Akhirnya kita ambil jalan, "Sudahlah, masa bodoh dia mau bicara apa saya tidak pusingkan." Jadi, kita bisa mengerti betapa tidak mudahnya hidup dengan orang yang tidak konsisten, yang omongan dan perbuatannya itu tidak sama.
GS : Atau terlalu sering bergurau jadi pasangannya bingung, ini sedang bergurau atau sedang serius, pasangannya sulit membedakannya.
PG : Bisa, Pak Gunawan. Memang ada orang-orang yang tidak jelas ya. Dia bicara untuk hanya bercanda atau dia bicara untuk menyindir, dia hanya bergurau ataukah ada sesuatu di belakang gurauannya. Jadi, ini adalah salah satu contoh orang-orang yang tidak jelas di dalam berkomunikasi.
GS : Bahkan kalaupun orang itu membutuhkan sesuatu dari pasangannya, dia tidak bisa bicara dengan jelas tujuannya. Berputar-putar. Dia minta supaya pasangannya bisa menebak dia. Ini yang sulit, Pak Paul. Apalagi kalau sudah didasari oleh ketidakpercayaan seperti yang Pak Paul katakan tadi. Mestinya kita bertanya-tanya apa yang menyebabkan ada orang yang seperti itu?
PG : Pada dasarnya dia adalah pribadi yang seperti itu. Dengan kata lain, sebelum menikah pun, dia sudah seperti itu. Mungkin kita melihatnya tetapi tidak menganggap hal itu sebagai masalah yang serius atau kita sungguh-sungguh tidak melihatnya. Begini, Pak Gunawan. Kemunafikan lahir dari adanya perbedaan antara diri apa adanya dan diri yang diharapkan. Saya jelaskan ya. Mungkin kita ini diharapkan menjadi pribadi yang rohani tetapi sebenarnya kita tidak seperti itu. Nah, untuk menyenangkan hati orang, maka jadilah kita pribadi yang rohani, di hadapan orang kita mengucapkan perkataan yang rohani dan melakukan perbuatan yang dikaitkan dengan kerohanian. Padahal dalam hati kita tidak seperti itu. Begitu pola ini terbentuk, sukarlah kita keluar darinya. Kita takut penolakan orang dan kita pun tidak mau mengecewakan orang. Akhirnya kita terpenjara oleh pola yang tercipta ini dan kita pun mulai hidup di dalam kebohongan. Yang baik adalah seharusnya perbedaan antara diri apa adanya dan diri yang diharapkan itu perbedaannya tipis, Pak Gunawan. Berarti apa yang orang lihat, apa yang orang harapkan pada kita memang bisa kita lakukan sesuai dengan apa yang diharapkan. Atau diri kita seperti apa adanya itu diri yang dilihat oleh orang sehingga orang juga tidak mengharapkan lebih dari apa yang mereka lihat. Misalnya orang sudah melihat kita ini kalau bicara ‘ceplas-ceplos’, atau orang melihat kita ini orang yang tidak rohani, tidak memusingkan tentang Tuhan, mau berbuat apa kita lakukan. Waktu kita melakukan hal-hal yang seperti apapun orang akan berkata, "Ya memang dia tidak pernah mengklaim diri sebagai orang yang rohani. Dia memang tidak memerhatikan nilai-nilai rohani." Sehingga kita juga tidak mau menuntut dia lebih dari apa adanya. Jadi, penting sekali kita apa adanya dengan orang. Makin besar jarak antara siapa kita sebenarnya dan diri yang kita tonjolkan padahalnya kita tidak seperti itu, akhirnya makin terbuka lebar kemunafikan dalam hidup kita.
GS : Tapi jarang orang mau tampil dengan apa adanya karena tuntutan dari keluarga maupun orang-orang di sekitarnya itu lain dari apa yang sebenarnya ingin ditampilkannya.
PG : Betul. Terutama kalau anak itu hidup dalam keluarga Kristen yang terpandang, yang dianggap baik, orang ini bisa saja hamba Tuhan tapi juga bisa bukan, tapi ya memang orang-orang Kristen yang dianggap baik sebagai contoh teladan. Anak-anak ini, tidak bisa tidak, ada di bawah tekanan bahwa dia pun diharapkan menjadi seperti papa atau mamanya. Padahal dia belum tentu siap secara rohani memang dia belum sematang itu dan dia belum mau dan belum siap untuk menjadi seperti papa mamanya. Tapi karena ada tuntutan atau pengharapan itu, maka sejak kecil akhirnya terbentanglah sebuah jarak antara diri dia apa adanya dan diri yang diharapkan. Jadi, untuk satu kurun dia menjadi diri yang diharapkan. Tapi biasanya pada satu titik dia akan berontak dan berkata saya bukan seperti itu.
GS : Ya. Jadi, orang yang tidak konsisten secara moral maupun rohani ini belum tentu karena kesalahannya sendiri ya. Bisa jadi dia terbentuk oleh lingkungannya.
PG : Betul. Betul, Pak Gunawan. Memang pengaruhnya besar sekali. Apalagi kalau orangtua itu tidak peka akhirnya terlalu menekankan pentingnya penampakan atau penampilan. "Jangan bikin malu papa, jangan bikin malu mama. Harusnya kamu begini. Harusnya kamu begitu." Padahal anak kita tidak siap dan tidak mau seperti itu. Biasanya kalau itu yang terjadi, akhirnya si anak mengembangkan kemunafikan. Artinya perbuatan dan perkataannya tidak lagi sinkron.
GS : Jadi, pola yang tercipta itu sebenarnya pola yang diciptakan sendiri oleh dia ya?
GS : Jadi, Pak Paul, kalau kita berhadapan dengan orang seperti ini, apa yang mesti kita perbuat?
PG : Pada dasarnya kita mesti memberi peneguhan atas kejujurannya. Kita melakukannya dengan cara tidak menghiraukan perkataannya yang tidak konsisten atau tidak mencerminkan dirinya dan memberi penghargaan terhadap perkataan dan perbuatannya yang tulus serta mencerminkan siapa dirinya. Pointnya adalah kita memang mesti membuka mata dengan jeli, Pak Gunawan. Kalau kita lihat ada hal-hal yang tidak konsisten yang dia katakan, tidak sama dengan perbuatannya, saran saya adalah jangan hiraukan. Jangan perbesar, jangan terlalu soroti. Biarkan. Tapi waktu dia mengatakan sesuatu yang sesuai dengan perbuatannya, itu langsung kita tangkap, itu langsung kita puji. Kita katakan, "Saya hargai kamu jujur tadi bicara apa adanya bahwa kamu tidak seperti itu." "Saya senang tadi kamu bicara seperti ini." Jadi, perlahan-lahan kita mau agar dia itu diberi tanggapan bahwa jujur itu baik, bahwa tidak jujur itu tidak baik. Sekali lagi kalau memang kita tahu yang dia katakan tidak konsisten, jangan memarahi atau mengkonfrontasinya apalagi di depan orang atau di depan anak-anak kita. Jangan ya. Sebaliknya bila apa yang dikatakannya sesuai dengan siapa dirinya, kita sampaikan penghargaan kita kepadanya. Perlahan-lahan dia makin terdorong untuk menyelaraskan perkataan dan perbuatannya sebab dia tahu dia aman, kita tidak menyerang atau menolaknya.
GS : Tapi itu akan sangat jarang ya, momen/saat dia berkata jujur itu jarang. Apalagi dari pihak pasangan sudah ada ketidakpercayaan atau tidak respek. Katakan ada sedikit kejujuran, itu tidak menonjol untuk dipuji dihadapannya. Nanti dia mengira pujian kita pun hanya basa basi saja. Ini ‘kan susah, Pak Paul?
PG : Susah. Kita ini manusia ya. Karena sudah terlalu sering melihat dia tidak konsisten atau munafik, kalau pun dia melakukan hal yang konsisten, kalau pun kita mau memujinya biasanya yang keluar adalah nada sinis. Seolah-olah kita mau berkata, "Ya memang seharusnyalah kamu ini begini. Konsisten. Sebab kamu biasanya tidak konsisten." Bukannya kita puji, kita malah memarahinya. Saya mengerti memang tidak gampang ya. Sangat tidak gampang. Tapi kita cobalah lihat hal-hal kecil yang dia lakukan. Mungkin kita luput tidak melihatnya dulu. Kita perhatikan, coba kita puji. Sebab kita mau dia tahu bahwa kita melihat dia dan kita menghargai hal baik yang dilakukannya.
GS : Sebaliknya kalau dia tidak mengatakan sesuatu yang jujur, artinya dia berpura-pura lagi, padahal kita tahu ini berpura-pura, dan anak-anak pun mengerti. Apa yang bisa kita lakukan?
PG : Kita mengoreksinya tapi secara halus, Pak Gunawan. Misalkan ya, dia berkata kepada anak-anak bahwa mereka mesti membaca firman Tuhan setiap hari dan bahwa itulah yang selama ini dilakukannya. Nah, kita tahu itu tidak benar. Dia tidak membaca firman Tuhan setiap hari bahkan dia hampir tidak pernah membaca firman Tuhan. Kita dapat berkata kepada anak bahwa apa yang dimaksud oleh ayah adalah bahwa ia berusaha membaca firman Tuhan setiap hari. Sebab dia tahu betapa pentingnya membaca firman Tuhan. Tetapi ayah ya tidak selalu berhasil melakukannya. Nah, koreksi seperti ini tidak menjatuhkan martabatnya di depan anak tetapi koreksi seperti ini menyadarkannya bahwa dia tidak bebas berkata-kata semaunya. Dia tahu bahwa dia mesti berkata benar dan konsisten setidaknya di hadapan kita. Sewaktu dia mengalami penerimaan penuh dari kita walau ia tidak seperti yang diucapkannya, ia mulai merasa aman. Dia akan lebih berani menjadi dirinya dan tidak lagi bersembunyi di balik perkataan atau perbuatannya yang tidak riil.
GS : Masalahnya orang-orang yang tidak konsisten secara moral dan spiritual ini kadang-kadang sangat peka, Pak Paul. Kalau kita mengatakan hal-hal seperti itu dia bisa marah. Apalagi dikatakan di hadapan anak-anak, kepada anak-anak. Dia akan marah. Dia merasa topengnya terbuka. Dibuka. "Ayahmu ini memang menyadari bahwa membicarakan firman Tuhan itu baik, tetapi dia belum melakukannya." Bukankah ini memuji lalu menjatuhkannya. Dia bisa marah, Pak Paul.
PG : Bisa, Pak Gunawan. Memang kita ini serba sulit ya. Karena di satu pihak kita mau dia menghentikan tingkah lakunya itu. Kita tidak mau nanti anak-anak itu yang melihat. Sebab kalau anak-anak melihat dan tahu bahwa, misalnya dalam hal ini ayahnya, tidak konsisten atau munafik, itu akan merusak hubungannya dengan anak-anak dan dia akan dirugikan. Jadi, sejak awal, kita mau memberitahu suami kita secara tidak langsung bahwa kita mengawasinya, kita akan mengoreksinya kalau dia mulai berkata-kata yang tidak benar itu. Tapi kita berusaha sekeras mungkin melakukannya dengan cara halus. Dia perlu tahu itu supaya dia mengurangi kata-kata atau perbuatannya yang tidak konsisten itu di hadapan anak-anak. Misalkan dia lakukan itu di luar rumah dan anak-anak tidak melihatnya, itu masih lebih baik. Yang mau kita cegah adalah kalau dia terus menerus melakukan seperti itu di rumah, itu akan merugikan dia sendiri. Jadi, sedikit banyak kita mau melindunginya. Tapi betul kata Pak Gunawan, biasanya dia tidak suka mendengar kita bicara seperti itu, mungkin dia marah pada kita. Tapi biarkan.
GS : Bagaimana kalau diadakan semacam perjanjian antara suami istri ini. Istri dengan jujur mengatakan, "Kalau saya melihat kamu tidak konsisten, saya akan menegurmu empat mata, tidak di depan anak-anak." Bagaimana, Pak Paul?
PG : Bisa. Jadi, kita beritahu dia. Kalau memang ada hasilnya, silakan, tidak apa-apa. Yang sering terjadi adalah kalau kita hanya mengoreksi di depan dia dan tidak di depan anak secara tidak langsung, kecenderungannya dia mengulang lagi, Pak Gunawan. Karena kalau kita koreksi dia empat mata, biasanya dia akan melawan. Dia tidak terima dan berkata, "Kamu mengapa menuduh saya seperti itu? Kamu menghakimi saya? Kamu tidak tahu saja baca Alkitab." Akhirnya panjang lebar. Ya kalau mau coba silakan. Kalau tidak ada hasilnya, ada baiknya kita langsung koreksi dia secara halus di hadapan anak-anak.
GS : Kuatirnya itu mempermalukan dia di hadapan anak-anak. Kita mau menjaga perasaannya.
PG : Betul. Kalau masih bisa, tidak di hadapan anak-anak, silakan.
GS : Atau di depan orangtuanya, itu ‘kan membuat dia malu.
PG : Ya. Saya kira dalam semua rumah tangga, kita tidak menegurnya langsung di hadapan orang lain. Biasanya kita bicara kepadanya. Biasanya kita baru akan mengoreksinya di depan orang kalau sudah terlalu sering kita memberitahu dia dan dia tidak menggubris.
GS : Itupun harus dengan kata-kata yang bijaksana sekali, Pak Paul.
PG : Iya.
GS : Pak Paul, sehubungan dengan itu apakah ada firman Tuhan yang ingin disampaikan?
PG : Amsal 12:22 mengingatkan, "Orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi Tuhan, tetapi orang yang berlaku setia dikenan-Nya". Banyak dosa keluar dari hidup yang tidak konsisten, Pak Gunawan. Kebohongan bukan saja melahirkan kebohongan, tapi juga kejahatan. Kebohongan itu jarang hanya melahirkan yang sama, kebohongan, jarang. Pada akhirnya kebohongan itu berkembang menjadi hal-hal yang lebih serius. Itu sebab Tuhan tidak ingin kita hidup munafik, Dia tidak ingin kita mengembangbiakkan dosa. Itu alasannya.
GS : Kejahatan yang seperti apa yang biasanya muncul, Pak Paul?
PG : Biasanya nantinya penipuan atau dia mulai melakukan hal-hal yang berdosa tapi dia tutupi supaya orang tidak tahu, itu yang kadang-kadang kita lihat dalam kehidupan. Misalnya mulai dengan tidak konsisten, mulai berjudi misalnya atau mulai tidak setia, dia mulai ada perempuan lain atau laki-laki lain. Atau dalam pekerjaannya dia mulai tidak jujur, dia menyalahgunakan kepercayaan, jadi kebohongan biasanya berkembangbiak menjadi masalah yang lebih serius.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan yang sangat bermanfaat ini. dan para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pasangan yang Tidak Konsisten secara Moral dan Spiritual". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.