Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Keluarga Bahagia, Adakah?" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, topik apa yang akan kita bicarakan kali ini ?
PG : Kali ini kita akan mengangkat topik berjudul "Keluarga bahagia, Adakah ?" Ini sebuah pertanyaan ya, Pak Gunawan, apakah ada keluarga yang bahagia. Ini topik yang menarik dan mudah-mudahan bisa menjadi berkat buat kita semua.
GS : Iya. Memang itu menjadi pertanyaan bagi banyak orang. Semua orang yang menikah atau yang menikahkan putra-putrinya tentu berharap pasangan itu hidup bahagia, karena itu ucapannya ‘selamat berbahagia’. Kalau kita membuat kartu ucapan, kita pilihkan kata-kata seperti itu, Pak Paul. Tapi faktanya agak kabur ya. Yang disebut bahagia itu yang seperti apa ? Karena banyak orang mengklaim, "Keluarga kami ini bahagia." tapi dari luar tidak seperti itu. Atau sebaliknya, orang-orang mengatakan, "Itu keluarga yang tidak bahagia" tapi mereka sendiri berkata, "Kami tidak ada masalah, kami bahagia-bahagia saja. Kami senang dengan kehidupan keluarga seperti ini." Ini memang agak sulit untuk menggariskan. Semoga perbincangan ini membawa suatu penjelasan yang baru bagi kita. Pak Paul, kalau kita melihat di dalam Alkitab, sejak awal keluarga yang pertama itu juga bukan keluarga yang bahagia sebab anak-anaknya membunuh. Kain membunuh Habil. Ini keluarga pertama yang Tuhan ciptakan. Bagaimana dengan selanjutnya, Pak Paul ?
PG : Memang banyak sekali contoh di Alkitab yang membuat kita bertanya-tanya apakah ada keluarga yang bahagia. Sebab bahkan seperti Raja Daud, seorang yang mencintai Tuhan, diberkati Tuhan, harus menuai banyak masalah di hari tuanya gara-gara masalah anak. Imam Eli dan Samuel menghadapi banyak masalah yang ditimbulkan oleh anak-anak mereka, gara-gara anak-anak mereka Israel menolak Tuhan dan minta diperintah oleh Raja. Yakub juga menuai banyak masalah baik dari istrinya maupun dari anak-anaknya. Bahkan dalam penderitaan, bukan saja Ayub tidak mendapatkan dukungan dari istrinya, dia malah disuruh mengutuk Tuhan dan mati. Ini sebagai contoh saja, Pak Gunawan. Sebenarnya adakah keluarga yang bahagia ? Kita lihat orang sebelah kiri sebelah kanan ada begitu banyak orang yang rasanya tidak bahagia. Saya kira ini memang pertanyaan yang layak kita tanyakan, apakah ada keluarga yang bahagia.
GS : Sementara Pak Paul menyebutkan tokoh-tokoh di dalam Alkitab tadi, memang saya sempat pikir-pikir, siapa keluarga yang bahagia ? Apakah Yusuf dan Maria ? Atau yang siapa, Pak Paul ? Kira-kira ada contohnya atau tidak yang bisa kita lihat, ini lho keluarga yang bahagia?
PG : Kita tahu Ayub sangat mencintai anak-anaknya, berdoa bagi anak-anaknya. Tapi waktu akhirnya mengalami musibah, istrinya pun tidak terlalu berbahagia dengan dia. Kita tahu juga Ishak sangat mencintai istrinya, Ribkah. Tapi akhirnya rumah tangga mereka terbelah. Anak yang satu memihak pada mama, yang satu memihak pada papa. Jadi, kita sulit menemukan contoh keluarga yang benar-benar bahagia.
GS : Nuh tadinya saya pikir sebagai salah satu tokoh yang bisa kita idolakan karena mereka sekeluarga bisa tinggal dalam satu bahtera pada waktu air bah. Tapi kenyataannya setelah turun dari bahtera, Nuh mabuk. Ini ‘kan indikasi yang kurang baik, Pak Paul ?
PG : Ya. Secara positifnya kita melihat Tuhan bekerja lewat anak-anak-Nya yang tidak sempurna. Tidak ada yang sempurna bahkan keluarga mereka pun tidak sempurna, tapi Tuhan bekerja lewat yang tidak sempurna itu.
GS : Jadi, kalau ada orang yang menyatakan bahwa keluarga kami bahagia kita bisa bertanya-tanya ya. Boleh-boleh saja orang mengatakan itu tapi faktanya itu seperti apa. Apakah ada tanda-tandanya sebuah keluarga itu disebut keluarga bahagia atau tidak ?
PG : Jawaban terhadap pertanyaan ‘Adakah keluarga yang bahagia?’ adalah ada, Pak Gunawan. Tapi terlebih dulu kita harus jelas dengan makna bahagia dalam kaitannya dengan keluarga. Saya akan paparkan beberapa ciri atau tanda bahagia. Pertama, keluarga bahagia tidak berarti setiap saat setiap anggota keluarga merasa bahagia dengan keluarganya. Tidak. Di dalam setiap keluarga pasti ada konflik dan konflik membuat hati kita susah, bukan bahagia. Juga mustahil untuk memenuhi harapan atau keinginan masing-masing. Tentu ada saat dimana kita tidak bisa atau tidak bersedia memenuhi keinginan anggota keluarga yang lain. Sewaktu hal itu terjadi, orang itu pasti tidak bahagia. Itu sebab mustahil untuk merasa bahagia senantiasa termasuk di dalam keluarga. Jika demikian, apakah definisi bahagia disini ? Bahagia berarti bahwa secara keseluruhan kita merasa puas dengan keluarga kita. Kita tidak buta, kita tahu bahwa keluarga kita tidak sempurna. Tapi secara keseluruhan kita merasa bahwa di dalam keluarga, jauh lebih sering kita merasa puas dan senang daripada merasa kesal dan tidak puas. Kita tahu kelemahan masing-masing anggota keluarga namun sejauh ini kita masih dapat menoleransinya dan masih dapat menjalin relasi yang baik dengan mereka. Jadi, ini ciri pertama yang dapat saya paparkan.
GS : Tapi kalau kita bicara tentang kepuasan, itu satu hal yang sangat relatif, Pak Paul. Karena bisa saja kita puas, misalnya sebagai kepala keluarga. Tetapi bagaimana dengan istri dan anak-anak kita, apakah mereka harus puas juga supaya keluarga ini bisa disebut keluarga yang bahagia?
PG : Betul, Pak Gunawan. Bukan hanya kita ya tapi semua dapat berkata bahwa mereka merasa puas secara keseluruhan dalam keluarga ini. Penting saya angkat tadi bahwa kita ini tidak bisa selalu bahagia dalam keluarga kita. Ada waktu-waktu kita tidak terlalu bahagia. Jadi, kalau ada orang yang berkata, "Wah, keluarga saya bahagia sekali. Saya tidak pernah merasa apa-apa dan sebagainya" saya memang lebih bertanya-tanya apakah keluarga itu bahagia. Sebab seharusnya yang kita maksud bahagia adalah yang kadang-kadang ada pergumulannya juga. Tapi secara keseluruhan kita puas, kita menerima, kita bersyukur atas mereka dan sebagainya. Itu yang jadi tolok ukur kita.
GS : Mungkin itu sebabnya orang tidak terlalu mudah menyatakan, "kami adalah keluarga yang berbahagia" karena ada kekuatiran nanti orang akan melihat sisi yang lain ternyata ada masalah di dalam hidup rumah tangga kita.
PG : Iya. Saya baca, misalnya pengakuan orang-orang yang sudah menikah puluhan tahun, mereka yang memang hidup dalam realitas tidak pernah berkata, "keluarga kami luar biasa bahagia." Tidak! Rata-rata selalu berkata, "Ini benar-benar sebuah pekerjaan. Kita benar-benar harus berusaha keras. Kadang mudah, kadang sulit. Tapi yah, kita masih bisa menjalaninya." Atau rata-rata ya, "Kami saling menghargai satu sama lain dan rasanya puas dengan satu sama lain."
GS : Iya, kita hanya bisa bersyukur kalau ada orang yang mengatakan, "Wah, keluargamu bahagia ya." Kita syukuri saja ya, orang lain yang menilai. Tetapi kalau dari kita yang menyatakan bahwa kita adalah keluarga yang berbahagia rasanya agak berat ya.
PG : Betul.
GS : Ciri yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Ciri kedua adalah kita dapat berkata bahwa keluarga kita bahagia bila kita bisa bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran mereka di dalam hidup kita, Pak Gunawan. Tatkala kita tidak dapat bersyukur atas kehadiran mereka itu pertanda keluarga kita tidak bahagia. Kita bersyukur atas kehadiran mereka bukan karena mereka membuat hidup kita lebih menyenangkan atau lebih mudah. Bukan! Kita bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran mereka karena melalui mereka kita bertumbuh menjadi manusia yang lebih menyerupai Kristus Tuhan kita. Saya mau jelaskan, pertumbuhan yang saya maksudkan disini bukanlah pertumbuhan yang diakibatkan oleh masalah yang ditimbulkan oleh anggota keluarga. Pertumbuhan disini adalah pertumbuhan yang terjadi akibat pembelajaran dari satu sama lain. Suami belajar dari istri dan anak-anak, istri belajar dari suami dan anak-anak, anak-anak belajar dari orangtua dan dari satu sama lain. Dengan kata lain kita belajar dari kehidupan yang layak dicontoh bukan dari keburukan yang mesti dihindari atau ditanggung oleh satu sama lain. Kadang ‘kan kita bisa berkata, "Gara-gara pernikahan saya buruk, gara-gara pasangan saya tabiatnya jelek, saya belajar bersabar. Puji Tuhan !" Ya puji Tuhan kalau bisa sabar, tapi bukan itu yang saya maksud. Jadi, bukan kita jadi serupa dengan Kristus gara-gara persoalan begitu banyak. Bukan. Tapi kita bertumbuh dalam Kristus karena kita saling belajar lewat contoh-contoh yang memang layak ditiru.
GS : Tapi masing-masing ‘kan punya kelemahannya, baik suami, istri maupun anak, Pak Paul. Nah, untuk mencapai yang tadi Pak Paul katakan ‘kan butuh proses yang panjang sekali.
PG : Betul. Sudah tentu apa yang jadi kelemahan pasangan kita dan kita harus tanggung itu akan menumbuhkan kita. Betul. Tapi kita mau menggunakan ukuran bahagia bukan dari kita bertumbuh gara-gara pasangan kita bermasalah. Bukan ! Tapi kita bertumbuh gara-gara kita memang bisa belajar dari dia. Ada hal-hal dalam hidupnya yang kita dapat tiru.
GS : Jadi, yang kita perhatikan adalah sisi-sisi positif dari pasangan kita ataupun anak-anak kita ? Sisi positifnya saja ya bukan memanfaatkan yang negatifnya untuk memerbaiki kita ya.
PG : Tepat. Jadi, kita bersyukur waktu kita melihat, "Saya menikah denganmu saya memang bertumbuh dan saya bertumbuh karena saya belajar darimu." Itu yang saya gunakan sebagai tolok ukur atau definisi keluarga yang bahagia.
GS : Iya. Ini merupakan suatu proses yang panjang dan jatuh bangun. Mungkin sekali gagal, dua kali gagal, tapi terus diusahakan ya Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Adakah ciri yang lain ?
PG : Kita menyebut keluarga kita bahagia bila kita dikasihi dan diterima apa adanya. Singkat kata kita bisa menjadi diri kita apa adanya dan tidak mesti menjadi pribadi yang lain yang bukan diri kita supaya kita diterima dan dikasihi. Bila kita tidak dapat menjadi diri apa adanya karena dituntut untuk menjadi diri yang berbeda, maka kita tidak akan bisa berkata bahwa kita bahagia. Ini bukan saja berlaku buat istri atau suami tapi juga buat anak-anak, Pak Gunawan. Jangan sampai anak-anak kita berkata, "Saya tidak merasa bahagia karena saya tidak diterima apa adanya, saya tidak dikasihi apa adanya." Berapa banyak anak yang merasa bahwa, "Oh, saya baru dikasihi dan diterima kalau saya berhasil memenuhi tuntutan dari orangtua." Kita mesti memang menciptakan iklim penerimaan dan kasih yang tidak terlalu menekankan pada kondisi.
GS : Tapi seringkali justru seperti itu, Pak Paul. Istri menghargai suaminya karena suaminya, katakan, bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Atau suami menghargai istri kalau istri bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik. Selalu dikaitkan dengan prestasi, Pak Paul.
PG : Sudah tentu ada peraturan atau pengharapan yang mesti kita perhatikan di dalam keluarga. Kita tidak dapat dan tidak seharusnya hidup sesuai kata hati kita. Pokoknya kita tidak hiraukan kepentingan orang lain. Tidak, ya. Kita harus sadar bahwa tindakan kita bisa mengecewakan orang dan tidak soal seberapa besar kasih dan penerimaannya kepada kita. Sungguhpun demikian, seyogianyalah dalam pernikahan, kekecewaan disiapkan untuk hal yang sangat penting seperti karakter dan kerohanian, bukan hal yang sepele seperti prestasi dan penampilan. Jadi, kita tekankan pada anggota keluarga bahwa yang penting buat kita adalah karakter dan kerohanian. Bukan prestasimu, bukan penampilanmu, bukan seberapa besar gajimu dan yang lainnya. Jadi, mereka tahu bahwa mereka diterima selama mereka memang hidup sesuai dengan yang kita harapkan yaitu rohani dan juga berkarakter baik. Tetapi yang lain-lainnya mereka tahu itu tidak kita pentingkan.
GS : Biasanya ‘kan terbalik, Pak Paul. Biasanya orang lebih mementingkan prestasinya daripada hal-hal rohani ini. Juga terhadap anak-anak, kadang-kadang orangtua lebih bingung kalau nilai Matematika atau Bahasa Inggrisnya jelek. Tapi kerohaniaannya buruk sekali atau baik itu tidak dipersoalkan.
PG : Iya. Kita memang tidak bisa hidup sesuai kata hati kita. Kita juga mesti berusaha memenuhi apa yang diharapkan oleh orang – oleh orangtua kita atau oleh pasangan kita. Kita tidak bisa berkata, "Saya tidak mau kerja, kamu saja yang kerja. Saya tidak mau bereskan rumah, kamu saja yang bereskan rumah !" Ya tidak. Mesti ada tenggang rasa ya, saling bantu supaya pasangan juga menghargai kita. Itu juga bagian yang penting.
GS : Tetapi ada keluarga yang unik, Pak Paul. Mereka akan merasa bahagia kalau tidak saling mencampuri urusannya. Ini wujud kebahagiaan seperti apa ?
PG : Ada waktu-waktu kita memang membagi teritori, Pak Gunawan. Sebab memang tidak sama kebisaan, minat dan sebagainya. Ya tidak apa-apa. Tapi sudah tentu teritori yang terpisah itu seharusnya ya sedikit. Lebih banyak yang tumpang tindih, yang dapat kita lakukan bersama-sama.
GS : Yang sedikit itu yang kadang-kadang terjadi atau bagaimana, Pak Paul ? Yang masing-masing punya teritori tadi.
PG : Yang memang terlalu berbeda ya, yang artinya kita tidak ada minat sama sekali dan dia tidak ada minat sama sekali. Jadi, daripada dipaksakan untuk menyukai yang kita sukai, ya sudahlah untuk hal ini ya kita saja, untuk hal itu ya dia saja. Masing-masing ada teritorinya seperti itu.
GS : Itu tetap bisa membangun kebahagiaan di dalam rumah tangga itu ‘kan?
PG : Bisa. Selama ada banyak hal-hal lain yang dapat kita kerjakan bersama.
GS : Jadi, harus lebih banyak yang bersama-sama dikerjakan daripada yang sendiri-sendiri ya.
PG : Betul.
GS : Ciri yang lain yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Kita menyebut keluarga kita bahagia jika ada keterbukaan untuk mengoreksi dan dikoreksi, Pak Gunawan. Kita berani mengoreksi karena kita tahu teguran kita diperhatikan. Kalau kita koreksi dan tidak diperhatikan, lama-lama kita enggan mengoreksi. Kita pun tidak keberatan dikoreksi karena kita tahu mereka bermaksud baik. Mereka tidak ada maksud untuk meremehkan atau menyerang kita. Sebaliknya, jika kita tidak dapat menyampaikan koreksi karena anggota keluarga bersikap defensif, kita tidak bisa berkata bahwa keluarga kita ini bahagia. Jadi, keluarga itu memang harus melewati proses atau tahapan yang panjang dimana kita ini saling mengoreksi dan dikoreksi. Dimana ada koreksi dan dikoreksi maka kita ini akhirnya bertumbuh, Pak Gunawan, karena lewat koreksi dan dikoreksi kita juga menyampaikan pengharapan-pengharapan kita. Tidak bisa tidak, kebahagiaan keluarga juga ditentukan oleh seberapa besar atau seberapa banyak pengharapan kita yang dipenuhi oleh pasangan kita atau oleh anak-anak kita atau oleh orangtua kita. Makin banyak yang terpenuhi ya kita juga makin senang. Kalau memang tidak dipenuhi dan kita tahu ini tidak benar dan kita bisa mengoreksi sehingga pasangan kita juga belajar, dengan cara itulah keluarga itu dibangun dan makin hari makin bertumbuh. Kalau keluarga itu tidak ada lagi sistem koreksi, Pak Gunawan, nanti berhenti, tidak bertumbuh lagi. Ada yang saling membela satu sama lain, tidak bisa melihat pasangannya dikoreksi oleh orang lain, dia akan bela mati-matian. Akhirnya keluarga itu tidak akan bertumbuh. Termasuk dengan anak juga. Anaknya tidak boleh dikoreksi oleh orang lain. Defensif sekali, anak selalu harus benar. Akhirnya keluarga itu malah tidak bertumbuh.
GS : Tapi memang harus dibedakan antara koreksi dan pengawasan ya. Jadi, ini bukan pengawasan tetapi koreksi atas kesalahan dari anggota keluarga kita.
PG : Betul. Kita memang mesti berani dan bisa mengoreksi. Kalau pasangan kita defensif, kita memang enggan memberikan koreksi, sebab kita tahu tidak akan didengarkan tapi malah memicu pertengkaran. Begitu hal itu terjadi, sebetulnya relasi kita itu sudah tidak lagi bertumbuh.
GS : Atau sebaliknya kalau kita dikoreksi oleh pasangan kita, kita selalu defensif dan mencari alasan membenarkan diri sendiri, itu juga membuat keluarga ini sulit bertumbuh.
PG : Betul. Sudah tentu kita mengerti ada orang yang hobinya mengoreksi. Jangan ya. Jangan sampai hobi kita mengoreksi. Mengoreksi memang sesuatu yang harus kita lakukan, tapi lakukanlah dengan hati-hati dan bijaksana, dengan tidak gampang-gampang juga. Karena kita tahu koreksi sedikit banyak akan melukai hati orang.
GS : Karena koreksi dan kritikan ini sangat dekat sehingga koreksi kita bisa dibaca sebagai suatu kritikan yang menyakitkan daripada membangun.
PG : Iya. Keluarga yang bisa mengoreksi dan dikoreksi akhirnya menjadi keluarga yang matang, Pak Gunawan. Benar-benar matang dan kelihatan bahagia karena mereka menjadi diri yang lebih baik daripada 10 tahun lalu, misalnya.
GS : Tapi koreksi itu harus terjadi di intern keluarga itu, Pak Paul. Bukan koreksi yang datang dari luar ya.
PG : Betul. Namun kalau kita berani dan bisa dikoreksi di dalam keluarga, kita cenderung bisa dikoreksi oleh orang lain juga.
GS : Daya tahannya lebih kuat ya ?
PG : Betul. Kita juga lebih terbiasa. Kita tahu bahwa kita tidak sempurna, kita bisa salah, makanya di rumah orang bisa lihat kesalahan kita. Orang di luar melihat ada yang kurang tepat dengan kita ya kita juga mau belajar.
GS : Iya. Itu tidak memengaruhi dan malah membentuk kebahagiaan di tengah-tengah keluarga itu.
PG : Betul.
GS : Mungkin masih ada ciri yang lain?
PG : Masih ada. Kita mengatakan bahwa keluarga kita bahagia bila kita dapat membayangkan dan menanti-nantikan menghabiskan masa depan bersama dengan mereka, Pak Gunawan. Kita hanya dapat membayangkan dan menanti-nantikan menghabiskan masa depan bersama keluarga bila kita dapat menikmati keluarga kita sekarang. Sebaliknya jika kita tidak bisa menikmati keluarga kita sekarang, kecil kemungkinan kita dapat membayangkan dan menanti-nantikan menghabiskan masa depan bersama dengan mereka. Jika kita menikmati keluarga kita sekarang, kita ini seolah-olah ingin terus memerpanjang waktu bersama dengan mereka. Makin panjang makin baik. Jadi, secara spontan kita pun mulai memikirkan, merencanakan, nanti kita tinggal dimana, nanti sudah tua kita akan berbuat apa dengan keluarga kita. Sebab kita sekarang sudah merasa cocok, bahagia dan kenapa tidak kita teruskan sampai nanti. Sebaliknya kalau sekarang kita tidak ada komunikasi, saling menyakiti, kita justru berpikir bagaimana bisa menyudahi menghabiskan waktu bersama mereka.
GS : Itu sulit diwujudkan, apalagi sekarang dengan anak-anak makin dewasa, sekolah ke luar kota atau tinggal di luar kota, tinggal kita berdua suami-istri. Walaupun ada keinginan bisa selalu bersama-sama dengan mereka tetapi faktanya tidak bisa seperti itu.
PG : Betul. Namun saya perhatikan dalam keluarga yang memang akrab, ada kecocokan dan keharmonisan, meskipun tidak bisa selalu tinggal sama-sama dengan anak dalam satu kota atau apa, tapi saya perhatikan anak-anak akan berusaha keras supaya bisa tinggal dekat dengan orangtua atau bahkan bersama orangtua karena mereka tahu orangtua akan membutuhkan mereka. Saya mengerti ini tidak selalu dimungkinkan. Ada yang harus bekerja di luar kota atau apa. Tapi kesadaran itu ada sehingga lebih ada usaha untuk tinggal lebih dekat dengan keluarga supaya orangtua kita tidak sendirian di hari tuanya.
GS : Mungkin bukan hanya kumpul secara fisik, Pak Paul. Tapi yang penting hubungan emosional itu masih tetap terjaga. Sering kontak, saling bertegur sapa, itu masih tetap dilakukan. Kalau secara fisik memang agak sulit.
PG : Iya. Tidak bisa tidak kita juga bercermin diri, Pak Gunawan. Kalau kita tidak menjadi berkat buat keluarga kita atau buat anak-anak kita, kita tidak bisa berharap mereka akan senang dekat-dekat dengan kita. Bahkan mereka akan berusaha menjauh dari kita. Jadi, kita juga mesti bercermin, apakah selama ini kita telah menjadi berkat buat mereka. Semakin besar berkat yang mereka rasakan dari kita, makin mereka senang untuk bersama-sama dengan kita.
GS : Iya. Tapi memang wujud keluarga bahagia ini berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan keadaannya itu. Mungkin pada waktu pernikahan awal mungkin kita bisa menikmati kebahagiaan tersendiri dengan anak-anak yang masih kecil atau masih remaja. Makin dewasa sewaktu mereka sudah tidak lagi serumah, kebahagiaan itu ada tapi bentuknya sudah berbeda dengan yang awal tadi.
PG : Betul, Pak Gunawan, sudah tentu tidak bisa sama ya. Sewaktu anak-anak masih kecil, remaja ataupun sudah dewasa, tentu berbeda. Namun yang sama menurut saya adalah perhatian dan kasih sayang. Kalau memang keluarga kita bahagia akan ada kasih sayang yang cukup dari orangtua kepada anak, dari anak kepada orangtua dan dari pasangan suami-istri kepada satu sama lain.
GS : Iya. Walaupun ada orang luar yang baru masuk, misalnya menantu kita, itu tidak akan terlalu berpengaruh pada kebahagian keluarga, malah menambah kebahagiaan.
PG : Ya. Betul. Jadi, keluarga yang memang kuat dan berbahagia itu selalu siap menerima orang baru menjadi bagian dari keluarga mereka. Justru kalau memang mereka ini banyak masalah, seringkali tidak siap untuk menerima orang lain masuk dalam keluarga mereka. Ada kontroversinya. Tapi dalam keluarga yang memang kuat dan harmonis, justru akan lebih terbuka.
GS : Iya. Kalau kita melihat anak kita berbahagia, itu merupakan kebahagiaan kita juga ya.
PG : Betul sekali. Kita tidak mengharapkan apa-apa sudah. Yang penting mereka bisa berkeluarga, dalam kehidupannya takut akan Tuhan, kita sudah senang.
GS : Iya. Sehubungan dengan itu apakah ada kesimpulan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Memang tidak ada keluarga yang sempurna tapi ada banyak keluarga yang bahagia. Ini yang ingin kita tekankan ya. Kita puas dengan keluarga kita dan ingin menghabiskan waktu bersama dengan mereka. Sudah tentu kita tidak selalu sependapat dengan mereka. Tidak, ya. Tidak selalu juga kita bangga dengan mereka. Tidak. Kita tidak selalu berlaku benar dan kadang kita mengecewakan orang yang dekat dengan kita. Jadi, ada kalanya kita menyakiti hati mereka, membuat mereka kecewa atau malu. Namun pada akhirnya kita bisa menerima satu sama lain dan melanjutkan relasi kita. Itu yang dimaksud dengan keluarga yang bahagia. Amsal 14:11, "Rumah orang fasik akan musnah tetapi kemah orang jujur akan mekar." Rumah orang fasik musnah, kemah orang jujur mekar. Ini perbedaan antara rumah dan kemah. Tapi yang penting bukannya rumahnya atau kemahnya tapi apakah akan mekar. Nah, awal dari upaya memekarkan rumah atau keluarga kita adalah kejujuran. Ini yang Alkitab tekankan. Nama lain dari kejujuran adalah ketulusan dan keterbukaan. Jadi, dimana ada ketulusan dan keterbukaan, akhirnya disanalah ada kebahagiaan dalam keluarga, Pak Gunawan.
GS : Iya. Itulah yang menjadi tujuan kita berkeluarga ya, kebahagiaan dalam keluarga. Karena kalau tidak bahagia dalam keluarga, ini jadi neraka ya.
PG : Betul.
GS : Kita bersyukur bahwa masih ada kebahagiaan dalam keluarga tidak sepesimis di awal pembicaraan tadi.
PG : Ya.
GS : Iya. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keluarga Bahagia, Adakah ?". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.