Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana mengatasi kemarahan. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul rupa-rupanya kemarahan itu sudah menjadi bagian di dalam kehidupan kita dan saya percaya baik kita maupun saudara-saudara yang sedang mendengarkan acara ini pasti pernah marah. Ada yang marahnya disimpan atau diungkapkan secara meledak-ledak tetapi satu hal yang kita tahu dia sedang marah atau kita sedang marah. Di dalam Alkitab kita pernah membaca bagian yang mengatakan bahwaTuhan Yesus juga pernah marah. Tetapi kita juga tahu bahwa kemarahan itu suatu dosa yang Tuhan tidak kehendaki. Menghadapi hal ini Pak Paul, bagaimana sebenarnya pandangan kita sebagai orang Kristen tentang kemarahan itu?
PG : Yang pertama adalah kita mesti menyadari bahwa kemarahan itu adalah suatu reaksi emosional dan tidak harus identik dengan dosa. Cara kita melampiaskan kemarahan bisa membuahkan dosa, jai sekali lagi kemarahan itu sendiri belum tentu mengandung unsur dosa, namun pelampiasannya atau pengekspresiannya yang bisa membuahkan dosa.
GS : Bagaimana contohnya ekspresi kemarahan yang bisa disebut dosa dan kemarahan yang tidak bisa disebut dosa, Pak Paul?
PG : Di Efesus 4:26, firman Tuhan berkata: "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa." Jadi dosa adalah sewaktu marah yang kita ekspresikan itu benar-benar menghna orang, menjatuhkan, merusakkan orang.
Jadi kita ini mengekspresikan kemarahan kita, hal yang lain kita ini menghancurkan orang dengan kemarahan kita. Jadi saya kira batasnya adalah di situ, kemarahan yang kita ekspresikan itu adalah reaksi yang natural, tapi kemarahan yang kita ekspresikan akhirnya bertujuan untuk menghina orang, saya kira itu melewati batas dan akhirnya membuahkan dosa.
GS : Jadi itu yang kita lihat adalah akibat dari kemarahan kita?
PG : Betul, jadi penyampaian dari kemarahan tersebut.
GS : Itu justru yang kadang-kadang sering terjadi, pada saat kita marah kita tidak bisa mengontrol diri, Pak Paul.
(2) PG : Betul, seringkali Pak Gunawan dan Ibu Ida, kemarahan ini diidentikkan dengan tingkat kematangan rohani, seolah-olah kita beranggapan bahwa orang yang mudah marah adalah orangyang tidak dewasa secara rohani.
Tapi sebetulnya hal ini tidaklah sesederhana itu, saya ingin mengajak kita semua untuk melihat masalah marah ini dari berbagai sudut dan melihatnya sebagai suatu fenomena yang kompleks. Yang pertama adalah kita harus mengerti mengapa sebagian orang lebih mudah marah dibandingkan yang lainnya atau kenapa sebagian orang lebih susah marah dibandingkan orang yang lainnya dan ini tidak selalu ditentukan oleh tingkat kedewasaan rohani seseorang. Yang pertama adalah ada pengaruh dari faktor biologis atau faktor fisik kita. Ada orang-orang tertentu yang memang mempunyai daya reaksi yang sangat cepat, peka. Orang-orang yang reaktif, yang mudah bereaksi otomatis juga mudah untuk memberikan reaksi emosionalnya termasuk di dalamnya adalah kemarahan. Jadi tidak mungkin orang yang misalnya mudah bereaksi dengan tangisan menjadi orang yang susah sekali untuk bereaksi dengan kemarahan. Kebanyakan orang yang mudah bereaksi dengan kesedihan, orang yang juga mudah bereaksi dengan kemarahan tapi mungkin sekali kemarahannya itu tidak dia nyatakan secara terbuka. Tapi intinya adalah seseorang yang reaktif akan mudah bereaksi termasuk dalam hal kemarahan pula, itu memang sudah dia bawa sejak dari lahir. Orang-orang yang misalnya kita sebut high strong ini, orang-orang yang mudah marah ini adalah memang secara biologis kelihatannya hangat, jadi temperamen mereka temperamen yang memang sepertinya bergelora. Ada orang yang lebih menyerupai tipe plegmatik yaitu tipe yang memang santai, tidak terlalu terlibat di dalam dunia atau dalam kontak dengan orang lain. Orang yang bertipe plegmatik ini akan lebih mudah menguasai kemarahannya, karena dia memang tidak terlalu terlibat dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Kebalikan dengan orang yang misalnya kolerik atau yang sanguin atau yang melankolik, mereka ini adalah tipe-tipe orang yang tiba-tiba bereaksi, jadi itu adalah faktor yang pertama yang menentukan kita ini menjadi orang yang lebih mudah marah atau lebih sukar marah. Faktor kedua adalah faktor bentukan lingkungan, jadi kalau kita melihat orang tua kita menyatakan ketidaksetujuannya melalui kemarahan dan kita menyaksikan ini berulang-ulang kali kemungkinan besar metode penyampaian ketidaksetujuan itu yakni dengan kemarahan akan terekam dalam benak kita dan akan menjadi satu dengan sistem kita akhirnya. Karena kita terus-menerus menyaksikan orang tua kita mengumbar kemarahan tatkala mereka tidak setuju dengan apa yang sedang dikerjakan dan akhirnya berbekas pada benak kita. Setelah dewasa, kita cenderung untuk marah sewaktu kita misalnya tidak setuju atau tidak sepakat atau merasa tidak nyaman. Jadi pelajaran yang kita terima melalui pengalaman yang kita lihat itu juga akan mengkondisikan kita menjadi orang yang lebih mudah marah. Yang lainnya lagi adalah tentang masa kecil kita atau masa lampau kita adalah kalau kita ini menyimpan banyak kepahitan, jadi ada di antara kita yang dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan pertengkaran atau dia adalah korban penganiayaan baik secara emosional maupun secara fisik ataupun seksual dan yang lain-lainnya. Akhirnya si anak ini bertumbuh besar menyimpan banyak dengki, kemarahan yang tersumbat sewaktu dia kecil, dia tidak bisa mengutarakan kemarahannya karena orang tua lebih besar dan lebih pemarah daripada dia, sehingga dia simpan terus kemarahan tersebut. Waktu dia sudah mulai besar, kemarahannya akhirnya mudah meledak sebab hatinya itu sudah tergenangi oleh emosi marah, sehingga apapun yang terjadi yang menyinggung perasaan dia atau membuat dia merasa tidak nyaman reaksinya langsung meledak dan tidak bisa dia kuasai dengan mudah lagi.
GS : Itu faktor-faktor yang dari dalam ya Pak Paul, jadi ada hormon, lalu ada pengalaman masa kecil dan sebagainya, apakah juga seseorang itu bisa menjadi pemarah karena faktor-faktor ekstern, jadi dari luar dirinya, Pak Paul?
PG : Bisa, jadi yang ketiga adalah situasi kehidupan kita sekarang ini, jadi lepas dari yang dulu dan yang hormonal. Yang sekarang ini bisa membuat kita menjadi seorang yang pemarah, contohna adalah keadaan yang sekarang sedang kita alami yaitu krisis ekonomi, keadaan politik yang begitu tidak menentu dan ini sangat menekan kita.
Dan kebanyakan kita bisa menanggung tekanan atau stres untuk suatu jangka waktu tertentu, tatkala melewati batas itu hidup kita mulai tergoncang, keseimbangan kita mulai terganggu.
IR : Juga faktor alam ya Pak Paul, misalnya cuaca yang panas itu mungkin juga bisa menimbulkan orang mudah marah ya?
PG : Betul, jadi saya teringat suatu hasil studi, di kota Phoenix, Arizona di Amerika Serikat pada waktu musim panas orang-orang di jalanan yang mengemudikan kendaraan lebih sering membunyian klakson.
Jadi mereka ternyata kurang sabar dengan cuaca yang begitu panas dan di salah satu studi yang lain saya megetahui bahwa di Amerika Serikat, pembunuhan paling sering terjadi di musim panas dibandingkan di musim dingin.
IR : Juga faktor penyakit seperti orang yang hipertensi itu juga mudah marah, apakah itu betul Pak Paul?
PG : Ya, karena ada pengaruhnya dari struktur tubuh yaitu pengaruh biologis yang tadi telah kita bahas. Orang-orang yang hipertensi menjadi orang-orang yang reaktif, yang mudah sekali bereaki.
GS : Kadang-kadang saya mengalami yang tadinya tidak berniat untuk marah, tetapi karena lawan bicara kita mulai dulu dengan marah, maka kita terpancing juga untuk marah atau kalau melihat orang di sekeliling kita semua marah lalu kita ikut marah, faktor apa itu sebenarnya, Pak Paul?
PG : Ada satu penelitian yang menggunakan metode peniruan, jadi ada anak-anak yang ditempatkan di satu ruangan dan di dalam ruangan itu si anak bisa melihat seseorang yang sudah dewasa membating-banting mainan.
Si anak melihat terus si orang dewasa membanting-banting mainan, kemudian si orang dewasanya dikeluarkan dari ruangan tersebut dan si anak dibiarkan bersama mainannya. Yang menarik adalah anak-anak itu langsung mengikuti tindakan si orang dewasa itu, membanting-banting mainan, membuang-buangnya persis seperti yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut. Jadi yang terjadi adalah waktu kita bekerja misalkan hidup di sekeliling orang yang mudah marah dan sedikit-sedikit marah, nomor 1 yang kita saksikan itu mempengaruhi sekali cara kita akhirnya bereaksi, jadi tanpa kita sadari cara bereaksi yang mudah marah itu menjadi akhirnya metode kita menyatakan diri. Misalkan kita tidak setuju, kita mau menyatakan pendapat kita dan sebagainya, otomatis yang telah kita rekam itu mempengaruhi sehingga akhirnya yang muncul juga sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yaitu marah. Yang kedua adalah pengaruh kemarahan di sekeliling kita menaikkan suhu atau temperatur emosi kita sendiri. Jadi kita ini adalah orang yang tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan itu, otomatis kalau di lingkungan kita kemarahan yang terus kita temui, tidak bisa tidak, kita seperti juga sedang dimasak di air yang panas. Akhirnya kita turut terpengaruh temperatur emosi sehingga emosi kita juga turut naik. Kebalikannya kalau kita berhadapan atau tinggal bersama orang yang sabar kita melihat cara dia mengatasi konflik dengan sabar, itu bisa mempengaruhi kita akhirnya kita cenderung untuk belajar sabar karena 2 faktor tersebut, yaitu faktor peniruan, imitasi. Kita melihat cara dia mengatasinya seperti ini, seperti itu dan tanpa disadari kita belajar. Dan yang kedua orang yang sabar akan menurunkan suhu, itu sebabnya di Amsal dikatakan, janganlah engkau dekat-dekat dengan orang yang pemarah (GS : Ketularan) nanti tertular.
(3) GS : Pak Paul, kalau kita tahu bahwa kita sedang marah, kita itu tidak bisa berpikir secara obyektif. Apakah pada saat marah itu kalau mengeluarkan kata-kata lalu bagaimana mengontrolnya supaya tidak menyakiti hati orang lain?
PG : Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan Pak Gunawan, yang pertama adalah metode yang disebut ini metode 'assertive'. Assertive dalam bahasa Inggris disebut to assert, to assert itu artiya menyatakan diri atau menyatakan sikap.
Jadi 'to be assertive' adalah bagaimana kita menyampaikan pikiran atau isi hati kita dengan jelas tapi tidak dengan agresif. Biasanya kalimat-kalimat yang assertive dimulai dengan aku atau saya disusul dengan perasaan saya, yang ketiga adalah peristiwanya. Jadi misalkan saya berikan contoh misalkan teman kerja kita, hari pertama mengatakan: "Tolong kamu yang kerjakan bagian ini, soalnya saya harus pergi." Dengan senang hati kita bantu dia, 3 hari kemudian dia minta hal yang sama, kita dengan senang hati melakukannya untuk dia kemudian tanpa disadari 4, 5 kali dia minta yang sama dan dia cenderung mau pulang lebih pagi dan meminta kita yang mengerjakannya. Dan kita mulai jengkel, dalam keadaan seperti ini kita punya dua pilihan atau 3 pilihan. Pilihan pertama adalah kita mengumbar amarah kita dan kita memaki-maki dia, "Kamu orang yang tidak tahu diri, mengambil kesempatan dan memanfaatkan saya," jadi yang pertama kita langsung marah, agresif. Cara kedua adalah atau pilihan kedua kita pasif-agresif, pasif-agresif artinya kita sebetulnya marah tapi kita menggunakan cara yang tidak langsung untuk menekan dia atau menyerang dia. Misalkan kita tidak bilang apa-apa tentang perbuatannya itu, tapi misalkan kita menyindir pada waktu berbicara kita berkata: "Ada orang yang kurang tahu diri, ada orang yang tahu diri, yang kurang tahu diri itu sedikit-sedikit menyuruh temannya untuk bekerja bagi dia," itu kata-kata yang sinis dan tajam. Biasanya itu keluar dari hati yang marah tapi diungkapkannya secara pasif, secara tidak langsung menyerang, itu tindakan kedua pasif-agresif. Tindakan yang ketiga adalah ini yang ideal yaitu assertive, yaitu kita hampiri dia dan berkata kita mulai dengan saya, kemudian perasaan saya. "Saya merasa jengkel, karena apa? (nah kita sebut perbuatannya) karena saya ini, karena engkau sudah beberapa kali meminta saya mengerjakan bagianmu sedangkan saya juga repot. Dan kamu sebetulnya tidak ada alasan yang terlalu penting pulang lebih pagi, saya tidak menyukai hal itu."
GS : Tapi itu diucapkan tanpa nada marah, Pak Paul?
PG : Betul, tanpa kita mengumbar kemarahan kita, jadi dia bisa tahu kita marah, karena kita mengutarakannya, kita bisa berkata saya merasa jengkel atau saya marah karena (nah kita sebut) kit paparkan adalah peristiwanya jadi kita tidak membuat suatu penilaiaan subjektif atau penghakiman.
Misalnya kita tidak berkata: "Saya marah karena engkau tidak tahu diri," waktu kita berkata engkau tidak tahu diri kita memang menyerang orang dan orang cenderung membela diri dan menyerang balik.
IR : Pak Paul ini ada kesaksian seseorang yang mengatakan bahwa sejak dia terima Kristus, frekwensi kemarahannya sangat menurun. Jadi kematangan rohani seseorang itu mempengaruhi sifat pemarah seseorang, Pak Paul?
PG : Betul, tadi di awal program ini saya katakan bahwa kemarahan harus dilihat secara kompleks dari sudut-sudut yang berbeda. Dan saya berkata bahwa kemarahan tidak senantiasa mencerminkan ingkat kedewasaan rohani seseorang, tapi tadi Ibu Ida sudah singgung kerohanian seseorang tetap berpengaruh terhadap kemarahannya itu betul sekali, Ibu Ida.
Dengan kata lain begini, kalau kita sudah di dalam Tuhan kita tidak lagi sendirian mengatasi problem kita. Meskipun kemarahan itu dipengaruhi oleh pelbagai faktor dan tidak baik buat kita terburu-buru menghakimi orang dengan berkata orang yang pemarah adalah orang yang tidak dewasa secara rohani namun kita tahu bahwa Tuhan tidak memberikan kita 'excuse' atau dalih, "Ya karena itu kelemahanmu, ya silakanlah engkau menjadi seorang pemarah, aku akan menoleransi," tidak. Setiap kita sebetulnya mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu akibat bawaan genetik dan juga akibat pengalaman masa lampau kita, namun kita dituntut Tuhan untuk bertumbuh. Jadi seorang pemarah tidak boleh sekali pun berkata: "Ya saya terima kodrat saya memang saya orangnya begini," atau misalkan dia itu membenarkan diri dengan berkata: "Ya maksud saya baik, ya orang salah tanggap saja tapi maksud saya baik," tidak bisa ! Tuhan menuntut dia untuk bertumbuh. Jadi artinya dia harus menggumulkannya, di luar Tuhan dia menggumulkannya sendiri, sekarang di dalam Tuhan kita tahu bahwa Tuhan hidup di dalam hidup kita dan Dia akan mengingatkan kita akan kemarahan kita dan Dia akan memberikan kita kekuatan untuk mengontrol kemarahan kita itu. Jadi memang sangat benar yang tadi Ibu Ida katakan bahwa Tuhan menolong kita mengatasi kemarahan.
GS : Bagaimana dengan orang yang coba mengalihkan kemarahannya Pak Paul, jadi dia tahu dia sedang marah lalu coba mengingkari kemarahannya atau malah merusak suatu barang tetapi tidak kepada orang lain. Untuk menghindari itu tadi, orang lain bisa sakit hati tapi kalau barang dibanting misalnya sudah pecah ya sudah, tapi dia merasa lega Pak Paul, bagaimana kalau menyalurkannya lewat itu?
PG : Ini juga didukung oleh suatu riset ya Pak Gunawan, ternyata kemarahan yang dinyatakan atau diekspresikan melalui kekerasan, itu cenderung malah menyuburkan perilaku yang sama. Jadi akhinya di waktu yang lain pun kalau dia lagi marah, dia cenderung merusak atau membanting barang atau memukul tembok.
Jadi sebaiknya kita tidak menggunakan cara penyampaian seperti itu, cara kekerasan bukannya meredam atau menghilangkan kemarahan malah menyuburkan. Lain kali kita cenderung melakukan hal yang sama.
GS : Kalau orang yang mengingkari kemarahannya jadi ditahan-tahan lalu dia pura-pura tidak marah, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Kalau memang dia bisa menahan dan menguasainya kemudian membereskannya tidak apa-apa tapi yang saya khawatirkan adalah sebetulnya tidak menyelesaikan, jadi kemarahan itu terus tersimpan Atau muncul dalam situasi yang lain, sesuatu terjadi tiba-tiba dia bisa marah atau sangat sinis dan tajam sekali perkataannya.
GS : Tanggapan Pak Paul mengenai bagian Alkitab yang menyatakan Tuhan Yesus marah itu bagaimana Pak Paul?
PG : Itu marah yang lain lagi Pak Gunawan, jadi marah itu dapat kita bagi dalam 2 golongan ya. Marah yang pertama adalah marah yang personal, marah yang melibatkan kita dan kita itu menjadi asaran orang yang menyakiti kita.
Marah yang kedua adalah marah yang bukannya personal tapi marah karena keadilan, marah karena masalah kerohanian. Jadi adakalanya kita marah misalnya melihat ketidakadilan di dalam masyarakat di sekitar kita atau kita marah karena melihat orang yang jahat, hidup di luar Tuhan. Akhirnya kita marah, kemarahan itu bukannya personal karena tidak menyangkut kita secara pribadi, namun berkaitan dengan faktor keadilan atau kerohanian. Nabi-nabi Tuhan seringkali marah misalnya Yunus pun marah, Tuhan Yesus juga marah, Nehemia juga marah waktu dia melihat orang-orang Israel akhirnya menikah dengan orang-orang kafir dan meninggalkan Tuhan. Dia sangat marah, menjambak rambut orang Israel itu.
GS : Jadi memang ada bagian-bagian seperti itu di mana memang marah itu bukan menjadi suatu dosa ya Pak Paul?
PG : Betul, jadi marah memang ada basis kebenarannya atau keadilannya.
IR : Ya mungkin ada bagian Alkitab Pak Paul yang mengingatkan kita supaya kita itu tidak mudah marah ?
PG : Ini di Efesus 4:26 Bu Ida, firman Tuhan berkata: "Apabila kamu menjadi marah, jadi dengan langsung Alkitab atau Tuhan mengakui bahwa kita akan marah, dan marah adalah bagia kehidupan manusiawi kita, tidak perlu kita ingkari, kita akui tidak apa-apa.
Tapi memberikan kita 3 pedoman Bu Ida, jangan berdosa artinya jangan kita merobek-robek orang karena kemarahan kita dan yang kedua adalah jangan matahari terbenam sebelum padam amarahmu. Artinya jangan menyimpan dendam, bereskan masalahnya secepat mungkin, tidak berarti kita juga meminimalkan dampaknya, kalau masalah serius ya serius. Perlu seminggu untuk mengatasinya, silakan! Perlu 2 minggu, silakan! Tapi yang penting ambillah langkah untuk menyelesaikannya meskipun belum tentu akan segera selesai. Dan yang terakhir adalah jangan berikan kesempatan kepada iblis, jadi jangan sampai kita akhirnya dibisiki oleh iblis untuk melakukan hal-hal yang sangat salah. Misalkan kalau kita seorang pria, kita merasa ditolak oleh istri kita dalam hubungan kita dengan istri, akhirnya kita tersinggung dan kita berkata: "Saya bisa cari perempuan lain, jangan pikir kau saja wanita bagiku!" Itu bisikan iblis, akhirnya kita menuruti bisikan iblis dan berdosa terhadap Tuhan, juga terhadap pasangan kita.
GS : Jadi memang sekalipun kemarahan itu sudah menjadi bagian dari kehidupan kita tetapi Tuhan tentu mau mengajarkan kepada kita untuk bisa mengendalikan diri dalam kemarahan itu ya Pak Paul. Jadi kita memang belajar dan bersyukur bahwa Alkitab juga cukup banyak memberikan pedoman bagi kita untuk mengatasi kemarahan.
Dan demikianlah saudara-saudara pendengar kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana mengatasi kemarahan bersama dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.END_DATA