Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar di bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang berpacaran, kami percaya bahwa topik ini sudah sering Anda dengar dan dibahas namun kami akan berusaha pada kesempatan perbincangan ini juga akan menyuguhkan sebuah perbincangan yang menarik dan bermanfaat bagi Anda sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
(1) GS : Pak Paul, tentu sebuah proses pernikahan itu diawali dengan berpacaran. Kita pernah mengalami dan mungkin kita sekarang menghadapi anak-anak kita mulai terlibat dalam proses berpacaran. Sebenarnya yang membedakan antara berpacaran dan berteman akrab itu selain hanya perbedaan jenis kelamin, apakah ada hal-hal lain yang sifatnya lebih spesifik, Pak Paul?
PG : Ada Pak Gunawan, jadi yang menjadi perbedaan utama adalah ketertarikan secara romantis dan emosional. Persahabatan biasanya diikat oleh rasa kebutuhan emosional yang dipenuhi oleh seorang ahabat.
Sedangkan berpacaran mengandung unsur suatu ketertarikan secara romantis, Pak Gunawan.
GS : Ya itu saya ajukan karena begini, Pak Paul, sering kali kalau anak-anak itu ditanyakan, "Kamu pacaran dengan itu ya?" Dia cuma menjawab: "Tidak, kami cuma berteman saja!" Kalau berteman biasanya kita biarkan saja, tapi kalau berpacaran kita harus memperhatikan lebih serius hubungan mereka.
PG : Kecenderungannya memang anak-anak remaja pada awal-awalnya tidak berterus-terang bahwa dia memiliki ketertarikan secara romantis terhadap teman lawan jenisnya. Jadi yang biasa dia ungkapka adalah "Kami hanya berteman", tujuannya adalah untuk menghindari larangan dari orang tua, Pak Gunawan, jadi orang tua itu cenderungnya tidak memberikan izin kepada anak remajanya untuk berpacaran.
Oleh karena itulah mereka tidak menyebutnya itu pacar, hanya teman saja. Tapi sebetulnya dalam hati si anak remaja itu mengakui bahwa ada rasa ketertarikan secara romantis.
GS : Apakah kalau mereka sering pergi berduaan dan mengambil kesempatan-kesempatan hanya berdua saja, kemudian kita bisa mengatakan mereka sedang berpacaran?
PG : Kemungkinan kalau dengan lawan jenis dan sudah mulai bepergian berdua, saya kira sudah menjurus ke situ. Sebab dalam persahabatan sering kali tidak kita lakukan, biasanya kita bersahabat iu berdua, bertiga apalagi pada anak-anak remaja jarang sekali yang eksklusif hanya berdua dengan lawan jenis.
Jadi kalau mulai berdua dengan lawan jenis mungkin juga mereka pada awalnya mengatasnamakan itu persahabatan, namun dalam hati saya menduga meskipun mereka belum tentu mau mengakuinya mereka sudah memiliki ketertarikan yang romantis, tapi karena untuk penjajakan pada tahap awal masing-masing tidak mau mengungkapkan perasaan sebetulnya. Jadi mereka hanya bepergian dan berpikir ini adalah persahabatan, tapi biasanya setelah melewati satu jangka waktu tertentu mereka makin menyadari betapa bergantungnya mereka pada satu sama lain, betapa butuhnya kehadiran pasangannya itu. Jadi akhirnya mungkin salah satu akan mengungkapkan isi hatinya dan resmilah mereka menjadi pacaran.
IR : Seringkali yang kita dengar dari anak-anak bilang saya tidak ada apa-apa, tapi dari pergaulan yang selalu berduaan itu sudah menjurus ke pacaran ya Pak Paul?
PG : Betul, jadi kita bisa bedakannya dari segi berapa eksklusifnya persahabatan itu, sebab kalau dengan lawan jenis dan usianya tidak jauh berbeda dan eksklusif kemungkinan besar itu adalah bepacaran.
GS : Mungkin juga mereka khawatir disebut gonta-ganti pacar kalau mereka disebut berpacaran karena itu mereka katakan berteman. Kalau berteman mau gonta-ganti tidak apa-apa.
PG : Betul sekali, sebab ada pengaruh juga tekanan dari teman-teman apalagi kalau mereka mulai berteman secara eksklusif itu pada usia yang relatif muda. Misalkan pada usia 15 tahun mayoritas eman-temannya belum berpacaran.
Biasanya anak-anak remaja mulai berpacaran secara eksklusif itu pada usia 16 tahun ke atas. Nah waktu dia umur 15 tahun, 14 tahun mulai mengembangkan persahabatan yang eksklusif dengan lawan jenis, dia juga merasa malu untuk membuka fakta itu di hadapan teman-temannya. Jadi ada kecenderungan anak remaja juga menyembunyikan fakta tersebut, karena malu juga di hadapan teman-teman dianggap terlalu dini berpacaran dan sebagainya.
(2) GS : Nah kalau seandainya kita tahu memang anak ini /anak kita itu sudah mulai menjurus ke berpacaran, Pak Paul, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua?
PG : Nomor satu adalah jauh sebelum anak kita mulai berpacaran, kita seharusnya sudah mulai berbicara kepada dia tentang calon pacarnya, tentang suami atau istri yang baik. Jadi itulah yang hars kita tekankan jauh sebelum dia itu akhirnya berpacaran.
Misalkan kita mulai berbicara tentang hal-hal seperti ini secara rileks, santai itu kira-kira pada waktu anak usia sekitar 9, 10 tahun. Nah ini tidak harus dilakukan secara terencana dan sistematik tapi kita bisa lakukan serileks mungkin, namun juga mengandung pesan moral yang jelas. Misalkan belum lama ini saya berdua dengan salah satu putri saya dan saya berkata kepada dia: "Nanti saya mengharapkan kamu akan menikah dengan seseorang yang lebih baik dari saya." Dia seperti terkejut mendengar perkataan tersebut, "Lebih baik dari Papa?" Saya bilang: "Ya" ; "Maksudnya?" "Ya kamu akan menemukan orang yang lebih baik dari saya, jangan mengira bahwa sayalah orang yang terbaik! Akan ada pria yang lebih baik daripada saya. Terus saya bilang: "Saya hanya minta kamu memilih seseorang yang sangat mencintai Tuhan Yesus dan sangat mencintai kamu dengan sepenuh hati." Itu saya ucapkan kepada dia secara sepintas waktu kami sedang berduaan, berbincang-bincang. Hal-hal inilah yang kita perlu mulai sampaikan kepadanya, sehingga dia mempunyai kerangka atau standar atau tolak ukur sewaktu dia akhirnya mulai dekat dengan seorang pria tanpa disadarinya prinsip-prinsip tersebut atau kriteria tersebut sudah melekat padanya dan menjadi panduan yang dia akan gunakan. Nah itu yang pertama yang seharusnya kita lakukan jadi jauh sebelum anak remaja kita mencapai usia berpacaran kita sudah mulai harus berbicara. Nah sebaiknya pembicaraan kita itu juga tidak bernada instruksi, larangan, keharusan atau menggurui, jangan sampai kita menggunakan kata-kata: "Kamu tidak boleh menikah dengan ini, kamu harus begini dan sebagainya." Nah itu larangan-larangan bagi saya bisa efektif namun dampaknya bagi saya kurang begitu konstruktif, karena anak itu cenderung tidak begitu tanggap terhadap larangan-larangan. Justru bisa-bisa anak itu merasa ingin tahu mengapa tidak boleh berpacaran dengan orang yang dilarang oleh orang tuanya. Akhirnya melakukannya, jadi sampaikanlah pesan-pesan moral kita itu secara positif bukannya secara negatifnya. Itu saya kira langkah awalnya, Pak Gunawan.
GS : Tapi apakah mereka tidak canggung, Pak Paul, untuk diajak bicara seperti itu. Kalau umur 9 atau 10 tahun tanggapannya tidak serius kadang-kadang.
PG : Memang ada kecenderungan anak tidak akan menunjukkan sikap bahwa dia itu sungguh-sungguh memperhatikan karena ada rasa malu. Jadi ada kecenderungan dia akan menganggap itu sepertinya tidakserius, tapi sebetulnya dalam hatinya dia akan dengarkan dengan serius.
Sebagai contoh lagi saya juga berduaan dengan salah satu anak saya dan saya berkata kepada dia: "Waktu saya masih kecil saya berkata, saya ini menyukai seorang wanita, tahu tidak umur saya berapa saat itu?" Dia sepertinya tidak menghiraukan saya, sepertinya lagi berkonsentrasi dengan hal yang lain tapi terus dia jawab dia tanya saya, "Berapa umur papa?" Saya bilang: "Saya kira-kira umur 9 tahun, 10 tahun saat itu, saya menyukai sekali gadis itu. Saya bilang : "Ya, tapi akhirnya setelah saya besar ya udah, saya tidak menyukai dia lagi dan saya tidak menikahi dia, sebab saya sekarang menikah dengan mama kamu," dia diam aja. Terus saya sambung, saya bilang "Ya itulah yang terjadi pada kita, adakalanya kita menyukai seseorang." Sesudah itu saya diam, saya tidak sambung lagi, tidak tanya-tanya juga tidak korek-korek dari dia. Tujuannya adalah saya mau memberitahu dia bahwa natural, alamiah bagi dia untuk suatu hari kelak menyukai seseorang yang berlawanan jenis dan tidak perlu dia merasa malu. Saya bertujuan mengambil inisiatif mengungkit, memunculkan hal ini agar dia akhirnya mempunyai keberanian untuk bercerita kepada saya, itu tujuannya.
GS : Di situ, Pak Paul, tidak membedakan misalnya ayah harus bicara dengan anak putra, atau ibu dengan anak putri, apakah tidak ada pengaruhnya?
PG : Tidak, dua-duanya sebenarnya boleh saja tapi sebaiknya memang dua-dua, jangan hanya satu sebab ada kecenderungan ayah akan berkata : "Ini tugas ibu." Saya kira justru tidak, ini ugas dua-duanya.
IR : Kalau kadang-kadang orang tua sudah menanamkan seperti yang dikatakan, Pak Paul, tadi tapi kadang-kadang sesudah anak ini menginjak dewasa, sudah waktu pacaran yang saya sering ketahui itu, mereka justru tertarik pada orang-orang yang dikatakan tidak seiman. Kalau ditanya kenapa kamu justru tertarik dengan yang tidak seiman. Mereka menjawab karena yang seiman itu kadang-kadang kurang cantik. Bagaimana kalau menurut, Pak Paul?
PG : Sebetulnya yang harus kita akui adalah kematangan iman kita yang sering kali memang dipengaruhi oleh kematangan usia dan jiwa kita, maksud saya begini, ada memang anak-anak remaja yang usi 11-12 tahun, 13 tahun yang memiliki kematangan rohani.
Tapi pada umumnya kalau kita lihat secara umum, kebanyakan kita ini mulai memikirkan dengan serius akan iman kita, Tuhan itu pada umumnya sekitar usia 17 tahun, 18 tahun ke atas, bukan di bawahnya. Dan saya kira ini cukup alamiah jadi jangan kita ini merasa anak kita kurang rahani, sebab ada tahapannya. Biasanya memang setelah usia 17 tahun, 18 tahun anak-anak itu baru mulai memikirkan dengan lebih serius tentang hal-hal yang rohani. Artinya apa? Artinya adalah pada usia sebelumnya hal-hal rohani itu kurang menempati posisi yang penting di dalam kehidupannya, kecenderungannya adalah dia ikut dengan kita ke gereja karena kewajiban. Pada masa dia belum memiliki kematangan rohani ini dan di mana hal-hal yang rohani itu penting baginya mungkin saja dia tertarik dengan lawan jenisnya. Nah harus kita akui bahwa pada umumnya pintu pertama yang menjadi penghubung antara kita dengan yang kita sukai adalah ketertarikan fisik Bu Ida, kita harus akui itulah yang seringkali menjadi daya tarik pertama. Seringkali adalah syukur-syukurlah kalau dia juga sesama iman terutama orang percaya, tapi seringkali unsur percaya atau tidak itu soal kedua sama juga dengan unsur misalnya kecocokan kepribadian, sifat-sifatnya. Seringkali pada anak-anak remaja itu bukan faktor yang penting, jadi ketertarikan mereka lebih didasari atas ketertarikan fisik. Nah dari pengertian ini kita bisa belajar atau menyimpulkan satu hal ya Bu Ida, bahwa sewaktu anak kita itu menjalin hubungan dengan lawan jenisnya yang kebetulan tidak seiman. Bukannya dia sengaja mencari yang tidak seiman tapi karena memang prosesnyalah seperti itu, rasa ketertarikan karena menyukai penampilan fisiknya. Dari situ baru dia akan mulai memusingkan faktor-faktor lainnya, sifat-sifatnya, kebaikan hatinya, kecocokannya dan nanti yang terakhir yang dia akan pikirkan barulah kesamaan imannya. Sehingga sering terjadi anak-anak remaja yang kita didik dari kecil di dalam Tuhan akhirnya berpacaran dengan yang tidak seiman.
GS : Kalau kita sudah tahu yang tadi Pak Paul katakan tanda-tandanya cukup jelas bahwa mereka sedang berpacaran dengan yang tidak seiman, padahal sejak dini kita sudah menanamkan norma-norma itu. Nah apa yang harus kita lakukan karena sering kali kita itu panik mengapa pacaran dengan orang yang tidak seiman atau tidak sesuku atau yang lain-lain yang tidak sesuai dengan kita?
PG : Ya itu reaksi yang umum, Pak Gunawan, kita merasa panik karena (GS : Tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan). Dan kita takut ini menjadi kerugian pada si anak. Nomor satu adalah kita mncoba untuk berdialog dengan dia, makin hari makin saya menyadari bahwa larangan yang keras kurang begitu efektif, justru anak-anak itu kalau kita larang dengan keras berbalik malah membela pacarnya dan merasa bahwa kita itu tidak adil.
Nah jadi yang saya akan lakukan adalah saya akan mengembalikan tanggung jawab ini pada pundaknya dan saya akan mendorongnya untuk mempertanggungjawabkan tindakannya itu di hadapan Tuhan, ini penting sekali kita lakukan. Kecenderungan kita adalah kita ini memaksakan si anak supaya si anak menuruti permintaan kita. Anak remaja sedang berada pada tahap pemberontakan, sering kali anak remaja itu melakukan hal yang justru tidak disukai oleh orang tuanya. Nah waktu kita lebih menekankan "Mama tidak setuju, papa tidak setuju kamu menikah dengan dia karena dia bukanlah seorang yang percaya dan sebagainya." Ada kecenderungan si anak ini tidak mendengarkan kita, jadi cara yang saya anjurkan adalah kita beritahu si anak, "Anakku ini adalah keputusanmu, pada akhirnya yang menikah adalah engkau tapi hendaknya kamu yakin satu hal, dapatkah engkau mempertanggungjawabkan pilihanmu di hadapan Tuhan?" Jadi kita memaksa dia atau menggiring dia kembali berhadapan dengan Tuhan bahwa dia harus mempertanggungjawabkan tindakannya itu di hadapan Tuhan. Misalkan kita bisa membacakan satu ayat yang ditulis oleh
Amsal 19:14, "Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan." Nah saya akan tanya kepada dia, "Dapatkah engkau mempertanggungjawabkan keputusanmu ini dan berkata bahwa dia adalah pemberian Tuhan." Sebab sebagai seorang Kristen kita harus berkata bahwa pasangan hidup kita itu adalah pemberian Tuhan. Pemberian Tuhan berarti yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita tahu bahwa firman Tuhan meminta kita menikah dengan yang seiman, kita tidak diizinkan untuk menikah dengan yang tidak seiman, tapi sekali lagi kita tidak menekankan pada kehendak kitanya tapi kita menekankan pada engkau sekarang bertanggung jawab secara langsung kepada Tuhan . Jadi itulah yang kita harus lebih tekankan sehingga dia tidak melawan kita, jadi kalau dia mau melawan dia tahu dia melawan Tuhannya sendiri.
GS : Itu 'kan menambah beban buat dia itu sebenarnya ya Pak Paul, dia 'kan sedang dalam kebingungannya. Dia tahu sebenarnya bahwa ini tidak boleh, karena sejak dini sudah ditanamkan norma-norma itu tapi kenyataannya yang tadi Pak Paul katakan dia tertarik secara fisik dengan orang yang tidak seiman. Sekarang kita kembalikan kepada dia, kamu pergumulkan sendiri dengan Tuhan, cari kehendak Tuhan. Tetapi itu saya rasa makin memberatkan dia, Pak Paul?
PG : Dan ada baiknya, memberatkan dia dalam pengertian agar dia sekarang mulai memikul tanggung jawab itu. Sebab kita harus berhati-hati jangan sampai masalah ini menjadi konflik antara dia denan kita, dia melawan kehendak kita.
Yang kita mau beritahukan kepada dia adalah "Engkau sudah melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan, nah apa keputusanmu?" Itu fakta yang harus kita berikan kepada dia. Namun setelah itu kita juga mau berdialog dengan dia misalkan sekali waktu kita tanya kita bisa berkata: "Engkau tertarik kepada dia sebab pasti ada hal-hal yang baik tentang dia yang kau sukai, boleh saya tahu apa saja yang kau sukai tentang dia?" Dengan cara itu kita ini memberikan kesan kepada anak kita bahwa kita juga tertarik atau kita ini merasa berkepentingan mendengarkan sisi dia. Sebab adakalanya si anak merasa orang tua belum apa-apa sudah menjatuhkan fonis tidak boleh, tapi tidak mengerti pergumulan dia, nah ini yang kita mau tunjukkan kepadanya bahwa kita pun mau memahami dirinya, bahwa dia menyukai orang ini karena ada hal-hal yang memang baik tentang orang tersebut, yang dia sukai. Nah waktu kita dengarkan dia bercerita tentang apa yang dia suka mengenai atau tentang orang tersebut dia akan merasa setidak-tidaknya orang tua mau mendengarkan sisi dia. Setelah dia cerita begitu kita bisa misalkan berikan komentar, "Saya mengerti ini pergumulan yang besar bagi kamu. Di satu pihak kamu mau mengikuti kehendak Tuhan, di pihak lain orang ini kurang pas dengan kamu dan kamu sangat menyukainya. Nah adakalanya itulah yang harus kita hadapi dalam hidup dan di situlah Tuhan meminta kita untuk kembali kepadaNya dan menyerahkan masalah ini kepadaNya dan tidak berjalan sesuai dengan kehendak kita saja. Jadi kita beri panduan seperti itu, jadi bukan dengan sikap yang frontal, konfrotatif tapi dengan sikap memandu, membimbing dia.
GS : Pak Paul, bisa katakan dia mengambil keputusan untuk putus dengan pacarnya yang tidak seiman itu, lalu ada perasaan bahwa ternyata dia tidak berani lagi untuk pacaran. Dia memilih supaya dia tidak terluka lagi hatinya lalu tidak pacaran lagi dia, itu bagaimana cara kita menolongnya?
PG : Ya kita bisa sampaikan kepadanya bahwa setelah kita putus, luka itu akan terus tinggal dalam hati kita untuk jangka waktu yang lama, jadi sudah sepantasnya kalau dia itu tidak mau mencoba embali namun kita bisa beritahu dia.
"Setelah lukamu sembuh nanti keinginan itu akan muncul juga secara lebih alamiah, makanya engkau perlu lebih berhati-hati lain kali." Misalkan kita bisa bagikan pengalaman kita. Saya secara pribadi sejak masih SMA mempunyai kriteria istri seperti apa yang saya inginkan. Setelah saya kuliah dan saya lahir baru saya menambahkan kriteria saya bahwa orang itu harus orang percaya. Jadi saya tidak lagi mempedulikan lawan jenis saya yang tidak seiman dengan saya, sebab saya tidak mau mencari penyakit. Mungkin bisa saya berikan firman Tuhan, dari
Amsal 20:18, "Rancangan terlaksana oleh pertimbangan sebab itu berperanglah dengan siasat," jadi rancangan terlaksana oleh pertimbangan sebab itu berperanglah dengan siasat. Ayat ini bisa kita bagikan kepada anak kita bahwa lain kali engkau harus mempertimbangkan dengan baik sebelum melangkah masuk dalam hubungan yang lebih serius, karena yang terluka adalah kita dan Tuhan mau melindungi kita, luka dan kerugian-kerugian. Oleh sebab itulah sebelum kita melangkah, kita dasari dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang.
IR : Tapi sebaliknya, Pak Paul, kalau mereka putus, tapi kalau si anak ini berdialog dengan orang tua mengatakan kebaikan-kebaikan sang pacar. Tapi misalnya dari sumber luar ada sisi-sisi yang negatif tentang pacarnya, apa yang dilakukan orang tua terhadap anak ini?
PG : Kita harus sampaikan tapi dengan nada bukan memaksakan. Kita bisa beritahu dia bahwa saya mendengar begini, saya juga tidak tahu benar apa tidak, namun saya sampaikan kepada kamu supaya kau perhatikan saja.
Sebab waktu kita menyampaikannya seperti itu si anak biasanya akan dengar, dia akan pikir apalagi kalau dia percaya dengan perkataan kita.
IR : Soalnya biasanya kalau orang sudah jatuh cinta itu keburukannya tidak dipikirkan ya Pak Paul. (PG : Betul sekali) terus mengeraskan hati, tidak mau menghadapi untuk putus cinta itu rasanya dia takut, biasanya begitu.
PG : Betul, kita juga pernah muda ya Bu Ida, mengerti hal ini juga.
GS : Memang di sini kita melihat bahwa peranan orang tua itu sangat besar sekali, dan kita sebagai orang tua tidak bisa lepas tangan begitu saja, kalau ada orang tua yang mengatakan, sesuka anaknyalah pilih pasangannya sendiri, itu sebenarnya kurang bertanggung jawab ya Pak Paul?
GS : Jadi semoga perbincangan yang kita sudah lakukan pada saat ini bisa berguna bagi para pendengar kita. Demikianlah tadi saudara-saudara pendengar kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang kehidupan berpacaran bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan terima kasih untuk Anda yang sudah mengirim surat kepada kami namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda masih sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.