Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Anak, Musibah dan Kejahatan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, secara naluriah kita sebagai orang tua tentu akan memberikan perlindungan semaksimal mungkin kepada anak atau anak-anak kita, namun akhir-akhir ini kita sering mendengar berita-berita yang kurang mengenakkan artinya sering terjadi penganiayaan, pemukulan dan sebagainya terhadap anak- anak yang masih dibawah usia. Belum lagi bencana yang terjadi di sana-sini dimana melibatkan anak. Kalau bencana mungkin susah untuk kita bisa menanggulanginya tapi untuk hal-hal yang sifatnya perampokan, pemerkosaan dan sebagainya maka kita sebagai orang tua berusaha bagaimana melindungi anak-anak kita. Dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Kita harusnya mengakui bahwa tidak selalu kita dapat melindungi anak dari sisi kehidupan yang kelam jadi adakalanya anak mesti berhadapan secara langsung dengan wajah kehidupan yang menyeramkan baik itu berasal dari musibah maupun dari kejahatan. Jadi kita akan mencoba mengangkat topik ini dan kita akan mau mempelajari apa yang dapat kita lakukan untuk menolong anak melalui fase buruk yang menimpanya.
GS : Yang pertama-tama apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Yang perlu kita ketahui adalah anak lahir ke dalam dunia membawa keyakinan bahwa dunia adalah tempat yang aman, anak lahir tidak mengenal bahaya dan memercayai orang secara polos, itu sebab musibah dan kejahatan berpotensi mengoyak sistem kepercayaan yang ada pada diri anak. Jadi misalkan air yang dianggap tidak berbahaya dapat menenggelamkannya. Api yang dianggap tidak berbahaya dapat membakarnya, tanah yang padat dan stabil dapat berguncang dan membuatnya jatuh terjungkal. Orang yang tidak dikenal dapat muncul dan merampas harta miliknya. Atau lebih buruk lagi orang dapat melukai satu sama lain dengan begitu kejamnya. Yang kita perlu sadari adalah begitu sistem kepercayaan bahwa dunia itu aman yang dibawa oleh anak pada waktu dia lahir, begitu sistem kepercayaan ini terkoyak maka anak akan mengembangkan rasa takut, Pak Gunawan.
GS : Jadi pada mulanya anak tidak punya rasa takut. Tapi ada anak yang digendong orang lain tidak mau, bukankah itu suatu pertahanan diri yang otomatis ada dalam diri anak, Pak Paul ?
PG : Betul. Dan itu kita bedakan dengan rasa takut terhadap bahaya tapi itu adalah rasa takut terhadap keterpisahan. Jadi anak-anak sampai usia tertentu
misalnya 4 tahun, sangat peka sekali dengan dipisahkan atau keterpisahan dari ibunya. Jadi waktu dia tahu dia dipisahkan maka reaksinya adalah dia berontak dan menangis. Ini berbeda dengan yang tadi kita bicarakan yaitu sebuah sistem kepercayaan bahwa lingkungan itu aman tidak berbahaya, maka ketika anak melihat api dia pegang api, dia lihat air dia masuk saja ke dalam, karena memang anak belum mengenal bahwa dunia ini tidak seaman yang dia anggap. Sudah tentu pada akhirnya anak harus belajar mengerti bahwa memang ada bahaya, jadi anak harus belajar menghindar dari bahaya. Tapi intinya yang saya ingin saya katakan dalam tahap awal ini bahwa sistem kepercayaan anak sewaktu terkoyak biasanya membuat anak bereaksi sangat keras dengan sangat takut. Misalnya pernah saya bertemu dengan sebuah keluarga yang mengalami tsunami, sewaktu di Aceh. Sewaktu anak itu dipisahkan dari orang tuanya, dihanyutkan oleh air, dia begitu ketakutan tapi di dalam kemurahan dan penjagaan Tuhan, keluarga itu bisa disatukan, ayah, ibu dan anaknya. Anak itu sampai satu kurun waktu yang agak lama tidak bisa sama sekali mendengar gemercik air dan begitu mendengar gemercik air maka dia akan ketakutan dan bahkan waktu kami berbicara kemudian anak itu mendengar kami berbicara, dia sendiri sudah memberikan reaksi sangat takut. Jadi itulah reaksi yang alamiah waktu sistem kepercayaan bahwa dunia itu aman, terkoyak.
GS : Tapi hampir semua anak itu punya rasa ingin tahu yang besar. Makanya kalau ada api maka dia coba pegang atau bahkan stop kontak dia masukkan benda yang berbahaya sehingga dia tersengat listrik. Jadi ini rasa ingin tahunya itu.
PG : Betul. Jadi rasa ingin tahu yang mendorong anak untuk mengekplorasi lingkungannya dan asumsi yang dibawanya bahwa lingkungan itu selalu baik. Itu sebabnya kita biasanya mengajarkan kepada anak-anak kalau ada orang yang kamu tidak kenal mengajak kamu pergi, jangan mau. Anak mungkin bingung dengan perkataan itu sebab konsep bahwa akan ada orang berbuat jahat kepada dia itu konsep yang dia tidak kenal dan asing sekali, dia tidak pernah tahu hal itu karena dia masih muda dan dia datang dalam dunia membawa sistem kepercayaan bahwa dunia itu aman. Tapi kita harus terus menjelaskan kepada anak, Jangan ikut kalau ada orang yang mengajak dan tidak kamu kenal. Kadang-kadang kita tahu bahwa ada anak yang tetap saja mau diajak pergi walaupun sudah diberitahukan berkali-kali, sebab sekali lagi konsep bahwa dunia itu bisa berbahaya dan orang bisa jahat, itu belum ada dalam dirinya.
GS : Tapi ada juga anak yang agak lamban, ketika diberi tahu misalnya, air panas yang tidak boleh dia pegang, pernah sekali tangannya melepuh karena memegang air panas, lain kali dia tetap melakukan hal yang sama. Apa yang menyebabkan hal itu, Pak Paul ?
PG : Ada dua. Yang pertama ada anak-anak seperti kita juga orang dewasa yaitu tidak bisa sekali ingat, jadi harus dua atau tiga kali baru ingat. Jadi misalkan sudah pernah melepuh seharusnya dia ingat kalau ini panas, tapi selang beberapa waktu ingatan itu memudar dan kita tidak ingat lagi akan panasnya air itu. Tapi yang kedua adalah ada anak yang memang bawaannya keras dan
nakal, berani menantang bahaya. Jadi ada anak yang sudah tahu air itu panas tapi dia ingin mencoba lagi, siapa tahu kali ini dia bisa menahan rasa panasnya. Jadi ada dua jenis anak.
GS : Apakah terkoyaknya sistem kepercayaan dalam diri anak itu otomatis menimbulkan trauma kepada anak itu seperti yang tadi Pak Paul katakan anak yang terseret air bah tsunami itu lalu mendengar gemericik air saja sudah takut, apakah semua mengalami seperti itu, Pak Paul ?
PG : Memang bergantung pada seberapa besarnya peristiwa yang dialaminya. Jadi semakin besar dan dahsyat semakin besar kemungkinan anak itu akan membawa trauma yang dalam. Yang kita mesti pahami adalah begitu sistim kepercayaan bahwa dunia aman terkoyak, anak terpaksa membangun sebuah zona aman untuk menciptakan rasa aman. Kecenderungannya adalah anak membangun zona aman yang sangat ekstrem sehingga perilakunya berubah menjadi perilaku yang penuh was-was dan ketidakpercayaan. Itu sebabnya setelah perjumpaan anak dengan musibah dan kejahatan acapkali anak berubah menjadi penakut dan tidak berani mengambil resiko sekecil apa pun. Ada kecenderungan dia akan mencari perlindungan di bawah kepak sayap seseorang, biasanya salah satu orang tuanya dan hal ini terus melekat kepadanya. Jadi sekali lagi reaksinya adalah memang menghindar, dia membangun sebuah benteng, disuruh ini tidak mau, coba ini tidak mau, karena memang rasa takut itu begitu besar sehingga reaksi alamiah membangun benteng atau membangun zona aman itu. Ini yang seringkali dialami oleh anak ketika mengalami trauma.
GS : Kita sebagai orang tua bagaimana ? Karena tidak akan membiarkan anak itu terus-menerus berada di balik benteng yang dibangun sendiri.
PG : Untuk satu kurun penting bagi kita orang tua untuk membiarkan anak berlindung dan tidak memaksanya untuk lepas dari kita daripada dipaksakan berani yang belum tentu melahirkan keberanian, lebih baik kita membiarkan keberanian itu bertumbuh secara almiah dan bertahap. Jadi apa yang harus kita lakukan ? Kita tunggu sampai anak itu mulai besar karena nanti di tengah pergaulan dengan teman-temannya ia sendiri akan merasa canggung bersikap penakut dan menghindar terus-menerus karena dia akan mendapat tekanan dari teman-temannya. Pada akhirnya dia akan memaksa diri untuk kembali mengambil resiko apalagi kalau dia mendapatkan bukti demi bukti bahwa ketakutannya tidak berdasar. Jadi sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah kita jangan memaksakan pada tahap awal itu karena memang dia memerlukan tempat yang aman itu. Berilah waktu yang agak panjang, setelah itu kita mungkin bisa mengajak dia bersama dengan kita menjelaskan tentang bahaya itu. Atau nanti waktu dia punya banyak teman dan temannya melakukan hal- hal yang agak berani maka dia akan mendapatkan tekanan untuk juga keluar dari zona amannya.
GS : Jadi kalau orang tua hanya memberitahukan, Tidak perlu takut itu juga tidak akan menolong anak dengan terkoyaknya rasa aman itu tadi, Pak Paul ?
PG : Tidak. Jadi misalnya dia pernah tenggelam, si ayah kemudian berkata, Jangan takut, lihat ayah terjun ke air, ayah terjun dan bisa kembali ke atas permukaan,
lihat ayah tidak apa-apa dia bisa melihat ayahnya terjun beberapa kali tapi tetap dia tidak akan berani. Sebab sekali lagi apa yang dia alami itu nyata, kalau tidak pernah terjadi mungkin dia masih bisa mencobanya tapi kalau memang pernah terjadi dan dia pernah tenggelam maka tidak bisa tidak akan tetap takut meskipun ada contoh yang seperti itu. Jadi lebih baik kita biarkan saja sampai dia lebih besar nanti setelah teman-temannya berenang maka dia nanti akan malu tidak berenang dan dia akan terpaksa bermain dengan air dan perlahan-lahan dia akan membangun rasa percaya dirinya.
GS : Kalau ada orang tua yang tidak sabar, lalu memaksakan apa yang dia inginkan, itu akibatnya apa, Pak Paul ?
PG : Memang ada orang yang berkata, Kalau dipaksakan mungkin saja dia benar- benar berani karena dia akhirnya terpaksa berenang dan akhirnya dia tidak tenggelam maka itu menimbulkan keberanian kepada dirinya. Itu kemungkinan yang pertama, tapi ada juga kemungkinan yang kedua yang kita harus siap yaitu kalau benar-benar kita coba terjunkan dia ke air dan dia sangat ketakutan dan karena sangat ketakutan meskipun kita berada di sebelah dia memegangnya, kemudian misalkan dia tenggelam sebentar sehingga minum air maka akan melipat gandakan ketakutannya atau traumanya itu.
GS : Dan itu lebih sulit untuk mengobatinya, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi kadang-kadang kita harus bersabar dan jangan terlalu memaksakan meskipun kita ini berniat baik dan jangan sampai anak kita nanti dikuasai oleh ketakutan.
GS : Apakah itu menolong anak juga kalau menghadapi bencana di sekelilingnya yang tiba-tiba terjadi, Pak Paul ?
PG : Saya kira iya, apakah anak itu bisa cepat melupakan bencana misalkan kebakaran atau gempa bumi atau banjir dan sebagainya, maka prosesnya juga sama. Jadi untuk satu kurun dia mungkin akan ketakutan sekali. Misalkan kalau dia pernah terseret oleh air karena banjir bandang di sungai dan sebagainya. Saya kira itu akan menimbulkan trauma yang sangat berat dan sudah tentu akan membuat dia menjauh dari air sejauh-jauhnya dan dia akan takut sekali untuk berenang dan sebagainya. Jadi sebagai orang tua sebaiknya di tahap awal tidak memaksakan kepadanya.
GS : Jadi sebenarnya rasa takut di dalam diri anak ini untuk melindungi dirinya
sendiri, begitu Pak Paul ?
PG : Tepat dan ini adalah sebuah reaksi yang alamiah, secara manusia kita itu tidak mau untuk mengalami bencara kedua kalinya. Jadi setelah pertama kali kita berusaha untuk menghindar dari potensi adanya bencana yang kedua itu.
GS : Hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul ?
PG : Hal lain adalah kita mesti mengajak anak mengakui kenyataan bahwa hidup tidak sepenuhnya berada dalam kendali. Ini hal yang memang kenyataan bahwa alam bisa berubah ganas dan bahwa orang tidak semuanya baik, ini adalah fakta. Jadi kita mengajak anak untuk melihat realitas apa adanya dan mengizinkan anak untuk membangun sistem perlindungan dan kita tidak mengatakan, Ketakutan kamu itu salah, kamu harus berani dan sebagainya.
Tapi kita mau katakan justru sebaliknya bahwa kita perlu berhati-hati dan kita tidak bisa lagi sembarangan. Jadi tidak apa-apa menjadi berhati-hati dan tidak apa-apa juga ia mulai memikirkan kemungkinan terburuk, ini adalah bagian dari sistim pertahanannya, namun daripada menutup diri atau menghindar terus-menerus dari bahaya, kita mendorongnya juga untuk melihat sisi yang satunya pula bahwa ada hal dalam hidup yang dapat dikendalikan. Misalnya sesungguhnya alam tidak sering berubah ganas dan misalnya masih banyak orang yang baik, singkat kata kita tidak perlu melucuti sistim perlindungannya kita hanya perlu mendorongnya untuk bersikap lebih tepat terhadap musibah dan kejahatan. Jadi kalau di awal memang secara umum melindungi diri berlindung dalam zona amannya makin dia besar kita hanya mau mengarahkan supaya zona amannya itu tepat sasaran dan jangan sampai kelewat batas terhadap segala hal, dia menghindar dan dia ketakutan. Selama dia tepat sasaran, nanti setelah dia melihat kolam terlalu dalam dia tidak berani (tidak apa-apa itu tepat sasaran) kecuali nanti dia sudah bisa berenang dan sebagainya. Jadi kita sekali lagi tidak mau melucuti sistem pertahanannya, kita hanya mau sistem pertahanannya dibangun dan digunakan dengan sasaran yang tepat.
GS : Misalkan kita mau mengajarkan kepada anak itu supaya tidak sembarangan ikut orang yang mengajak dia, itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Misalkan kita ini dalam hal orang asing sungguh-sungguh tidak bisa menetapkan kriteria misalnya orang yang seperti apa yang boleh anak itu iyakan dan seperti apa yang tidak. Akan ada orang-orang yang akan berpakaian rapi tapi kemudian berniat jahat, sebaliknya ada orang yang berpakaian lebih sembarangan tapi justru tidak berniat jahat. Jadi untuk hal- hal seperti itu lebih baik kita memberikan aturan yang umum, bersifat menyeluruh untuk semua orang, Kalau kamu tidak kenal dan mengajak kamu maka kamu tolak, dan kalau orang itu sepertinya mau menarik tangan kamu maka berteriak lari dan sebagainya. Jadi ada hal-hal yang harus kita ajarkan jangan sampai menjadi korban kejahatan orang.
GS : Kalau menghadapi bencana, karena ada orang yang tinggal di suatu tempat dimana sering kali terjadi bencana di sana misalnya gunung meletus, gempa bumi dan bagaimana kita ajarkan.
PG : Karena kebetulan saya cukup lama tinggal di Los Angeles, di California yang merupakan daerah gempa jadi saya mengerti disana, semenjak anak-anak kecil di sekolah-sekolah sudah dilakukan latihan menghadapi gempa. Jadi sejak anak SD secara berkala diadakan latihan siaga menghadapi gempa, anak-anak disuruh berbuat sesuatu, lari ke mana, jadi dipersiapkan dan dipersiapkannya dengan cara yang menyenangkan, ramai-ramai senang-senang, jadi anak tidak mengembangkan rasa trauma atau takut. Dan waktu itu dilakukan, anak-anak jadi mengerti bahwa kalau gempa ini terjadi ada yang bisa dilakukan. Kalau anak tahu bahwa dia tidak sampai tidak berdaya dan dia masih bisa berbuat sesuatu biasanya tetap akan memberikan ketenteraman di hatinya.
GS : Hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul ?
PG : Yang lain adalah yang kita mesti waspadai adalah menjaga anak agar tidak mengembangkan karakter buruk sebagai akibat kejahatan yang dideritanya. Mungkin kita bertanya-tanya apa maksudnya. Begini, kita mungkin sudah tahu bahwa ada sebagian pelaku kejahatan yang sebenarnya merupakan korban kejahatan pada masa kecilnya. Selain dari kemarahan dan balas dendam sebenarnya faktor kuat yang memicu lahirnya kejahatan adalah ternodanya sistem kebaikan pada diri anak. Kejahatan seakan-akan memberikan contoh bagaimana caranya melakukan kejahatan dan kejahatan seolah-olah memberikannya izin untuk berbuat kejahatan. Ini adalah efek kejahatan yang kita mesti waspadai sebab ini juga nyata. Tadi saya sudah singgung ada sejumlah pelaku kejahatan yang sebetulnya pada masa kecilnya adalah korban kejahatan dan mungkin kita bertanya, Dia 'kan sudah jadi korban kenapa sekarang mau menjadikan orang lain korbannya ? karena alasan itu. Jadi waktu anak harus berhadapan dengan kejahatan orang dirampok atau dia sendiri yang menjadi korban, bisa-bisa dia mendapatkan contoh, Ini caranya melakukan kejahatan lain kali waktu dia marah dia melakukan hal yang sama. Yang kedua adalah waktu orang berbuat jahat seperti itu kadang-kadang memberikan kepada dia seolah-olah izin bahwa saya juga boleh berbuat demikian, maka kita harus waspadai jangan sampai anak-anak kita mengembangkan karakter buruk akibat kejahatan yang disaksikannya.
GS : Upaya apa yang dapat kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Kita tidak bisa tidak harus mengajak dia untuk melihat firman Tuhan. Ini adalah pedoman hidup kita sebab kita tahu ada tokoh-tokoh Alkitab yang juga menjadi korban kejahatan, misalnya sewaktu Stefanus, majelis pertama gereja dirajam dengan batu, dia berseru, ini dicatat di Kisah Para Rasul 7:60, Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka! artinya responsnya justru adalah meminta pengampunan kepada orang yang telah menjahatinya, tidak meminta justru agar Tuhan melumatkan mereka, menghabisi mereka, tapi justru dia berdoa meminta agar mereka itu diampuni oleh Tuhan. Contoh lain ketika Tuhan Yesus disalib, Dia pun berdoa dicatat di Lukas 23:34, Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Jadi Yesus Tuhan kita mengajarkan kita untuk mengampuni orang yang berbuat jahat kepada kita. Ini adalah hal yang bisa kita sampaikan kepada anak. Dan yang ketiga yang saya ingat, yang juga bisa kita ceritakan kepada anak adalah Yusuf, kita tahu Yusuf menjadi korban kejahatan kakak-kakaknya, dia dijual menjadi budak dan akhirnya harus mendekam di penjara karena difitnah oleh istri Potifar, akhirnya ketika dia harus bertemu kembali dengan kakak- kakaknya dan mereka takut Yusuf membalas dendam setelah Yusuf menjadi tangan kanan Firaun Raja Mesir, dia berkata di Kejadian 50:20, Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka- rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. Jadi apa yang Yusuf lakukan, Yusuf mengajak kita semua untuk memandang musibah dari lensa atau bingkai Tuhan bahwa ada rencana Tuhan lewat semua ini. Hal-hal seperti inilah yang diajarkan kepada anak-anak sehingga sewaktu dia harus
berhadapan dengan musibah atau kejahatan, dia bisa bereaksi sesuai dengan apa yang firman Tuhan ajarkan.
GS : Kalau kita mau memberikan teladan kepada mereka, itu bagaimana caranya, Pak Paul ?
PG : Misalkan kita sendiri mengampuni waktu orang berbuat jahat kepada kita dan mungkin kita marah dan sebagainya (itu reaksi yang alamiah) namun setelah kita marah maka kita ajak anak-anak, istri kita, suami kita, berdoa bersama meminta agar Tuhan mengampuni orang yang telah berbuat jahat kepada kita dan kita misalkan mendoakan orang-orang itu. Misalkan ada bencana terjadi dan kita adalah korban tapi misalkan kita juga memberikan contoh kepada anak-anak kita dan menolong orang lain, tidak hanya memikirkan diri sendiri, apa yang bisa kita lakukan untuk meringankan derita orang, itu yang juga kita lakukan. Lewat contoh-contoh hidup seperti ini anak belajar untuk menghadapi musibah atau kejahatan dalam hidupnya.
GS : Kita juga harus bersikap tenang menghadapi hal-hal seperti itu sehingga mereka juga bisa melihat bagaimana caranya kita menghadapi peristiwa yang menimpa keluarga kita, tetapi juga bagaimana kita mengantisipasi supaya hal- hal itu tidak terjadi lagi menimpa kita.
PG : Betul. Kalau saya boleh simpulkan, perlihatkanlah reaksi manusiawi, kita ini manusia jadi waktu ada orang berbuat jahat kepada kita mungkin kita marah atau kecewa, itu manusiawi, tapi setelah kita perlihatkan reaksi manusiawi kita juga perlihatkanlah respons rohani kita yaitu misalkan kita berdoa untuk mereka yang telah berbuat jahat kepada kita. Jadi inilah saya kira perspektif yang tepat yang kita bisa bagikan kepada anak-anak.
GS : Di satu sisi kita mengajar mereka untuk belajar berserah kepada mereka, tapi disisi lain kita juga mengingatkan mereka agar waspada tidak semua orang baik dan keadaan tidak senantiasa baik di sekeliling kita itu, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi sekali lagi respons manusiawi kita tidak apa-apa berhati-hati atau menjauh dari bahaya tapi juga ada respons rohani kita yaitu berserah kepada Tuhan dan memercayakan hidup kita kepada Tuhan yang dapat memelihara kita.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Anak, Musibah dan Kejahatan. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran- saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.