Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Menambah Anak atau Tidak?. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Memang masalah menambah anak atau tidak ini sekalipun diperbincangan di antara suami istri seringkali tidak ada kesepakatan. Yang satu bilang musti nambah, yang lain tidak usah nambah dulu. Bagaimana mencari titik temunya, Pak Paul?
PG : Betul, Pak Gunawan. Seyogyanya hal ini dibicarakan sebelum mereka menikah, Pak gunawan. Namun tidak jarang mereka membicarakannya setelah menikah. Biasanya kalau masih dalam tahap anak pertama ya tidak ada yang bicara apa-apa. Apakah mau nambah anak kedua atau ketiga, biasanya barulah terjadi percakapan. Jadi inilah yang mau kita angkat, kalau misalkan kita dalam posisi seperti ini, apa yang perlu kita pertimbangkan untuk memutuskan menambah anak atau tidak menambah anak.
GS : Nah, pertimbangan ini kan seperti pada perbincangan yang lalu, pak paul katakana
harus pertimbangan yang sehat. Pertimbangan-pertimbangan yang sehat apa yang perlu dibicarakan, kalau bisa sebelum pernikahan?
PG : Betul. Memang kalau sudah terlanjur menikah dan baru membicarakannya setelah menikah, yang pertama adalah kita harus mempertimbangkan kondisi pernikahan kita sendiri. apabila kondisi pernikahan sehat dan kuat, menambah jumlah anak seharusnya tidak berpengaruh buruk terhadap relasi pernikahan. Sebaliknya, bila kondisi pernikahan kita kurang sehat dan kerap dirundung konflik, besar kemungkinan penambahan anak akan berakibat buruk pada pernikahan. Alasannya begini. Kendati membawa sukacita, kehadiran juga akan menambah beban pada pernikahan. Jadi bila relasi itu lemah, tambahan beban akan berpengaruh negative pada pernikahan. Saya ingin tekankan, terlebih dahulu kita harus menyiapkan rumah yang hangat dan tenteram bagi anak sebelum memutuskan menambah anak. Saya tahu ada pasangan yang misalnya berkata, Tidak, kami tidak menambah anak sebab rumah tangga kami kurang harmonis. Kami tidak mau anak kami harus mendengar kami berkonflik. Jadi sebelum kami bereskan masalah ini, kami tidak mau punya atau menambah anak dulu. Saya kira ini keputusan yang baik. Jangan justru beranggapan kebalikkannya. Tidak apa-apa kita terus rebut begini lalu punya anak lagi. Siapa tahu dengan dua anak, kita tidak berkelahi lagi nanti. Begitu.
GS : Memang justru alasan yang terakhir itu yang seringkali diucapkan. Nanti kalau anaknya sudah dua, tidak sempat lagi untuk bertengkar, karena perhatiannya tersedot kepada dua anak ini.
PG : Sudah tentu perhatian akan tersedot kepada anak yang baru lahir ini. Namun kalau memang kita sudah mempunyai masalah ya, tidak bisa tidak, bertambahnya anak itu akan menambah tekanan atau beban pada relasi nikah. Sebaiknya jangan menambah anak sebelum kita beres dengan kondisi rumah tangga kita.
GS : Apalagi kalau pasangannya tidak mau membantu di dalam mengurus anak kedua ini, Pak Paul.
PG : Ya. Poin pertama yang musti kita pertimbangkan adlaah kondisi pernikahan kita, siap atau tidak untuk mempunyai anak lagi.
GS : Iya. Yang kedua apa Pak Paul?
PG : Kita perhatikan kesiapan orang yang akan secara langsung terlibat dalam perawatan anak. Kita tahu itu biasanya adalah ibu. Meskipun kita menyukai anak dan merindukan lebih dari satu anak, namu pada akhirnya kita musti mempertimbangkan kesiapan pasangan yang akan berhubungan langsung dengan perawatan anak. Ada wanita yang ingin mempunyai lebih dari satu anak, tetapi tidak menginginkannya sekarang. Misalnya karena dia ingin menyelesaikan pendidikannya atau mengembangkan kariernya dulu. Jika kita ingin menambah anak ya, kit juga musti siap untuk memikul dan berbagi tanggung jawab. Jadi tidak bisa, Pokoknya tambah anak! tapi kita sendiri tidak mau membantu pasangan membesarkan anak.
GS : biasanya terjadi perbedaan pendapat. Yang satu ingin cepat-cepat menambah anak supaya jaraknya tidak terlalu jauh dengan kakaknya, tapi yang satu ma sih mau menyelesaikan karirnya?
PG : Iya, nanti kita akan bahas ini. Tapi poinnya adalah kita harus benar-benar siap ya, jangan sampai nanti kita menambah anak tapi malah tambah terbengkalai. Kita musti peka, tenggang rasa dengan istri kita yang akan merawat anak, tidak bisa kita bebankan semuanya kepadanya karena kita suka anak, kita juga harus turun tangan membantu istri kita.
GS : Tapi kalau dikatakan siap itu memang sulit, Pak Paul. Sampai kapanpun rasanya
kita tidak akan pernah siap untuk direpoti lagi. Kalau jaraknya terlalu jauh, orang biasanya malas untuk mulai lagi.
PG : Betul. Jaraknya jangan sampai terlalu jauh. Mau dua atau tiga anak yajaraknya dua atau tiga tahun, atau paling jauh empat tahun. Dengan cara itu anak-anak akan tumbuh bersama. Mungkin kita akan repot di awal, 5 - 6 tahun pertama, setelah itu akan lebih ringan karena mereka sudah bisa dilepas untuk bermain sendiri.
GS : Hal lain yang perlu dipertimbangkan apa, Pak Paul?
PG : Kesipaan finansial. Kalau kita mau menambah anak, kita musti siap secara finansial. Membesarkan anak membutuhkan biaya. Jadi jangan lalai menghitung kesiapan finansial. Jangan sampai kita menelantarkan anak gara-gara tidak mempunyai uang yang memadai. Jangan sampai kita luput melihat bahwa
membesarkan anak lebih dari sekedar memberinya makan atau menyekolahkannya. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan, seperti biaya kesehatannya dan hal-hal lainnya yang terkait dengan bertambahnya jumlah anak. Misalnya mobil. Misalkan kita berempat dengan dua anak. Misalkan mau tambah satu anak lagi mungkin tidak bisa lagi karena mobilnya kecil. Jadi masalah finansial bukan hanya masalah menyediakan makan atau menyekolahkan. Ada 1001 macam hal yang terkait dengan membesarkan anak yang semuanya menuntut biaya. Jadi kita musti siapkan. Kalau memang belum siap, lebih baik jangan.
GS : Pertimbangan finansial ini agak sulit ya Pak Paul. Apalagi kalau kerjanya tidak terlalu mendukung untuk mendapatkan gaji yang cukup tinggi. Banyak orang menggunakan alasan ini, tidak siap secara finansial sehingga tidak mau menambah anak lagi.
PG : Iya. Saya mengerti, dan itu bukan alasan yang buruk. Saya kira ini salah satu
bentuk pertanggungjawaban. Kita tidak mau sembarangan. Kalau memang mau menambah anak, kita sudah memikirkan beban finansial yang harus ditanggung.
GS : Tapi tetap ada orang yang berkata bahwa nanti anak itu akan membawa berkatnya sendiri, Tuhan akan peliharakan. Begitu, Pak Paul.
PG : Iya. Saya kira musti percaya Tuhan memelihara kita. tapi Tuhan juga mau kita menjadi orang yang bertanggung jawab.
GS : hal yang keempat yang perlu kita perhatikan apa Pak Paul?
PG : Kita juga musti memperhatikan perencanaan hidup kita di masa mendatang.
Maksudnya, sedapatnya kita menambah anak sewaktu kita sudah stabil. Tidak sedang berpindah-pindah tempat atau tidak sedang dalam persilangan karier. Melahirkan bayi pada saat kondisi hidup tengah dalam transisi biasanya menambah stress yang besar pada pernikahan. Bukankan betapa mudahnya kita menimpakan keletihan dan kekesalan kepada anak ya? Jadi sebaiknya jangan menambah anak pada saat seperti itu. Sedapatnya bereskan dulu pekerjaan yang sedang ingin kita rintis atau lakukan sebelum menambah anak. Karena sekali lagi kalau ada beberapa hal kita lakukan sekaligus, takutnya terlalu berat lalu nanti kita tumpahkan frustasi kita kepada anak yang baru lahir itu.
GS : ini terkait dengan point ketiga yaitu kita musti mempertimbangkan segi kesiapan finansial. Biasanya pindah pekerjaan atau pindah kota bahkan untuk merintis karir itu terkait dengan supaya kita siap secara finansial.
PG : Betul. Ada yang memang karena memikirkan mau punya anak lagi lalu memikirkan ingin pindah kerja atau apa. Tapi ya sedapatnya kita stabil dulu baru menambah anak.
GS : ya. Tapi untuk mencapai kestabilan itu yang agak sulit dan butuh waktu lama. Dan jarak anak-anak akan bertambah jauh.
PG : Iya. Maksud saya kita jangan terlalu ideal. Tapi setidak-tidaknya kita sudah tahu kita akan tinggal disini dan tidak rencana pindah kemana-mana, kita tidak akan melakukan perubahan terlalu drastic. Sebab jika kita mau menjalankan perubahan
secara drastic dan di saat yang sama kita punya anak lagi, saya takut efeknya kurang baik bagi si anak.
GS : ketika kita menambah anak, bagaimana sikap kita terhadap anak pertama, pak
Paul?
PG : Kita harus melihat kebutuhan anak pertama itu, Pak Gunawan. Misalnya bila anak pertama mempunyai kebutuhan khusus yang menyita tenaga dan waktu. Hal ini musti menjadi slaah satu bahan pertimbangan. Jangan sampai akhirnya kita kewalahan mengurus dua anak oleh karena besarnya kebutuhan anak pertama. Jadi persiapkanlah pengaturan kebutuhan anak pertama sebelum memutuskan untuk menambah anak. Dalam pengalaman saya, ada kalanya saya bertemu dengan pasangan yang anaknya memiliki kebutuhan khusus, misalnya autistic atau keterbelakangan mental dan sebagainya. Menambah anak atau tidak ini musti dipikirkan masak-masak karena kebutuhan anak pertama akan sangat besar. Jadi kita musti siap, bahwa nanti anak kedua lahir, kita juga akan sanggup memenuhi kebutuhannya itu. Karena tidak jarang, anak kedua itu akan bisa marah kepada orangtua dan si kakak karena melihat semua perhatian diberikan kepada si kakak. Kita mencoba memberikan pengertian pun akan susah karena kenyataannya memang demikian. Jadi kalau anak pertama kita mempunyai kebutuhan khusus, kita musti mempertimbangkan penambahan anak dengan masak-masak.
GS : kalau tidak mempunyai kebutuhan khusus, hal apa yang musti diperhatikan, Pak paul? Kan tetap musti ada yang diperhatikan.
PG : Misalnya anak ini tidak punya kebutuhan yang sangat khusus, misalnya kita perhatikan apakah anak ini memiliki kesulitan belajar. Misalnya kita lihat dia ada kesulitan belajar, mungkin kita akan memberi jarak kelahiran yang lebih jauh. Sebab kita tahu di tahap-tahap awal anak itu baru belajar jadi musti disupervisi terus menerus. Kalau anak pertama ini keadaannya susah dan tidak bisa mengerti pelajaran dengan baik, mungkin kita bisa perbesar jaraknya supaya kita bisa memperhatikan anak yang pertama baru setealh itu anak yang kedua.
GS : Apalagi yang perlu dipertimbangkan, pak Paul?
PG : Kesehatan, pak Gunawan. Jika kondisi kesehatan kita tidak baik, penting bagi kita untuk memprioritaskan pada pemulihan terlebih dahulu ketimbang menambah anak. Kenapa? Kita musti ingat bahwa dalam kandungan anak menyerap apapun yang berasal dari ibu. Jadi bila pasangan belum sehat, ada baiknya kita menunda keputusan untuk menambah anak. Belum lagi kalau memang kurang sehat da nada satu gangguan, kalau punya anak berarti akan lebih menguras tenaganya dan itu akan berdampak juga pada anak. Jadi jangan kita sepelekan masalah kesehatan ini.
GS : Ini kesehatan si ibu atau si anak pak?
PG : si ibu. Angan sampai pada masa hamil si ibu kurang sehat. Kalau tidak, bisa berpengaruh pada bayi yang dikandungnya. Belum lagi kalau anak itu sudah lahir. Kalau ibunya kurang sehat, nanti akan membuat ibu terlalu letih dan bisa memperparah kesehatannya.
GS : Tapi juga kesehatan anak musti diperhatikan. Kadang ada anak yang sejak kecil sering sakit. Kalau kita menambah anak saat itu, perhatiaannya terpecah.
PG : Betul, Pak Gunawan. Kalau memang anak pertama kita mempunyai kebutuhan kesehatan yang musti diperhatikan, kita musti mempertimbangkannya. Kalau kita menambah anak sedangkan anak pertama perlu diperhatikan kesehatannya, sering di bawa ke dokter dan sebagainya, kita perlu siapkan hal ini.
GS : dan itu bisa dikomunikasikan kepada anak tunggal kita, dan saya rasa dia bisa mengerti tentang itu.
PG : Betul. Jadi kita coba bijaksana dalam hal ini. GS : Hal lain yang perlu diperhatikan apa Pak Paul?
PG : Kita musti datang kepada Tuhan mohon kehendakNya. Kita musti ingat bahwa anak adlah pemberian Tuhan semata. Jadi mintalah kepada Tuhan untuk mengaruniakan anak kepada kita dan jangan lupa untuk berserah kepada kehendakNya. Dia tahu waktu yang tepat, jadi berserahlah kepada kehendakNYa. Ada dua hal yang mau saya bahas berkaitan dengan anak adalah pemberian Tuhan. Pertama, anak adalah pemberian Tuhan dalam pengertian Ia mempercayakan kepada kita tanggung jawab untuk membesarkannya bukan untuk menjadi hak milik kita. anak dan semua manusia adalah milik Tuhan. Jadi terimalah dan besarkanlah anak dalam takut akan Tuhan namun serahkan masa depannya kepada Tuhan.
GS : Seringkali orang menganggap kalau punya anak ya milik dia, sehingga boleh merancang sesuai keinginannya.
PG : Betul. Kita sebagai orangtua tidak salah juga kalau jauh-jauh hari memikirkan masa depan anak, tapi kita juga musti serahkan itu kepada Tuhan. Kita musti ingat anak kita adalah milik Tuhan da nada rencana Tuhan atas hidupnya. Jadi kalau memang harus berbeda atau tidak sama dengan apa yang ada dalam pikiran kita, kita musti siap menerimanya.
GS : Juga mengenai jumlah anak, berapapun anak yang Tuhan berikan kepada kita musti kita terima dengan sukacita dan rasa syukur, pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Kalau Tuhan hanya berikan satu, ya terimalah. Kalau Tuhan beri dua, kita terima. Karena kita percaya ini adalah rencana Tuhan yang terbaik untuk kita. Bahkan kalau memang Tuhan tidak memberikan anak, juga tidak apa- apa. Karena ada rencana tuhan untuk hidup kita.
GS : Yang pentin ada kesepakatan s ebelum menikah?
PG : Iya. Jangan sampai dibicarakan setelah menikah mau punya anak berapa, bagaimana kalau tidak punya anak, semua itu bis jadi masalah.
GS : Seringkali menimbulkan pertengkaran suami istri gara-gara berapa jumlah anak yang diinginkan.
PG : betul. Jadi akhirnya ini menimbulkan ketegangan. nanti yang ingin punya anak lebih akan jengkel terus pada pasangannya yang tidak mau punya anak lagi. Nanti dia kesal dan menyakiti hati pasangannya, terus minta menambah anak, dan membuat masalah. Akhirnya pasangannya mau menambah anak padahal
sebenarnya tidak rela. Akhirnya apa yang terjadi? Anak itu lahir, dia tidak memperdulikannya, tidak bertanggung jawab dan tidak mau terlibat dalam perawatannya, sehingga yang menjadi korban adlah anak itu sendiri. jadi sedapatnya dibicarakan sebelum menikah. Kalau sudah menikah, kompromilah dan tanggung bersama-sama.
GS : Kadang-kadang orangtua tinggal di suatu tempat yang tidak terlalu ideal buat anak ini. Tapi tidak ada pilihan lain, harus tinggal disitu. Misal lingkungannya kumuh atau orang-orangnya jahat.
PG : Kadang ini pilihan yang harus ambil karena keterbatasan. Sudah tentu kita tidak mau tinggal di lingkungan seperti itu. Dalam kondisi seperti itu apakah perlu menambah anak? Menurut saya kalau kita bisa melindungi anak itu ya tidak apa- apa. Kalau kita sanggup punya anak lagi, tidak apa-apa di dalam hal yang minim itu.
GS : Apakah ada hal lain yang ingin Pak Paul tambahkan sehubungan dengan ini?
PG : Karena anak adlaah pemberian Tuhan, artinya kita musti menerima kondisi anak apa adanya. Maksud saya, berhati-hatilah dengan godaan untuk membanding- bandingkan anak pertama dengan anak kedua. Berhati-hatilah dnegan godaan untuk menjadikan anak kedua sama baiknya dengan atau lebih baik daripada anak pertama. Jadi hati-hati. Karena saya tahu betapa mudahnya kita sebagai orangtua terjebak dalam pola membanding-bandingkan ini. Kita sudah datang memohon kepada Tuhan untuk memberikan anak. Kalau kita dikaruniai lagi, itu adalah karunia Tuhan, dan anak adalah pemberian Tuhan. Jadi appaun yang Tuhan berikan, kita terimalah. Jangan banding-bandingkan. kok kakaknya tinggi, adiknya tidak tinggi? Kok kakaknya putih, adiknya berkulit gelap? Kok kakaknya pintar, adiknya kurang pintar? jangan! Kalau kita siap dengan tambahan anak, siaplah menerima anak apa adanya. Jangan banding-bandingkan, sebab anak itu sendiri juga tidak memilih untuk menjadi seperti itu.
GS : Biasanya kalau kita dikarunia anak pertama laki-laki, keinginannya anak kedua nanti adalah anak perempuan.
PG : Iya. Ada orang yang akhirnya bisa tidak puas karena anaknya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, jenis kelaminnya berbeda. Ada orang tua yang malah menolak anak berikutnya. Tapi sekali lagi kita musti ingat bahwa anak tidak bisa memilih dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Tuhan sudah tetapkan itu. Anak juga tidak memilih tubuhnya tinggi atau pendek. Tapi betapa seringnya orangtua langsung memberi reaksi. Banyak orang cerita. Yah, saya dibedakan. Kakak saya lebih dipuji-puji oleh orangtua saya. Saya tidak pernah mendengar orangtua saya berkata saya bangga kepadamu tapi kakak saya dibanggakan. Hal seperti ini yang musti kita jaga jangan sampai kita lakukan.
GS : untuk hubungan bersosialisasi, sebenarnya kalau anak pertama itu laki-laki, lebih baik punya adik laki-laki atau perempuan?
PG : sebetulnya tidak menjadi soal. Kalau anak laki-laki adiknya perempuan atau laki- laki. Sebab anak-anak itu sampai usia Sekolah Dasar akan bermain sama-sama.
Dan pada masa remaja dengan sendirinya mereka akan bermain dnegan sesama jenis kelaminnya. Yang laki-laki akan berkumpul dengan sesama laki-laki misal bermain dan berolahraga bersama, demikian juga dengan remaja perempuan dengan teman-teman perempuannya. Sebetulnya sama saja.
GS : Kadang untuk pergaulan di rumah, kalau sama-sama laki-lakinya atau sama-sama perempuannya kan mereka bisa akur. Atau kalau sama-sama laki-laki juga seringkali bertengkar.
PG : Betul! Jadi memang tidak musti harus ada persamaan jenis. Anak pertama laki-laki, anak kedua laki-laki, anak ketiga dan keempatnya perempuan, ya tidak harus demikian. Kita tahu kalau keluarga kita keluarga besar pun kadang-kadang anak pertama dekatnya dengan anak keempat. Anak kedua dekat dengan anak kelima. Memang tidak tentu.
GS : Sebelum mengakhiri perbincangan ini apakah ada ayat firman tuhan yang ingin
pak Paul sampaikan?
PG : di dalam Matius 18:3 dan 4 tercatat perkataan Tuhan Yesus yang berkaitan dengan anak. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Surga. Di sini kita bisa melihat Tuhan menggunakan anak untuk mengajarkan sesuatu yang berharga kepada para muridNya. Tuhan pun akan memakai anak kita untuk mengajarkan kepada kita banyak pelajaran berharga. Kita mau sambut anak pertama, Tuhan akan gunakan untuk mengajarkan pelajaran berharga bagi kita. anak kedua Tuhan akan hadirkan, juga untuk mengajarkan kepada kita pelajaran berharga. Jadi kita musti meyakini inilah cara Tuhan untuk membentuk kita, untuk merealisasikan rencanaNya di dalam hidup kita. Dia akan pakai anak-anak kita.
GS : Biasanya dalam hal apa anak itu bisa memberikan pelajaran kepada orangtuanya? PG : Misalkan pelajaran yang positif terlebih dahulu. Anak ini kok lembut hati sehingga
misalnya anak ini pulang sekolah dan bercerita bahwa dia tidak makan. Ketika kita Tanya kenapa tidak makan, dia berkata saya berikan kepada teman saya yang lapar. Waktu kita dengar itu kita belajar dari anak kita untuk kita bermurah hati. Betapa seringnya kita ini baru memberikan sewaktu kita sudah kenyang dan cukup. Kita tidak memberikan pada waktu kita lapar. Tapi si anak dengan spontan memberikan. Akan ada seribu satu hal seperti itu yang nanti akan dilakukan anak yang bisa memberikan pelajaran buat kita. yang negahtif juga sama, misalkan anak kita mengembangkan masalah, misal dia sakit. Kita sebal karena anak kita sakit- sakitan. Kita musti yakit bahwa Tuhan akan memakai anak yang sakit itu untul mengajarkan pelajaran kepada kita. misalkan pelajarn untuk berbelas kasihan sampai titik terakhir tanpa pamrih tanpa mengharapkan apapun. Kalau kita berbuat baik pada seseorang da nada pamrihnya itu lebih mudah. Tapi waktu anak sakit, kita terus merawatnya bertahun-tahun tanpa ada pamrih, itu berarti Tuhan membentuk kita menjadi orang yang luar biasa penuh dengan kasih karunia.
GS : Terima kasih atas perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Menambah Anak atau Tidak?. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk
56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.