Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang “Mematahkan Sayap Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, apa yang dimaksudkan dengan mematahkan sayap anak, anak tidak bersayap seperti burung ?
PG : Memang saya menggunakan ini sebagai gaya lukisan, ini yang saya maksud adalah membuat anak tidak bisa hidup mandiri. Jadi kadang-kadang kita sebagai orang tua bukannya menolong anak mandiri, tapi malah menjerumuskan anak menjadi bergantung kepada kita.
GS : Jadi memang kemandirian anak diharapkan orang tua padahal orang tua sendiri yang menghambat anak untuk mandiri, tetapi ada sebagian orang yang memaksakan kemandirian anak sehingga orang yang disekitarnya melihat anak masih kecil, tapi sudah disuruh seperti itu misalnya yang pernah kita bahas tentang tidur bersama, umurnya kurang dari 1 tahun tapi sudah disuruh tidur sendiri, dan ini bisa menjadikan masalah kedepannya.
PG : Kita memang perlu menyeimbangkan, saya mengerti dalam soal anak salah satu sukacita terbesar dalam hidup adalah memunyai anak, secara alamiah kasih sayang itu terus ingin diberikan kepada anak dan seiring dengan bertumbuhnya kasih, ada satu lagi hasrat yang sering bertumbuh yaitu ingin memberikan yang terbaik kepada anak. Sayangnya kadang kita melangkah terlalu jauh dan malah merugikan anak, bukan saja dia makin bergantung kepada kita, dia pun tidak memunyai lagi keyakinan diri dan kesanggupan menghadapi tantangan hidup. Jadi kita harus berhati-hati dengan yang kita sebut demi kebaikan anak, kadang-kadang justru demi kebaikan anak itu malah mematahkan sayap anak untuk bisa mandiri.
GS : Hal-hal apa yang bisa dilakukan orang tua sehingga menyebabkan anak itu tidak bisa mandiri, Pak Paul ?
PG : Yang pertama adalah melarang anak untuk bermain dengan teman. Biasanya kekhawatiran yang mendasari larangan ini adalah kita takut teman-teman ini akan memengaruhi anak-anak secara negatif. Sudah tentu kita harus mengawasi pertemanan anak dan melindunginya dari pengaruh buruk namun kita pun harus berhati-hati untuk tidak bersikap berlebihan adakalanya alasan sesungguhnya mengapa kita melarang anak bermain dengan teman-temannya adalah karena kita merasa cemas bila anak tidak berada di depan mata, kita perlu menyadari bahwa bermain dengan teman adalah kebutuhan pokok bagi anak yang penting bagi perkembangan jiwanya.
GS : Ini tergantung dari usia anak itu, kalau anak masih terlalu kecil memang kita tidak tega membiarkan anak ini bermain misalnya di tetangga atau di jalan, tentu saja kita membiarkan atau meminta anak itu tetap tinggal di dalam rumah.
PG : Pada masa anak-anak kecil kita masih mengawasinya karena anak-anak itu tidak selalu mengerti bahaya, jadi kita harus menjaganya. Namun setelah anak mulai besar dan ada saudara datang mengajaknya atau ada teman di sebelah rumah dan kita percaya kepada orang tuanya, seharusnya kita juga membiarkan sehingga anak terbiasa juga untuk main di luar rumah, di rumah tetangga atau saudaranya sehingga tidak selalu bersama-sama dengan kita di dalam rumah. Ini memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukannya, karena sekali lagi secara alamiah kita baru merasa tenang kalau kita melihat anak kita, baik itu di rumah kita atau pun dimana kita harus melihat dia ada. Tapi sekali lagi pertemanan anak itu penting, dia harus bisa bermain-main dengan teman-temannya dan karena di sekolah sudah ada tapi sebetulnya tidak cukup, kalau bisa ditambah dengan di luar dia bermain dengan saudara sepupunya atau siapa, itu juga sangat baik bagi anak. Secara fisik dia akan banyak bergerak dan juga secara mental dia akan belajar untuk bagaimana bekerjasama dengan orang lain.
GS : Belajar bersosialisasi dengan lingkungannya, begitu Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Saya perhatikan ada anak-anak yang waktu kecilnya tidak boleh keluar dan terus dilindungi seperti itu sampai besar akhirnya anak seperti itu yang tidak terbiasa bermain dengan orang lain hanya ke sekolah dan bermain sebentar dengan teman-teman dan pulang dan kemudian terus di rumah, hari Sabtu Minggu juga terus di rumah akhirnya itu dibawa sampai usia remaja karena orang tuanya tetap melarang dan anak-anak itu karena sudah terbiasa hidup dalam rumah, dia takut keluar rumah dan rasanya juga tidak bisa bagaimana caranya bermain dan berinisiatif, menjalin relasi dengan teman akhirnya sendirian dan terisolasi. Pada waktu usia sudah mulai dewasa baru orang tua sadar kalau anak saya diam di rumah saja, dan baru disuruh keluar serta baru disuruh bergaul, tapi masalahnya adalah dia tidak mengerti bagaimana caranya bergaul. Bagi kita yang sudah terbiasa bergaul, kita tidak lagi berpikir mau bicara apa setelah mengucapkan perkataan ini. Tapi bagi anak yang tidak bisa bersosialisasi setiap kalimat menjadi pergumulan dia, karena dia benar-benar tidak mengerti harus berbicara apa. Pada waktu temannya mengeluarkan kata-kata atau melakukan sesuatu atau misalnya bercanda dan sebagainya, dia benar-benar tidak mengerti bagaimana menjawabnya. Otomatis buat dia akhirnya bersama dengan kerumunan orang, itu hal yang tidak nyaman sehingga dia makin menutup diri. Dan sekali lagi ini dimulai dari awal yaitu masa kecil.
GS : Tapi memang ada anak sejak kecil sulit untuk bergaul sehingga dia walaupun didorong atau dimotivasi, tetap dia memilih main di rumah apalagi sekarang banyak permainan untuk anak yang bisa dikerjakan sendiri di rumah, Pak Paul.
PG : Jadi kita harus mengerti kondisi anak kita masing-masing, misalkan anak saya ada tiga, satu dari anak saya mirip seperti itu. Memang dia senang dengan bidang-bidang ‘science’, eksakta dan akhirnya studinya bagian ‘science’ dan dia memang tidak begitu bisa bergaul, apa yang kami lakukan ? Kami memang meminta temannya mengajak dia tinggal di rumah temannya atau kami mengundang temannya untuk menginap di rumah kami, karena kami kenal dengan orang tuanya. Sewaktu kecil ketika saya lihat memang lucu sebab dia dan temannya dua-duanya mirip yaitu susah bergaul dan temannya juga sama, senangnya juga sama yaitu main video games, yang lucu adalah mereka misalkan menginap di rumah dan berdua-dua bisa bersama-sama dalam satu ruangan tapi tidak ada pembicaraan karena dua-duanya bermain, tapi tetap itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Itu yang kami lakukan terus sampai dia mulai besar dan karena dia sudah mulai besar, kami sering bicara dengan dia dan memberikan dia masukan-masukan tentang apa yang perlu dia tambahkan dalam hidupnya. Dan karena dia tambah besar jadi dia bicara dan akhirnya dia mulai mengakui, “Memang saya ini lemah dalam bidang pertemanan" jadi dia secara terencana berusaha memerbaiki kelemahannya itu meskipun tetap saya akui sampai sekarang keterampilannya bergaul masih tetap tidak sama dengan teman-temannya dan dia memang tetap harus bergumul dalam hal bergaul. Ini adalah keunikan dari anak tertentu yang kuat dalam bidang-bidang tertentu.
GS : Kalau dicarikan teman yang ramah, yang suka bicara dan suka cerita, apakah itu berpengaruh pada anak Bapak dalam hal ini ?
PG : Kebetulan temannya yang dia bisa cocok adalah yang sehobi dengan dia. Jadi kalau temannya itu lebih berani dan lebih banyak bicara dan sebagainya, tapi hobinya sama maka bisa. Contohnya adalah waktu dia kuliah dan dia mendapat teman sekamar yang lebih bisa bergaul, tapi sebenarnya banyak miripnya dengan dia dalam bidang studi, sehingga dia bisa berelasi dengan temannya ini dan temannya banyak sekali menolong dia, sehingga dia akhirnya mulai bisa bergaul dengan teman-temannya yang lain. Jadi kalau temannya yang bisa bergaul bersama dengan dia maka dia bisa tertolong.
GS : Selain melarang anak bermain, itu yang Pak Paul katakan bisa mematahkan sayap anak, hal lain yang bisa terjadi apa, Pak Paul ?
PG : Melarang anak berbagian di dalam kegiatan yang tidak kita sukai itu adalah cara kita mematahkan sayap anak. Ini bisa berkaitan dengan olah raga, musik atau kesukaan lainnya. Pada umumnya kita beralasan bahwa aktifitas atau minat tersebut bukanlah sesuatu yang baik, namun alasan sesungguhnya mengapa kita melarangnya adalah karena kita tidak menyukai pilihannya. Sebagai contoh misalnya kita menyukai piano, mungkin saja kita melarang anak belajar menabuh drum, larangan seperti ini sebetulnya memasung anak untuk mengembangkan minatnya dan ini tidak baik, kita harus menyadari bahwa anak bukanlah kita dan bahwa perbedaan minat bukanlah sesuatu yang salah. Jadi untuk tidak mematahkan anak, ijinkan anak berbagian atau melakukan kegiatan yang dia sukai, meskipun kita sendiri tidak terlalu menyukainya atau kita anggap itu bukanlah suatu kegiatan yang terlalu penting dan sebagainya, tapi biarkan supaya dia bisa mengembangkan dirinya.
GS : Tapi biasanya anak itu mencontoh orang tuanya misalnya orang tua senang main piano dan dia lebih cepat untuk menyukai piano daripada menyukai drum.
PG : Biasanya pada masa anak-anak kecil, iya. Biasanya pada masa kecil mereka akan mengikuti apa yang orang tuanya main dan sebagainya, olah raga apa dan sebagainya tapi begitu dia mulai besar di sekolah ada banyak kegiatan lainnya dan teman-temannya memunyai kebisaan yang lainnya, dia mungkin sekali mengembangkan minat mau mencoba yang lain-lainnya yang juga dilakukan oleh temannya di sekolah. Dalam hal ini orang tua memang penting untuk bisa fleksibel, contohnya anak kami tiga, ketiganya diajar piano oleh istri saya, tapi pada akhirnya yang benar-benar main piano dan terus main piano hanya satu dan dua lagi tidak, mereka tetap bisa main piano tapi tidak terlalu sering main piano. Yang dua malahan akhirnya pindah haluan, lebih banyak bermain gitar dan istri saya terima tidak mengapa mereka mau main yang lainnya. Jadi penting sebagai orang tua kita tidak mengikat anak harus persis sama sesuai dengan keinginan kita.
GS : Tapi kalau itu sesuatu yang menurut kita bisa membahayakan anak, misalnya saja balapan sepeda motor dan sebagainya, anak-anak suka itu tapi kita melihat bahaya yang bisa ditimbulkan karena kesukaannya atau hobinya.
PG : Tidak bisa tidak, waktu anak masih kecil apalagi dia masih belia atau remaja kita harus lebih berani, lebih berinisiatif untuk mengatakan, “Jangan ini bahaya buat kamu" sebab dia mungkin saja tidak menyadari bahayanya itu. Kalau dia sudah besar dan merupakan pilihan dia, tetap kita masih bisa dan boleh memberikan saran, “Apakah kamu sungguh-sungguh mau melakukan ini, bukankah ini berbahaya buat kamu ?" tapi kalau dia berkata, “Saya sudah pelajari dan saya bisa akhirnya kita juga harus terpaksa melepaskan sekalipun kita takut ada apa-apa dengan dia.
GS : Karena semua kegiatan seperti itu biasanya membutuhkan dana yang tidak sedikit dan orang tua juga memikirkan hal itu.
PG : Kadang-kadang kita harus bilang kepada anak kita, “Maaf memang kami tidak punya uang untuk membelikan apa yang kamu sukai itu". Jadi anak juga harus menerimanya.
GS : Itu bukan hal yang Pak Paul katakan sebagai mematahkan sayap anak ?
PG : Tidak. Kalau memang kita tidak punya maka kita bicara terus terang kepada anak, saya kira anak akan bisa melihat dan bisa mengakui bahwa memang tidak bisa orang tua tidak mampu dan biasanya mereka akan menerima itu.
GS : Seringkali banyak cita-cita anak yang tidak kesampaian karena memang ketidakmampuan orang tua, dan bahkan memilihkan tempat sekolah atau tempat dia tinggal karena anak harus mengikuti orang tua padahal kemampuan orang tua sangat terbatas.
PG : Memang sudah tentu akan ada hal-hal yang ingin anak lakukan, tapi tidak bisa karena tidak punya kemampuan untuk itu, ini sedikit berbeda topiknya tapi saya mau munculkan juga yaitu orang tua harus bijaksana menempatkan anak di sekolah atau lingkungan yang sesuai dengan taraf kehidupan kita, kalau kita karena bersemangat sekali ingin anak kita memunyai prestasi yang lebih tinggi dan sebagainya dan kita tempatkan dia di sekolah yang baik, tapi juga kalangan atas sedangkan kita bukan di kalangan atas, ini nantinya juga bisa menjadi boomerang karena si anak akan merasa tertekan sekolah di situ, teman-temannya jauh lebih mampu dari dia secara ekonomi, main ini, ikut itu sedangkan dia tidak bisa dan itu menjadi tekanan bagi dia.
GS : Hal lain yang bisa mematahkan sayap anak apa, Pak Paul ?
PG : Yaitu kita mengambilkan keputusan bagi anak. Sudah tentu pada masa anak kecil kita harus mengambilkan keputusan buat anak, namun seiring dengan pertumbuhannya kita harus memberikannya lebih banyak kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Biasanya alasan mengapa kita terus mengambilkan keputusan baginya adalah karena kita khawatir ia akan memilih yang keliru. Menurut saya daripada melindunginya dari keputusan yang salah lebih baik bila kita mengajarkannya bagaimana mengambil keputusan. Dengan kata lain, kita mengajarkannya untuk memerhatikan faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan dan kita dapat memulai dari hal yang kecil seperti memilih mainan atau baju. Pada akhirnya anak akan melakukan kesalahan sebagaimana kita pun kadang salah memilih dan ini tidak mengapa, sebab ini adalah bagian dari kehidupan yang nyata, namun selama ia tahu bagaimana seharusnya mengambil keputusan yang baik, kita harus belajar membiarkannya mengambil keputusan sendiri.
GS : Yang seringkali terjadi bagi orang tua adalah tidak sabar menunggu anak itu mengambil keputusan, karena kita tahu mana yang seharusnya diputuskan, tapi proses pengambilan keputusan bagi anak itu perlu waktu yang lebih lama dari pada kita.
PG : Jadi kita kadang-kadang berpikir kita lebih tahu dan tidak memakan waktu jadi bisa lebih cepat dan kita ambilkan saja. Ada waktu-waktu tidak mengapa kita ambilkan mungkin memang waktunya terdesak dan sebagainya, tapi kalau ada waktunya berikan kesempatan kepada anak. Sebagai contoh adalah ini yang terjadi pada anak saya. Anak saya sekarang mengajar di sekolah yang memang banyak sekali anak-anak yang bermasalah, karena waktu kuliah dulu dia mendapatkan tunjangan sehingga dia sekarang harus mengajar di sekolah yang memang bermasalah. Sebetulnya sebelum dia masuk ke program ini saya sudah beritahukan dia, “Lebih baik pikir baik-baik lagi, mungkin kamu harus melihat dulu anak-anak seperti apa yang nanti akan kamu ajar sebelum kamu iyakan". Tapi dia tetap memilih program ini karena secara ekonomis lebih tidak memberatkan kami sebagai orang tua dan memang sekarang dia kesulitan sekali. Kami tetap membantu dia, mendukung dia dalam masa kesulitannya ini, pernah sekali dua kali saya munculkan dan saya katakan kepada dia, “Ini yang membuat saya atau papa dulu meminta kamu untuk benar-benar memertimbangkan secara serius karena ini yang papa lihat, kamu akan kesulitan mengajar anak-anak yang seperti ini". Jadi kita tidak perlu terus-menerus berbicara seperti itu, saya hanya bicara sekali atau dua kali paling banyak, selebihnya adalah memberikan dorongan kepadanya. Jadi sekali lagi walaupun saat itu saya tahu kira-kira anak saya akan kesulitan karena tidak mudah menghadapi anak-anak yang bermasalah seperti itu, tapi karena dia sudah putuskan seperti itu maka tidak mengapa. Keinginan kita untuk melindungi anak dari semua yang buruk-buruk, tapi kadang-kadang kita harus membiarkan karena itulah cara dia itu bertumbuh.
GS : Biasanya anak itu kesulitan di dalam hal memilih sekolah atau teman hidup dan kita sebagai orang tua tidak bisa terlalu jauh mencampuri urusan seperti itu, Pak Paul ?
PG : Sekali lagi kita harus ingat tugas kita adalah memberitahukan, mengarahkan, mengingatkan, tapi akhirnya keputusan itu ada di tangan dia dan kita tidak bisa membuatkan untuk dia. Waktu dia masih kecil kita harus buatkan bagi dia karena dia belum mampu mengambilnya maka tugas kita adalah mengajarkan sebagai orang tua sebetulnya apa prosedur atau cara mengambil keputusan yang baik atau yang sehat dan setelah itu kita harus biarkan dia dan prosesnya akan lewat jatuh bangun. Ada orang tua yang tidak mau melihat anaknya jatuh bangun jadi semua diputuskan dan masalahnya adalah anak ini sampai kapan pun tidak pernah belajar mengambil keputusan, itu yang justru mematahkan sayap si anak.
GS : Biasanya hal-hal apa yang kita mau sampaikan supaya dia memunyai pegangan untuk mengambil keputusan itu, Pak Paul ?
PG : Misalkan kita selalu meminta dia sebelum mengambil keputusan untuk benar-benar mengerti apa kondisi yang harus dihadapinya dan jangan hanya melihat satu sisi tapi lihatlah segala sisi. Tugas kita sebagai orang tua mungkin memunculkan sisi-sisi itu. Contohnya anak saya itu, mungkin dia melihatnya dari segi tidak memberatkan orang tua secara ekonomi dan program ini program yang baik kenapa tidak mengambilnya, tapi saya memunculkan sisi yang lainnya, “Kamu nanti akan mengajar anak yang sulit dididik, karena dia berasal dari keluarga yang bermasalah dan sebagainya", itu tugas kita yaitu menjelaskan kondisi sejelas mungkin kepada dia. Kedua, kita memang harus menyadarkan kemampuannya, kesanggupannya. Jadi apapun yang diputuskan harus didasari atas pemahaman siapakah dirinya, kesanggupannya apa, jangan sampai dia mengambil keputusan yang dia sendiri tidak bisa lakukan. Salah satu contoh lain yaitu kita ingin mendapatkan pandangan dari orang lain, sebaiknya dalam pengambilan keputusan tidak hanya pandangan kita yang kita dengarkan, tapi juga pandangan orang lain sehingga kita bisa membandingkannya. Saya pikir itu adalah tiga faktor utama dalam pengambilan keputusan.
GS : Apakah mungkin ada hal lain dari tindakan orang tua yang bisa mematahkan sayap anak, Pak Paul ?
PG : Yang keempat dan terakhir adalah menakut-nakutinya dengan selalu membayangkan dengan kemungkinan terburuk, memang benar bahwa kita hidup dalam dunia yang tidak selalu aman dan bahwa orang di sekitar kita tidaklah semua baik dan itu betul. Namun kita harus berhati-hati agar tidak menanamkan pada diri anak sebuah gambar dunia yang kelam, kita harus menyajikan kepada anak kondisi dunia yang nyata, yaitu ada keburukan namun ada pula kebaikannya. Jadi bukan saja kita berkata bahwa di dalam dunia tidak semua orang baik, tapi kita pun harus berkata bahwa di dalam dunia tidak semua orang jahat, melalui penjelasan seperti ini barulah anak dapat membangun sebuah perspektif yang berimbang terhadap kehidupan. Jadi sebuah gambar tentang kehidupan yang gelap dan menakutkan tidak bisa tidak akan membuat anak hidup dalam kecemasan dan dia akhirnya membuat zona aman dan selalu takut untuk keluar dari zona aman ini, pada akhirnya ia hanya akan memercayai segelintir orang yang dianggapnya layak dipercaya. Dia pun akhirnya akan memangkas pertumbuhan jiwanya karena dia tidak berani mengeksplorasi dan mengembangkan minatnya. Jadi hati-hati dengan omongan kita yang mengingatkan anak harus berhati-hati, tapi akhirnya kita menyajikan sebuah dunia yang terlalu menakutkan bagi anak.
GS : Rupanya hal ini juga disadari oleh banyak orang tua, sehingga ada orang tua yang mengatakan, “Saya tidak menakut-nakuti kamu, tapi........." Dan kata ‘tapi’ itu ceritanya menakut-nakuti, dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Orang tua yang biasanya menakut-nakuti anak biasanya memang orang tua yang penuh ketakutan, jadi dia menularkan ketakutannya itu pada orang di sekitarnya dalam hal ini anaknya, maka kita harus sadarkan diri kita bahwa kitalah yang punya masalah dengan ketakutan itu, kita sebaiknya tidak menularkannya sebab kita sendiri tahu bahwa akhirnya kita ini tidak bisa hidup optimal karena kita dirundung ketakutan dan tidak berani melakukan ini dan itu, apakah kita mau anak kita seperti kita ? Kalau kita berkata, “Tidak mau, kita mau anak kita lain dari kita" sebaiknya kita juga menjaga dan jangan terlalu sering-sering memberikan komentar negatif tentang hidup ini.
GS : Sebaliknya kalau kita tidak mau mengingatkan, anak ini kurang waspada, itu yang dikhawatirkan oleh banyak orang tua, Pak Paul.
PG : Maka penting kita mengerti anak kita, ada anak yang memang sembarangan dan tidak memikirkan resiko. Untuk anak-anak seperti itu orang tua harus sering-sering mengingatkan, tapi ada anak yang tidak begitu dan dia berpikir panjang, dia sudah berhati-hati. Kepada anak yang seperti ini kita tidak perlu sering-sering memberikan peringatan kepadanya, selama kita tahu anak kita seperti apa dan bisa menyesuaikannya, saya kira itu baik.
GS : Jadi bagaimana kalau kita mau mengingatkan anak kita supaya dia lebih berhati-hati dan waspada terhadap lingkungannya, Pak Paul ?
PG : Kita selalu katakan 2 sisi yang tadi bahwa ada yang jahat tapi ada yang baik. Ada orang yang menipu kita, tapi ada orang yang begitu layak dipercaya dan benar-benar dia tidak akan berbuat curang dan kita bisa berikan contoh-contoh kepada anak kita. Kalau kita bisa memberikan tanda-tanda yang lebih spesifik sampaikanlah, misalnya kita berkata, “Kamu perlu berhati-hati dengan orang yang belum apa-apa sudah menjanjikan keuntungan-keuntungan sebab biasanya kalau orang yang belum apa-apa sudah menjanjikan keuntungan-keuntungan, tujuannya adalah ingin mendapatkan sesuatu dari kamu. Tapi kalau orang itu bicara apa adanya dan tidak menjanjikan apa-apa lebih realistik, itu yang harus kamu perdengarkan". Jadi bagikanlah apa-apa yang telah kita pelajari dalam hidup, hikmat-hikmat dalam hidup supaya anak mengerti bagaimana menghadapi hidup, tapi dengan gambar yang lebih realistik dan tidak sampai terlalu buruk.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa mengingatkan kita tentang hal ini ?
PG : Mazmur 135:5-6 mengingatkan kita akan kuasa Tuhan yang tak terbatas, “Sesungguhnya aku tahu, bahwa TUHAN itu maha besar dan Tuhan kita itu melebihi segala allah. TUHAN melakukan apa yang dikehendaki-Nya, di langit dan di bumi, di laut dan di segenap samudera raya". Jadi kita serahkan anak kita kepada pemeliharaan Tuhan, tidak ada tempat yang lebih aman selain daripada hidup dalam pemeliharaan Tuhan.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan firman Tuhan ini pasti sangat menguatkan kita semua. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Mematahkan Sayap Anak" . Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.