Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi,
di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur
Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen
dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang
dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang
konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan
kami kali ini tentang "Mengendalikan Emosi". Kami percaya acara ini
pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat
mengikuti.
DL : Pak Paul, saya ingin bertanya, mengapa wanita harus
mengendalikan emosi ?
PG : Nah ini pertanyaan yang bagus, Ibu Dientje, sebab kita harus
mengakui meskipun tidak semuanya, tapi saya kira kebanyakan wanita mengalami
kesulitan dalam mengendalikan emosi sewaktu emosinya sedang berkobar. Itu
sebabnya dalam konflik rumah tangga kalau wanita itu sedang beremosi, dia tidak
bisa mengendalikan dengan mudah sehingga akhirnya keluar terus kemarahannya,
bisa berlangsung berjam-jam dan bisa berhari-hari juga. Inilah sebabnya
perempuan perlu untuk mengendalikan emosi.
GS : Sama seperti pria harus mengendalikan pikirannya, begitu, Pak
Paul ?
PG : Betul sekali, pria harus mengendalikan pikiran supaya jangan
pikirannya berkembang sedemikian rupa dan dia memunyai sikap kasar kepada
istrinya, jadi kita masing-masing harus belajar untuk mengendalikan diri kita.
GS : Tapi kadang-kadang sikap dari seorang istri atau wanita
seringkali membuat kaum pria merasa heran atau terkejut atau kagum dan
sebagainya, Pak Paul.
PG : Begini, Pak Gunawan, kadang-kadang suami melihat istrinya begitu
cepat mengeluarkan emosi, hal itu sudah tentu mengejutkan dan menakutkan juga
untuk suami. Suami tidak keberatan bila istrinya memberi reaksi spontan tetapi
kalau yang positif, bila yang spontannya negatif biasanya suami menjadi takut,
menjadi defensif. Yang biasa dilakukan pria adalah menjauh atau berusaha meredam
istrinya supaya jangan sampai beremosi seperti itu. Kita mau belajar, kita
semua tidak sempurna jadi kita mau belajar bagaimana mengendalikan emosi kita
dengan lebih baik.
GS : Yang seringkali muncul adalah emosi-emosi kemarahan, kesedihan
yang berlebihan, ketakutan, kekuatiran, seperti itu, Pak Paul.
PG : Betul sekali, biasanya emosi yang mendominasi kita adalah empat
yang tadi Pak Gunawan sudah sebutkan itu.
GS : Pak Paul, apakah ada langkah-langkah yang Pak Paul ingin usulkan
bagaimana caranya seorang wanita itu bisa mengendalikan emosinya ?
PG : Yang pertama adalah kuncinya adalah dalam pengendalian emosi
ialah pengendalikan pikiran, maksudnya begini, salah satu penyebab mengapa
emosi mudah keluar tak terkendali adalah dikarenakan berkembangnya pemikiran
secara ekstrem. Misalnya istri melihat suami berbicara secara akrab dengan
seorang wanita. Begitu melihat, istri tanpa sadar dan dengan cepat membayangkan
skenario terburuk yaitu si suami sebenarnya menyukai perempuan tersebut atau "suami
saya tidak lagi menyukai saya" atau "itu perempuan juga menyukai suami saya"
atau pikiran yang lebih ekstrem lagi, "suami saya pasti akan meninggalkan saya
jikalau hubungan mereka berlanjut". Nah, begitu skenario itu yang memang
terburuk itu terbentuk di benak si istri, yang langsung muncul adalah rasa
takut disusul oleh rasa marah karena "suami saya akan berbuat begini" dan
sebagainya, sehingga reaksi yang keluar berbentuk kemarahan. Akhirnya yang
keluar dari mulut si istri adalah tuduhan, "Kamu pasti ada hati dengan
perempuan ini. Ini perempuan pasti suka dengan kamu" dan perintah untuk
memutuskan relasi tersebut. Tidak bisa tidak pertengkaran terjadi, relasinya
terganggu. Itu sebabnya langkah pertama, si istri harus dapat mengendalikan
pemikirannya.
GS : Pak Paul, apakah dalam hal ini unsur kepercayaan juga
mendominasi ? Artinya kalau istri ini menaruh percaya penuh kepada suaminya,
‘kan tidak mungkin muncul pikiran-pikiran seperti itu, Pak Paul ?
PG : Kalau si suami selama ini menjalin hubungan yang baik dengan si
istri sudah tentu kemungkinannya muncul pikiran itu lebih kecil, tetapi juga
kebanyakan perempuan sudah hidup di tengah-tengah suatu keyakinan bahwa pria
itu mesti dijaga, sebab kalau tidak pria itu cenderung serong tidak setia
kepada istrinya, maka meskipun dia percaya kepada suaminya namun tidak bisa
dihindari kadang-kadang pikiran-pikiran itu muncul, Pak Gunawan. Jadi muncul
bahwa "Jangan-jangan nanti ada apa-apa", pemikiran seperti ini lebih jarang
muncul dalam benak pria, sebab secara sosial budaya kita memang tidak terlalu
sering mendengar kabar si istri ini lari dengan pria lain. Ada terjadi tapi
tidak sebanyak yang kita dengar kalau itu dilakukan oleh pria, sehingga modal
percayanya pria itu lebih besar kepada istri dibandingkan istri kepada suami,
apalagi misalnya si suami ekonominya menanjak, karirnya juga melesat pesat,
banyak istri meskipun suaminya tidak pernah berbuat apa-apa, tidak pernah
mengkhianati tapi pada waktu dia mengetahui suaminya makin populer, maka dia
makin merasa cemas. Skenario terburuk itu tetap bisa muncul dalam benak
istrinya meskipun relasi mereka baik-baik, tidak ada apa-apa.
DL : Oleh sebab itu harus dikendalikan pikiran wanita itu, sehingga
jangan "negative thinking".
PG : Betul, sebab ada kecenderungan itu, sedangkan kita mungkin tidak
memunyai kecenderungan yang sama sebagai pria. Istri kita misalnya posisinya
baik, kita masih biasa-biasa saja, karena kita tidak terlalu terekspose dengan
berita-berita bahwa istri itu tidak setia, jarang dibandingkan dengan pria maka
bisa dimaklumi kenapa istri yang lebih cepat mengembangkan skenario yang
negatif tersebut. Masalahnya itu belum terjadi dan mungkin sekali tidak akan
terjadi pada suaminya, tapi dengan cepat dia sudah memunyai pikiran yang sejauh
itu. Saya harapkan waktu istri tiba-tiba memunyai pikiran yang buruk seperti
itu, dia mesti berdialog dengan dirinya sendiri, misalnya berkata, "Saya mesti
menemukan bukti, masa saya melihat suami saya berbicara dengan perempuan saya
sudah berpikiran sejauh itu, buktinya apa ? Jangan sampai saya mengambil
kesimpulan tanpa bukti". Setelah itu dia juga mesti memandang peristiwa itu
dan menempatkannya dalam konteks yang lebih luas, sejarah relasinya dengan
suami bahwa selama ini suami saya baik, tidak pernah ada apa-apa, tidak
berbohong, semuanya diceritakan. Mengapa saya berpikiran seperti ini ? Kalau
suami saya dari dulu pembohong, pengkhianat, silakan. Tapi tidak, jadi selain
dari berdialog dan menuntut menemukan bukti sebelum menuduh hendaklah istri
juga menempatkan apa pun yang dia alami, yang dia takuti dalam bingkai yang
lebih luas. Apakah memang suaminya orang seperti itu, kalau tidak maka ia harus
melawan pemikiran itu. Jangan sampai pemikiran yang berlebihan itu membuat dia
akhirnya mengembangkan emosi yang panas.
GS : Sebenarnya apakah istri cukup memunyai keberanian untuk bertanya
kepada si suami sebenarnya apa yang dia pikirkan itu benar atau tidak,
mengkonfirmasi saja, Pak Paul.
PG : Ini pertanyaan yang sangat bagus sekali; pada umumnya istri
tidak mau bertanya. Umumnya istri tidak mau bertanya seperti itu.
DL : Mungkin gengsi.
PG : Saya kira itu alasannya. Dipendam karena memang ada rasa gengsi,
"Masa saya berbicara seperti itu, kelihatan kalau saya tidak merasa aman". Jadi
kebanyakan istri mencoba untuk mengemasnya dengan bungkus yang berbeda, bungkus
yang bermacam-macam. Orang ini begini, orang itu begitu, "kamu sebaiknya jangan
dekat-dekat dengan dia". Suaminya terkejut, "Kamu mengapa bisa begitu kesal dan
jengkel dengan perempuan itu, apa salahnya ? Saya tidak ada apa-apa, kita
baik-baik saja". Si istri menjadi marah, padahal istri sudah mengembangkan
pemikiran-pemikiran yang sudah sangat jauh, yang negatif sekali, tapi menurut
Ibu Dientje saya kira betul, gengsi untuk berbicara apa adanya bahwa dia
memunyai ketakutan seperti itu. Kalau saja dia berani berbicara bahwa dia
memunyai ketakutan seperti itu, mungkin suaminya akan lebih tanggap dan
berkata, "Jangan berpikir seperti itu, saya tidak memunyai pikiran seperti itu,
tidak ada hati dengan dia, saya hanya mencintaimu". Kalau berani terbuka
seperti itu maka masalahnya akan beres.
GS : Tapi kalau dalam rangka memang mau mengendalikan pikiran, mau
tidak mau hal itu harus dilakukan supaya pikirannya tertata, lama kelamaan
setelah bertanya dan ternyata omongan suaminya bisa dibuktikan, itu akan
menolong dia.
PG : Dua belah pihak memang harus bekerja sama, istri harus belajar
terbuka, korbankan gengsi jangan sampai gengsi menahan dia melakukan hal yang
baik. Si suami di pihak lain, cobalah mengerti bahwa inilah istrinya, bahwa
inilah juga banyak wanita seperti ini. Coba langsung tohok masalah utamanya dengan
berkata kepada si istri, "Oke, saya mengerti mungkin kamu agak merasa cemas,
saya mau meyakinkan kamu bahwa saya hanya mencintai kamu, tidak ada perasaan
saya kepada orang lain termasuk kepada dia. Kalau kamu merasa kurang yakin
cobalah kamu mengikut saya selalu kalau berbicara dengan dia atau silakan kamu
melihat apa yang menjadi bahan pembicaraan kami, di email kami, silakan". Jadi
keterbukaan suami dan undangan suami untuk masuk mengeceknya sedikit banyak hal
itu akan membuat istri lebih nyaman.
DL : Lebih lega rasanya. Selain itu apalagi, Pak Paul ?
PG : Yang kedua untuk bisa mengendalikan emosi saya sarankan, perlu
tindakan antisipatif atau perencanaan. Begini, kebanyakan reaksi emosional
keluar tanpa kendali oleh karena kita merasa bahwa situasi itu telah lepas
kendali, itu sebabnya sebelum menghadapi sesuatu yang penting, penting bagi
kita untuk mengantisipasi situasi yang akan kita hadapi itu. Sebagai contoh,
ibu hendak mengajak anaknya pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli sesuatu,
si ibu harus mengantisipasi situasi tersebut sebelum pergi. Jika ada toko
mainan, kira-kira apa yang akan dilakukan oleh si anak atau jika ada arena
bermain apakah yang akan dilakukan si anak ? Bila waktu tersedia ada baiknya
bagi si ibu untuk merencanakan memberi kesempatan kepada si anak untuk bermain
sejenak atau bila sudah waktunya bagi si anak untuk membeli mainan, pikirkanlah
mainan apa yang dapat dibelikan. Semua perencanaan ini akan memudahkan si ibu
bereaksi ketika si anak meminta dibelikan mainan atau mau bermain di arena
permainan itu. Sebaliknya kalau si ibu tidak mengantisipasi semua ini, mudah
sekali baginya marah pada waktu anak meminta membeli mainan, mau bermain di
sini di situ, ibunya kalap dan marah. Jadi penting sebelum pergi sedapatnya
istri atau ibu merencanakan, di sana akan berbuat apa dan apa. Makin jauh dan
matang perencanaan makin mudah dia mengendalikan emosinya, sebab waktu anak
meminta ini dan itu, dia sudah siap menghadapinya.
DL : Juga bersama suami dalam merencanakan kebutuhan rumah tangga
kadang-kadang seorang wanita itu lebih boros.
PG : Memang perlu perencanaan dalam relasi dengan suami.
GS : Sebenarnya ketika ibu ini mengajak anaknya ke pusat
perbelanjaan, dia sudah mengetahui apa yang akan terjadi di sana.
PG : Memang sekali pun kita mengetahui tidak selalu kita merencanakan
apa yang akan dilakukan, jadi akhirnya terjadi seperti itu. Seharusnya kalau
sudah mengetahui harus dipikirkan saya akan membelikan dia mainan atau tidak,
jangan baru diputuskan ketika sudah berada di depan toko mainan, nanti ribut
dengan si anak. Sebelumnya harus dipikirkan lebih dulu, kalau kita tidak mau
membelikan mainan karena baru saja dibelikan mainan, kita katakan kepada si
anak, "Nanti kamu akan melewati toko mainan itu, tapi kita tidak akan masuk ke
sana karena kamu baru saja mendapatkan mainan, sekarang tidak dulu lain kali baru
kita membeli mainan. Apakah kamu berjanji akan melewati toko itu dan tidak
merengek-rengek minta masuk ?", nah kalau si anak berkata, "Ya". Begitu anak
nanti ikut di depan mall diingatkan lagi sampai 2 – 3x, waktu melewati toko,
kecil kemungkinannya dia merengek, Kalau dia merengek juga, ibu mengingatkan
lagi, dengan cara ini si ibu sudah lebih siap menghadapi anak yang masih
merengek-rengek. Jika tidak, maka di toko si anak akan bereaksi, yang keluar
kepanikan dan kemarahan si ibu.
GS : Itu kalau hubungan antara orang tua dengan anak, kalau suami
istri ? Kalau kita sudah memberitahukan kepada istri bahwa hanya akan
jalan-jalan saja di mall ini, istri tidak jadi pergi, Pak Paul. "Itu tergantung
saya nanti kalau senang saya akan masuk ke toko itu". Kalau kita katakan bahwa
tadi sudah berjanji bahwa hanya akan jalan-jalan saja, bisa rusak hubungan
suami istri itu.
PG : Kalau dalam kasus suami istri begini, Pak Gunawan, sudah tentu
si istri misalkan mau pergi, dia juga dalam hati sudah siapkan hati,
rencanakan, ada baiknya dia berbicara dengan suaminya sehingga suaminya juga
mengetahui apa yang diharapkan. Kalau tidak misalnya ini yang terjadi, si istri
pergi ke mall dengan suaminya, di pusat perbelanjaan itu dia melihat toko yang
disukainya, dia masuk dan suaminya disuruh menunggu berjam-jam tidak
keluar-keluar. Akhirnya suaminya marah, merasa kesal. Dia keluar dan suaminya
berkata, "Kamu lama sekali". Si istri menjadi emosi juga, "Kamu juga tidak mau
menunggui saya dan lain-lain.". Sekali lagi perencanaan itu penting, mungkin si
istri berkata, "Saya akan masuk ke dalam, kamu mau menunggu berapa lama ?" Jadi
ada perencanaan, sehingga si istri juga bisa mengendalikan reaksi emosinya. Sebab
kalau tidak dia baru keluar dari toko, suaminya merengut dan lain-lain. Dia
mungkin marah jadi akhirnya terjadi pertengkaran.
GS : Dalam hal perencanaan mungkin si suami lebih senang diajak
berencana, tetapi si istri belum tentu senang.
PG : Ini sesuatu yang memang tidak otomatis, harus belajar tapi ini
yang seringkali menjadi penyebab munculnya ledakan emosi, karena tidak
dipikirkan, tidak direncanakan dulu kira-kira apa yang akan terjadi. Pas
terjadi tidak siap langsung emosi keluar, oleh karena itu meskipun tidak
otomatis saya kira perlulah wanita juga belajar menguasainya.
GS : Kadang-kadang ledakan emosi muncul karena suatu peristiwa yang
di luar dugaan seperti tadi yang Pak Paul contohkan, kita di mall atau di jalan
bertemu dengan teman lama kita lalu kita begitu akrab, si istri bisa berpikir
yang bukan-bukan, Pak Paul.
PG : Memang kita tidak bisa memastikan semua berjalan, tapi yang bisa
silakan kita mulai membiasakan diri untuk memikirkan, sehingga kita tidak langsung
bereaksi pada saatnya sehingga tidak siap. Masalah akhirnya muncul.
DL : Selain perencanaan apa lagi, Pak Paul ?
PG : Yang berikut, istri perlu menunjukkan sikap sedia untuk
dikoreksi atau berubah. Mungkin istri masih perlu waktu yang lama untuk
berubah, mungkin ia tumbuh besar dalam keluarga yang kerap konflik atau
lingkungannya keras sehingga emosinya mudah tersulut dan lidah sukar terkendali.
Nah, jika itu situasinya, itu latar belakangnya, jangan ragu bagi istri untuk
menyampaikan kepada suami bahwa "inilah masalah saya, saya sadar dan saya mau
dikoreksi tolong beritahu saya, tapi tolong juga sabar karena saya memerlukan
waktu untuk berubah". Jadi cobalah setelah itu berubah sedikit demi sedikit,
memang kita tidak bisa berubah dengan cepat. Waktu suami melihat bahwa istrinya
mulai berubah, mengaku tentang apa adanya tentang latar belakangnya, nah waktu
suami mendengar istrinya berkata, "Tolong aku dikoreksi tapi tolong juga sabar"
akhirnya suami lebih terdorong menerima istri dengan kelemahannya. Terlebih
penting lagi ia akan merasa bahwa perkataannya itu didengar oleh si istri,
koreksinya ditanggapi dengan positif sebaliknya kalau si suami sudah mencoba
mengoreksi, memberitahu si istri, "Kamu jangan begini, suaramu terlalu keras,
emosimu terlalu kasar dan lain-lain." Dan bila istri tidak menggubris dan terus
berlaku seenaknya akhirnya suami ‘putus asa’ tidak mau lagi menyampaikan
teguran, mendiamkan si istri. Didiamkan terus-menerus maka relasi akan menjadi
renggang.
DL : Kalau terjadi seperti itu seharusnya bagaimana, Pak Paul ?
PG : Memang suami perlu mencoba menenangkan si istri dengan berbicara
baik-baik, beritahukan bahwa ia ingin relasi ini tidak sampai merenggang terus,
bisa ada perbaikan. Dia bertanya kepada istri langsung, "Apakah kamu memunyai
tujuan yang sama, mau memerbaiki relasi ini ?" Kalau istri mengatakan, "Ya
tentu saja". "Kalau begitu baiklah kita bekerja sama, coba engkau berikan saya
satu koreksi dan saya akan bagikan kepadamu satu koreksi, ayo kita saling mengoreksi
diri". Biarlah si istri berbicara lebih dulu koreksinya apa kemudian si suami
berkata, "Oke, sekarang saya berikan koreksi saya kepadamu, coba dengarkan". Mudah-mudahan
dengan cara begitu si istri lebih bisa mendengarkan koreksi dari si suami, beri
kesempatan pada si istri untuk menyampaikan koreksinya kepada suami terlebih
dahulu baru suami menyampaikannya kepada si istri juga.
GS : Jadi hal-hal seperti itu sebenarnya sangat tergantung dari
bagaimana cara kita menyampaikannya, begitu Pak Paul. Inti dari permasalahannya
tidak terlalu serius tapi kalau disampaikan dengan cara yang tidak tepat,
seringkali baik bagi suami maupun istri menimbulkan pertengkaran.
PG : Memang cara itu sangat penting sekali, jadi kita selalu harus
usahakan cara yang paling tepat, cara yang paling pas namun saya juga tidak mau
naif, saya mau mengakui bahwa adakalanya meskipun cara kita sudah benar tetap
tidak membuahkan hasil karena apa, sebagai contoh, ada faktor latar belakang.
Kadang-kadang itu yang terjadi, maksudnya kalau kita dari latar belakang
keluarga yang memang tidak baik, kita harus menanggung beban keluarga karena
orang tua bermasalah, kakak adik bermasalah. Setiap kali kita berbicara dengan
orang tua mendengarkan masalah, sudah menikah pun tetap mendengarkan masalah
dari orang tua, dari adik kakak sehingga pikiran kita selalu dibebani dengan
masalah keluarga. Kita mungkin sekali menjadi orang yang tidak siap
mendengarkan koreksian karena sudah terlalu pusing dan lelah, pada waktu kita
harus mendengarkan lagi masukan kita anggap hal itu tuntutan, karena kita sudah
lelah dituntut oleh orang tua dan kakak adik yang bermasalah. Jadi tidak bisa
lagi mendengarkan sedikit pun tuntutan dari siapa pun termasuk dari suami kita,
akhirnya waktu kita mendengarkan tuntutan atau koreksi seperti itu maunya marah
! Kalau begitu kasusnya, suami harus berkata dengan jelas bahwa, "Saya ini
melihat kamu terlalu lelah, kamu terlalu memikirkan keluargamu, saya mengerti
bahwa hal ini tidak mudah tapi tolong kamu perhatikan juga pernikahan kita.
Saya tidak bisa terus-menerus diperlakukan seperti ini oleh kamu, saya juga
manusia. Saya tidak mau menambahkan beban tetapi tolong dengarkan saya juga".
Jadi suaminya harus berkata dengan lebih tegas seperti itu.
DL : Selain hal itu apa lagi, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir adalah ini, sebelum mengeluarkan perkataan apa pun
sedapatnya pikirkan dampaknya, panjang atau pendek. Perempuan perlu selalu
memikirkan dampak perkataannya dan juga tujuannya. Mengapa saya mau
mengatakannya, jangan mau mengeluarkan perkataan hanya untuk memuaskan hasrat
di hati. Adakalanya ini yang dilakukan oleh istri, mengeluarkan perkataan yang
melukai hati suami sehingga akhirnya suami menjadi tawar hati atau memarahi
anak sampai anak memendam luka di usia dewasa. Jadi istri atau ibu perlu
memikirkan dampak perkataannya, kadang-kadang terlalu cepat keluar tidak
dipikir bahwa dampaknya bisa sangat menusuk hati dan berdampak panjang.
GS : Yang seringkali terjadi justru penyesalan setelah perkataan itu
keluar, Pak Paul.
PG : Tapi ada juga yang tidak menyadarinya, oleh karena itu tadi
sudah saya singgung penting bersedia mendengar koreksi dari pasangan juga.
GS : Jadi hal-hal yang perlu dipikirkan sebelum perkataan itu keluar
dan berdampak buruk itu apa saja, Pak Paul ?
PG : Misalnya kita menempatkan diri, kalau saya yang mendengarkan
perkataan ini apa reaksi saya, apa perasaan saya, apakah saya akan merasa
terhina ? Atau kita juga bertanya, perkataan ini tujuannya menyelesaikan
masalah atau tidak atau mengumbar perasaan saja. Jangan sampai tujuannya
hanyalah mau mengumbar perasaan, kita keluarkan isi hati kita supaya bisa
menyelesaikan masalah sehingga masalahnya tidak harus terulang lagi.
GS : Tetapi hal-hal seperti itu bukan hanya harus dipelajari oleh
istri tetapi juga oleh suami, Pak Paul ?
PG : Tepat sekali, memang ini dua belah pihak harus melakukannya,
kebetulan saja tadi kita lebih memfokuskan pada masalah emosi pada wanita namun
tetap ini berlaku untuk kedua-duanya.
GS : Dalam hal ini Pak Paul apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin
Pak Paul sampaikan ?
PG : Firman Tuhan berkata, "Jawaban yang lemah lembut meredakan
kegeraman tapi perkataan yang pedas membangkitkan marah" ini dari Amsal
15:1. Jadi jawaban lemah lembut meredakan kegeraman tapi perkataan yang
pedas membangkitkan kemarahan, kita tidak mau membangkit-bangkitkan amarah,
kita mau meredakan kegeraman dan juga kita mau menggunakan kata-kata yang
membangun bukan menghancurkan jiwa orang lain jadi hendaklah kita belajar
sedapat mungkin mengendalikan emosi kita sebab emosi itu seperti api akan
menyambar dan membakar jiwa orang lain.
GS : Tapi ada sebagian orang kalau marah lalu tidak ditanggapi atau
ditanggapi dengan lemah lembut, seolah-olah menghina yang marah sehingga
kemarahannya lebih memuncak lagi. Bisa terjadi seperti itu, Pak Paul ?
PG : Bisa saja karena dia merasa tidak diperhatikan atau apa, karena
itu yang berkata lemah lembut tetap harus memberikan perhatian penuh,
melihatnya dan memberikan benar-benar suatu kepastian bahwa saya mendengarkan
engkau. Misalnya dengan mengulang perkataannya, "Inikah yang kau maksud ?" atau
"Apakah ini yang engkau katakan ?" jadi dia mengetahui bahwa dia benar-benar
sedang didengarkan. Saya kira dengan cara-cara seperti itu akhirnya yang sedang
marah juga bisa reda.
GS : Jadi bukan diabaikan, tetap didengarkan hanya caranya dengan
lemah lembut, begitu Pak Paul ?
PG : Betul sekali.
GS : Terima kasih Pak Paul, untuk
perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima
kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi,
dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang
tentang "Mengendalikan Emosi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui
lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan
surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda
juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org
kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org.
Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya
dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa
pada acara TELAGA yang akan datang.