TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://m.telaga.org)

Depan > Mengendalikan Emosi

Mengendalikan Emosi

Kode Kaset: 
T335B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Salah satu keunikan yang dimiliki wanita adalah kehidupan emosi yang dinamis. Namun kalau tidak berhati-hati, keunikan ini dapat pula menjadi kelemahan yang berpotensi menciptakan masalah. Misalnya seringkali suami dikejutkan dengan betapa cepatnya istri mengeluarkan reaksi emosional. Sudah tentu suami tidak akan berkeberatan dengan reaksi spontan dan cepat yang bersifat positif. Namun bila reaksi ini bersifat negatif, pada umumnya suami bersikap takut dan defensif. Kecenderungan pria menghadapi hal ini biasanya adalah menjauh atau berusaha meredam. Itu sebabnya penting bagi istri untuk belajar mengendalikan reaksi yang bermuatan emosi kuat.
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengendalikan Emosi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

DL : Pak Paul, saya ingin bertanya, mengapa wanita harus mengendalikan emosi ?

PG : Nah ini pertanyaan yang bagus, Ibu Dientje, sebab kita harus mengakui meskipun tidak semuanya, tapi saya kira kebanyakan wanita mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi sewaktu emosinya sedang berkobar. Itu sebabnya dalam konflik rumah tangga kalau wanita itu sedang beremosi, dia tidak bisa mengendalikan dengan mudah sehingga akhirnya keluar terus kemarahannya, bisa berlangsung berjam-jam dan bisa berhari-hari juga. Inilah sebabnya perempuan perlu untuk mengendalikan emosi.

GS : Sama seperti pria harus mengendalikan pikirannya, begitu, Pak Paul ?

PG : Betul sekali, pria harus mengendalikan pikiran supaya jangan pikirannya berkembang sedemikian rupa dan dia memunyai sikap kasar kepada istrinya, jadi kita masing-masing harus belajar untuk mengendalikan diri kita.

GS : Tapi kadang-kadang sikap dari seorang istri atau wanita seringkali membuat kaum pria merasa heran atau terkejut atau kagum dan sebagainya, Pak Paul.

PG : Begini, Pak Gunawan, kadang-kadang suami melihat istrinya begitu cepat mengeluarkan emosi, hal itu sudah tentu mengejutkan dan menakutkan juga untuk suami. Suami tidak keberatan bila istrinya memberi reaksi spontan tetapi kalau yang positif, bila yang spontannya negatif biasanya suami menjadi takut, menjadi defensif. Yang biasa dilakukan pria adalah menjauh atau berusaha meredam istrinya supaya jangan sampai beremosi seperti itu. Kita mau belajar, kita semua tidak sempurna jadi kita mau belajar bagaimana mengendalikan emosi kita dengan lebih baik.

GS : Yang seringkali muncul adalah emosi-emosi kemarahan, kesedihan yang berlebihan, ketakutan, kekuatiran, seperti itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali, biasanya emosi yang mendominasi kita adalah empat yang tadi Pak Gunawan sudah sebutkan itu.

GS : Pak Paul, apakah ada langkah-langkah yang Pak Paul ingin usulkan bagaimana caranya seorang wanita itu bisa mengendalikan emosinya ?

PG : Yang pertama adalah kuncinya adalah dalam pengendalian emosi ialah pengendalikan pikiran, maksudnya begini, salah satu penyebab mengapa emosi mudah keluar tak terkendali adalah dikarenakan berkembangnya pemikiran secara ekstrem. Misalnya istri melihat suami berbicara secara akrab dengan seorang wanita. Begitu melihat, istri tanpa sadar dan dengan cepat membayangkan skenario terburuk yaitu si suami sebenarnya menyukai perempuan tersebut atau "suami saya tidak lagi menyukai saya" atau "itu perempuan juga menyukai suami saya" atau pikiran yang lebih ekstrem lagi, "suami saya pasti akan meninggalkan saya jikalau hubungan mereka berlanjut". Nah, begitu skenario itu yang memang terburuk itu terbentuk di benak si istri, yang langsung muncul adalah rasa takut disusul oleh rasa marah karena "suami saya akan berbuat begini" dan sebagainya, sehingga reaksi yang keluar berbentuk kemarahan. Akhirnya yang keluar dari mulut si istri adalah tuduhan, "Kamu pasti ada hati dengan perempuan ini. Ini perempuan pasti suka dengan kamu" dan perintah untuk memutuskan relasi tersebut. Tidak bisa tidak pertengkaran terjadi, relasinya terganggu. Itu sebabnya langkah pertama, si istri harus dapat mengendalikan pemikirannya.

GS : Pak Paul, apakah dalam hal ini unsur kepercayaan juga mendominasi ? Artinya kalau istri ini menaruh percaya penuh kepada suaminya, ‘kan tidak mungkin muncul pikiran-pikiran seperti itu, Pak Paul ?

PG : Kalau si suami selama ini menjalin hubungan yang baik dengan si istri sudah tentu kemungkinannya muncul pikiran itu lebih kecil, tetapi juga kebanyakan perempuan sudah hidup di tengah-tengah suatu keyakinan bahwa pria itu mesti dijaga, sebab kalau tidak pria itu cenderung serong tidak setia kepada istrinya, maka meskipun dia percaya kepada suaminya namun tidak bisa dihindari kadang-kadang pikiran-pikiran itu muncul, Pak Gunawan. Jadi muncul bahwa "Jangan-jangan nanti ada apa-apa", pemikiran seperti ini lebih jarang muncul dalam benak pria, sebab secara sosial budaya kita memang tidak terlalu sering mendengar kabar si istri ini lari dengan pria lain. Ada terjadi tapi tidak sebanyak yang kita dengar kalau itu dilakukan oleh pria, sehingga modal percayanya pria itu lebih besar kepada istri dibandingkan istri kepada suami, apalagi misalnya si suami ekonominya menanjak, karirnya juga melesat pesat, banyak istri meskipun suaminya tidak pernah berbuat apa-apa, tidak pernah mengkhianati tapi pada waktu dia mengetahui suaminya makin populer, maka dia makin merasa cemas. Skenario terburuk itu tetap bisa muncul dalam benak istrinya meskipun relasi mereka baik-baik, tidak ada apa-apa.

DL : Oleh sebab itu harus dikendalikan pikiran wanita itu, sehingga jangan "negative thinking".

PG : Betul, sebab ada kecenderungan itu, sedangkan kita mungkin tidak memunyai kecenderungan yang sama sebagai pria. Istri kita misalnya posisinya baik, kita masih biasa-biasa saja, karena kita tidak terlalu terekspose dengan berita-berita bahwa istri itu tidak setia, jarang dibandingkan dengan pria maka bisa dimaklumi kenapa istri yang lebih cepat mengembangkan skenario yang negatif tersebut. Masalahnya itu belum terjadi dan mungkin sekali tidak akan terjadi pada suaminya, tapi dengan cepat dia sudah memunyai pikiran yang sejauh itu. Saya harapkan waktu istri tiba-tiba memunyai pikiran yang buruk seperti itu, dia mesti berdialog dengan dirinya sendiri, misalnya berkata, "Saya mesti menemukan bukti, masa saya melihat suami saya berbicara dengan perempuan saya sudah berpikiran sejauh itu, buktinya apa ? Jangan sampai saya mengambil kesimpulan tanpa bukti". Setelah itu dia juga mesti memandang peristiwa itu dan menempatkannya dalam konteks yang lebih luas, sejarah relasinya dengan suami bahwa selama ini suami saya baik, tidak pernah ada apa-apa, tidak berbohong, semuanya diceritakan. Mengapa saya berpikiran seperti ini ? Kalau suami saya dari dulu pembohong, pengkhianat, silakan. Tapi tidak, jadi selain dari berdialog dan menuntut menemukan bukti sebelum menuduh hendaklah istri juga menempatkan apa pun yang dia alami, yang dia takuti dalam bingkai yang lebih luas. Apakah memang suaminya orang seperti itu, kalau tidak maka ia harus melawan pemikiran itu. Jangan sampai pemikiran yang berlebihan itu membuat dia akhirnya mengembangkan emosi yang panas.

GS : Sebenarnya apakah istri cukup memunyai keberanian untuk bertanya kepada si suami sebenarnya apa yang dia pikirkan itu benar atau tidak, mengkonfirmasi saja, Pak Paul.

PG : Ini pertanyaan yang sangat bagus sekali; pada umumnya istri tidak mau bertanya. Umumnya istri tidak mau bertanya seperti itu.

DL : Mungkin gengsi.

PG : Saya kira itu alasannya. Dipendam karena memang ada rasa gengsi, "Masa saya berbicara seperti itu, kelihatan kalau saya tidak merasa aman". Jadi kebanyakan istri mencoba untuk mengemasnya dengan bungkus yang berbeda, bungkus yang bermacam-macam. Orang ini begini, orang itu begitu, "kamu sebaiknya jangan dekat-dekat dengan dia". Suaminya terkejut, "Kamu mengapa bisa begitu kesal dan jengkel dengan perempuan itu, apa salahnya ? Saya tidak ada apa-apa, kita baik-baik saja". Si istri menjadi marah, padahal istri sudah mengembangkan pemikiran-pemikiran yang sudah sangat jauh, yang negatif sekali, tapi menurut Ibu Dientje saya kira betul, gengsi untuk berbicara apa adanya bahwa dia memunyai ketakutan seperti itu. Kalau saja dia berani berbicara bahwa dia memunyai ketakutan seperti itu, mungkin suaminya akan lebih tanggap dan berkata, "Jangan berpikir seperti itu, saya tidak memunyai pikiran seperti itu, tidak ada hati dengan dia, saya hanya mencintaimu". Kalau berani terbuka seperti itu maka masalahnya akan beres.

GS : Tapi kalau dalam rangka memang mau mengendalikan pikiran, mau tidak mau hal itu harus dilakukan supaya pikirannya tertata, lama kelamaan setelah bertanya dan ternyata omongan suaminya bisa dibuktikan, itu akan menolong dia.

PG : Dua belah pihak memang harus bekerja sama, istri harus belajar terbuka, korbankan gengsi jangan sampai gengsi menahan dia melakukan hal yang baik. Si suami di pihak lain, cobalah mengerti bahwa inilah istrinya, bahwa inilah juga banyak wanita seperti ini. Coba langsung tohok masalah utamanya dengan berkata kepada si istri, "Oke, saya mengerti mungkin kamu agak merasa cemas, saya mau meyakinkan kamu bahwa saya hanya mencintai kamu, tidak ada perasaan saya kepada orang lain termasuk kepada dia. Kalau kamu merasa kurang yakin cobalah kamu mengikut saya selalu kalau berbicara dengan dia atau silakan kamu melihat apa yang menjadi bahan pembicaraan kami, di email kami, silakan". Jadi keterbukaan suami dan undangan suami untuk masuk mengeceknya sedikit banyak hal itu akan membuat istri lebih nyaman.

DL : Lebih lega rasanya. Selain itu apalagi, Pak Paul ?

PG : Yang kedua untuk bisa mengendalikan emosi saya sarankan, perlu tindakan antisipatif atau perencanaan. Begini, kebanyakan reaksi emosional keluar tanpa kendali oleh karena kita merasa bahwa situasi itu telah lepas kendali, itu sebabnya sebelum menghadapi sesuatu yang penting, penting bagi kita untuk mengantisipasi situasi yang akan kita hadapi itu. Sebagai contoh, ibu hendak mengajak anaknya pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli sesuatu, si ibu harus mengantisipasi situasi tersebut sebelum pergi. Jika ada toko mainan, kira-kira apa yang akan dilakukan oleh si anak atau jika ada arena bermain apakah yang akan dilakukan si anak ? Bila waktu tersedia ada baiknya bagi si ibu untuk merencanakan memberi kesempatan kepada si anak untuk bermain sejenak atau bila sudah waktunya bagi si anak untuk membeli mainan, pikirkanlah mainan apa yang dapat dibelikan. Semua perencanaan ini akan memudahkan si ibu bereaksi ketika si anak meminta dibelikan mainan atau mau bermain di arena permainan itu. Sebaliknya kalau si ibu tidak mengantisipasi semua ini, mudah sekali baginya marah pada waktu anak meminta membeli mainan, mau bermain di sini di situ, ibunya kalap dan marah. Jadi penting sebelum pergi sedapatnya istri atau ibu merencanakan, di sana akan berbuat apa dan apa. Makin jauh dan matang perencanaan makin mudah dia mengendalikan emosinya, sebab waktu anak meminta ini dan itu, dia sudah siap menghadapinya.

DL : Juga bersama suami dalam merencanakan kebutuhan rumah tangga kadang-kadang seorang wanita itu lebih boros.

PG : Memang perlu perencanaan dalam relasi dengan suami.

GS : Sebenarnya ketika ibu ini mengajak anaknya ke pusat perbelanjaan, dia sudah mengetahui apa yang akan terjadi di sana.

PG : Memang sekali pun kita mengetahui tidak selalu kita merencanakan apa yang akan dilakukan, jadi akhirnya terjadi seperti itu. Seharusnya kalau sudah mengetahui harus dipikirkan saya akan membelikan dia mainan atau tidak, jangan baru diputuskan ketika sudah berada di depan toko mainan, nanti ribut dengan si anak. Sebelumnya harus dipikirkan lebih dulu, kalau kita tidak mau membelikan mainan karena baru saja dibelikan mainan, kita katakan kepada si anak, "Nanti kamu akan melewati toko mainan itu, tapi kita tidak akan masuk ke sana karena kamu baru saja mendapatkan mainan, sekarang tidak dulu lain kali baru kita membeli mainan. Apakah kamu berjanji akan melewati toko itu dan tidak merengek-rengek minta masuk ?", nah kalau si anak berkata, "Ya". Begitu anak nanti ikut di depan mall diingatkan lagi sampai 2 – 3x, waktu melewati toko, kecil kemungkinannya dia merengek, Kalau dia merengek juga, ibu mengingatkan lagi, dengan cara ini si ibu sudah lebih siap menghadapi anak yang masih merengek-rengek. Jika tidak, maka di toko si anak akan bereaksi, yang keluar kepanikan dan kemarahan si ibu.

GS : Itu kalau hubungan antara orang tua dengan anak, kalau suami istri ? Kalau kita sudah memberitahukan kepada istri bahwa hanya akan jalan-jalan saja di mall ini, istri tidak jadi pergi, Pak Paul. "Itu tergantung saya nanti kalau senang saya akan masuk ke toko itu". Kalau kita katakan bahwa tadi sudah berjanji bahwa hanya akan jalan-jalan saja, bisa rusak hubungan suami istri itu.

PG : Kalau dalam kasus suami istri begini, Pak Gunawan, sudah tentu si istri misalkan mau pergi, dia juga dalam hati sudah siapkan hati, rencanakan, ada baiknya dia berbicara dengan suaminya sehingga suaminya juga mengetahui apa yang diharapkan. Kalau tidak misalnya ini yang terjadi, si istri pergi ke mall dengan suaminya, di pusat perbelanjaan itu dia melihat toko yang disukainya, dia masuk dan suaminya disuruh menunggu berjam-jam tidak keluar-keluar. Akhirnya suaminya marah, merasa kesal. Dia keluar dan suaminya berkata, "Kamu lama sekali". Si istri menjadi emosi juga, "Kamu juga tidak mau menunggui saya dan lain-lain.". Sekali lagi perencanaan itu penting, mungkin si istri berkata, "Saya akan masuk ke dalam, kamu mau menunggu berapa lama ?" Jadi ada perencanaan, sehingga si istri juga bisa mengendalikan reaksi emosinya. Sebab kalau tidak dia baru keluar dari toko, suaminya merengut dan lain-lain. Dia mungkin marah jadi akhirnya terjadi pertengkaran.

GS : Dalam hal perencanaan mungkin si suami lebih senang diajak berencana, tetapi si istri belum tentu senang.

PG : Ini sesuatu yang memang tidak otomatis, harus belajar tapi ini yang seringkali menjadi penyebab munculnya ledakan emosi, karena tidak dipikirkan, tidak direncanakan dulu kira-kira apa yang akan terjadi. Pas terjadi tidak siap langsung emosi keluar, oleh karena itu meskipun tidak otomatis saya kira perlulah wanita juga belajar menguasainya.

GS : Kadang-kadang ledakan emosi muncul karena suatu peristiwa yang di luar dugaan seperti tadi yang Pak Paul contohkan, kita di mall atau di jalan bertemu dengan teman lama kita lalu kita begitu akrab, si istri bisa berpikir yang bukan-bukan, Pak Paul.

PG : Memang kita tidak bisa memastikan semua berjalan, tapi yang bisa silakan kita mulai membiasakan diri untuk memikirkan, sehingga kita tidak langsung bereaksi pada saatnya sehingga tidak siap. Masalah akhirnya muncul.

DL : Selain perencanaan apa lagi, Pak Paul ?

PG : Yang berikut, istri perlu menunjukkan sikap sedia untuk dikoreksi atau berubah. Mungkin istri masih perlu waktu yang lama untuk berubah, mungkin ia tumbuh besar dalam keluarga yang kerap konflik atau lingkungannya keras sehingga emosinya mudah tersulut dan lidah sukar terkendali. Nah, jika itu situasinya, itu latar belakangnya, jangan ragu bagi istri untuk menyampaikan kepada suami bahwa "inilah masalah saya, saya sadar dan saya mau dikoreksi tolong beritahu saya, tapi tolong juga sabar karena saya memerlukan waktu untuk berubah". Jadi cobalah setelah itu berubah sedikit demi sedikit, memang kita tidak bisa berubah dengan cepat. Waktu suami melihat bahwa istrinya mulai berubah, mengaku tentang apa adanya tentang latar belakangnya, nah waktu suami mendengar istrinya berkata, "Tolong aku dikoreksi tapi tolong juga sabar" akhirnya suami lebih terdorong menerima istri dengan kelemahannya. Terlebih penting lagi ia akan merasa bahwa perkataannya itu didengar oleh si istri, koreksinya ditanggapi dengan positif sebaliknya kalau si suami sudah mencoba mengoreksi, memberitahu si istri, "Kamu jangan begini, suaramu terlalu keras, emosimu terlalu kasar dan lain-lain." Dan bila istri tidak menggubris dan terus berlaku seenaknya akhirnya suami ‘putus asa’ tidak mau lagi menyampaikan teguran, mendiamkan si istri. Didiamkan terus-menerus maka relasi akan menjadi renggang.

DL : Kalau terjadi seperti itu seharusnya bagaimana, Pak Paul ?

PG : Memang suami perlu mencoba menenangkan si istri dengan berbicara baik-baik, beritahukan bahwa ia ingin relasi ini tidak sampai merenggang terus, bisa ada perbaikan. Dia bertanya kepada istri langsung, "Apakah kamu memunyai tujuan yang sama, mau memerbaiki relasi ini ?" Kalau istri mengatakan, "Ya tentu saja". "Kalau begitu baiklah kita bekerja sama, coba engkau berikan saya satu koreksi dan saya akan bagikan kepadamu satu koreksi, ayo kita saling mengoreksi diri". Biarlah si istri berbicara lebih dulu koreksinya apa kemudian si suami berkata, "Oke, sekarang saya berikan koreksi saya kepadamu, coba dengarkan". Mudah-mudahan dengan cara begitu si istri lebih bisa mendengarkan koreksi dari si suami, beri kesempatan pada si istri untuk menyampaikan koreksinya kepada suami terlebih dahulu baru suami menyampaikannya kepada si istri juga.

GS : Jadi hal-hal seperti itu sebenarnya sangat tergantung dari bagaimana cara kita menyampaikannya, begitu Pak Paul. Inti dari permasalahannya tidak terlalu serius tapi kalau disampaikan dengan cara yang tidak tepat, seringkali baik bagi suami maupun istri menimbulkan pertengkaran.

PG : Memang cara itu sangat penting sekali, jadi kita selalu harus usahakan cara yang paling tepat, cara yang paling pas namun saya juga tidak mau naif, saya mau mengakui bahwa adakalanya meskipun cara kita sudah benar tetap tidak membuahkan hasil karena apa, sebagai contoh, ada faktor latar belakang. Kadang-kadang itu yang terjadi, maksudnya kalau kita dari latar belakang keluarga yang memang tidak baik, kita harus menanggung beban keluarga karena orang tua bermasalah, kakak adik bermasalah. Setiap kali kita berbicara dengan orang tua mendengarkan masalah, sudah menikah pun tetap mendengarkan masalah dari orang tua, dari adik kakak sehingga pikiran kita selalu dibebani dengan masalah keluarga. Kita mungkin sekali menjadi orang yang tidak siap mendengarkan koreksian karena sudah terlalu pusing dan lelah, pada waktu kita harus mendengarkan lagi masukan kita anggap hal itu tuntutan, karena kita sudah lelah dituntut oleh orang tua dan kakak adik yang bermasalah. Jadi tidak bisa lagi mendengarkan sedikit pun tuntutan dari siapa pun termasuk dari suami kita, akhirnya waktu kita mendengarkan tuntutan atau koreksi seperti itu maunya marah ! Kalau begitu kasusnya, suami harus berkata dengan jelas bahwa, "Saya ini melihat kamu terlalu lelah, kamu terlalu memikirkan keluargamu, saya mengerti bahwa hal ini tidak mudah tapi tolong kamu perhatikan juga pernikahan kita. Saya tidak bisa terus-menerus diperlakukan seperti ini oleh kamu, saya juga manusia. Saya tidak mau menambahkan beban tetapi tolong dengarkan saya juga". Jadi suaminya harus berkata dengan lebih tegas seperti itu.

DL : Selain hal itu apa lagi, Pak Paul ?

PG : Yang terakhir adalah ini, sebelum mengeluarkan perkataan apa pun sedapatnya pikirkan dampaknya, panjang atau pendek. Perempuan perlu selalu memikirkan dampak perkataannya dan juga tujuannya. Mengapa saya mau mengatakannya, jangan mau mengeluarkan perkataan hanya untuk memuaskan hasrat di hati. Adakalanya ini yang dilakukan oleh istri, mengeluarkan perkataan yang melukai hati suami sehingga akhirnya suami menjadi tawar hati atau memarahi anak sampai anak memendam luka di usia dewasa. Jadi istri atau ibu perlu memikirkan dampak perkataannya, kadang-kadang terlalu cepat keluar tidak dipikir bahwa dampaknya bisa sangat menusuk hati dan berdampak panjang.

GS : Yang seringkali terjadi justru penyesalan setelah perkataan itu keluar, Pak Paul.

PG : Tapi ada juga yang tidak menyadarinya, oleh karena itu tadi sudah saya singgung penting bersedia mendengar koreksi dari pasangan juga.

GS : Jadi hal-hal yang perlu dipikirkan sebelum perkataan itu keluar dan berdampak buruk itu apa saja, Pak Paul ?

PG : Misalnya kita menempatkan diri, kalau saya yang mendengarkan perkataan ini apa reaksi saya, apa perasaan saya, apakah saya akan merasa terhina ? Atau kita juga bertanya, perkataan ini tujuannya menyelesaikan masalah atau tidak atau mengumbar perasaan saja. Jangan sampai tujuannya hanyalah mau mengumbar perasaan, kita keluarkan isi hati kita supaya bisa menyelesaikan masalah sehingga masalahnya tidak harus terulang lagi.

GS : Tetapi hal-hal seperti itu bukan hanya harus dipelajari oleh istri tetapi juga oleh suami, Pak Paul ?

PG : Tepat sekali, memang ini dua belah pihak harus melakukannya, kebetulan saja tadi kita lebih memfokuskan pada masalah emosi pada wanita namun tetap ini berlaku untuk kedua-duanya.

GS : Dalam hal ini Pak Paul apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?

PG : Firman Tuhan berkata, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman tapi perkataan yang pedas membangkitkan marah" ini dari Amsal 15:1 [2]. Jadi jawaban lemah lembut meredakan kegeraman tapi perkataan yang pedas membangkitkan kemarahan, kita tidak mau membangkit-bangkitkan amarah, kita mau meredakan kegeraman dan juga kita mau menggunakan kata-kata yang membangun bukan menghancurkan jiwa orang lain jadi hendaklah kita belajar sedapat mungkin mengendalikan emosi kita sebab emosi itu seperti api akan menyambar dan membakar jiwa orang lain.

GS : Tapi ada sebagian orang kalau marah lalu tidak ditanggapi atau ditanggapi dengan lemah lembut, seolah-olah menghina yang marah sehingga kemarahannya lebih memuncak lagi. Bisa terjadi seperti itu, Pak Paul ?

PG : Bisa saja karena dia merasa tidak diperhatikan atau apa, karena itu yang berkata lemah lembut tetap harus memberikan perhatian penuh, melihatnya dan memberikan benar-benar suatu kepastian bahwa saya mendengarkan engkau. Misalnya dengan mengulang perkataannya, "Inikah yang kau maksud ?" atau "Apakah ini yang engkau katakan ?" jadi dia mengetahui bahwa dia benar-benar sedang didengarkan. Saya kira dengan cara-cara seperti itu akhirnya yang sedang marah juga bisa reda.

GS : Jadi bukan diabaikan, tetap didengarkan hanya caranya dengan lemah lembut, begitu Pak Paul ?

PG : Betul sekali.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengendalikan Emosi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [3] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [4]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Salah satu keunikan yang dimiliki wanita adalah kehidupan emosi yang dinamis. Tanpa kehidupan emosi yang dinamis, hidup terasa kering dan membosankan. Namun kalau tidak berhati-hati, keunikan ini dapat pula menjadi kelemahan yang berpotensi menciptakan masalah.

Salah satu hal yang kerap mengejutkan suami adalah betapa cepatnya istri mengeluarkan reaksi emosional. Sudah tentu suami tidak akan berkeberatan dengan reaksi spontan dan cepat yang bersifat positif. Namun bila reaksi ini bersifat negatif, pada umumnya suami bersikap takut dan defensif. Kecenderungan pria menghadapi hal ini biasanya adalah menjauh atau berusaha meredam. Itu sebabnya penting bagi istri untuk belajar mengendalikan reaksi yang bermuatan emosi kuat.

Berikut akan dipaparkan beberapa saran untuk mengendalikan lonjakan emosi :

·         KUNCI PERTAMA DALAM PENGENDALIAN EMOSI ADALAH PENGENDALIAN PIKIRAN.
Salah satu penyebab mengapa emosi mudah keluar tak terkendali adalah dikarenakan berkembangnya pemikiran secara ekstrem. Sebagai contoh, istri melihat suami berbicara secara akrab dengan seorang wanita. Begitu melihat, istri tanpa sadar dan dengan cepat membayangkan skenario terburuk yaitu bahwa si suami sebenarnya menyukai perempuan itu, bahwa si suami tidak lagi menyukainya (si istri), bahwa si wanita juga menyukai si suami, dan bahwa si suami akan dan pasti meninggalkannya bila pertemanan ini berlanjut.

Ketika pemikiran liar muncul, ia mesti berdialog dengan diri sendiri. Sebagai contoh, ia harus mengajukan bukti terlebih dahulu, sebelum memberi kesimpulan sejauh itu. Ia mesti menimbang apa yang dilihatnya dari konteks yang lebih menyeluruh dan tidak hanya menyoroti dari satu sudut saja.

·         KEDUA, UNTUK DAPAT MENGENDALIKAN EMOSI DIPERLUKAN TINDAKAN ANTISIPATIF ATAU PERENCANAAN.
Kebanyakan reaksi emosional keluar tanpa kendali oleh karena kita merasa bahwa situasi telah lepas kendali. Itu sebabnya sebelum menghadapi sesuatu penting bagi kita untuk mengantisipasi situasi yang akan dihadapi itu. Sebagai contoh, ibu hendak mengajak anak pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli sesuatu. Nah, si ibu harus mengantisipasi situasi tersebut sebelum pergi. Jika ada toko mainan, kira-kira apakah yang akan dilakukan anak. Atau, jika ada arena bermain, apakah yang akan dilakukan anak. Bila waktu tersedia, mungkin ada baiknya bagi si ibu untuk merencanakan
, memberi kesempatan kepada anak untuk bermain sejenak. Bila memang sudah waktunya bagi anak untuk membeli mainan, pikirkan mainan apakah yang dapat dibelikan. Semua perencanaan ini memudahkan si ibu untuk bereaksi ketika anak meminta untuk dibelikan mainan atau untuk bermain.

·         KETIGA, ISTRI PERLU MENUNJUKKAN SIKAP SEDIA UNTUK DIKOREKSI ATAU BERUBAH.
Mungkin istri masih memerlukan waktu yang lama untuk berubah. Mungkin ia tumbuh besar dalam keluarga yang kerap konflik atau lingkungan yang keras sehingga emosi mudah tersulut dan lidah sukar terkendali. Jika itu situasinya, jangan ragu untuk menyampaikan kepada suami bahwa ia sadar akan kelemahannya dan bahwa ia menerima teguran suaminya. Namun ia perlu waktu untuk berubah. Jadi, kendati sedikit, usahakanlah perubahan. Sewaktu suami melihat perubahan pada istri, ia pun terdorong untuk menerima istri dengan kelemahannya. Terlebih penting lagi, ia merasa bahwa perkataannya telah didengarkan oleh si istri. Sebaliknya, bila suami merasa bahwa istri tidak menggubris tegurannya dan terus berkelakuan seenaknya tatkala marah, pada akhirnya suami putus asa dan tidak lagi mau menyampaikan teguran. Komunikasi terganggu dan relasi pun retak.

·         TERAKHIR, SEBELUM MENGELUARKAN PERKATAAN APA PUN, SEDAPATNYA PIKIRKAN DAMPAKNYA: PANJANG ATAU PENDEK.
Dengan kata lain, selalu pikirkan tujuan mengapa kita mengatakannya. Jangan mengeluarkan perkataan hanya untuk memuaskan hasrat di hati. Adakalanya istri mengeluarkan perkataan yang melukai hati suami sehingga akhirnya suami menjadi tawar hati. Atau, memarahi anak sampai-sampai anak terus memendam luka di usia dewasa. Ingat, perkataan dapat membangun dan menghancurkan jiwa seseorang. Firman Tuhan mengingatkan, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah." (Amsal 15:1 [2])

Pdt. Dr. Paul Gunadi [5]
Audio [6]
Pendidikan [7]
T335B [8]

URL sumber: https://m.telaga.org/audio/mengendalikan_emosi

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T335B.MP3
[2] http://alkitab.sabda.org/?Amsal+15:1
[3] mailto:telaga@telaga.org
[4] http://www.telaga.org
[5] https://m.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[6] https://m.telaga.org/jenis_bahan/audio
[7] https://m.telaga.org/kategori/pendidikan_0
[8] https://m.telaga.org/kode_kaset/t335b