Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi,
di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur
Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen
dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang
dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling
serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali
ini tentang "Berkomunikasi Lebih Lembut". Kami percaya acara ini pasti
bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat
mengikuti.
DL : Pak Paul, saya ingin bertanya, mengapa kita harus berkomunikasi
dengan lebih lembut terhadap pasangan kita ?
PG : Karena begini, kalau misalnya kita mendengar suami kita
berbicara kepada kita dengan keras, kasar, seberapa besar pun cinta kepadanya,
lama-lama akan membuat kita enggan untuk menjalin komunikasi dengan dia karena
dia tidak suka menjadi objek kemarahannya, kekasarannya. Akhirnya lama-lama
kita menjauh dengan cara mengurangi komunikasi, akhirnya yang terjadi adalah
hubungan kita bukan makin mendekat malah makin retak. Kalau sudah mulai retak
seperti itu, segala jenis konflik mudah untuk muncul.
GS : Kadang-kadang memang ada orang yang suaranya keras dan bahasanya
juga kasar dan itu di beberapa suku tertentu di negara kita, kita bertemu
dengan orang-orang yang seperti itu, Pak Paul. Jadi harus bagaimana ?
PG : Sudah tentu kalau kita berasal dari budaya yang sama, mungkin
kita akan lebih mudah untuk menerimanya, tetapi kalau kita kebetulan dari
budaya yang berbeda, maka sudah tentu yang harus dilakukan adalah bukan saja
kita belajar menerimanya, tapi pasangan kita yang berasal dari budaya yang
keras dan kasar itu juga perlu menyesuaikan diri dengan kita. Sebab sekali lagi
pernikahan merupakan penyatuan dari 2 pribadi dari latar belakang yang berbeda.
Kita tidak bisa berkata, "Inilah saya, kamu harus terima saya apa adanya tanpa
saya harus melakukan apa pun untuk menyesuaikan diri dengan engkau". Jadi mesti
ada penyesuaian dari kedua belah pihak.
GS : Seringkali terjadi di mana salah satu berkata, "Yang saya maksud
bukan begitu, saya tidak marah" dan sebagainya, begitu Pak Paul.
PG : Kalau misalkan orang itu berkata seperti itu, kita yang mendengarnya
bisa berkata begini, "Oke, kalau begitu saya mengerti, saya tidak apa-apa namun
untuk lain kali kalau misalnya kamu berbicara lebih lembut lagi, atau gunakan
kata ini daripada kata yang itu yang kamu ingin gunakan". Jadi bisa lebih
diterima oleh pasangannya juga, sudah tentu kita mesti sabar bahwa pasangan
tidak berubah dalam waktu 1 atau 2 minggu, tapi perlu diingatkan lagi,
diingatkan lagi sehingga pasangan lebih belajar untuk melembutkan kata-katanya.
DL : Apa sebabnya orang laki-laki itu temperamennya itu lebih kasar
nampaknya bila berbicara ?
PG : Memang saya tidak mengatakan bahwa semua laki-laki begitu, Bu
Dientje, tetapi harus saya akui cukup banyak laki-laki ada kecenderungan untuk
kasar. Saya akan membaginya dalam 2 kategori, yang pertama adalah penyebab
mental dan yang kedua adalah penyebab emosional. Saya fokuskan dulu pada
penyebab mental. Kita mengerti bahwa berbicara merupakan sebuah proses fisik
dan mental, maksudnya secara fisik kita menggerakkan lidah kita untuk berbicara
namun ini juga merupakan proses mental, artinya kita menggunakan pikiran pada
waktu berbicara. Makin erat jarak antara aktifitas mental atau pikiran dengan
aktifitas fisik yaitu kita menggerakkan lidah kita, maka makin cepat dan makin
mudah terurai perkataan itu. Misalkan, kita berkata dalam pikiran kita, "Saya
mau makan", nah makin cepat dan erat kaitan antara aktifitas mental kita yang berpikir,
"Saya mau makan" dan lidah kita yang mengatakannya, maka makin mudahlah kita
mengeluarkan perkataan-perkataan tersebut. Ternyata dalam hal ini pria memunyai keunikanlah saya sebutkan, pada
umumnya jarak antara aktifitas pikiran atau mental dan aktifitas fisik,
pergerakan lidah pria, terbentang relatif lebih lebar ketimbang jarak yang sama
pada perempuan. Dengan kata lain, kalau pria berpikir, "Saya mau makan"
ternyata jarak antara pikiran "Saya mau makan" dan lidah mengeluarkan kata-kata
"Saya mau makan" itu lebih lambat daripada perempuan. Perempuan jauh lebih
cepat, lebih menyatu apa yang ada di pikiran keluar dalam bentuk perkataan
dengan langsung. Untuk pria lebih susah, jadi bukan saja pria itu lebih lambat
mengeluarkan perkataan yang telah tersusun di dalam pikirannya, ia pun lebih
sukar untuk mengeluarkannya. Entah mengapa bagi kebanyakan pria mengeluarkan
sederet gagasan yang telah tersusun dalam benaknya tidaklah semulus yang
diinginkan, singkat kata bagi para kebanyakan pria, berbicara bukanlah
aktifitas yang alamiah, yang dapat begitu saja mengambil ke luar dari pikiran
ke lidah. Sebaliknya dengan wanita, bagi kebanyakan wanita, berbicara merupakan
aktifitas yang begitu alamiah sehingga dapat dilakukan dengan mudah. Ternyata
pada kebanyakan wanita jarak antara aktifitas dalam pikirannya misalkan dia
berkata, "Saya mau makan" dan gerakan lidahnya yang berkata, "Saya mau makan"
itu jauh lebih pendek jaraknya lebih singkat. Itu sebabnya pada umumnya wanita
dapat mengungkapkan gagasan dalam pikirannya jauh lebih cepat dan jauh lebih
mudah dibandingkan dengan pria.
DL : Tapi ada juga wanita yang sulit kalau mau mengutarakan
pembicaraannya dengan suaminya, suaminya lebih cepat. Itu ada yang begitu, Pak
Paul.
PG : Memang ada sebagian kecil wanita yang lebih susah untuk
mengeluarkan isi hatinya. Kalau sampai terjadi begitu, besar kemungkinan
penyebabnya bukanlah sesuatu yang dibawa dari lahir, tapi pengaruh dari
lingkungan. Misalnya dalam rumah atau dalam keluarganya ia dianggap anak paling
kecil, sehingga tidak sering ditanya sedangkan kakak-kakaknya lebih dominan,
lebih sering berbicara, lebih menonjol sehingga si anak wanita waktu kecil
bertumbuh besar cenderungnya diam, tidak terbiasa mengeluarkan pendapatnya
karena tidak sering ditanya dan yang seringnya maju ke depan langsung
mengeluarkan pendapat adalah kakak-kakaknya. Akhirnya dia lebih susah, tetapi
sebetulnya kalau hanya melihat secara lahiriah, bawaan dari lahirnya, umumnya
perempuan lebih mudah dibandingkan laki-laki sebab di Amerika Serikat terbukti
dari pelbagai penelitian yang dilakukan dari anak-anak mulai SD sampai SMU, di
tes berkali-kali dalam pelbagai riset hasilnya sama, yaitu pria cenderung dalam
kemampuan verbal atau kemampuan berbicara itu lebih rendah dibandingkan dengan
siswa wanita. Siswa wanita entah kenapa, jauh lebih pandai dalam mengeluarkan
isi hatinya atau pikirannya lewat perkataan.
GS : Tapi itu juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya, Pak
Paul. Jadi kalau anak ini melihat ayahnya yang pendiam, sulit berbicara
dibandingkan dengan ibunya yang berbicaranya banyak sekali, mungkin ia juga
terlatih bahwa sebagai pria itu sedikit saja bicaranya. Apakah hal itu ada
pengaruhnya, Pak Paul ?
PG : Ada, memang sebetulnya dia susah, lalu melihat ayahnya juga
pendiam mungkin akhirnya dia terpengaruh juga untuk menjadi pribadi pendiam
lagi. Karena itu kalau kita melihat secara umum salah satu keluhan istri atau
ibu, "suami saya itu jarang atau susah berkomunikasi". Kita jarang menemukan
pria yang mengeluh, "Istri saya itu jarang berkomunikasi" malah kebalikannya,
"Istri saya terlalu sering berbicara".
GS : Kalau dipaksakan, Pak Paul, bisa menimbulkan anak menjadi gagap.
Saya tidak mengetahui, saya hanya memunyai beberapa teman yang semuanya
laki-laki yang gagap. Saya tidak pernah memunyai teman wanita yang gagap, Pak
Paul.
PG : Sebetulnya yang menarik adalah ini bukan masalah lingkungan atau
pengaruh dari luar, tapi ini memang bawaan. Riset memerlihatkan bahwa angka
gangguan bicara jauh lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak
perempuan. Jadi sekali lagi bukan karena lingkungan namun kalau lingkungan membuat
dia cemas maka bertambah parah gagapnya. Sebetulnya penyebabnya itu bukan, saya
sendiri memunyai bawaan gagap, kadang-kadang saya bisa gagap nah bukannya karena
dibuat oleh lingkungan, tetapi memang bawaan saya dari kecil begitu. Saya
mengetahui kalau saya merasa cemas, atau mau berbicara banyak tetapi mulut
tidak bisa mengikuti, muncullah gagapnya saya. Memang kadang-kadang kita bisa
melihat dengan jelas bahwa anak laki-laki lebih susah untuk mengeluarkan isi
hati dan pikirannya lewat perkataan dibandingkan dengan perempuan. Ini nanti
berpengaruh di dalam kekasarannya, karena dia susah mengeluarkan perkataannya
kadang-kadang ia kasar, waktu keluar sudah dibumbui dengan rasa marah, karena
sudah tegang dulu, sudah susah untuk bicara jadi bicara merupakan usaha yang
lumayan berat untuk pria. Bahkan waktu ia berbicara sesuatu yang mengandung
emosi, makin susah akhirnya yang keluar kasar.
GS : Kalau begitu sebenarnya hal ini bisa dilatih atau bisa
dipelajari supaya seseorang itu secara mental bisa berimbang di dalam berbicara
dan berpikir.
PG : Betul, jadi nanti kita akan coba hal-hal apa yang bisa dilakukan
untuk mengurangi kemungkinannya untuk bersikap kasar dalam ucapan kita.
DL : Selain penyebab mental, ada lagi, Pak Paul ?
PG : Yang tadi sudah saya singgung penyebab emosional. Jadi bagi
kebanyakan pria emosi bukanlah sesuatu yang merupakan bagian hidupnya yang
alamiah, maksudnya meskipun pria itu bisa merasakan emosi, bisa mengekspresikan
emosi namun pada kebanyakan pria emosi bukanlah sesuatu yang diterima atau
disambut sebagai bagian dari dirinya. Hanya dalam waktu dan kondisi tertentu
pria itu bebas dalam mengungkapkan emosinya, terutama dalam mengungkapkan emosi
negatif yaitu kemarahan. Justru bagi kebanyakan pria hidup yang ideal adalah
hidup tanpa gejolak emosi, itu sebabnya kalau pria merasakan emosi negatif
misalnya marah, reaksi pertama biasanya meredam, menahan, tidak mau
dikeluarkan. Sebaliknya dengan wanita, bagi kebanyakan wanita, emosi merupakan
bagian dirinya yang hakiki, bukan sesuatu yang dianggap asing atau dianggap di
luar dari dirinya. Itu sebabnya kebanyakan wanita lebih terbuka, lebih
menyambut aktifitas emosi pada dirinya. Itu justru menjelaskan mengapa umumnya
wanita tidak keberatan untuk tenggelam dalam emosi, maksudnya untuk bisa
menangis, bisa sedih. Kalau pria tidak nyaman untuk menangis, untuk sedih,
tergesa-gesa mau keluar dari semuanya. Ini nanti berkaitan dengan kekasarannya
pria, yaitu waktu pria harus mengeluarkan perkataan yang bermuatan emosi,
kesulitannya menjadi ganda. Tadi sudah diuraikan secara mental tidak mudah,
tidak cepat untuk mengeluarkan isi hatinya ditambah dengan kesulitan dan
keengganannya untuk mengutarakan emosi akhirnya pria mengalami kesukaran
mengutarakan pikiran yang bermuatan emosi, pada waktu keluar yang keluar adalah
dalam bentuk kekasaran. Ia sudah frustrasi bagaimana mengeluarkannya, dia
merasa susah untuk mengeluarkannya. Emosinya juga susah untuk dikendalikan
akhirnya yang keluar adalah biasanya kekasaran. Istrinya yang harus
mendengarkan kata-kata kasar yang keluar dari mulut si suami.
GS : Katakan si suami tidak sampai mengeluarkan kata-kata, tetapi
dari tindakannya saja sudah kelihatan kekasarannya, Pak Paul.
PG : Betul, meskipun dia belum mengeluarkan kata-katanya, tapi dari
sikap memang biasanya sudah terlihat.
GS : Padahal seperti saat itu si istri menghendaki, "Kamu lebih baik
bicara daripada bertindak kasar", ini kaitannya bagaimana ?
PG : Masalahnya adalah dia tidak bisa mengeluarkannya secara
langsung, tidak bisa oleh karena itu sebagian pria yang lebih parah lagi
kesulitannya untuk mengungkapkan perasaan, ia akhirnya memukul tembok,
membanting barang, membanting pintu karena energinya tidak bisa tersalurkan
lewat perkataan, susah untuk dia, bukannya tidak mau, ini yang kadang-kadang
keliru dimengerti oleh para istri. "Kamu bicara saja tidak bisa, mengapa mesti
marah seperti begitu, bicaralah !" Justru pointnya adalah tidak bisa, karena
tidak bisa jadi yang keluar adalah ledakan emosi. Kalau dia masih bisa menahan
maka yang keluar hanya ledakan emosi, tapi kalau dia tidak bisa menahan maka
yang keluar adalah kekasaran secara fisik, memukul tembok, membanting barang
atau membanting pintu dan sebagainya.
GS : Sebenarnya pada saat seperti itu, pria itu membutuhkan
pertolongan dari si istri untuk tidak memaksakan supaya pria itu mengeluarkan
kemarahan dengan kata-kata, Pak Paul.
PG : Tepat sekali, justru yang lebih cocok untuk pria adalah diam dulu,
jangan diajak bicara, tenangkan dirinya dulu karena kalau dia dibombardir,
apalagi jika istrinya tidak bisa diam, memborbardir dia dengan perkataan
menyerangnya, dia makin tidak berkutik untuk membalas, mengutarakan pikirannya,
kalah cepat dan sukar, akhirnya ledakannya bersifat fisik, kasar. Betul kata
Pak Gunawan, istri harus mundur kalau melihat suami kesulitan, marah sudah
mulai menanjak. Setop dulu, biarkan dia tenang sebab dalam keadaan tenang dia
lebih bisa untuk berbicara.
DL : Tapi ada juga istri yang dominan, Pak Paul. Membentak suaminya
dan suaminya diam saja.
PG : Betul, karena itu dalam situasi seperti itu si suami diam,
mungkin sekali dia menghindari terjadinya pertengkaran yang lebih hebat.
Daripada ditanggapi, lebih baik dia tutup mulut, tidak bicara sebab dia
mengetahui hal itu tidak akan ada habisnya dan dia tidak akan bisa mengikuti
irama kemarahan istrinya. Lebih baik dia diam karena dia juga tidak mau pada
akhirnya ia bertindak kasar. Memang ada yang seperti itu, Bu Dientje.
DL : Jadi sekarang bagaimana seorang pria bisa berkomunikasi lebih
lembut terhadap pasangannya ?
PG : Ada beberapa yang bisa saya sarankan. Pertama, pria harus lebih
menyadari apa yang terjadi pada dirinya, dia harus menyadari bahwa untuk
berkata-kata dia perlu waktu, perlu usaha, tidak bisa dengan begitu saja
mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. Apalagi bila bermuatan emosi tanpa
ledakan emosi. Jadi dia mesti menyadari, "Ini merupakan problem dalam diri
saya", sehingga nanti dia akan lebih bisa mengatur, mengelola dirinya dan
akhirnya tidak langsung muncul dalam bentuk kasar atau kemarahan.
GS : Tapi sebenarnya, Pak Paul, bagi kita, para pria, kalau pun itu
bermuatan emosi, emosi itu lebih cepat reda dibandingkan dengan kaum wanita,
kaum istri misalnya yang berkepanjangan tidak selesai-selesai. Oleh karena itu
kami sebagai pria berharap, yang tadi dikatakan, diamkan saja. Sebentar lagi
turun.
PG : Jadi kita mungkin bertanya, kenapa pihak wanita susah berhenti
waktu marah ? Karena mereka, mungkin Bu Dientje bisa memberikan tanggapan dalam
hal ini, pada umumnya wanita memerlukan untuk mengeluarkan semua perkataannya,
isi hatinya, baru emosinya reda. Jadi benar-benar emosi itu dalam bentuk
perkataan. Kalau mau mengurangi emosi, yang harus dikeluarkan adalah perkataannya,
ini sangat berbeda dengan kita para pria, kalau misalnya emosi sangat tinggi,
kita akan berteriak, membanting barang atau memukul tembok. Emosi kita lebih
mereda karena diekspresikan secara fisik, tapi wanita emosinya dalam bentuk
perkataan. Apabila mau dikurangi perkataannya harus dikeluarkan. Ini yang
seringkali menjadi dilema.
DL : Kadang-kadang bila wanita emosi, sudah mengeluarkannya, akan
merasa lega.
PG : Memang perlu dikeluarkan lewat perkataan baru merasa lega. Jadi
perlu kerjasama, di pihak wanita perlu mengendalikan diri, dia perlu mengetahui
bahwa akan ada waktunya dia mengeluarkan perkataan-perkataan ini tapi bukan
sekarang. Kalau sekarang akan terjadi ekskalasi, peningkatan ! Akhirnya
pertengkarannya tidak terkendali, biarkan suami tenang lebih dahulu baru
setelah itu istri mengutarakan isi hatinya.
GS : Hal lain lagi apa, Pak Paul ?
PG : Setelah menyadari apa yang terjadi pada dirinya, siapakah dia,
prosesnya mengeluarkan perkataan dan kesulitannya, pria harus menyesuaikan
dirinya dengan kondisi tersebut. Artinya dia harus hidup dengan keterbatasan
ini, sadarilah besar kemungkinan bila dia berbicara ia akan bersikap kasar.
Sebaiknya dia meminta pasangan untuk memberinya waktu terlebih dahulu, sesudah
itu dia harus meminta pasangan untuk tidak membombardir dirinya dengan
kemarahan atau serangan lain. Jadi kerjasama dengan istri, "tolong waktu kamu
melihat saya begini, kamu setop dulu. Waktu saya misalkan berkata ‘setop,
tolong setop’, nanti kalau saya sudah tenang, kamu mau melanjutkan silakan,
sebab kalau kamu lanjutkan terus menjadi ‘perang’ dan saya kuatir saya
bertindak kasar, saya tidak mau kasar kepada kamu jadi tolong kamu juga
membantu saya. Saya bersedia mendengarkan kamu, saya mau mendengarkan kamu
sebab itu penting untukmu bisa mengeluarkannya tapi jangan sekaligus dan tidak
harus saat ini juga, perlahan-lahan. Coba tolong dipilah-pilah, setelah ini
saya tenang, silakan kamu berbicara lagi".
GS : Itu kadang-kadang bisa ditanggapi dengan diam terus, istri tidak
mau berbicara, "ya sudah bila kamu tidak mau mendengarkan" , dia tidak
berbicara secara berkepanjangan, Pak Paul. Ketika kita sudah reda secara emosi
sebenarnya sudah siap untuk mendengarkan, dia mengatakan, "Saya sekarang yang
tidak siap untuk bicara".
PG : Ya, kalau itu yang terjadi ya sudah tidak apa-apa, mungkin
inilah proses penyesuaiannya, Pak Gunawan. Mungkin istri karena sudah terlanjur
diam, dia sudah lupa tapi setiap kali ini terjadi kalau istri sudah mengetahui
dia bisa berbicara sebanyak ini dan kemudian diam, mungkin dia akan
menyesuaikan. Dia mengetahui ini batasnya dimana dia bisa berbicara supaya
suami masih bisa mendengarkan, dia bicara sebegitu dulu, lain kali waktu
suasana lebih memungkinkan, silakan mengeluarkan isi hatinya.
GS : Masalahnya bukan lupa, Pak Paul, tetapi karena memutus
pembicaraannya itu tadi, mau mengutarakan isi hatinya lalu diputus oleh si
suami, jadi ia merasa jengkel pada suaminya.
PG : Jadi penting bagi suami untuk menjelaskan bahwa dia tadi begitu
bukan untuk memutus pembicaraannya tetapi untuk menolong dirinya bersikap
kasar. Jadi kita harus menjelaskan kepada istri bahwa tujuannya baik, tujuannya
bukan untuk membungkamkan mulut istri, tetapi untuk mengekang diri kita jangan
sampai kasar.
DL : Selain itu ada lagi, Pak Paul ?
PG : Ada lagi, yaitu waktu sudah tenang, ada baiknya pria meminta
istri untuk duduk mendengarkannya tanpa memberi reaksi apa-apa. Mengapa begitu
? Sebab ketika suami melihat istri tidak lagi menyerangnya, besar kemungkinan
ia akan jauh lebih tenang. Dalam situasi tenang tanpa tekanan, dia mengetahui
tidak akan dibombardir oleh istrinya, mungkin ia akan lebih dapat mengutarakan
isi hatinya dengan lebih lembut. Jadi sekali lagi yang saya ingin tekankan di
sini adalah kalau suami sudah mengantisipasi, dia bicara begini begini,
istrinya akan menjawab begitu begitu, sebelum dia mengeluarkan perkataan itu
sebetulnya emosinya sudah menanjak dan kesulitan dia untuk mengeluarkannya
bertambah, bukannya berkurang. Dia makin susah oleh karena itu waktu
mengeluarkan kata-kata, kasar. Istri benar saja jawabannya seperti yang
diantisipasi, menyerangnya dia seperti itu. Dia makin sulit mengeluarkannya
atau dia makin mau tergesa-gesa mengatakannya, sebab dia takut sebelum dia
selesai, istrinya sudah terlanjur berbicara lagi oleh karena itu terjadilah
pertengkaran yang hebat. Oleh karena itu perlu masa "cooling down", tenangkan
dan dinginkan hati, setelah tenang baru berbicara pada istri, "coba tolong kamu
dengarkan saya dahulu, jangan bicara apa-apa, kamu tidak setuju tidak apa-apa, saya
mau dengarkan tapi tolong jangan dipotong, dengarkan saya sampai selesai".
Setelah itu dia bicara, dia mengetahui bahwa istrinya akan diam mendengarkan
dia, pembicaraannya akan lebih tenang sehingga kata-kata itu bisa keluar dengan
lebih baik.
GS : Di dalam hal itu apakah istri bisa bertahan beberapa lamanya
untuk tidak bicara apa-apa, Pak Paul ? Tapi mendengarkan !
PG : Bisa, Pak Gunawan. Memang terakhir saya melihat perempuan juga
bisa melatih dirinya untuk menahan tidak memberikan reaksi secara langsung.
GS : Karena biasanya istri itu mengeluarkan tanggapan-tanggapan.
PG : Akhirnya dia melihat begini, "iya dengan cara begini saya
memberi dia kesempatan, diam, berbicara, dan saya juga diam tidak langsung
membalas, bicaranya bisa enak dan menyambung. Dia mendengarkan saya dan saya
mendengarkan dia. Banyak istri berpikir bahwa hasilnya ada dengan cara begini
dan hal ini menolong mereka untuk lebih bisa mengekang emosi.
GS : Ada sebagian pria yang menganggap bahwa bicara kasar dan keras
menjadi identitas dari seorang pria.
PG : Tidak bisa, mesti kita sadari bahwa ini memang masalah kita.
Jangan berarti "memang saya sudah dilahirkan begini akan terus begini". Kita
melihat ini sebagai kelemahan yang perlu diperbaiki, bukan keunikan yang mesti
dipertahankan. Ini yang ingin saya sampaikan kepada kita para pria.
GS : Dalam hal ini, Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin
Pak Paul sampaikan ?
PG : Ada, Pak Gunawan. Firman Tuhan di Matius 5:5 berkata, "Berbahagialah
orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi", ini janji
dari Tuhan kita Yesus Kristus". Juga dalam Galatia 5:23, kelemahlembutan
dicantumkan sebagai wujud nyata dari buah Roh yakni kasih. Jadi dari sini jelas
terlihat bahwa Tuhan menghendaki kita menjadi orang yang lemah lembut, bukan
kasar. Jadi teruslah berusaha berkomunikasi dengan istri secara lebih lembut.
GS : Berkomunikasi dengan lemah lembut itu bukan berarti menjadi
kewanita-wanitaan, Pak Paul, karena ada sebagian orang mengartikan hal itu
seperti itu. Jadi salah persepsi itu.
PG : Betul, sama sekali tidak sama.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan
ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah
mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga
(Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berkomunikasi
Lebih Lembut". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda
ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat
menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami
juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran,
pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami
mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA
yang akan datang.