Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi,
di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur
Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen
dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang
dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling
serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali
ini tentang “Mengisi Waktu Bersama”. Kami percaya acara ini pasti
bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat
mengikuti.
GS : Pak Paul, problem yang cukup sering
dihadapi oleh pasangan adalah bukan hanya mereka bersama-sama, tapi apa yang
harus mereka kerjakan ketika mereka bersama-sama. Jadi katakan kedua-duanya
punya waktu dan punya tekad untuk bersama-sama tapi mereka punya problem yang
lain yaitu mau apa kita ini ? Ada yang hanya diam-diam saja atau punya
kesibukan masing-masing dan itu tidak membangun kehidupan pernikahan mereka.
PG : Ini point yang bagus sebab pada
kenyataannya itu yang sering terjadi bahwa setelah kita menikah, sudah merasa
nyaman dengan satu sama lain akhirnya suami di mana, istri di mana, mungkin
satu rumah tapi yang satu menonton televisi dari jam enam sampai jam dua belas
malam, yang satu mengurus anak-anak, akhirnya juga tidak ada komunikasi sama
sekali. Itu sebabnya banyak pasangan nikah setelah menikah beberapa waktu
lamanya, relasi mereka sebetulnya sudah berhenti dan tidak lagi bertumbuh. Itu
sebabnya muncul masalah-masalah yang lain, karena sekali lagi relasi harus
dibangun lewat membagi waktu bersama-sama dan mengisinya dengan hal yang
positif, kalau tidak ada itu akhirnya relasi itu mudah sekali dirundung oleh
masalah. Belum lagi zaman sekarang ada begitu banyak kasus perzinahan karena si
suami atau istri tertarik dengan orang lain yang bisa mengisi kebutuhan mereka.
Jadi benar-benar hal ini harus diperhatikan, bahwa relasi itu tidak bertumbuh
dengan sendirinya, terlalu banyak di antara kita yang sudah menikah beranggapan
bahwa kalau sudah menikah relasi itu akan bertumbuh dengan sendirinya, tidak
seperti itu, tapi harus dipupuk, sama seperti kita harus memupuk tanaman agar
bertumbuh dengan sehat.
GS : Pada kesempatan yang lalu kita membicarakan
tentang kualitas dan kuantitas dari kebersamaan itu. Jadi secara kualitas
mungkin mereka banyak waktu bersama-sama bahkan berdua bisa pergi. Tapi setelah
pulang dari bepergian mereka tidak melihat ada sesuatu yang membuat mereka
lebih akrab, Pak Paul.
PG : Betul.
DL : Jadi hal apa yang penting dan harus
diperhatikan dalam mengisi waktu, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu banyak hal yang bisa
kita lakukan bersama. Jadi saya akan memberikan prinsipnya saja yaitu dua hal.
Yang pertama adalah sikap yang sehat dan yang kedua adalah komunikasi yang
terbuka dengan pasangan. Coba saya berikan sebuah ilustrasi, secara alamiah
dalam hidup kita akan mengalami kekecewaan, akan mengalami kemenangan tapi juga
akan mengalami kekalahan. Jadi inilah hidup dan hidup tidak hanya terdiri dari
satu warna, tapi banyak warna. Jadi dengan kata lain, yang terpenting adalah
bagaimanakah kita menyikapi semua yang nanti akan kita hadapi setelah kita
menikah. Misalnya kita baru saja kehilangan pekerjaan, kita diberhentikan,
sudah tentu reaksi pertama adalah kita kecewa dan mungkin juga kita marah dan
pada saat itu sebetulnya kita tengah berhadapan dengan pilihan, kita bisa
memilih untuk mengumbar kemarahan serta menyalahkan istri, setelah pulang ke
rumah kita marah-marah kepada istri, kita kemudian katakan, “Dia tidak
mendukung kita”, itu pilihan yang pertama. Atau pilihan yang kedua, kita bisa
memilih untuk pulang dan mencurahkan isi hati yang galau pada istri, kita
ceritakan, “Saya diberhentikan, saya rasanya terpukul sekali, mereka kenapa
bisa seperti ini, mereka tidak melihat apa yang telah saya sumbangsihkan”. Jadi
kita ceritakan, dan sewaktu kita menceritakannya pun sebetulnya kita tengah
diperhadapkan dengan beberapa pilihan juga, misalnya pilihan untuk melihat
andil yang membuat kita kehilangan pekerjaan atau pilihan yang lain adalah kita
100% menyalahkan perusahaan kita dan kita tidak mau melihat diri kita. Singkat
kata, lewat peristiwa kehilangan pekerjaan itu kita diberikan kesempatan untuk
memunculkan diri yang terbaik yaitu menyikapinya dengan sehat dan membagi
derita kita dengan pasangan secara terbuka, atau sebaliknya yaitu kita menghadirkan
diri yang terburuk yaitu dengan cara mengumbar kemarahan serta menyalahkan
semua orang di muka bumi ini. Di dalam kita menghabiskan waktu bersama dengan
pasangan, sikap seperti apa yang kita berikan dan kita tampilkan ? Jadi diri seperti
apa yang nanti kita berikan kepada pasangan kita ? Itu yang nanti berperan
sangat besar menentukan relasi kita. Jadi waktu kita berbicara tentang mengisi
waktu dengan cara apa ? Yang saya mau katakan adalah kita harus mengisi waktu
memberikan sikap-sikap yang sehat waktu kita menghadapi hidup ini, itu yang
nanti akan bisa membangun sebuah sebuah relasi.
GS : Biasanya kalau ada suatu
permasalahan yang dihadapi oleh kita atau pasangan kita, itu lebih mudah. Kita
punya alasan, kita punya suatu objek untuk kita bicarakan. Tapi kalau hal-hal itu
terjadi secara rutin, malahan lebih sulit menemukan sesuatu yaitu pembicaraan,
tindakan atau apa pun yang bisa menjadi suatu jalan untuk kita dekat dengan
pasangan kita, Pak Paul.
PG : Jadi sudah tentu kita senang bahwa
hal-hal yang berat itu tidak terjadi sering-sering, kalau terjadi sering-sering
maka itu juga berat bagi kita. Sudah tentu hidup pada umumnya akan biasa atau
rutin-rutin saja, yang saya maksud adalah waktu peristiwa itu muncul kita
memberikan sikap yang baik. Memang penderitaan itu tidak harus seperti kita kehilangan
pekerjaan, yang tadi saya sebut yaitu misalkan tentang kemenangan, kita
melakukan sesuatu dan berhasil kemudian kita bagikan kepada pasangan, kita
ceritakan. Atau kesedihan, kita tidak lepas dari kesedihan dan tidak harus
kesedihan yang berat atau yang besar-besar dan mungkin saja yang kecil-kecil,
misalkan kita mencoba bicara dengan anak dan anak salah sangka dan malahan
marah kepada kita kemudian kita sangat sedih. Bagaimana kita menyikapi waktu hal
itu terjadi ? Apakah kita akan marah-marah, atau kita berkata, “Tidak mau
bertemu lagi dengan kamu, kamu jangan lagi tinggal di sini” bagaimana kita
menyikapinya ? Hal-hal yang positif yang kalau kita lakukan, baik istri atau
pasangan melihat, maka itu yang akan mengisi waktu dengan positif. Di luar
hal-hal itu sudah tentu hal-hal rutin yang biasa kita lakukan, tetap harus kita
lakukan dengan kesadaran bahwa hal-hal kecil berguna meskipun tidak harus
memberikan dampak yang besar, tapi tetap harus berguna, karena setidak-tidaknya
hal-hal kecil yang kita lakukan akan tetap merekatkan kita, misalnya kita duduk
makan bersama, bicara dan sebagainya. Belum lama ini saya di sebuah restoran
menunggu teman belum datang untuk makan bersama, saya melihat pasangan nikah
umurnya mungkin sudah berumur 60 tahun ke atas, si suami baca koran dan
korannya di depan muka menghalangi dia dengan si istri dan si istri menengok ke
kanan dan ke kiri, terus seperti itu dan sampai lama sekali dan si suami membaca
terus korannya. Tapi saya perhatikan sudah agak lama dan makanannya akhirnya datang,
barulah suaminya menaruh korannya dan makan, istrinya bicara dan dijawab
perlahan-perlahan. Meskipun kita akan berkata, “Apa gunanya makan bersama kalau
yang satu baca koran dan satunya didiamkan begitu saja” tapi tetap sedikit
banyak akan ada dampaknya yaitu mereka bersama-sama meskipun akhirnya bicaranya
tidak begitu banyak, tapi tetap ada pembicaraan. Jadi hal-hal kecil seperti itu
berguna, saya berikan contoh supaya jelas kegunaannya seperti apa, saya berikan
contoh yang kebalikannya yaitu bayangkan kalau misalnya kita sedang makan
bersama dengan pasangan kita, kemudian ribut soal misalnya, “Kamu masak seperti
ini saja, dari dulu sampai sekarang” menjadi ribut. Hal yang tadinya begitu
enak bisa makan bersama-sama menjadi tidak enak, jadi sesuatu yang rutin kalau
dilakukan dengan baik maka akan berdampak besar, kalau tidak dilakukan dengan
baik akan menimbulkan pertengkaran itu juga berdampak besar. Jadi kita anggap
sepertinya remeh, hal-hal kecil seperti kita pergi jalan bersama, sebetulnya itu
adalah hal-hal besar sebab tidak semua pasangan nikah bisa melakukan hal itu
dengan mulus, cukup banyak dan bahkan ada yang tidak mau lagi makan sama-sama
atau bahkan ada yang tidak mau lagi menjawab. Jadi hal-hal kecil seperti itu
bagi sebagian pasangan menjadi amunisi untuk bertengkar. Hal kecil misalnya si
suami bertanya, “Kenapa makanan belum selesai ?” si istri mungkin bisa menjawab
dengan perkataan yang kasar, “Kamu tidak tahu kalau saya sibuk, kamu tidak bisa
melihat dan kenapa kamu harus bertanya” menjadi ribut besar. Sekali lagi
hal-hal kecil yang tidak bermakna ternyata bermakna kalau tidak menimbulkan
pertengkaran atau konflik.
GS : Dalam hal ini apa yang kita
bicarakan beberapa waktu yang lalu tentang kebiasaan-kebiasaan kecil yang
membuat kita bisa menerima sikap pasangan, seperti yang Pak Paul katakan
walaupun suaminya baca koran, karena dia sudah terbiasa maka dia bisa menerima dan
tidak menjadi masalah.
PG : Betul.
GS : Tapi untuk orang yang tidak terbiasa
dengan hal itu bisa menjadi masalah ?
PG : Betul. Rupanya dia sudah terbiasa
dan dia sudah tahu suaminya seperti itu maka ketika makanan datang maka
korannya ditaruh dan si istri berbicara dengan si suami dan si suaminya juga
mulai menjawab. Jadi mungkin si istri juga sudah bisa menerima dan tidak
masalah. Justru karena tidak ada pertengkaran maka hal yang sepele itu
sebetulnya menjadi sebuah perekat di antara mereka, tapi kalau misalnya menjadi
pertengkaran maka akan tambah buyar dan tidak mau lagi bersama-sama.
DL : Jadi hal apa yang lebih baik jangan
dilakukan pada waktu kita mengisi kebersamaan dengan pasangan kita itu, Pak
Paul ?
PG : Kita harus sadar bahwa waktu kita
bersama dengan pasangan, hati-hati dengan yang namanya berbuat sekehendak hati
dan jangan sampai kita ingin menjadi diri sendiri dan apa adanya, mulailah kita
berbuat sekehendak hati, berbicara seenaknya, menyuruh seenaknya, tidak ada
lagi rasa hormat, jadi hati-hati dengan tindakan-tindakan yang semaunya seperti
itu. Harus ada batas dan pagar sehingga kita bisa tetap menghormati satu sama
lain. Saya tadi sudah menyebutkan, bahwa kita perlu memunyai atau memberikan
sikap yang sehat sehingga itu nanti akan mengisi relasi kita dengan lebih baik.
Yang kedua, yang saya juga sebut adalah keterbukaan dengan pasangan, kita harus
sering-sering bicara dan cerita dengan pasangan, kita bisa cerita tentang hal-hal
yang kita anggap penting tapi juga hal-hal yang membangun. Jadi ceritakanlah
karena makin banyak terjadi komunikasi dengan pasangan, maka nanti akan semakin
memerkaya, kita harus membedakan diri kita dengan pasangan. Ada orang yang bisa
dengan cepat kalau ada apa-apa langsung cerita, seperti istri saya kalau ada
apa-apa dia langsung cerita, sedangkan kalau saya tidak seperti itu, kalau saya
mengalami sesuatu maka saya perlu waktu beberapa jam untuk bisa mengutarakannya,
sebab saya selalu memikirkan apakah nanti ini berdampak buruk atau baik, apakah
perlu atau tidak perlu. Jadi biasanya saya harus bicara, tapi setelah saya
putuskan saya akan bicara maka saya akan tunggu sampai waktunya tiba dan
setelah saya merasa siap maka barulah saya bicara. Itu juga tidak apa-apa, jadi
tidak harus saya bisa bicara dengan seketika waktu saya merasakan sesuatu, tapi
istri saya berbeda dan dia mengerti hal itu. Kadang-kadang dia bisa melihat dan
bertanya, “Ada apa Paul ?” saya bilang “Nanti akan saya ceritakan”. Dia menerima
hal itu dan tidak apa-apa. Jadi yang penting bukan waktunya tapi yang penting
adalah pada akhirnya kita bisa bicara, komunikasi yang terbuka benar-benar
penting untuk kita mengisi waktu, di mana kita mulai menahan komunikasi dan
tidak lagi waktu bersama.
GS : Tapi kalau berdasarkan pengalaman,
jadi beberapa kali kita bicara, tanggapannya selalu negatif atau menyakitkan
maka orang akan cenderung tidak bicara, Pak Paul.
PG : Memang ini ada macam-macam dan sudah
tentu yang buruk adalah orang itu sengaja menyerang kita kembali. Kenapa orang
menyerang kita kembali ? Banyak sekali alasannya, misalnya dia merasa diserang
oleh kita, jadi ini kesempatan menyerang balik, ini terjadi pertengkaran. Tapi
ada orang yang seperti ini yaitu ada orang yang cenderung sinis, mengatakan
hal-hal yang akhirnya menyakiti hati orang, negatif. Ada orang yang tidak bisa
bergembira bersama orang lain, tidak bisa bersukacita waktu orang bersukacita. Selalu
maunya negatif, selalu memunyai praduga bahwa ada yang tidak benar dan kalau
misalnya seseorang menghasilkan sesuatu langsung yang disoroti adalah yang dia
tidak bisa hasilkan, yang dia gagal lakukan, jadi selalu yang dia munculkan
adalah yang buruk-buruk. Dan ada orang yang seperti itu, kenapa ada orang
seperti itu besar kemungkinan itulah yang diterimanya waktu dulu masih kecil,
jadi seringnya dikatakan kekurangan-kekurangannya sehingga akhirnya itulah yang
dia tuntut dan soroti dari orang lain, akhirnya kalau berbicara dengan dia
sangat tidak enak. Apa yang harus kita lakukan kalau itu yang terjadi maka kita
harus mengkomunikasikan kepada dia, kita harus terus terang kepada dia, mungkin
kamu tadi tidak bermaksud apa-apa bicara seperti itu tapi coba lain kali
gunakan kata-kata yang lain, jangan sampai bicaranya terlalu tajam, itu
menyakiti hati. Perlahan-perlahan diajarkan seperti itu maka ada orang yang
menyadari kalau itulah masalahnya maka dia berubah. Tapi kalau tidak mau
berubah dan tetap seperti itu, maka dapat dipastikan akhirnya tidak terjadi
lagi komunikasi, karena untuk apa bicara kalau ujung-ujungnya sakit hati.
GS : Dalam mengisi waktu bersama ada
hal-hal tertentu atau waktu tertentu yang memang perlu direncanakan, ada juga
yang terjadi spontan seperti yang terjadi sehari-hari, tapi saya melihat
kebersamaan yang direncanakan punya makna lebih besar di dalam hidup pernikahan.
Misalnya kita merencanakan mau bepergian atau mau menyediakan waktu bersama
nanti sore jam sekian, artinya jangan terima telepon atau jangan SMS waktu itu,
kita bicara berdua.
PG : Bagus sekali, Pak Gunawan. Betul
sekali kita itu harus melakukan semuanya dengan kreatif. Jadi hal-hal yang
spontan itu yang kita lakukan, tapi merencanakan pun juga harus dilakukan,
misalnya merencanakan untuk pergi berlibur, perencanaan yang baik lebih
berkemungkinan menghasilkan waktu kebersamaan yang lebih baik. Kalau tidak
direncanakan dengan baik, maka berlibur, bertamasya akan berantakan. Jadi
perencanaan itu penting. Sebelum saya pergi meninggalkan keluarga maka saya
memutuskan untuk pergi menonton berdua, meskipun hanya singkat 2 jam sudah
pulang tapi kami senang dan saya berkata, “Saya senang bisa pergi berdua” istri
saya pun juga berkata, kalau dia senang. Itu adalah waktu yang memang
direncanakan karena kami sudah tahu kalau kami akan berpisah untuk waktu yang
lama, jadi sebelum kami berpisah maka kami pergi berdua dulu. Tapi hal-hal yang
spontan dan bersifat seketika juga perlu, misalnya dulu saya senang mendengar
lagu yang enak, karena saya senang dengan lagu-lagu seperti “country music” atau
apa, saya suka mengajak istri saya, “Ayo dansa di dalam rumah kami”, dulu dia
tidak mau dengan alasan malu, saya bilang, “Tidak apa-apa, saya juga tidak bisa
dansa asal gerak-gerak saja” dan lama-lama dia terbiasa jadi kalau kami
mendengar lagu yang enak, kadang-kadang saya mengajak dia dansa dan kadang dia
yang menarik saya dan mengajak saya dansa. Hal-hal yang spontan juga penting
tapi intinya perlu kedua-duanya yaitu hal-hal yang direncanakan dan juga hal
yang spontan.
GS : Pak Paul, tadi menyinggung tentang menjadi
diri sendiri, di tengah-tengah kita mau mendekatkan diri. Ini seperti apa ?
Jadi ketika kita mau menjadi diri kita sendiri tanpa merugikan pasangan kita,
itu seperti apa ?
PG : Jadi ada orang yang susah yaitu dia
mau hidup seperti apa yang biasa dia lakukan, dia tidak peduli mau bangun jam
berapa, dia mau pulang jam berapa, kalau dia ingin berbicara kasar dia tidak
peduli, pasangannya berkata, “Jangan bicara kasar” dia tidak peduli. Hal
seperti itulah yang membunuh kebersamaan, sehingga akhirnya pasangan tidak mau
lagi menghabiskan waktu bersama dengan dia sebab ujung-ujungnya dia disakiti
dan dikecewakan lagi. Atau misalnya pergi dengan anak, sudah tahu kalau anak-anak
akan lari ke sana dan akan berbuat hal-hal yang menjengkelkan, tapi itu adalah
bagian dari anak-anak dan ada orang yang tidak bisa terima, anak-anaknya harus
mengikuti petunjuknya dengan sempurna, begitu anak melakukan hal yang tidak
diharapkannya kemudian dia marah. Akhirnya waktu kebersamaan hilang, sehingga
akhirnya suasana tidak enak. Kalau saja dia bisa lebih santai, “Anak-anak
memang seperti ini” itu menjadi lebih enak, jadi kita harus ingat, kita tidak
bisa menjadi diri kita semaunya, sekehendak hati. Kuncinya adalah apa yang
harus kita lakukan untuk mengisi waktu sehingga waktu itu sungguh-sungguh
bermakna, yaitu kita harus mengisinya dengan diri kita yang terbaik,
benar-benar menjadi diri yang terbaik dan jangan menjadi diri yang semau kita, berikan
kepada pasangan diri yang terbaik.
GS : Dan itu menuntut pengorbanan, Pak
Paul, entah itu perasaan atau waktu kita ?
PG : Betul. Saya berikan contoh misalnya
kita tahu kalau kita tadi bicara menyakiti hatinya, kita akhirnya datang kepada
dia dan berkata, “Maaf ya, saya salah” perkataan maaf benar-benar mengisi waktu
dengan begitu baik karena di depannya atau setelah itu mereka akan langsung
cair, hubungan mereka kembali hangat dan bisa kembali berbicara. Tapi bayangkan
kebalikannya misalnya kebalikannya adalah kita tidak mau meminta maaf dan kita
hanya diam saja, berarti selama mungkin 1 minggu, atau selama seharian tidak
ada lagi komunikasi, masing-masing merasa jengkel jadi akhirnya waktu bersama
itu tidak ada lagi yang kita isi, justru kita mengisi waktu bersama dengan
kemarahan dan kepahitan kita. Maka kita harus menjadi diri yang terbaik dan
jangan mengikuti diri yang buruk, tapi berikanlah diri yang terbaik kepada
pasangan.
GS : Tapi kalau sudah menjadi pola di
dalam kehidupan keluarga walaupun kita yang tidak terbiasa melihat merasa ini
adalah suatu pola yang tidak betul, tapi ketika ditanya, “Itu suamimu tidak
minta maaf ?” dan dijawab, “Memang seperti itu, dia tidak mau minta maaf” baru
nanti dia akan berbaik-baik sendiri, jadi diterima saja.
DL : Karena memang ada yang seperti itu
dan tidak mau minta maaf, karena dia merasa bahwa dirinya tidak salah.
PG : Memang ada yang seperti itu. Yang
penting adalah relasi dibangun di atas sejuta hal-hal kecil-kecil, misalnya
banyak hal lain yang baik dan ini bisa mengimbangi kekurangannya sehingga
meskipun si istri berkata, “Suami saya memang tidak pernah meminta maaf”, tapi dia
ingat ada sejuta hal lain tentang suaminya yang baik dan itu yang
menyeimbangkan, relasi itu mulai goncang atau mulai menimbulkan masalah kalau
seseorang itu mulai merasa bahwa pasangannya tidak ada yang baik, semuanya tentang
dia hanya yang jelek-jelek saja, itu akan menggoncangkan. Jadi selama masih
banyak hal yang baik, kebanyakan orang akan menerima. Kalau memang orangnya
sehat pasti akan menerima tapi kalau tidak sehat biasanya tidak mau terima
karena semua harus sesuai dengan keinginan dia.
GS : Kebersamaan menjadi kebutuhan
seseorang dan ini kebutuhan emosional, kebutuhan emosional terus meningkat.
Jadi kalau suatu saat mereka merasa “Apalagi yang harus kita lakukan supaya ini
terus meningkat ?” Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Meskipun nantinya kebutuhan itu
meningkat tapi sebetulnya kemampuan kita untuk memenuhinya pun juga bertambah.
Contoh misalnya pada waktu kita baru menikah, kita itu belum mengerti bagaimana
memenuhi kebutuhan istri kita untuk disayangi, tapi karena kita terbiasa dan
kita mengerti yang dia butuhkan apa maka kita juga lebih bisa mengisinya
sehingga meskipun kebutuhan makin bergantung dan membesar, tapi sedikit banyak
kita lebih mampu mengisinya dan akhirnya istri kita pun waktu menerima dari
kita meskipun tidak tahu seperti apa, tapi dia cepat sekali untuk bisa dia
gunakan dalam mengisi kebutuhannya sehingga dia kembali tenang. Jadi betul, kebutuhan
bisa meningkat tapi kemampuan kita memenuhi juga biasanya makin hari makin
baik.
GS : Itu karena dasarnya sudah cukup baik
untuk bisa melanjutkan bangunan ini dengan kepingan demi kepingan lagi.
PG : Itu sebabnya kalau itu tidak terjadi
di awal menikah, tadi sudah dikatakan kebutuhan meningkat, tapi tidak pernah
ada usaha memenuhi dengan baik maka tinggal tunggu waktu berantakan, berantakan
karena kebutuhan meningkat sedang yang satunya kebutuhan untuk memenuhinya
makin tidak ada, akhirnya terjadilah ketimpangan yang sangat besar dan masalah
muncul.
GS : Salah satu kebersamaan yang cukup
bermutu adalah kebersamaan rohani ketika mereka sama-sama berdoa, bersama-sama
membaca Alkitab. Dalam hal ini, dalam perbincangan ini apakah ada ayat firman
Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Saya akan bacakan dari Roma
6:20-22, “Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran. Dan
buah apakah yang kamu petik dari padanya? Semuanya itu menyebabkan kamu merasa
malu sekarang, karena kesudahan semuanya itu ialah kematian. Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan
dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa
kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal”.
Firman Tuhan di sini mengatakan kepada kita bahwa dulu kita memang hidup dalam
dosa, jadi kita memang bebas dari kebenaran tapi sekarang kita telah
dimerdekakan dari dosa dan telah menjadi hamba-hamba Allah maka kita telah
memeroleh buah yang membawa kita kepada pengudusan. Kalau kita terapkan kepada
pembahasan kita di sini adalah karena kita ini telah dibebaskan dari dosa, kita
telah masuk ke dalam pengudusan dan kita telah menjadi diri yang lebih baik dan
inilah yang harus kita berikan kepada pasangan kita, karena diri yang lebih
baik akan mengisi waktu sehingga membuat waktu bersama itu sesuatu yang baik, sesuatu
yang positif dan menumbuhkan kita. Jangan sampai kita sudah dibersihkan Tuhan
lewat penebusan-Nya di kayu salib, tetap hidup di dalam dosa dan hidup yang
berdosa itu yang kita berikan kepada pasangan kita, itu salah.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk
perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima
kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi,
dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang
tentang “Mengisi Waktu Bersama”. Bagi Anda yang berminat untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat
surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk
56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org
kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org.
Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya
dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa
pada acara TELAGA yang akan datang.