Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Ujian Kesabaran". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND : Pak Paul, tidak seorang pun dari kita luput dari dampak pandemi, termasuk dalam kehidupan kita sebagai anggota keluarga. Di rumah sebagian dari kita merasa lebih cemas dan tertekan dan mungkin banyak pendengar mengalami relasi yang memburuk dengan pasangan karena lebih sering bertengkar. Mengapa ini terjadi dan bagaimana kita bisa menghadapi perubahan ini?
PG : Topik yang akan kita bahas pada kesempatan ini adalah "Ujian Kesabaran". Ada banyak perubahan yang mesti kita hadapi pada masa pandemik ini, salah satunya adalah kita lebih banyak di rumah. Oleh karena lebih banyak di rumah, maka lebih banyak waktu yang dihabiskan bersama suami dan istri kita. Nah, bagi sebagian orang tidak masalah, justru adalah baik ya, bisa lebih banyak membagi waktu dengan pasangan kita, tapi bagi sebagian orang lebih banyak waktu dihabiskan bersama berarti lebih banyak pertengkaran yang timbul. Beberapa waktu yang lalu saya mendengar bahwa di kota dimana kami tinggal, sekarang ini angka KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) menanjak 30%. Kalau KDRT meningkat 30% pertengkaran mungkin meningkat 60%, singkat kata, bagi sebagian orang masa pandemik ini adalah masa yang sulit sebab bukan saja di luar sulit, misalnya kehilangan pekerjaan, di dalam rumah pun sulit sebab akhirnya susah untuk bisa hidup dengan tenang dan damai karena sering terjadi pertengkaran. Nah, kita akan mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, karena pandemik kita lebih banyak di rumah, sekarang lebih sering bertengkar. Juga kita akan membahas apa yang dapat kita lakukan untuk menanggulanginya. Hal pertama yang mesti kita ketahui adalah kenyataan bahwa sekarang kita lebih sering bertengkar tidak serta merta berarti bahwa relasi nikah kita memburuk atau lebih buruk daripada sebelumnya. Belum tentu, saya jelaskan. Perubahan menuntut adaptasi dan dalam masa adaptasi tidak jarang kita mesti bergesekan. Sebagai contoh, sebelum pandemik kita menghabiskan waktu bersama sebanyak 3 jam dipotong dengan makan dan menyelesaikan tugas rumah tangga mungkin kita hanya berbagi waktu bersama sekitar 2 jam. Pada akhir pekan karena kita terlibat dalam berbagai aktifitas, sehingga walau kita tidak bekerja praktis kita hanya berbagi waktu beberapa jam per hari dengan pasangan kita. Sekarang bagi sebagian kita, praktis kita menghabiskan waktu bersama hampir sepanjang hari, hampir 24 jam, dari kita bangun sampai kita tidur kembali kita terus bersama pasangan. Jika sebelumnya kita hanya menyiapkan bahan bicara untuk 2 jam, sekarang kita mesti menyiapkannya untuk sekurangnya 16 jam. Bila sebelumnya kita tahan mendengarkan pasangan bicara selama beberapa menit, sekarang kita harus tahan mendengarkannya berbicara selama berjam-jam. Nah, perubahan ini saja menuntut kita untuk beradaptasi dan kita semua mengerti betapa tidak mudahnya mengisi waktu bersama, bukan saja untuk sehari tetapi berbulan-bulan, dari ada bahan pembicaraan sampai kita bingung mau bicara apa karena kehabisan bahan bicara dan akhirnya sampai kita tidak lagi mau bicara. Atau dari bisa berkonsentrasi mendengarkan pasangan bicara sampai kita tidak bisa lagi berkonsentrasi mendengarkannya. Dari memahami jelas apa yang disampaikannya sampai kita salah paham. Semua ini adalah bagian dari adaptasi yang wajar yang mesti kita lalui.
ND : Jadi Pak Paul melihat bahwa kemampuan beradaptasi ini sangat penting, apalagi dengan perubahan dalam hidup yang terjadi pada semua orang secara mendadak. Jika demikian bagaimana kita bisa sukses beradaptasi?
PG : Sebab sekali lagi saya ingatkan, sebelumnya kita memang tidak pernah belajar menghabiskan waktu bersama sedemikian lamanya. Sekarang kita mesti belajar menghabiskan waktu bersama sedemikian lamanya. Jadi jangan tergesa-gesa mengatakan, "Aduh rumah tangga saya sekarang berantakan, relasi kami hancur", tidak belum tentu. Ini bisa jadi hanyalah masa adaptasi yang kita mesti lewati. Jadi terimalah ini sebagai bagian dari adaptasi. Kunci dalam beradaptasi adalah saling pengertian dan saling bersabar. Artinya apa? Kita berdua mesti menyadari dan mengakui bahwa memang kita mesti belajar menyesuaikan diri dengan perubahan ini dan penyesuaian diri memerlukan waktu. Jangan cepat-cepat melabelkan pasangan bermasalah, tidak bisa berbicara, belum tentu, memang tidak biasa saja, jadi perlu waktu untuk membiasakan diri. Jangan cepat-cepat memarahi pasangan dan menuduhnya atau melabelkannya. Dan juga jangan menuntut pasangan untuk secara tiba-tiba bisa berubah. Artinya kalau dia memang tidak terbiasa untuk bicara panjang, dia akan perlu waktu yang lama untuk bisa berbicara lebih panjang tapi belum tentu ia akan bisa bicara sepanjang itu. Kita juga mesti mengerti bahwa pasangan akan berubah tapi tidak berubah seperti yang kita harapkan dan kita juga mesti mengerti untuk memberi pasangan ruangan untuk menyendiri bila memang itu yang diperlukannya. Maksud saya, berilah kepada pasangan waktu untuk menyesuaikan diri dengan jadwal yang baru ini. Sebelumnya ia pergi kerja, nah dia berpisah dari kita, dia menyendiri, sekarang dia sering di rumah berarti kesempatannya untuk berpisah dari kita dan menyendiri makin terbatas. Mungkin dia perlu itu, jadi berilah ruangan untuk masing-masing bisa menyendiri, bisa di kamar, bisa jalan-jalan sendiri karena bisa jadi itu yang memang diperlukan. Jangan kita cepat-cepat menuduh, "Oh kamu tidak suka pada saya, kamu tidak mencintai saya, mengapa tidak mau menghabiskan waktu bersama dengan saya ?". Nah, sekali lagi, tidak mesti, ini berkaitan dengan cintanya kepada kita. Bisa jadi ini adalah penyesuaian yang perlu dilakukannya. Dia tidak terbiasa dan dia memerlukan waktu untuk bisa menyendiri terpisah dari kita, ya sudah kita berikan. Hal yang lain yang juga perlu kita lakukan adalah kita perlu mengformat ulang komunikasi kita selama ini. Misalkan dulu kita biasa berbicara pada waktu makan malam, nah sekarang lebih banyak kesempatan untuk berbicara tidak hanya di meja makan. Kita mesti belajar untuk berbicara dalam konteks yang berbeda. Kalau dulu tidak ada anak-anak, sekarang ada anak-anak. Ini semua hal-hal kecil yang mengharuskan kita untuk beradaptasi.
ND : Ya Pak Paul, pasangan suami istri bisa belajar menyesuaikan diri dengan perubahan hal-hal kecil ini di rumah dan rupanya ini menolong kita untuk lebih cepat untuk beradaptasi. Apakah ada hal lainnya yang dapat kita lakukan?
PG : Yang kedua, yang kita mesti camkan adalah kunci keberhasilan melewati masa yang sulit ini adalah fleksibilitas. Norman Wright, seorang pakar pernikahan dan keluarga di Amerika Serikat mengatakan bahwa karakteristik terpenting yang dibutuhkan dalam pernikahan adalah fleksibilitas. Makin orang itu lentur dan tidak kaku, makin besar kemungkinan ia akan dapat menikmati pernikahan yang harmonis. Sebaliknya makin orang kaku dan enggan berubah, makin sulit ia menikmati keharmonisan. Di masa pandemik ini kita dapat melihat kebenaran ini, makin kita fleksibel, makin mudah kita menyesuaikan diri dan makin besar kemungkinan kita dapat memertahankan keharmonisan keluarga kita. Dalam hal apa saja kita mesti fleksibel ? Misalnya dalam pembagian tugas rumah tangga, jangan menolak untuk mengerjakan tugas rumah tangga yang sebelumnya bukanlah tugas kita. Jangan kita berkata, "Mau tidak mau cuci piring". Sekarang kita ada waktu cuci piring dan kita orang yang bisa cuci piring tapi tidak ada yang mencuci piring selain pasangan kita. Dia sudah repot, nah kita bantulah. Dulu tidak harus karena mungkin ada pembantu rumah tangga, tapi sekarang karena kesulitan keuangan kita tidak memunyai lagi pembantu rumah tangga, ya sudah kita yang turun tangan kerjakan. Mengantar anak sekolah, dulu kita tidak punya waktu, kita mesti pergi kerja, sekarang kita punya waktu, ya antarlah anak sekolah. Jangan berkata, "Ini bukan tugas saya, ini tugas kamu". Bagilah tugas, makin kita menawarkan diri untuk membantu, makin mengharmoniskan relasi kita sebab pasangan kita akan melihat kita tenggang rasa, kita tidak hanya memikirkan kepentingan sendiri tapi juga memikirkan kepentingannya. Ini hal yang baik hal yang penting dan relatif mudah untuk dilakukan, jadi lakukanlah.
ND : Ini saran yang baik, Pak Paul. Kita tidak perlu merasa gengsi mengerjakan tugas rumah tangga yang mungkin tampak remeh karena sebetulnya dengan saling membantu hubungan menjadi lebih harmonis. Lalu bagaimana dengan pengelolaan finansial keluarga?
PG : Kita juga mesti fleksibel dalam pemakaian uang. Artinya jangan memertahankan dengan gaya hidup kita yang lama, ada yang mesti kita korbankan. Misalkan, kita biasa membeli baju sebulan sekali atau dua bulan sekali, sekarang tidak bisa lagi ya sudah jangan. Kita biasa membeli alat kecantikan merk tertentu, sekarang tidak bisa lagi ya sudah, kita fleksibel beli dengan merk lain yang lebih murah. Atau kita biasa pergi makan di luar, sekali dua kali seminggu, sekarang tidak bisa lagi, ya sudah, terimalah, lebih seringlah makan di rumah. Makan di rumah itu berarti tidak berarti lebih enak atau sama enaknya dengan makan di luar, terimalah. Jangan mengeluh, menggerutu, "Mengapa masakanmu begini, tidak enak". Jadi fleksibel, makan tidak usah seenak dulu, ya sudah tidak apa-apa. Juga kita mesti fleksibel dengan pekerjaan atau perubahan karier akibat pandemik ini. Misalkan kita kehilangan pekerjaan, jangan menolak pekerjaan yang tersedia, jangan berkata, "Tidak sesuai dengan gelar kita" atau "Tidak sebanding dengan pengalaman kita" pokoknya kita menuntut pekerjaan yang mirip dengan gaji yang juga hampir sama. Kadang hal itu tidak bisa kita lakukan, ya sudah terimalah, kerjakanlah pekerjaan yang ada, terpenting kita dapat menafkahi kebutuhan keluarga. Saya tahu ada orang yang kaku, yang berkata, "Tidak mau, untuk apa saya mengerjakan pekerjaan ini yang di bawah kemampuan saya?" Akhirnya tidak pernah bekerja untuk waktu yang lama dan tidak bekerja untuk waktu yang lama, tidak sehat, untuk jiwa kita, untuk keuangan kita dan untuk keluarga kita. Akhirnya kita lebih sering bertengkar karena soal ini, jadi untuk sementara lakukanlah apa pun yang bisa kita kerjakan. Yang penting kebutuhan kita terpenuhi.
ND : Pak Paul, apa yang menyebabkan kita menjadi orang yang tidak fleksibel?
PG : Kekakuan dapat ditimbulkan oleh sekurang-kurangnya tiga penyebab. Mungkin kita bertanya-tanya,"Mengapa ada orang yang kaku?" Pertama kita kaku karena kita sulit melihat alternatif yang lain, maksudnya kita ini orang yang kalau sudah melihat sesuatu, hanya bisa melihatnya dari satu sudut. Sukar untuk kita memertimbangkan yang lain atau melihat dari sudut yang lain. Dengan kata lain, masalahnya disini adalah bukan karena kita tidak mau berubah tapi memang kita tidak dapat melihat alternatif yang lain itu. Walau sudah diberitahukan pasangan, tetap saja kita tidak dapat melihatnya. Bila inilah masalahnya, maka tugas kita sebagai pasangan adalah mengerti dan bersabar untuk menjelaskannya berulang kali, sebab pada intinya bukannya tidak mau tapi memang sulit, ada sebagian orang yang memang seperti itu. Kaku karena susah untuk melihat sudut pandang yang berbeda. Jadi pandangannya cenderung terfokus satu arah saja, dari satu sudut saja. Ya sudah kita terima, kita menikah dengan dia, jadi bersabarlah. Jelaskanlah berulang kali, mungkin ada yang mengeluh. Saya harus menjelaskannya berkali-kali baru mengerti, atau ada yang setelah berkali-kali tetap saja tidak mengerti. Ya memang ada yang seperti itu, ya sudah kita terima, yang penting kita jelaskan sampai dia bisa mengerti, mungkin gunakan contoh-contoh yang lebih konkret sehingga dia lebih dapat memahaminya. Penyebab kaku yang kedua adalah sebetulnya karena kita ini orang yang mudah cemas. Perubahan pada umumnya menimbulkan kecemasan, itu sebab karena kita tidak mau cemas maka kita menolak untuk berubah Misalkan soal pekerjaan, kita sebetulnya tidak apa-apa di bidang yang berbeda atau pun menerima gaji yang lebih kecil di masa pandemik ini tapi karena kita takut dengan perubahan, membuat kita cemas maka kita menolak untuk melakukan pekerjaan itu. Jadi bukan karena kita tidak mau bekerja, tapi karena kita takut perubahan. Kita terbiasa dengan pekerjaan yang dulu. Kalau ini masalahnya maka kita sebagai pasangan perlu membahas perihal kecemasan itu terlebih dahulu, kita mesti mengerti apakah yang dicemaskannya dan kita mesti meneduhkan gelora di hatinya sebelum kita dapat memintanya untuk lebih fleksibel dan untuk berubah. Jadi kalau kita tidak bisa untuk membuatnya tenang, sampai kapan pun dia tidak akan mau berubah. Kita mesti melihat apa itu sumber kecemasannya kemudian kita teduhkan hatinya, kita yakinkan bahwa ada solusi yang lain, ada pintu yang lain kalau pintu ini tertutup. Kita memang berusaha membuat dia kembali tenang, karena waktu dia tenang, dia akan lebih siap untuk berubah.
ND : Jadi disini pertama kita perlu mewaspadai bagaimana cara pandang kita selama ini apakah kita mau menerima pendapat orang lain yang berlawanan dengan pikiran kita dan kedua kita perlu mengevaluasi diri apakah kita ini orang yang mudah khawatir secara berlebihan. Penyebab berikutnya apa, Pak Paul, hal yang membuat kita tidak bisa fleksibel?
PG : Ketiga, kita kaku karena kita sombong. Akhirnya kita tidak mau berubah karena kita sombong. Kita tidak bisa melihat diri kita salah dan kita mesti berubah. Berubah berarti mengakui diri salah dan itu yang tidak bisa kita terima. Itu sebab kita malah menuntut pasangan untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan kita. Tidak pernah sebaliknya. Kalau inilah duduk masalahnya, memang susah untuk berubah sebab segala sesuatu susah berubah bila dikaitkan dengan harga diri. Sebagai pasangan kita menghadapi jalan buntu jika pasangan kita kaku karena egonya yang besar. Setiap usaha untuk memintanya fleksibel pasti berakhir dengan pertengkaran. Jika inilah masalahnya, memang sebagai pasangan kita tetap mesti bersabar dan mengerti. Namun terlebih dari itu, kita mesti mendoakannya. Hanya Tuhan yang dapat mengubah dan meluluhkan hati yang sombong. Tugas kita bukanlah mengubahnya, tugas kita hanyalah memberikannya contoh hidup yang nyata akan sebuah kehidupan yang bebas dari kesombongan. Artinya lewat kehidupan kita yang tidak menekankan kesombongan, kita rela untuk berubah. Dia akan melihat, hidup seperti itu enak ya, ringan, sebab sebetulnya orang yang sombong itu sebetulnya orang yang susah, bukan orang yang senang. Orang yang harus menjaga harga dirinya sebetulnya orang yang hidup dalam tekanan, bukan dalam kebebasan. Dia selalu harus memikirkan statusnya di mata orang, dia harus selalu memikirkan jangan sampai ia salah, jangan sampai ia dilihat lemah atau tidak layak. Jadi tugasnya banyak sebetulnya, jadi orang yang sombong itu memang harus kerja lebih keras. Hidupnya tidak bebas, biarlah dia melihat kita bahwa kita ini karena tidak memedulikan ego ya biasa saja, rela saja berubah, hidupnya enak, ringan, tidak memikul beban yang berat. Biarlah ia melihat itu, kita tidak perlu pokoknya harus bisa mengubah dia. Kita tidak perlu meyakinkannya bahwa dia salah dan kita yang benar. Kita hanya perlu berjalan terus di jalan yang benar dan berbuat benar. Dengan kata lain, biarlah perbuatan kita berbicara, bukan mulut kita. Biarlah Tuhan memakai perbuatan kita untuk menyadarkannya bahwa rendah hati adalah sehat dan baik. Sudah tentu rendah hati adalah menyenangkan hati Tuhan.
ND : Dalam situasi yang sulit, tentunya firman Tuhan menjadi penuntun sekaligus kekuatan bagi kita. Pak Paul boleh bagikan satu ayat yang perlu kita renungkan.
PG : Satu ayat yang baik untuk kita ingat dan terapkan pada masa pandemik ini adalah Filipi 2:4, "Dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga". Pada masa senang kita dapat berubah menjadi egois tetapi sesungguhnya pada masa sulit pun kita dapat berubah menjadi egois. Oleh karena hati susah akhirnya kita berusaha mencari kesenangan pribadi dan melupakan kepentingan dan pengorbanan pasangan. Itu sebab kita harus mawas diri jangan biarkan pandemik ini mengubah kita menjadi egois, sebaliknya jadikanlah pandemik ini sebagai masa ujian kesabaran dan saling pengertian kita. Amin.
ND : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ujian Kesabaran". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.