Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Tinggal Seatap Dengan Mertua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Bagi pasangan yang baru menikah tentu mereka punya cita-cita untuk berumah tangga sendiri apalagi ketika mereka mendengar kalau menikah itu harus berpisah dengan orang tuanya, tapi dalam kenyataannya tidak semua mereka yang setelah menikah bisa mendapat kesempatan untuk tinggal sendiri, ini pengaruhnya bagaimana kalau mereka harus tinggal dengan mertuanya, Pak Paul ?
PG : Memang ini adalah salah satu kenyataan yang harus kita terima bahwa tidak selalu kita bisa memunyai tempat tinggal sendiri jadi adakalanya kita harus tinggal dengan mertua kita. Sudah tentu kita bersyukur mertua bersedia untuk membuka pintu dan menampung kita, namun pada kesempatan ini kita mau menyoroti hal ini karena tidak bisa tidak, tinggal dengan mertua memunyai konsekwensinya, untuk itulah kita mau menyoroti supaya mudah-mudahan materi yang kita akan bawakan bisa menjadi berkat buat orang yang harus tinggal dengan mertua.
GS : Kalau memang harus tinggal dengan mertua, langkah apa yang harus dijalani oleh pasangan yang baru menikah itu, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu yang kita mau capai adalah kerukunan sehingga bisa tinggal dengan mertua secara harmonis. Ada setidak-tidaknya tiga hal yang kita harus perhatikan, yang pertama adalah faktor penyebab mengapa kita tinggal serumah dengan mertua. Sudah tentu ada berbagai penyebab mengapa kita tinggal seatap dengan mertua. Misalnya yang pertama yang bisa saya pikirkan adalah kondisi ekonomi. Saya kira ini adalah penyebab paling umum mengapa kita tinggal seatap dengan mertua, mungkin kita tidak mampu untuk tinggal sendiri atau mungkin kita berusaha menabung uang untuk membeli tempat tinggal sendiri. Jadi akhirnya kita tinggal dengan mertua. Yang kedua adalah kesehatan, mertua sudah berusia lanjut jadi kadang sakit-sakitan atau memerlukan penjagaan yang lebih intensif, akhirnya kita memutuskan tinggal dengan mereka. Yang ketiga juga kadang-kadang terjadi yaitu kedekatan emosional misalnya pasangan akrab dengan orang tuanya dan meminta kita tinggal dengan orang tuanya atau sebaliknya mertua meminta kita tinggal bersamanya karena dekat dengan anaknya, dan keempat yang kadang terjadi adalah yang bersifat kebutuhan khusus yaitu kita memutuskan tinggal serumah dengan mertua karena misalnya kita memerlukan bantuan mertua untuk
menjaga anak sewaktu kita pergi bekerja, daripada orang lain yang menjaga maka kita tinggal dengan mertua. Kadang kita tinggal serumah dengan mertua karena kehadiran orang tua membuat kita dengan pasangan kita lebih stabil secara emosional karena ada orang yang menghadapi pernikahan yang kurang sehat sering bertengkar dan sebagainya, adanya mertua itu menolong menenangkan karena pasangan kita mendengar apa yang orang tuanya katakan. Jadi kita putuskan tinggal dengan mertua. Ini adalah beberapa faktor penyebab yang akhirnya mengharuskan kita tinggal dengan mertua, namun apapun penyebabnya yang menentukan dalam penyesuaian ini adalah kerelaan kita tinggal bersama dengan mertua. Jadi bila kita rela kita lebih mudah menyesuaikan diri, tapi sebaliknya jika kita tidak rela mungkin kita beranggapan bahwa masih ada pilihan lain dan sesungguhnya kita tidak harus tinggal bersama mertua maka akan makin sulit penyesuaiannya. Jadi misalkan pasangan diharuskan karena dekat dengan orang tuanya maka kita tidak rela dan akhirnya penuh dengan konflik dengan pasangan, kadang dengan mertua. Jadi kadang hal-hal itu bisa terjadi.
GS : Pak Paul, kalau faktor umum karena faktor kondisi ekonomi dan ini pasangan baru ini mau gabung di rumah mertuanya, sebaiknya mereka menunggu ditawari oleh mertua atau mereka yang mengajukan untuk tinggal di rumah mertua ?
PG : Kalau idealnya menunggu ditawari karena dengan tawaran itu kita tahu bahwa mertua itu bersedia menampung kita, kalau kita langsung bertanya mungkin saja ia bilang ya, tapi karena tidak enak kalau menolak kita. Jadi idealnya memang ditawarkan. Namun saya juga bisa mengerti adakalanya karena tidak ada pilihan lain akhirnya kita menebalkan muka dan menanyakan kepada mertua, Apakah bisa kami tinggal di sini ? Sudah tentu mertua kebanyakan berkata Silakan. tapi kalau benar-benar ingin tahu apakah mertua memang membuka pintu kita tinggal disana, maka sebaiknya kita menunggu tawaran itu.
GS : Kadang-kadang kondisinya itu bukan hanya dengan orang tua atau mertua ini, masih ada keluarga-keluarga lain di situ sehingga orang tua kita itu tidak berani menawarkan kepada kita.
PG ; Bisa jadi karena dia mungkin memikirkan nanti biasa ada apa-apa karena ada anaknya yang lain, jadi akhirnya tidak berani menawarkan. Kadang sewaktu mertua tidak menawarkan alasannya belum tentu karena mertua tidak suka dengan kita, bisa jadi memang ada pertimbangan lain karena ada orang lain atau anak lain. Dan salah satunya saya kira mertua manusia dan kita juga bisa menjadi mertua orang, jadi maksudnya kadang kita memikirkannya lebih jauh yaitu kita tidak mau nanti hubungan dengan menantu rusak, karena yang kita tahu tinggal seatap mungkin sekali akan lebih ada problem. Jadi daripada nanti harus konflik dengan menantu lebih baik jangan sehingga dengan cara ini hidup terpisah kita masih bisa menjaga relasi. Saya kira kalau sampai mertua menolak, besar kemungkinan ini alasan utamanya.
GS : Kalau katakan kedua orang tua, jadi baik mertua dari pihak pria maupun dari pihak wanita itu menawarkan untuk tinggal dengan mereka, sebaiknya dipilih yang mana, Pak Paul ?
PG : Memang pemilihannya ini harus didasarkan atas faktor yang objektif karena kalau tidak, maka mudah sekali salah satu dari kedua pasangan ini orang tua kita ini akan beranggapan, Sekarang kamu sudah menikah, kamu lebih berat kepada suami atau istrimu dan kamu tidak mau tinggal bersama kami, kami yang lebih siap malah memilih yang disana jadi tambah sulit. Saya kira kalau mertua kebetulan mendengar apa yang kita katakan dan lebih hati-hati dan berkata, Silakan pilih apapun, yang penting kami membuka pintu siap menolong tapi dari pihak anak, saya kira ada baiknya kalau sampai itu yang terjadi dua-dua memberikan tawaran, kalau kita sampai menolak yang satu alasannya objektif misalnya anak kita bersekolah di dekat rumah, rumah yang mana ? Itulah yang kita pilih atau hal-hal yang objektif lainnya tentang tempat pekerjaan, sehingga orang tua juga lebih menerimanya.
GS : Pak Paul, selain ada kebutuhan atau kondisi yang seperti tadi, apakah ada hal lain yang harus kita perhatikan ?
PG : Ada. Faktor kedua yang harus diperhatikan adalah faktor kecocokan baik gaya dan kebiasaan hidup maupun kepribadian antara anak, menantu dan juga orang tua. Saya ikut sertakan anak karena kadang anak belum tentu hidup serumah dengan orang tua. Waktu anak masih kecil mungkin masih mudah, tapi sewaktu anak sudah besar dia menjadi orang yang terpisah dan tidak begitu juga tinggal dengan orang tua. Misalkan mertua terbiasa masak dan hampir tidak pernah makan di luar sedangkan kita terbiasa makan di luar secara berkala seminggu sekali misalnya; tidak bisa tidak, hal seperti ini memerlukan penyesuaian dari kedua belah pihak karena salah satu bisa berkata, Kamu boros, 'kan bisa makan di rumah tidak perlu makan di luar. Yang satu bisa berkata, Kenapa, apa salahnya kami pergi seminggu sekali makan di luar. Maka bisa terjadi konflik atau memilih makan di luar, padahal sudah disiapkan masakan. Jadinya timbul konflik, kecocokan gaya hidup perlu diperhatikan. Contoh yang lain, mertua terbiasa tidak memakai pembantu rumah tangga, ini juga membutuhkan penyesuaian mungkin kita yang lebih muda berkata, Kenapa saya harus membuang waktu mengurus rumah sedangkan ada orang yang lebih bisa melakukannya, kenapa kita tidak bayar saja ? sehingga waktu itu kita bisa lakukan untuk hal lain. Mertua berkata, Sayang atau kebalikannya orang tua yang mengajarkan pakailah pembantu rumah tangga dan waktumu digunakan yang lain, kita berkata, Tidak mau sayang uang, kita saja yang mengurus semuanya jadi akhirnya tambah repot dan mertua harus jaga anak padahalnya mertua tidak mau jaga anak. Inilah salah satu masalah yang bisa muncul dan yang lain selain dari gaya dan kebiasaan hidup yang perlu diperhatikan adalah perbedaan kepribadian yaitu misalnya ada orang yang terbiasa memerhatikan hal-hal kecil dan ada yang tidak, ada orang yang mudah marah dan ada yang panjang sabar, ada yang perfeksionis, ada yang sembrono, ada yang mudah memaafkan, ada yang lama
memaafkan. Ini semua adalah faktor kepribadian yang dapat juga memengaruhi keharmonisan kita tinggal bersama mertua.
GS : Biasanya kebiasaan bangun, orang tua pagi-pagi sudah bangun padahal pasangan baru ini bangunnya siang dan ini sering kali menantu yang dimarahi atau paling tidak diberitahu kok bangunnya siang dan hal itu bisa menimbulkan ketegangan.
PG : Betul. Jadi ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam hal gaya hidup, kebiasaan hidup dan kepribadian. Kalau memang terlalu berbeda maka kita tahu terlalu berbeda tahunya dari mana ? Tahunya dari pasangan kita, maka lebih baik kalau masih memungkinkan kita tidak tinggal bersama mungkin ada baiknya tidak tinggal bersama, daripada kita paksakan nanti akhirnya akan bertengkar. Hal-hal kecil bisa menimbulkan pertengkaran, tadi Pak Gunawan munculkan misalnya tentang bangun tidur, mertua suka bangun pagi, kita misalkan berkata, Saya sudah bekerja lelah mulai Senin sampai Jum'at dan hari Sabtu saya mau bangun agak siang maka bisa jadi masalah, karena kita belum bangun tapi anak sudah bangun sehingga mertua yang jadinya harus menjaga anak kita dan mereka tidak suka dan mereka berkata, Menantu saya malas, bangunnya siang, anaknya ditelantarkan belum diberi makan. Kita berkata, Yang penting anak saya makan sebelum jam 8, dan selama sebelum jam 8 tidak apa-apa, saya bangunnya setengah delapan tidak apa-apa. Mertua merasa, Tidak bisa, harus bangun lebih pagi. Banyak sekali hal-hal kecil yang bisa menjadi masalah, sudah tentu saya akan minta dalam hal ini kalau mertua mendengarkan kita, Untuk hal-hal kecil seperti itu orang tua jangan terlalu mencampuri, biarkanlah anak-anak ini mengurus rumah tangganya sendiri. Jadi orang tua harus ingat anak dan menantunya adalah sebuah rumah tangga terpisah, mereka bukanlah anak-anak mereka seperti dulu lagi, jangan sampai terlalu mencampuri urusan anak-anak.
GS : Tapi kalau tinggal serumah sulit bagi orang tua untuk tidak mencampuri apalagi kalau nanti ada cucu, mau tidak mau karena serumah maka orang tua akan bilang, Kalau mereka tidak tinggal serumah ya tidak apa-apa, tapi ini kelihatan.
PG : Misalkan karena mertua lebih tua, lebih banyak pengalaman, akhirnya lebih
mengerti tentang anak, kalau begini artinya anak lapar, kalau begini artinya anak kurang tidur, sedangkan menantu dan anaknya kurang mengerti akhirnya timbul masalah. Tapi tetap saya gunakan prinsip ini dalam rumah tangga saya dengan istri saya, kalau urusan dengan mertua, istri saya yang hadapi, urusan dengan orang tua saya, saya yang hadapi. Jadi jangan sampai biasakan diri untuk langsung bicara, langsung tegur mertua, jangan seperti itu. Sama juga dengan mertua kalau ada apa-apa jangan langsung bicara dengan menantu, biarkan anak kita yang mengurusnya.
GS : Karena masih ada hubungan darah maka untuk bicara itu lebih nyambung daripada menantu, Pak Paul.
PG : Betul. Anak dengan orang tua bisa bertengkar tapi tidak sampai 2 jam ngobrol lagi, tapi kalau mantu bertengkar dan apalagi berani balas marah kepada mertua maka bisa 2 tahun baru bisa sembuh lagi.
GS : Apakah ada faktor lain yang harus diperhatikan, Pak Paul ?
PG : Faktor ketiga yang harus diperhatikan adalah dampak pada relasi pernikahan, maksud saya dampak tinggal bersama dengan mertua pada relasi pernikahan. Adakalanya hidup bersama mertua dapat memberikan dampak buruk terhadap pernikahan. Sudah tentu duduk masalah tidak selalu berada pada mertua, mungkin kitalah yang memunyai masalah sehingga tidak bisa hidup bersama mertua, dalam kondisi seperti itu jika memungkinkan pindahlah, sebab pada akhirnya kita harus memilih untuk menyelamatkan pernikahan kita. Dengan kata lain, terlepas dari siapa salah dan benar, kita harus berpikir panjang agar jangan sampai pengalaman tinggal bersama mertua meninggalkan bekas luka yang dalam. Hal ini telah saya saksikan dalam pengalaman saya mengkonseling. Jadi kadang ini yang saya temukan ada orang-orang yang akhirnya terus menyimpan sakit hati yang dalam, kepahitan yang dalam karena pada suatu saat pernah tinggal dengan mertua hubungannya menjadi buruk, misalnya si anak lebih membela orang tuanya sehingga ribut besar dengan pasangannya, luka ini ternyata bisa terus dibawa sampai bertahun-tahun kemudian meskipun sudah tidak tinggal lagi bersama dengan mertua. Kalau si anak mau ketemu dengan orang tuanya, pasangannya marah dan tidak suka akhirnya ribut besar, orang tuanya mau ketemu dengan si anak tapi menantunya tidak suka dan menjadi ribut lagi, segala macam. Jadi sekali lagi kalau kita lihat ini sudah tidak sehat hubungan ini sudah buruk, kalau memungkinkan, putuskan daripada hubungan rusak, lebih baik pindah dan selamatkan relasi pernikahan kita jangan sampai selama-lamanya jadinya rusak gara-gara tinggal bersama dengan mertua.
GS : Tapi untuk pisah seperti itupun butuh penjelasan yang masuk akal atau yang objektif dengan mertua itu, Pak Paul.
PG : Tepat sekali. Kita jangan sampai lupa berterima kasih atas kebaikan mertua yang telah menampung kita. Jadi kalau kita sampai mau pindah maka kita harus pikirkan alasan yang terbaik dan memang kadang-kadang kita belum bisa karena memang tidak punya alasan yang terbaik itu. Jadi daripada pindah dan melukai hati mereka dan selama-lamanya relasinya jadinya terganggu mungkin adakalanya kita harus mengalah dan berkata, Sudah tidak apa-apa tetap tinggal bersama dengan mertua meskipun tidak ideal.
GS : Pak Paul, apakah faktor-faktor ini juga berpengaruh kalau seandainya
mertuanya yang bergabung di rumah pasangan muda ini karena kemungkinan seatap itu juga bisa begitu. Tadi yang kita perbincangkan kalau pasangan muda ini bergabung dengan mertuanya karena masih belum punya rumah sendiri. Tapi ada kemungkinan juga sebaliknya yang terjadi.
PG : Betul. Efeknya hampir sama sudah tentu memang ada bedanya kalau orang tua yang tinggal dengan kita maka di mata masyarakat atau dianggap hal ini yang lumrah, biasanya kalau kita yang tinggal dengan mertua maka sedikit kurang lumrah orang biasanya akan bertanya-tanya kenapa ?. Biasanya efek yang pertama si orang tua atau mertua kita meskipun berkata, Tidak apa-apa tinggal di sini tapi tetap itu adalah sesuatu yang mengganjal di hati sebab akhirnya dia harus jelaskan, anak saya seharusnya tinggal dengan saya dan
kalau tidak ada alasan lain alasan yang paling jelas adalah menantunya tidak bisa punya rumah. Jadi berarti sebagai manusia itu mertua pasti juga ingin anaknya dilihat baik, dilihat mampu, mapan bisa hidup sendiri. Kalau sampai orang tahu karena tidak mapan maka harus tinggal bersama dengan kami, sedikit banyak ada rasa malu juga, karena kita tahu mertua atau orang tua kita senang membanggakan anaknya, Anak saya jadi ini dan itu kalau misalkan membanggakannya adalah Anak saya dan menantu saya numpang di rumah kami maka tidak bisa dibanggakan. Jadi tidak bisa tidak, itu ada beban mental, apalagi misalnya tinggal bersama mertua dan kemudian harus bergantung secara finansial juga karena tidak cukup dan mertuanya harus bantu, tidak bisa tidak ini akan menimbulkan beban tambahan. Kalau sebaliknya yang terjadi maka lebih mudah, karena lebih seharusnya anak mengundang orang tua tinggal bersama dan kemudian mencukupi kebutuhan mereka, hal-hal yang saya sebut tadi tidak akan menjadi masalah.
GS : Dalam hal ini apa nasehat firman Tuhan, Pak Paul ?
PG : Di dalam Roma 15:5-6 firman Tuhan berpesan, Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus, sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus. Jadi kita
lihat disini firman Tuhan yang meminta kita untuk rukun sesuai dengan kehendak Kristus dan ini adalah cara untuk memuliakan Tuhan kalau kita hidup rukun sudah tentu kita bisa terapkan ini untuk situasi kita tinggal bersama dengan mertua. Setidaknya ada dua nasehat yang disampaikan Paulus disini yang berkaitan dengan cara bagaimanakah kita dapat memelihara kerukunan. Firman Tuhan bukan saja meminta kita rukun, tapi juga memberikan kiatnya atau caranya. Di Roma 15:1 firman Tuhan berkata, Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Roma 15:7 berkata, Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah. Jadi ada dua nasehat yang bisa kita petik, pertama kita harus menerima dan menanggung kelemahan masing-masing, mertua menanggung dan menerima kelemahan anak dan menantu, sebaliknya anak dan menantu menanggung dan menerima kelemahan mertua. Firman Tuhan menjelaskan bahwa Dasar penerimaan adalah kenyataan bahwa Kristus telah menerima kita. Jadi oleh karena kita pun telah diterima Kristus kendati kita penuh dengan kelemahan maka kita pun harus menerima satu sama lain termasuk kelemahan mertua atau menantu dan anak. Setelah menerima kita juga harus menanggung kelemahan, sebab kelemahan membuahkan akibat, yang tidak bisa dikerjakan oleh mertua atau oleh anak maka kita yang harus mengerjakan, yang menjadi kekurangannya kita yang harus melengkapinya. Itu yang firman Tuhan minta menerima dan menanggung. Nasehat yang kedua menjaga kerukunan adalah jangan mencari kesenangan sendiri, ini berarti kita mesti memikirkan kesenangan mertua dan mertua memikirkan kesenangan anak dan menantu dan berusaha melakukannya, apa yang diharapkannya kita coba penuhi, apa yang membuatnya bahagia kita coba kerjakan sebaliknya apa yang
membuatnya tidak suka jangan kita lakukan, apa yang berpotensi menimbulkan konflik maka jangan dilakukan. Inilah petunjuk firman Tuhan bagi kita semua untuk menjaga kerukunan.
GS : Biasanya yang terjadi kalau sampai ada masalah adalah mertua perempuan dan menantu perempuan yang seringkali terjadi gesekan, kalau yang laki-laki biasanya agak acuh, kenapa Pak Paul ?
PG : Karena pada umumnya wanita memang lebih melihat hal yang kecil sehingga yang tidak dilihat oleh pria dilihat oleh wanita. Kedua karena biasanya pekanya perasaan perempuan. Jadi ada hal-hal yang dilakukan oleh menantunya atau oleh mertuanya, yang perempuan itu lebih cepat untuk merasakan sikapnya menyinggung perasaan. Perasaan yang lebih peka menangkap sinyal itu. Yang ketiga saya kira sumbernya adalah karena istri atau mertua perempuan kita orang-orang yang biasa mengurus rumah dan sekarang satu rumah diurus oleh dua kapten, akhirnya serba susah ikut kapten yang mana. Sehingga harus ada kesadaran, kalau ini rumah menantu kita maka kita ikuti saja. Kalau menantu tinggal di rumah kita maka menantu ikuti aturan mertua. Jadi siapa yang punya rumah itulah aturan yang harus kita ikuti.
GS : Makanya ada yang mengatakan kalau kedua orang tua sama-sama menyediakan rumah atau mempersilakan kita masuk ke rumah mereka, lebih baik pria ikut pada mertua yang sana (dari pihak istri) daripada yang istri harus ke pihak suami, itu lebih repot.
PG : Saya kira lebih umum prinsip itu bisa diterapkan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan saat ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Tinggal Seatap Dengan Mertua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56
Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Pada umumnya setiap pasangan nikah bercita-cita untuk mempunyai tempat tinggal sendiri. Namun cita-cita itu tidak selalu terkabulkan. Nah, salah satu alternatif yang kerap dipilih adalah tinggal dengan mertua atau orangtua pasangan. Tidak bisa tidak, tinggal serumah dengan mertua menuntut penyesuaian, yang kadang tidak mudah.
Faktor pertama yang perlu diperhatikan adalah faktor PENYEBAB mengapa kita tinggal serumah dengan mertua, berikut akan dipaparkan beberapa di antaranya:
• Kondisi ekonomi. Ini adalah penyebab paling umum mengapa kita tinggal seatap dengan mertua.
Mungkin kita tidak mampu untuk tinggal mandiri atau mungkin kita berusaha menabung uang untuk membeli tempat tinggal sendiri.
• Kesehatan mertua. Demi menjaga orang tua yang sakit atau mulai memerlukan penjagaan yang lebih intensif, kita memutuskan untuk tinggal seatap dengan mereka.
• Kedekatan emosional. Adakalanya pasangan meminta kita tinggal dengan orang tua karena kedekatannya. Atau sebaliknya, mertualah yang meminta kita tinggal bersamanya karena ia dekat dengan anaknya.
• Kebutuhan khusus. Adakalanya kita memutuskan tinggal serumah dengan mertua karena kita memerlukan bantuan mertua menjaga anak sewaktu kita pergi bekerja. Atau, kadang kita tinggal serumah dengan mertua karena kehadiran orang tua membuat pasangan lebih stabil secara emosional.
Apa pun penyebabnya, hal yang akan menentukan dalam penyesuaian adalah kerelaan kita tinggal bersama mertua.
Faktor kedua yang mesti diperhatikan adalah faktor KECOCOKAN, baik gaya dan kebiasaan hidup maupun kepribadian. Misalkan mertua terbiasa masak dan hampir tidak pernah makan di luar, sedangkan kita terbiasa makan di luar secara berkala, nah, tidak bisa tidak, hal seperti ini memerlukan penyesuaian dari kedua belah pihak.
Selain dari gaya dan kebiasaan hidup, hal lain yang penting diperhatikan adalah perbedaan kepribadian. Ada orang yang terbiasa memperhatikan hal yang kecil dan ada yang tidak. Ada yang mudah marah dan ada yang panjang sabar. Semua ini merupakan faktor yang dapat memengaruhi keharmonisan kita tinggal bersama pula.
Faktor ketiga yang harus diperhatikan adalah DAMPAK PADA RELASI PERNIKAHAN. Adakalanya hidup bersama mertua dapat memberikan dampak buruk terhadap pernikahan. Sudah tentu duduk masalah tidak selalu berada pada mertua. Mungkin saja kitalah yang mempunyai masalah sehingga tidak bisa hidup bersama mertua. Nah, dalam kondisi seperti itu, jika memungkinkan, pindahlah sebab pada akhirnya kita harus memilih menyelamatkan pernikahan kita.
Nasihat Firman Tuhan
Di dalam Roma 15:5 Firman Tuhan berpesan, Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus
sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus. Setidaknya ada dua nasihat yang disampaikan Paulus di sini yang berkaitan dengan cara bagaimanakah kita dapat memelihara kerukunan, sebagaimana tertera di Roma 15:1, Kita yang kuat wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan diri sendiri dan
Roma 15:7, Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita untuk kemuliaan Allah.
Nasihat pertama menjaga kerukunan adalah menerima dan menanggung kelemahan masing-masing. Firman Tuhan menjelaskan bahwa dasar penerimaan adalah kenyataan bahwa Kristus juga telah menerima kita. Yang tidak bisa dikerjakan, kita yang mesti mengerjakan. Yang menjadi kekurangannya, kitalah yang melengkapinya.
Nasihat kedua adalah jangan mencari kesenangan sendiri. Ini berarti kita mesti memikirkan kesenangan mertua dan berusaha melakukannya. Apa yang diharapkannya, kita coba penuhi. Apa yang membuatnya bahagia, kita coba kerjakan. Sebaliknya, apa yang membuatnya tidak suka, janganlah lakukan. Apa yang
berpotensi menimbulkan konflik, janganlah lakukan. Inilah petunjuk Firman Tuhan bagi kita semua untuk menjaga kerukunan.
Relasi yang Tidak Direstui|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T437B|T437B|Suami-Istri|Audio|Tidak semua pernikahan direstui orangtua namun ini tidak berarti pernikahan yang tidak direstui orangtua identik dengan tidak direstui Tuhan. Apa yang harus dilakukan pasangan kepada orangtua setelah pernikahan?|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T437B.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Relasi yang Tidak Direstui Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Ada cukup banyak yang bisa kita dengar akhir-akhir ini tentang istilah kawin lari, jadi mereka memaksa menikah walaupun kedua orangtua mereka bahkan mertua mereka pun tidak setuju. Tetapi karena mereka berkata saling mencintai maka mereka tetap saja menikah. Nah bagi kita orang-orang yang percaya kepada Tuhan ini bagaimana Pak Paul?
PG : Sudah tentu kita harus melihat sebetulnya apa alasan orangtua tidak merestui
hubungan anaknya dengan calon menantunya itu. Sebab adakalanya memang orangtua berada di pihak yang benar, yaitu misalkan orangtua sungguh- sungguh melihat pasangannya ini tidak cocok, berperangai buruk, melakukan hal-hal yang buruk, tidak jujur dan sebagainya. Tapi entah mengapa si anak seperti buta, dia tidak melihat semua itu, sudah tentu orangtua harus dengan tegas memberitahukan kepada si anak, ini masalah-masalah yang sudah terjadi. Adakalanya hubungan itu tidak direstui bukan saja oleh orangtua tetapi oleh Tuhan yaitu dalam kasus orang menikah dengan yang tidak seiman. Jelas-jelas Than sudah meminta kita menikah dengan sesama orang percaya, percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat kita dan Tuhan kita, tapi ada orang yang berkata tidak apa-apa saya menikah dengan yang lain, sebab saya cocok dengan dia. Tetap ini adalah pernikahan yang tidak diperkenan oleh Tuhan, jadi akhirnya orangtua juga bersikap menentang tidak menyetujui pernikahan ini. Jadi dalam hal seperti ini, kita mesti melihat kebenaran siapakah yang memihak pada kebenaran itu. Kita tidak membela orangtua atau si anak sebab yang penting bukanlah apakah orangtua atau si anak tapi yang penting adalah yang manakah berada di pihak yang benar. Jadi kalau misalnya setelah kita tilik masalahnya dan akhirnya kita menarik kesimpulan yang benar adalah si anak. Ada orangtua yang memang tidak realistik, terlalu peka, sehingga tindakan si menantu yang sederhana dan kecil namun disoroti sebagai sesuatu yang bermasalah dan dijadikan alasan. Tidak boleh menikah dengan dia sebab orang ini berniat jahat, mau kurang ajar dan sebagainya. Padahalnya juga tidak, kalau memang itu yang terjadi saya kira si anak harus meminta konsultasi, pendapat dari banyak orang. Jangan mereka berdua langsung memutuskan bahwa yang salah orangtua, mintalah masukan dari anak-anak Tuhan yang lebih matang, yang bisa memberikan pada mereka penilaian, sebetulnya yang berada pada pihak yang benar itu siapa. Biarlah
nasihat-nasihat dari banyak orang ini kita kumpulkan sehingga kita bisa objektif menilai sebetulnya siapa yang berada di pihak yang benar. Nah kalau benar-benar anak-anak Tuhan yang lebih matang, semua berkata, tidak ada yang salah dengan relasi kamu dan memang orangtua di sini yang bersikap terlalu berlebihan saya kira ujung-ujungnya si anak dapat dan boleh melakukan pernikahan itu meskipun orangtuanya tidak merestui.
GS : Berarti apa yang tidak direstui orangtua tidak secara otomatis baha Tuhan tidak merestui pernikahan mereka juga Pak Paul?
PG : Meskipun ada sebagian orangtua yang mau mensejajarkan restu orangtua dengan restu Tuhan. Tidak, sebab orangtua bukanlah Tuhan, orangtua adalah manusia yang kadangkala bisa dipengaruhi oleh hal-hal yang sangat subjektif pada dirinya, itu yang akhirnya menelurkan sikapnya yang membenci si calon menantu itu. Jadi kita tidak samakan restu orangtua dengan restu Tuhan. Yang kita utamakan adalah restu Tuhan, namun kita juga mesti terbuka mendengarkan masukan orangtua sebab mereka sesekali dapat melihat sesuatu dengan jelas hal-hal yang mungkin kita luput melihatnya.
GS : Tetapi biasanya muda-mudi yang sedang jatuh cinta, menanyakan pendapat
orang lain pun dia tidak bisa menyimpulkan secara objektif, ini yang sulit Pak
Paul?
PG : Betul, makanya saya berharap kalau dua orang ini calon suami-istri sudah mendapatkan tantangan dari orangtua, dia harus mencari masukan sebanyak mungkin dari anak-anak Tuhan yang matang, dari orang-orang yang berhikmat, mintalah pendapat mereka, ceritakan semuanya, sejujur mungkin, jangan hanya ceritakan sisi yang baik, tapi ceritakan semuanya. Kenapa orangtuanya bersikap begini, apa yang pernah pasangannya lakukan dan sebagainya bukakan semua itu sehingga akhirnya orang-orang ini bisa melihat dengan lebih jelas dan memberi masukan yang lebih tepat pula.
GS : Dan bagi orangtua juga sulit untuk menyadarkan bahwa sebenarnya dia salah. PG : Sering kali ini menjadi perangkap Pak Gunawan, orangtua sekali berkata tidak,
mereka kesukaran menarik kata-kata itu, karena akhirnya ini menyangkut harga diri. Rasanya mereka harus merendahkan diri kalau mereka berkata oya saya dulu keliru. Belum lama ini saya bertemu dengan seseorang yang sewaktu berpacaran dengan suaminya ditentang mati-matian oleh orangtuanya. Tapi akhirnya mereka bersabar dan akhirnya mendapatkan restu walaupun tidak
100% dari orangtua untuk menikah. Setelah bertahun-tahun menikah dan bertemu dengan saya dia mengatakan orangtua saya itu di dalam pertemuan keluarga berkata dengan jujur bahwa Saya dulu keliru, menilai calon menantu saya ini, ternyata dia tidak seperti yang saya duga dan saya salah. Nah itu indah sekali kalau ada orangtua yang dengan berani mengakui kekeliruannya. Namun kita sering kali dipengaruhi oleh unsur budaya yang seolah-olah berkata kepada kita kalau ada pertentangan di antara yang tua dan yang muda, yang muda harus mengalah. Menurut saya prinsip ini tidak alkitabiah, sebab selalu dalam prinsip Alkitab tidak ada hal-hal seperti itu, gara-gara kita muda maka kita harus mengalah meskipun yang tua itu salah. Siapa yang berada di pihak yang salah itu yang mengalah dan mengakui kesalahannya, siapa berada
di pihak yang benar, dialah yang benar. Jadi dalam hal ini saya kira orangtua juga mesti belajar objektif dan melihat dengan lebih terbuka, tanya pendapat orang. Kadang-kadang orangtua tidak mau tanya pendapat orang lain, malah mencoba mempengaruhi pendapat orang-orang lain untuk mendukung dia dan melawan menantu. Tidak mau terbuka mendengarkan masukan dari orang lain yang berkata, Pa, Ma, tidak apa-apa, tidak seperti yang papa-mama pikirkan. O....tidak mau dia pasti benar. Nah itu memang susah.
GS : Dalam hal ini orangtua pun tidak memberikan kriteria sebenarnya menantu yang bagaimana yang dia kehendaki. Si muda-mudi ini juga kebingungan, pokoknya mereka cocok dan memulai menjalin cinta ternyata orangtuanya tidak setuju, ini yang sulit.
PG : Dan ada orangtua yang tukar kriteria setiap kali anaknya berpasangan, ada
juga yang seperti itu. Jadi si anak berpacaran dengan yang seperti ini berpikir orangtua pasti setuju, orangtua berkata, Tidak, dia begini-begini. Si anak akhirnya berkata ok-lah tidak seperti yang orangtua inginkan. Bersama lagi dengan orang lain, O.........tidak sebab begini-begini. Ada orang yang seperti itu sampai berkali-kali pacaran tapi orangtua senantiasa berkata, Bukan, ini salah, ini banyak kelemahannya begini-begini. Saya kira itu tidak benar. Orangtua mesti mendasari kriteria dari firman Tuhan. Firman Tuhan memberikan kita kriteria hanya dua, yaitu menikahlah dengan sesama orang percaya, itu kriteria yang harus dipenuhi karena itu yang Tuhan kehendaki. Dan yang kedua kriterianya adalah Tuhan menginginkan kita menikah dengan yang sepadan dengan yang cocok, jadi kalau kita melihat mereka sudah seperti kucing dan anjing sejak berpacaran ya orangtua seyogianya memberitahukan anak, Ini tidak cocok, kamu sering kali berkelahi, kami sering kali melihat kalian pulang murung, bukannya pulang bergembira setelah bertemu dengan pacarmu malah murung, malah berantem lagi. Tugas orangtualah memberitahukan, firman Tuhan meminta kamu menikah dengan yang sepadan. Ingatkan dua kriteria itu, kalau ada sifat-sifat jelek coba munculkan sehingga si anak bisa melihat memang seperti inilah pacarnya itu.
GS : Memang sering kali yang terjadi adalah cara mengkomunikasikan, orangtua yang tidak setuju anaknya berpacaran dengan si A atau si B mengkomunikasikan dengan cara yang tidak enak, sehingga muda-mudi ini malah bersikeras, dan sebaliknya juga pasangan muda-mudi ini tidak bisa mengkomunikasikan dengan baik terhadap orangtuanya.
PG : Kadang-kadang orangtua itu sudah termakan oleh rasa takut Pak Gunawan, karena rasa takut itulah maka orangtua itu akhirnya cepat menghakimi, itu saya harus akui. Kita cepat mengaitkan sebuah perbuatan dengan sebuah kesimpulan akan karakternya orang tersebut. Karena dia berbuat ini maka karakternya seperti ini. Maka yang sederhana karena waktu dia ingin pulang, dia lupa permisi (sekali saja dia lupa permisi) si orangtua langsung beranggapan si anak ini tidak sopan kepada orangtua. Anak yang tidak sopan kepada orangtua berarti anak ini memang berniat buruk, hanya mau anaknya tidak mau mempedulikan orangtuanya, orang seperti ini jangan kamu nikahi. Terlalu cepat memberikan kesimpulan, jadi orangtua mesti berhati-hati jangan
terlalu cepat memberikan kesimpulan sebab itu yang akan dilawan oleh si anak. Jadi kalau orangtua menemukan hal yang tidak baik pada calon menantunya, munculkan buktinya setelah itu katakan pada si anak, Biasanya orang yang begini, dia begini, tapi saya tidak tahu apakah pacar kamu seperti itu, kamu lihat saja asal engkau perhatikan. Saya kira sikap itu lebih baik daripada langsung menuding-nuding, pasti anak itu begini.
GS : Ada muda-mudi yang beranggapan, dengan kawin lari nanti suatu saat orangtuanya pasti akan luruh juga dan akan menerima juga, maka mereka bersikeras untuk kawin lari saja.
PG : Sudah tentu awal-awalnya tadi saya sudah singgung kita mesti melihat kenapa orangtua kita tidak menyetujui dan akhirnya kita sadari apakah orangtua kita berada di pihak yang benar atau kita. Kalau dari nasihat-nasihat banyak anak Tuhan yang telah kita dengar mengatakan kita ada di sisi yang benar, silakan langsungkan pernikahan. Menurut saya tidak usah kawin lari. Bagaimana kalau orangtua marah, tidak mau datang dan sebagainya; terpaksa kita terima itu, kita mungkin minta perwakilan dari orang lain yang bisa mendukung kita. Apa yang akan terjadi? Sudah tentu ini akan menyakitkan hati orangtua dan tindakan ini dinilai sebagai tindakan kurang ajar, tidak hormat dan tidak menghargai orangtua, tidak berterima kasih, maka muncul komentar orangtua Ini anak berpuluhan tahun saya kasih makan, baru dikasih makan setahun sama orang ini sudah langsung berbalik melawan kami. Ini yang biasanya menimbulkan rasa sakit hati yang dalam, orangtua merasa dibuang, diangap tidak bernilai, si anak kok lebih mementingkan pasangan, ini yang membuat si orangtua benar-benar terluka. Kami berpuluhan tahun merawat dia, dalam sekejap langsung dibuang, kami tidak penting yang penting adalah si pasangan ini. Jadi yang mau saya sarankan adalah setelah pernikahan penting bagi anak untuk tetap menujukkan hormat dan kasih kepada orangtua, kendati orangtua berusaha menolak. Lihatlah penolakan ini sebagai upaya orangtua untuk menyembuhkan lukanya dan sekaligus balas memukul anak, mereka merasa dilukai mereka memang ingin mengganjar si anak dan ganjarannya adalah penolakan itu jadi biarkan. Namun orangtua perlu melihat si anak itu tetap memelihara hubungan, tetap menegur, menyapanya, menyakan kondisinya dan sebagainya. Biarkanlah sebab orangtua membutuhkan waktu untuk sembuh dan membalas. Selang beberapa waktu setelah kemarahan reda dan mereka sudah cukup puas membalas itu biasanya mereka akan menerima anak kembali kalau memang pada akhirnya mereka melihat bukankah memang anak saya itu menikah dengan orang yang tepat.
GS : Pasangan muda ini memang harus membuktikan, apa yang mereka lakukan itu tidak salah, Pak paul?
PG : Betul, kalau kebalikan yang terjadi memang itu runyam. Sebab kadang-kadang ini terjadi dan saya saksikan, jadi orangtua sudah berkata jangan, tetap bersikeras. Akhirnya setelah menikah, benar-benar pernikahan itu buruk sekali, akibatnya si anak pun tidak berani datang kepada orangtua menceritakan persoalannya sebab dia sudah tahu orangtua akan berkata, Kan dari dulu kami sudah katakan tapi kamu tidak mau dengarkan, nah ini
sekarang akibatnya. Kalau memang benar orangtua dan si anak itu keliru, memang akan menimbulkan masalah. Maka saya dalam pembimbingan Pak Gunawan, senantiasa mengingatkan anak-anak yang mau menikah dalam kasus tidak direstui untuk berjaga-jaga soal ini. Sebab setelah mereka menikah sudah tentu mereka akan menemukan ketidaksempurnaan pada pasangannya. Kalau ketidaksempurnaan ini kebetulan yang sudah disebut- sebut oleh orangtua dan terus dilihat, si anak ini nanti setelah menikah bisa akan bereaksi lebih keras terhadap pasangannya. Meskipun ini ketidaksempurnaan dalam batas kewajaran, tapi karena si anak ingat dulu orangtua saya sudah katakan memang suamimu itu orangnya egois, nah dia melihat benar ada egoisnya, bisa-bisa reaksi si anak terlalu keras memarahi dan mengancam si suami. Dan kalau tidak bijaksana dia katakan, Dari dulu mama-papa saya sudah katakan kamu orangnya egois, ternyata benar. Jadi sering kali memang ini bisa mewarnai relasi nikah, makanya kalau tidak direstui orangtua, perlu benar-benar kesabaran untuk benar-benar menilik apa yang terjadi, kenapa tidak disetujui, jangan cepat-cepat berkata pasti orangtua yang salah dan sebagainya.
GS : Dalam kasus seperti itu biasanya orangtua malah lebih gampang menerima anaknya kembali sehingga rumah tangga itu terancam pecah.
PG : Betul Pak Gunawan, ya karena si orangtua akhirnya berkata ini anak saya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu orangtua menganjurkan anaknya meninggalkan pasangannya. Cepat-cepatlah kamu tinggalkan memang dia orangnya seperti ini, jadi meskipun problemnya belum terlalu parah, orangtua bisa menjadi pemotivasi untuk anak meninggalkan pasangannya.
GS : Memang dalam banyak hal orangtua sering kali yang disalahkan itu malah menantunya bukan anaknya. Itu bagaimana Pak?
PG : Saya kira ini reaksi alamiah, kita mengerti orangtua itu bagaimana pun cenderung membela anaknya, jadi akhirnya menimpakan semua kesalahan kepada menantu. Wah gara-gara dia, anak saya sekarang melawan saya. Dulu dia tidak pernah kurang ajar, dia tidak pernah melawan kami, gara-gara bertemu dengan (dia sebut menantunya) dia menajdi berani, kurang ajar dan sebagainya. Jadi kebencian orangtua yang sebetulnya kemarahan itu tertuju kepada si anak sekarang dikonfersi semua, diubah semua menjadi kemarahan terhadap si menantu. Itu sebabnya kita dapat simpulkan, biasanya kemarahan dan penolakan orangtua terhadap menantu jauh lebih lama dan dalam ketimbang terhadap anak sendiri. Mungkin dalam beberapa lama orangtua bisa kembali baik dengan anak, tapi terhadap menantu tidak. Apa yang harus dilakukan? Sebaiknya menantu tidak agresif menjahit kembali relasi yang telah robek ini, karena sikap yang agresif akan membuat orangtua menjauh dan menimbulkan rasa tidak suka. Sebab mereka akan menuduh tindakan menantu sebagai tindakan mencari muka belaka. Jadi meskipun si menantu baik hati, mau merendahkan diri, jangan berlebihan, seperlunya saja. Sebab mudah sekali nanti dilabelkan mau mencari muka, dan orangtuanya makin benci bukan makin menerima si menantu.
GS : Memang dalam hal ini sering kali yang sulit adalah pada awalnya sebenarnya orangtua merestui hubungan mereka bahkan sampai ke pernikahan mereka merestui. Tapi setelah berjalannya waktu, lalu orangtua menyadari bahwa menantunya ini tidak cocok buat anaknya. Lalu mereka tidak merestui lagi hubungan ini, jadi menantunya dijelek-jelekkan di hadapan anaknya maupun di hadapan orang lain.
PG : Itu sering terjadi Pak Gunawan, apa yang dilakukan oleh mertua? Biarkan, orangtua itu jangan terlalu aktif dan agresif mencampuri urusan anaknya. Kalau si anak yang datang meminta masukan, berilah masukan, tapi kalau tidak jangan orangtua itu terlalu agresif menyerang si menantu dengan mengatakan, aduh kamu kok mau menikah dengan orang yang seperti ini. Lebih baik jangan, lebih baik orangtua bersikap lebih pasif terhadap hal-hal seperti ini, karena kalau tidak ini sering kali memperluas masalah.
GS : Tapi orangtua juga berdalih, saya melindungi anak saya.
PG : Kalau memang masalah pemukulan, pengancaman jiwa, seharusnya orangtua turun tangan melindungi anak dari bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh menantunya. Tapi kalau tidak seperti itu, hanya masalah ketidakcocokkan, cekcok, sebaiknya orangtua jangan ikut-ikutan. Masalah dua orang untuk diselesaikan sudah cukup susah, kalau melibatkan mertua ya tambah susah, jadi sebaiknya jangan ikut campur biarkan anak kita berusaha menyelesaikannya. Kalau meminta bantuan kita, berikan masukan-masukan, tapi biarkan anak kita yang menyelesaikan.
GS : Sering kali yang dipersoalkan misalkan masalah keuangan Pak Paul, jadi karena orangtua khawatir uang atau harta anaknya yang notabene adalah harta bapaknya ini dihabiskan oleh menantunya. Maka dia cepat-cepat turun tangan.
PG : Kalau memang kita melihat perangai si menantu yang buruk, benar-benar buruk kelihatan mau menghabiskan uang mertuanya dan sebagainya, sudah tentu harus bijaksana, untuk orangtua bersikap lebih preventif menjaga jangan sampai nanti memang semua akan dimakan oleh si menantu. Tapi sekali lagi dalam kasus-kasus yang ekstrim seperti itulah orangtua turun tangan lebih aktif, kalau tidak sebaiknya jangan terlalu aktif, nanti ditafsir berbeda dan negatif oleh si menantu.
GS : Kalau seandainya orangtua sudah mengakui bahwa dia salah dan mau
menerima kembali atau merestui hubungan anak dan menantunya itu, bagaimana seharusnya sikap anak dan menantu terhadap orangtua mereka.
PG : Harus memaafkan Pak Gunawan, ini kadang-kadang menjadi masalah sebab si anak akan berkata sakit hati saya sudah terbalas, tidak bisa memaafkan. Berdoalah kepada Tuhan, meminta Tuhan memberikan pengampunan itu. biarkan Tuhan mengisi hatinya dengan pengampunan sehingga dia bisa mengampuni mertuanya yang telah melukai hatinya itu. Kalau misalkan kasusnya kebalikannya yaitu si anak melihat sebetulnya istri saya itu baik tapi orangtuanya tidak mau menerima. Nah misalkan si anak berusaha meyakinkan orangtuanya, saya kira itu juga kurang bijaksana. Sering kali orangtuanya kurang bisa terima kenapa dia dipaksa-paksa harus menerima si menantunya, dan dia memang kurang suka. Jadi menurut saya jangan terlalu menggebu-
gebu membangga-banggakan istrinya atau suaminya, Tidak seperti yang papa-mama pikir, dia begini, begini, nah kuping orangtua makin panas, bukan menerima tapi makin marah terhadap si anak dan kepada si menantu, jadi lebih baik anak juga jangan terlalu agresif menawarkan kebaikan pasangannya kepada orangtua. Biarkan orangtua melihat sendiri, itu kuncinya, bahwa menantunya tidak seperti yang mereka duga ini yang lebih penting.
GS : Memang di pihak menantu terasa akan lebih menyakitkan kalau sejak awal tidak direstui kemudian mereka diterima kembali, itu biasanya terjadi penolakan di pihak menantunya. Walaupun anaknya mau, misalkan orangtuanya berkata, kalau mau datang ke sini, tapi menantu yang tidak mau datang ke rumah mertuanya itu karena sudah diperlakukan seperti itu.
PG : Ini bisa terjadi di kedua belah pihak Pak Gunawan, ada juga calon menantu
yang sebelum menikah karena pernah ditolak, marah dan mengeluarkan kata- kata yang kasar terhadap mertuanya. Nah ini menjadi luka yang dalam, si mertua akhirnya tidak bisa terima dan tidak bisa lupakan perkataan menantunya ini kepada dia. Jadi saya kira baik menantu maupun orangtua, kalau pernah mengalami luka dan sakit hati, dua-dua mesti datang kepada Tuhan, dua-dua mesti meminta Tuhan tolong saya mengampuni. Sebab bukankah ini perintah Tuhan, kalau kita tidak mengampuni orang yang bersalah kepada kita, maka kata Tuhan Yesus Bapa-Ku yang di sorga pun tidak akan mengampuni kamu. Tuhan pengampun dan Tuhan menginginkan kita anak-anak-Nya mempunyai roh pengampun yang sama.
GS : Sifat pendendam itu yang mungkin dihilangkan Pak Paul?
PG : Betul sekali, jadi tidak ada untungnya dan tidak ada kebaikannya memelihara dendam seperti itu. Malahan makin memperkeruh masalah, kenapa tidak bisa mengampuni. Kadang-kadang kita agak bingung melihat hal seperti ini, sebab si orang yang sama ini dengan orang lain lebih bisa mengampuni, terhadap menantunya atau mertuanya tidak bisa mengampuni.
GS : Jadi kita kembali lagi pada apa yang firman Tuhan katakan untuk memperbaiki hubungan seperti ini Pak Paul.
PG : Saya akan kutib Matius 5:44 dan 45, Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah
musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan
demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga... Kita tidak
punya musuh kalau kita mendoakan dia Pak Gunawan, begitu kita mulai
mendoakan musuh kita tiba-tiba orang itu berhenti menjadi musuh kita karena kita tidak bisa menggabungkan keduanya. Jadi langkah pertama adalah siapapun yang merasa dilukai datanglah kepada Tuhan, berdoalah bagi orang yang telah melukai itu, begitu kita mendoakan dia luluhlah kemarahan- kemarahan dan dendam kita.
GS : Tentunya yang dimaksud Tuhan di sini adalah berdoa untuk kebaikan orang itu
Pak Paul, bukan mendoakan untuk kecelakaannya.
PG : Bukan menyumpahi tapi berdoa agar memang Tuhan menolong, memberkati orang tersebut dan memperbaiki relasi kita berdua.
GS : Terima kasih seklai Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti
perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Relasi yang tidak Direstui, bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran- saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Tidak semua pernikahan direstui orangtua namun ini tidak berarti pernikahan yang tidak direstui orangtua identik dengan tidak direstui Tuhan. Adakalanya orangtua tidak merestui pernikahan anak karena alasan yang salah dan jika ini yang terjadi, setelah berdoa dan meminta banyak nasihat dari anak-anak Tuhan yang dewasa, pasangan bebas untuk melangsungkan pernikahannya. Pertanyaannya, apakah yang harus dilakukan pasangan kepada orangtua setelah pernikahan? Berikut ini ada beberapa masukan.
• Apa pun alasannya, keputusan anak untuk tetap menikah tanpa restu akan menyakitkan hati orangtua. Tindakan itu dinilai sebagai tindakan kurang ajar (tidak hormat) dan tidak menghargai orangtua (tidak berterima kasih). Orangtua merasa dibuang dan dianggap tidak bernilai sebab anak lebih mementingkan pasangannya. Setelah pernikahan, penting bagi anak untuk tetap menunjukkan kasih dan hormat kepada orangtua, kendati orangtua berusaha menolak. Lihatlah penolakan ini sebagai upaya orangtua untuk menyembuhkan lukanya dan sekaligus balas memukul anak. Biarkanlah sebab mereka membutuhkan waktu untuk sembuh dan membalas. Selang beberapa waktu setelah kemarahan reda dan mereka merasa cukup puas membalas, biasanya mereka akan menerima anak kembali.
• Pada umumnya orangtua akan menimpakan semua kesalahan kepada menantu, seolah-olah gara-gara dialah anak melawan orangtua. Jadi, dapat diduga kemarahan dan penolakan orangtua terhadap menantu akan bertahan jauh lebih lama dan dalam ketimbang terhadap anak sendiri. Sebaiknya menantu tidak agresif mencoba menjahit kembali relasi yang telah robek ini. Sikap yang agresif akan membuat orangtua menjauh dan menimbulkan rasa tidak suka sebab mereka akan menuduh tindakan menantu sebagai tindakan mencari muka belaka. Sebaliknya, jangan mendiamkan mertua sama sekali, tetap kirimkan kartu ucapan selamat dan foto keluarga kepada mertua. Mendiamkan orangtua akan membuatnya merasa tidak dihormati. Biarkan orangtua menilai siapa diri kita lewat anaknya sendiri, artinya mereka melihat betapa bahagianya anak menikah dengan menantu yang baik. Dengan kata lain, orangtua melihat kebaikan menantu lewat anaknya sendiri.
• Berdoa dan terus mengasihi mereka. Tuhan Yesus berkata, Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu, karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga. (Matius 5:44-45)
Berbicara dengan Anak Remaja Kita|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T438A|T438A|Remaja/Pemuda|Audio|Anak remaja cenderung menyempitkan lingkungan mereka karena ini merupakan pembentukan jati dirinya. Dan dalam hal ini orangtua harus benar-benar dapat memahami dan mengerti bagaimana orangtua harus bersikap dan berperan dengan tepat.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T438A.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling dan juga seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang masalah bagaimana Berbicara dengan Anak Remaja Kita atau para remaja kita. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
(1) GS : Pak Paul Gunadi, sebagai ayah dari 2 orang anak remaja saya merasa/menyadari sebenarnya ada suatu perubahan besar yang terjadi di dalam anak-anak saya dalam pola mereka makan, dalam pola mereka itu berpakaian dan sebagainya. Tetapi yang saya rasa sulit sekali itu adalah masalah berkomunikasi, berbicara dengan mereka itu Pak Paul, saya merasa tidak seperti dulu lagi. Dulu waktu masih anak-anak saya ngomong bisa didengarkan dengan baik dan sebagainya, tanpa memberikan alasan-alasan atau bahkan meninggalkan, nah ini yang terjadi bisa seperti itu. Kadang-kadang dia tetap duduk di depan seolah-olah mendengarkan, tapi saya juga yakin bahwa dia tidak sedang mendengarkan saya berbicara, jadi apakah memang ada pola perubahan di dalam gaya atau pengertian mereka berkomunikasi sejak mereka memasuki usia remaja Pak Paul?
PG : Ada Pak Gunawan, jadi anak-anak remaja cenderung memang berdiam diri lebih banyak di hadapan orangtua dibandingkan pada masa kecilnya. Karena apa? Karena pada masa remaja anak-anak mulai melihat tempat dia, bahwa tempat dia adalah di dalam lingkungan remaja. Anak kecil masih belum mempunyai perasaan tempat itu, jadi anak kecil diajak ngomong oleh orang dewasa, ya dia jawab, diajak ngomong oleh êmpek- êmpek, kakek-kakek dia jawab, diajak main oleh tante-tante umur 50 dia juga main tapi begitu anak-anak remaja diajak main oleh tante-tante umur 50 dia tidak main lagi, malu dia. Diajak pergi oleh orang tuanya, dia juga enggan, jadi perasaan tempat saya itu di sini mulai muncul pada masa remaja.
GS : Jadi kesadaran akan identitasnya itu mulai timbul.
PG : Betul mulai terbentuk di situ, akibatnya memang dia itu akan merasa lebih nyaman bicara dengan yang sebaya, bahkan yang lebih sempit lagi adalah anak-anak remaja karena dalam proses ini dia memang sedang membentuk jati dirinya, dia akan lebih diam dengan orang yang dianggapnya tidak sama dengan dia. Tidak sama bukan saja menyangkut masalah usia, kadang kala juga ini berkaitan dengan cara hidup, misalnya anak remaja yang baik, yang alim disuruh main dengan anak-anak yang lebih
badung/lebih nakal misalnya tidak mau. Kebalikannya anak-anak yang merasa dirinya itu badung/dianggap anak nakal di sekolah, disuruh main dengan anak-anak yang lain yang alim, tidak mau. Jadi sering kali anak remaja itu akan menyempitkan lingkup mereka dan memang itu adalah gejala yang wajar. Karena pada tahap inilah mereka membentuk jati diri itu dan jati diri dibentuk secara spesifik bahwa saya ini termasuk anak baik/anak nakal, saya termasuk orang yang suka ngebut naik motor atau naik motornya perlahan- lahan, saya anak yang merokok atau saya anak yang tidak merokok, saya anak yang
berani terhadap otoritas sekolah, saya anak yang tidak berani, itu adalah sebetulnya guntingan-guntingan untuk akhirnya mencetak siapa dia itu. Maka orangtua merasa kesulitan berkomunikasi dengan anak remaja karena orangtua itu benar-benar tiba-tiba menjadi orang lain bagi si anak remaja.
(2) IR : Nah bagaimana menyikapi anak yang seperti itu, Pak Paul?
PG : Nomor satu kita mesti menerima Bu Ida, bahwa inilah proses dia menjadi seorang dewasa. Bahwa dia ini bukannya sedang melenceng pergi dan akan menjadi seperti penduduk planet Mars gara-gara dia bersikap seperti ini, tidak! Semua yang dilakukannya ini merupakan bagian proses pendewasaan dia dan memang harus dilangkahi semuanya ini. Nah yang paling penting adalah kita memantaunya, jadi peranan kita yang paling-paling krusial saya kira adalah bagaimana bisa melihat dia dengan jelas. Ke mana dia pergi, dengan siapa dia pergi dan apa yang dia terima dari
lingkungannya, setelah itu baru kita juga pantau apa yang dia lakukan kepada orang lain, nah hal-hal itu perlu kita pantau dengan teliti sekali. Kalau kita melihat memang dia mulai bergaul dengan orang-orang yang tidak benar, nah kita mesti memberikan batas meskipun dilawan olehnya. Nah jadi adakalanya masa remaja memang masa pertempuran antara orangtua dan anak, karena anak tidak akan dengan mudah tunduk. Di sini memang anak-anak mulai membentuk juga kehendak diri, pilihan. Manusia adalah manusia yang memang memiliki pilihan dan anak remaja saat-saat ini mulai menyadari dia punya pilihan dalam pengertian dia tidak harus tunduk kepada orangtuanya. Waktu masih kecil anak- anak tidak mempunyai pilihan untuk melawan, sebab dia melawanpun orangtua bisa angkat dia dan langsung memaksakan kehendak orangtua padanya. Waktu anak remaja dia baru sadar o.....saya punya pilihan melawan, begitu Ibu Ida.
GS : Tapi kalau tadi Pak Paul katakan kita memantau kegiatan anak-anak, dan mereka tahu bahwa kita memantau 'kan mereka merasa dimata-matai terus. Apakah tidak menimbulkan kesenjangan antara kita dan anak-anak remaja kita itu?
PG : OK! Bagus sekali Pak Gunawan, yang saya maksud dengan memantau adalah bukan secara aktif memata-matai, bukan secara aktif dan terus-menerus dengan sering kali menanyakan dengan siapa engkau pergi? Di mana? Apa saja yang kamu lakukan? Nah anak-anak pasti akan akhirnya terlatih memberikan jawaban klise alias bohong, supaya mereka lepas, dan orangtuanya senang. Jadi yang perlu kita lakukan adalah sebisanya membuka pintu rumah, jangan setiap hari, kita juga pusing tapi ijinkan anak-anak membawa teman-teman ke rumah. Ada orangtua yang tidak suka anak-anak main-main di rumah, justru yang paling penting adalah pada usia remaja kita menyadari atau mengetahui jelas dengan siapa dia berteman. Nah waktu anak-anak di rumah sebetulnya kita bisa tahu banyak hal, sebab kita bisa melihat cara mereka menyapa kita (yang saya maksud teman-temannya itu) cara mereka makan, cara mereka bercakap-cakap dengan kita, kita bisa ajak mereka bicara juga, ngobrol-ngobrol dengan mereka. Dan kadang- kadang kita bisa sedikit banyak nguping/mendengar, kita tidak usah taruh kuping kita di pintu kamarnya tapi kadang-kadang dari percakapan mereka di pelataran rumah dan sebagainya kita mulai bisa mendengar apa yang mereka percakapkan. Nah informasi inilah yang saya maksud dengan pantauan itu Pak Gunawan.
GS : Ya jadi kalau sebatas itu memang mungkin mereka bisa menerima Pak Paul. Tapi masalah
berbicara dengan anak-anak sering kali mereka merasa pembicaraan itu tidak menarik buat mereka, misalnya tentang masa depan, tentang mesti giat belajar dan sebagainya
nah itu sangat berpengaruh dengan komunikasi-komunikasi yang selanjutnya, begitu Pak
Paul.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, karena komunikasi itu sangat bergantung pada pengalaman hidup, semakin banyak kesamaan antara pengalaman si pihak yang satu dengan pihak
yang satunya makin lebih memudahkan terjadinya komunikasi. Kalau pengalaman hidup sangat berbeda berarti tidak ada lagi yang bisa dipercakapkan, hilanglah titik kesamaan itu. Nah orangtua di sini yang memang harus proaktif untuk mencari titik kesamaan ini, anak remaja kalau dipaksa untuk memahami pikiran kita dan dia yang disuruh harus berubah supaya sama dengan kita dia kehilangan hal yang paling penting yaitu dia kehilangan kesempatan membentuk jati dirinya. Yang memang seperti tadi saya singgung harus melalui tahapan tadi Pak Gunawan, jadi kitalah yang seharusnya terjun ke dalam dunia dia. Hal-hal kecil yang bisa kita lakukan yang sebetulnya tidak terlalu susah Pak Gunawan misalkan sekarang anak saya sudah menginjak remaja, dia mendengarkan kaset-kaset yang juga modern dan saya belikan. Nah saya belikan tapi waktu beli mendengarkan sama-sama dengan dia, saya berikan juga ini bagus, ini tidak bagus, nah bagi saya bagus tidak bagusnya terus-terang bukan dari kata-kata atau liriknya karena saya kira anak-anak juga tidak begitu perhatikan lirik saat-saat ini. Kecuali mereka itu memang berbahasa Inggris terus-menerus baru perhatikan liriknya kalau tidak, anak-anak remaja itu biasanya mendengarkan musik atau memilih musik karena lagunya atau nadanya. Nah waktu saya mendengar lagu-lagu misalnya seperti saya juga sering dengarkan juga misalnya New Kids on the Block, Michael Learns to Rock, nah bagi saya misalnya Michael Learns to Rock saya cukup senang, meskipun itu bukan lagi selera musik saya, tapi saya senang sebab saya melihat musik ini bagus, dinyanyikan dengan 3, 4 suara secara harmonis waktu saya melihat di video clipnya di televisi juga cukup sopan. Nah jadi waktu anak-anak saya ingin membeli saya ijinkan dan saya tawarkan bagaimana kalau membeli Michael Learns to Rock atau misalnya yang sekarang dia suka dengarkan adalah Barbie Doll ya tidak apa-apa. Waktu dia mendengar kita juga dengar, sehingga dia tahu ada yang sama antara dia dengan kita.
GS : Itu memudahkan kita berkomunikasi, jadi mau tidak mau harus belajar dengan apa yang mereka sukai artinya berbicara dalam bahasa mereka.
PG : Betul Pak Gunaawan.
GS : Dan itu memang membutuhkan pengorbanan kita sebagai orangtua untuk bisa berbicara dengan mereka dalam bahasa mereka, dan dengan gaya mereka Pak Paul. Kita 'kan lebih condong untuk gengsi Pak Paul supaya mereka itu mendengarkan kita. Tapi memang ada beberapa remaja itu yang senang ngomong, jadi gampang sekali dia ngomong tapi ada
juga remaja yang sulit untuk berkomunikasi, juga dengan temannya pun kadang-kadang sulit berkomunikasi, dasarnya memang pendiam. Bagaimana menghadapi kalau berbeda seperti itu, Pak?
PG : Dalam prinsip komunikasi, salah satu prinsip yang penting adalah bukan berapa banyak kata yang diucapkan tapi berapa terbukanya si pembicara itu. Jadi keterbukaan melebihi berapa banyak kata-kata yang diucapkan. Nah bagi anak yang memang dasarnya pendiam, yang kita mau arahkan adalah atau yang kita mau cari adalah keterbukaannya. Kalau anak itu terbuka, kalau kita tanya dia jawab jujur, bagi saya itu sudah penting. Sebab ada anak-anak yang begini, cerita dengan mamanya atau papanya, ngomong banyak, tapi dia juga melakukan hal-hal lain yang dia tidak pernah cerita kepada orangtuanya. Jadi dia hanya cerita hal-hal yang ingin dia ceritakan saja tapi di
samping itu dia melakukan hal-hal yang tersembunyi dari mata orangtua, itu lebih berbahaya.
GS : Jadi orangtua itu terkelabui oleh banyaknya kata-kata yang diucapkan oleh remaja itu tadi.
PG : Betul, dan mungkin orangtua merasa sangat senang anak-anak sering cerita dengan saya, baik dengan saya, terbuka dengan saya padahalnya banyak hal lain yang dia tidak ketahui.
GS : Yang ditutupi jauh lebih banyak mungkin. PG : Betul.
IR : Nah anak-anak itu cenderung bebas dalam bergaul seperti tadi yang dikatakan Pak Paul bahwa anak-anak itu sebaiknya terbuka. Tapi kenyataannya anak-anak itu sering di dalam pergaulan dengan teman-temannya itu seolah-olah orangtua itu tidak perlu tahu bahkan kalau sudah cocok dengan teman, sekalipun teman itu tidak baik, si orangtua tidak bisa mencegah untuk tidak bergaul dengan anak itu, dia itu begitu fanatik dengan temannya, nah begitu itu bagaimana Pak Paul?
PG : OK! Memang sangat sulit mengharapkan anak remaja itu jujur, terbuka sepenuhnya
kepada kita, sulit sekali. Karena ada kecenderungan anak remaja akan melakukan hal yang dilarang oleh kita, jadi salah satu ciri remaja adalah bereksperimen pasif, mencoba hal-hal yang baru. Sebab apa, anak remaja itu sebetulnya ingin tahu berapa jauh saya bisa melangkah, berapa jauh saya melakukan hal yang dilarang oleh orangtua
saya, begitu. Jadi dia akan melakukan atau cenderung melakukan hal-hal yang dia tahu tidak diijinkan oleh orangtuanya, maka hal bohong menjadi hal yang cukup sering terjadi pada anak-anak remaja. Tujuannya adalah untuk membuat orangtua itu tetap mengijinkan dia keluar karena kalau dia jujur dia tidak bisa lagi mendapatkan yang dia inginkan itu. Nah jadi kita mesti sadari anak-anak remaja akan cenderung menutupi yang kita sebetulnya larang tapi dia akan tetap lakukan. Nah kembali lagi pada yang tadi Ibu tanyakan bagaimana kita menyikapi kalau misalnya anak kita ini berteman dengan orang yang keliru, kita sadari ini keliru tapi dia tetap ngotot mau main dengan anak itu. Nah saya kalau sudah mencoba bicara dan dia melawan, OK! Saya tahu dia memang tidak mau dengar, selanjutnya yang saya akan lakukan adalah saya tidak akan sebut nama orang itu lagi, sebisanya saya akan justru lebih menyodorkan kepada dia karakteristik orang yang baik, teman yang baik atau karakteristik manusia yang berkenan kepada Tuhan dan sebagainya, itu yang menjadi tekanan utama saya. Sebab kalau saya sodorkan atau saya sebut-sebut nama temannya itu dia akan bereaksi membela diri dan malah menyalahkan kita. Jadi saya akan hindarkan menyebut-nyebut nama temannya itu tapi lebih berbicara tentang karakteristik teman yang baik, orang yang benar dan sebagainya dengan harapan melalui semua itu si anak perlahan-lahan mulai sadar bahwa temannya itu tidak baik. Namun kalau kita tahu bahwa anak kita sedang berteman dengan orang yang sangat tidak baik, sangat berbahaya saya akan ambil tindakan yang lebih tegas, saya akan melarang dia keluar, saya akan pantau dia baik-baik supaya dia jangan bermain lagi dengan orang tersebut. Jadi kita memang harus menilai berapa seriusnya keburukan tersebut.
GS : Ya hal itu berarti bahwa kita itu sebagai orangtua kadang-kadang harus berbicara
secara tegas kepada anak remaja kita seperti yang tadi Pak Paul katakan, tapi ada saat- saat tertentu di mana kita itu bisa lebih rileks, lebih santai berbicara dengan mereka dalam bentuk-bentuk yang mungkin tidak terlalu formal.
PG : Misalnya dengan teman yang tidak baik tersebut, kita bisa mulai mencari titik temu yaitu kita mulai dengan menanyakan apa yang baik tentang teman tersebut. Sebab ada yang dia sukai dari teman tersebut, nah, kita mulai dari situ. Titik pijaknya kalau sudah mulai terbentuk kita bisa mulai menjalin komunikasi, kita misalnya bisa berkata o....dia itu orangnya setia kawan ya, itu sebabnya kamu senang berteman dengan dia misalnya anak kita bilang Ya, sebab saya percuma berteman dengan si A, si B yang di luarnya baik tapi padahalnya orangnya tidak setia kawan, tidak membela saya waktu saya ada masalah di sekolah dengan teman saya yang lain mereka diam-diam saja, justru teman saya yang ini yang membela saya. Nah hal-hal itu kita komentari, kita bisa beritahu dia Ya, dia anaknya baik ya, dia itu bisa membela kamu seperti itu, nah kalau bisa kalau memungkinkan memang kita ajak orang itu ke rumah kita, ajak ngomong, ajak bicara- bicara dengan kita supaya kita juga bisa komunikasi langsung dengan dia, lebih mengenal teman anak kita. Nah perlahan-lahan kalau anak itu sudah sadar bahwa kita di pihak dia mungkin dia akan lebih terbuka melihat dengan jelas temannya itu, sisi negatif dan sisi positifnya. Sebab tidak ada persahabatan yang murni 100% menyenangkan hati anak atau hati kita tidak ada. Mungkin hari ini tidak, tapi mungkin minggu depan akan muncul hal-hal yang si anak tidak sukai tentang temannya itu, nah di situ baru kita bisa mengajarkan dia karakteristik teman yang baik atau orang yang berkenan kepada Tuhan. Misalnya teman kita itu membohongi orang lain, meskipun dia tidak membohongi kita, nah kita bisa beritahu dia bahwa berbohong kepada orang lain tidak diperkenankan oleh Tuhan, maksudnya begitu.
GS : Bagaimana Pak Paul dengan remaja pria dan remaja wanita, apakah ada perbedaan di dalam mereka mendekati kita sebagai orang tua, artinya yang saya tanyakan itu apakah memang kalau remaja pria itu lebih gampang bicara dengan ayahnya atau sebaliknya ada pengaruhnya atau tidak Pak Paul?
PG : Sebetulnya tidak ada pengaruhnya, pada usia remaja sebetulnya anak-anak itu memberikan kesempatan yang sama kepada orang tua untuk mengenalnya. Sebab pada masa-masa remaja, anak-anak itu biasanya pulang sekolah sudah jam 03.00 sekarang ini. Jam 03.00 mungkin dia les atau apa, jam 04.00, jam 05.00 jadi sebetulnya anak-anak remaja baru bersama-sama orang tua pada malam hari setelah PR selesai dan sebagainya. Nah justru pada usia remaja, suami dan istri sudah memiliki kesempatan yang sama sebetulnya, nah siapa yang bisa lebih dianggap dekat oleh anak adalah dia yang mencoba mengerti si anak dengan lebih baik. Kalau si anak merasa berbicara dengan papa kena/nyambung dia akan berbicara dengan Papanya. Kalau berbicara dengan papa justru dimarahi, dikoreksi, dipersalahkan, dia tidak berbicara lagi dengan Papanya. Kalau dia berbicara dengan Mamanya justru diterima, diberikan nasihat yang baik, dia akan berbicara lagi, begitu.
GS : Dan itu kalau tidak didapatkan dari kedua orangtuanya dia akan lari ke temannya begitu
Pak Paul?
PG : Ke temannya betul, bahkan didengarkan pun oleh orangtua tetap akan berbicara dengan teman juga. Jadi kita mesti menyadari kebanyakan anak-anak remaja akan lebih percaya pada temannya dibanding dengan kita.
GS : Tapi dengan dia berbicara dengan temannya kalau masih memakai telepon misalnya kita bisa agak mengerti apa yang dia bicarakan. Tapi kalau dia sudah mulai keluar rumah Pak Paul, jadi untuk bisa berbicara dengan temannya itu dia memerlukan keluar rumah, dia
cuma bilang kepada kita Pa mau pergi ke sana, Pa mau pergi ke sana itu habis waktu kita Pak Paul.
PG : Saya akan sarankan agar kita menetapkan hukum atau aturan dalam rumah tangga kita, misalkan hari-hari biasa kita larang anak kita keluar, pokoknya pulang sekolah pulang ke rumah sebab tugasmu adalah belajar. Nah akhir pekan, Sabtu dan Minggu baru kita ijinkan dia keluar, ada jam-jam tertentu dia boleh keluar.
GS : Itu dalam rangka mendisiplin tapi juga di dalam kita punya kesempatan lebih banyak Pak
Paul untuk berkomunikasi dengan anak-anak remaja ini.
PG : Dan saya pikir komunikasi dengan remaja lebih tepat secara informal dibandingkan formal. Ada orang yang berkata begini, ya saya akan ajak anak saya makan, saya khawatir si orang tua merasa senang seolah-olah telah melakukan tanggung jawabnya bersama-sama dengan keluarga makan, namun tujuan akhirnya tidak tercapai. Jadi
informal yang saya maksud adalah dengan ngobrol-ngobrol, ketok pintu anak kita, masuk ke kamarnya ngobrol-ngobrol, cerita-cerita sedikit. Contoh yang gampang adalah misalkan kita melihat anak kita sendu, sedih, nah kita hampiri dia kita tanya: Kok engkau nampaknya sendu hari ini, ada yang membuat kau sedih? Nah perhatian kecil seperti itu membawa anak akhirnya sadar bahwa dia diperhatikan. Nah mungkin hari ini kita tanya dia, dia tidak menjawab, tapi mungkin minggu depan waktu dia sangat tertekan dan kita tanya, dia menjawab begitu.
GS : Apakah hal itu berarti juga bahwa kita itu boleh membicarakan apa saja dengan anak remaja kita sebagai topik pembicaraan itu, Pak Paul?
PG : Apa saja dalam pengertian hal yang memang relevan untuk kehidupan dia, selama itu
relevan dan bisa membantu dia kita ceritakan. Salah satu asset ya, harta kekayaan yang bisa kita bagikan kepada dia adalah pengalaman hidup kita. Kalau kita membagikannya dengan cara yang bisa dia terima, sangat bermanfaat, yang tidak bisa dia terima adalah kalau kita membagikannya seperti seorang guru. Saya dulu waktu masih muda harus kerja keras makanya kamu juga harus kerja keras, itu tidak akan didengar oleh si anak. Tapi misalkan kita menceritakan kegagalan kita Saya dulu juga pernah patah
hati, dia akan kaget O....Mama pernah patah hati? Sebab dia tidak menyangka mamanya itu juga sama seperti dia dulu. Jadi kalau Mamanya dulu berkata: Mama dari dulu hati-hati pilih teman, Mama tidak mau pria yang seperti begini, seperti begini, seperti begini, nah si anak justru tidak bisa dekat dengan si Mama, nah itu boleh disambung, itu boleh diberitahukan kepada si Mama. Tapi bukan berarti melulu itu saja yang diberitahu.
IR : Tapi biasanya Pak Paul, anak-anak itu berkomunikasi kalau dengan ibu, sekali waktu mereka itu bisa terbuka sekali. Nah bagaimana kita itu bisa memberikan masukan kepada para Papa, seorang ayah untuk bisa berkomunikasi dengan lebih dekat pada anak ya Pak Paul?
PG : OK! Saya anjurkan begini, kalau Papa itu cenderungnya memang berorientasi pada
program aktifitas. Ajak anak untuk pergi berdua, misalkan ajak kencan, misalnya waktu itu saya ajak anak saya yang paling besar untuk saya bilang kencan. Kami berdua pergi makan es, ngobrol-ngobrol, terus setelah pulang saya bilang saya tadi berkencan denganmu saya bilang, sebab saya ingin mengajarkan kamu berkencan itu seperti apa.
Dan supaya nanti lain kali waktu kamu berkencan dengan teman kamu, kamu tahu itulah yang kamu lakukan. Jadi saya pikir itu bisa dilakukan, ajak anak itu pergi berdua misalkan anak perempuan dengan si ayah bisa atau anak laki dengan si ayah juga tidak
apa-apa pergi berdua, terus di sana bisa ngobrol-ngobrol, tukar pikiran tentang film yang ditonton misalnya. Bagaimana menurut pandanganmu, ajak dia ngomong nah anak- anak biasanya apalagi anak laki kalau ditanya tentang hal-hal pribadi dia tidak mau ngomong, akhirnya ya film itu menjadi jembatan, bahan percakapan nah itu bisa juga menolong ayah akhirnya dekat dengan si anak begitu. Dan si anak pun belajar mengenal si ayah, karena mungkin di rumah dia dimarahi, ditegur dia tidak begitu kenal si ayah siapa, tapi waktu dia bicara tentang film yang ditontonnya itu o....dia sadar ayahnya itu pikirannya luas dan sebagainya.
(3) GS : Ya memang salah satu topik yang agak sulit dibicarakan dengan remaja itu justru masalah-masalah seks Pak Paul, yang bersifat pribadi tadi. Jadi kami mengatasinya dengan cara seperti apa Pak Paul?
PG : Kalau seks, saya punya prinsip ya kita ini secara proaktif memberitahu dia, sebab kalau kita menunggu dia bertanya pada usia remaja tidak bakalan terjadi. Anak hanya bertanya tentang seks pada masa dia kecil, setelah itu dia stop bertanya, sudah remaja kita yang mesti beritahu dia.
GS : Jadi mungkin itu satu topik menarik yang lain kali atau lain kesempatan kita bisa coba
akan angkat di dalam perbincangan kita bagaimana berbicara masalah seks dengan anak-anak remaja kita.
PG : Baik topik yang penting sekali Pak Gunawan.
GS : Jadi para pendengar sekalian, demikianlah tadi telah kami persembahkan sebuah
perbincangan seputar masalah keluarga khususnya masalah berbicara dengan para remaja kita. Anda tadi telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga) dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58
Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Ada kecenderungan di dalam diri remaja lebih banyak berdiam diri di hadapan orangtua dibandingkan pada masa kecilnya.
1. Karena pada masa remaja anak-anak mulai melihat tempat dia, bahwa dia adalah di dalam lingkungan remaja, kesadaran akan identitasnya mulai terbentuk. Sehingga dia akan lebih nyaman kalau dia bicara dengan sebaya.
2. Dalam proses ini anak remaja sedang membentuk jati dirinya, dia akan lebih diam dengan orang yang dianggapnya tidak sama dengan dia. Tidak sama di sini bukan saja menyangkut masalah usia, kadangkala juga berkaitan dengan cara hidup. Misalnya anak remaja yang baik, yang alim disuruh main dengan anak-anak yang lebih badung, lebih nakal misalnya dia tidak mau, begitu juga kebalikannya anak-anak yang merasa dirinya itu badung, dianggap anak nakal di sekolah, disuruh main dengan anak-anak yang lain yang alim tidak mau. Jadi sering kali anak remaja itu akan menyempitkan lingkup mereka dan memang itu adalah gejala yang wajar.
Sikap kita sebagai orangtua dalam menghadapi remaja adalah:
1. Menerima, menerima bahwa inilah proses dia menjadi seorang dewasa. Semua yang dilakukannya ini merupakan bagian dari pendewasaan dia dan memang harus dilaluinya.
2. Memantaunya, jadi peranan kita yang paling-paling krusial adalah bagaimana kita bisa melihat dengan jelas di mana dia pergi, dengan siapa dia pergi, apa yang dia terima dari lingkungannya. Kita juga pantau apa yang dia lakukan kepada orang lain. Kalau kita memang melihat dia mulai bergaul dengan orang-orang yang tidak benar kita mesti memberikan batas meskipun dilawan olehnya. Memantau di sini dalam artian bukan secara aktif memata-matai, namun yang perlu kita lakukan adalah sebisanya membuka pintu rumah, izinkan anak-anak membawa teman-teman ke rumah.
3. Komunikasi, di sini orang tua yang harus proaktif untuk mencari titik kesamaan dengan remaja tersebut, jadi kitalah yang seharusnya terjun ke dalam dunia dia. Salah satu prinsip yang penting dalam berkomunikasi bukan berapa banyak kata yang diucapkan tapi berapa terbukanya si pembicara itu. Jadi keterbukaan melebihi berapa banyak kata-kata yang diucapkan.
Berkomunikasi dengan remaja lebih tepat secara informal dibandingkan formal. Informal maksudnya adalah dengan ngobrol-ngobrol, cerita-cerita sedikit dan sebagainya. Misalnya kita lihat anak kita sendu, sedih, kita hampiri dia dan kita tanya: Engkau nampak sendu hari ini, ada yang membuat kau sedih? Nah perhatian kecil seperti itu membuat anak akhirnya sadar bahwa dia diperhatikan.
Kita bisa membicarakan hal yang relevan untuk kehidupan dia, selama itu relevan dan bisa membantu dia kita ceritakan. Salah satu aset atau harta kekayaan yang bisa kita bagikan kepada dia adalah pengalaman hidup kita. kalau kita bisa bagikan dengan cara yang dia bisa terima akan sangat bermanfaat. Dan yang tidak bisa dia terima adalah apabila kita membagikannya seperti seorang guru.