Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tidak Lagi Menyatu". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam pernikahan kita memang berharap bisa tetap menyatu dengan pasangan kita, dalam kebersamaan tapi faktanya makin lama seseorang menikah, tidak makin akrab tapi ada hal-hal yang membuat pasangan itu makin menjauh. Apakah memang seperti itu Pak Paul?
PG : Memang seperti itu Pak Gunawan. Karena apa ? Karena pada umumnya sebelum kita menikah, kita hidup dalam sebuah lingkup yang sama, kita membagi kehidupan ini. Misalnya terlibat di dalam perekutuan yang sama, gereja yang sama dan sebagainya kemudian akhirnya kita menikah dan setelah menikah, ada kecendrungan aktifitas-aktifitas yang kita lakukan mulailah berbeda dan yang ingin saya tekankan di sini adalah kadang-kadang kita berpikir, kenapa bisa seperti ini ? Kenapa bisa tidak cocok ? Kenapa bisa bertengkar ? Sebetulnya pertengkaran atau konflik-konflik yang terjadi tumbuh dari hal-hal yang lebih sederhana, Pak Gunawan.
Apa yang lebih sederhana ? Yaitu hidup kita makin hari makin terpaut karena kita tidak lagi membagi aktifitas atau kegiatan yang sama. Begitu kita mulai berlainan melakukan aktifitas dan sebagainya, maka bukan saja cara pikir kita akan berubah dan sebagainya tapi kedekatan itu tidak bisa tidak akan makin juga tererosi.
GS : Memang ini sesuatu yang tidak baik untuk suatu pernikahan dan bagaimana cara menanggulanginya ?
PG : Tidak bisa tidak, Pak Gunawan. Kita memang harus secara terencana memaksakan diri untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama. Kita tidak boleh beranggapan dengan saya begini-begini saja emua itu akan beres, tidak! Inilah yang membuat, kenapa yang tadinya begitu akrab, intim, sekarang rasanya jauh satu sama lain.
Kita mesti menyadari bahwa kedekatan kita dibangun di atas aktifitas bersama, semakin sedikit aktifitas bersama yang kita lakukan maka semakin besar kemungkinan kita akan jauh antara satu sama lain. Maka kita harus menggunakan cara yang paling alamiah dan cara yang paling alamiah adalah terus-menerus memaksakan diri merencanakan untuk melakukan hal-hal tertentu bersama-sama. Contohnya saya dengan istri saya, waktu anak-anak masih kecil kadang-kadang kami bersepeda, main bersama-sama atau waktu mereka sudah mulai besar saya dan istri saya berjalan kaki pagi-pagi atau kadang-kadang kami pergi fitness bersama-sama, berenang dan sebagainya, bahkan secara teratur seminggu sekali, benar-benar harus ada upaya yang terencana untuk kita berdua lakukan bersama.
GS : Memang seringkali yang dijadikan alasan adalah kalau sudah berumah tangga apalagi kalau tidak mempunyai pembantu. Ada kesibukan yang tidak ada habisnya untuk dikerjakan, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi kadang-kadang saya juga mendapatkan keluhan, dan keluhan ini memang dari dua arah, Pak Gunawan. Kadang saya mendapatkan keluhan dari istri, "Suami saya itu benar-benar tidak lai memberikan perhatian kepada kami di rumah, kerja dari pagi sampai malam.
Pulang kerja makan, kemudian buru-buru langsung ke meja belajarnya, kerja lagi, karena belum selesai sampai jam 12 malam dan sebagainya." Namun saya juga mendengarkan masukan dari para suami tentang istri, "Begitu pulang ke rumah, ingin bisa bersama-sama dengan istri, relaks dan sebagainya tapi tidak bisa, karena istri terus mengurus urusan rumah tangga." Memang urusan anak harus ditangani, mengajarkan pelajaran sekolah, memberesi rumah tangga dan sebagainya, ada suami yang akhirnya berkata, "Kenapa tidak pakai orang saja untuk membersihkan rumah." Tapi ada ibu rumah tangga yang tidak mau pakai pembantu rumah tangga dan memilih menyelesaikan semuanya karena lebih baik, lebih bersih dan sebagainya. Tapi akhirnya si suami merasa "saya seperti terabaikan", sehingga kapan bersama istri saya, karena boleh dikata dia tidak pernah berhenti sibuk dan hanya berhenti tatkala tidur.
GS : Jadi mungkin yang perlu disadari adalah bahwa kebersamaan itu penting, Pak Paul, dan kalau kita menyadari itu penting, maka kita akan menyisihkan waktu bagaimanapun juga sibuknya orang itu.
PG : Betul sekali. Jadi memang harus ada sebuah kesadaran Pak Gunawan bahwa kita mau mempertahankan kwalitas relasi kita dan bahwa relasi kita itu penting. Saya kira masalahnya adalah kebanyaka kita tidak memprioritaskan, tidak mengatakan bahwa relasi saya dengan suami saya ini penting dan karena penting saya harus melakukan hal-hal ini untuk menjaganya supaya tetap diterima.
Jadi betul sekali yang Pak Gunawan katakan, langkah pertama mesti ada komitmen untuk mementingkan relasi ini. Caranya bagaimana ? Dengan melakukan aktifitas bersama, selain itu saya juga harus mengerti bahwa adakalanya masing-masing kita mulai mengembangkan interest yang berbeda, inilah kehidupan dan kita tidak bisa menyamakan tetap dari dulu sampai sekarang. Kalau kita mulai mengembangkan minat-minat yang berbeda, tidak apa-apa ! Jangan sampai melarang pasangan kita dan langsung mengatakan "Tidak boleh kita harus sama-sama, kalau tidak sama-sama tidak boleh, tidak setia dengan keluarga," itu tidak benar. Jadi kita mesti juga memberi izin kepada pasangan kita untuk mengembangkan minat namun ini yang saya minta, kalau ingin mengembangkan minat tolong dibicarakan, dikonsultasikan terlebih dahulu. Supaya pasangan tidak merasa bahwa kita seenaknya saja dan meninggalkan dia untuk mengembangkan di luar dia. Kalau bisa justru kita ajak dia, libatkan dia, kalau memang dia tidak bisa ya tidak apa-apa ! Tapi konsultasikan dulu bagaimana kalau saya terlibat kegiatan ini dan sebagainya. Saya tahu ada orang-orang yang terlibat kegiatan olah raga naik gunung, naik sepeda dan sebagainya, pasangannya misalnya tidak bersedia maka coba konsultasikan. Apakah ini akan menjadi acara setiap minggu ? Kalau menjadi acara setiap minggu berarti, misalkan hari Sabtu dari pagi sampai jam 2 siang suaminya tidak ada di rumah, si istri dari pagi sampai malam setiap hari Senin sampai Jum'at tidak bertemu suami dan sekarang hari Sabtu dia tambah lagi kegiatan, pagi sampai jam 2 suaminya sudah pergi, selesai pulang olah raga naik gunung dan sebagainya, jiwa si suami sehat, tubuhnya sehat tapi matanya mengantuk, dia mau tidur, dia lelah jampai jam lima atau enam. Setelah bangun tidur, malas kemana-mana, dia di rumah sehingga seolah-olah dia hidup tanpa pasangan, dia hidup tanpa anak tanpa istri. Sedangkan si istri juga perlu bersama-sama dengan dia akhirnya satu hari Sabtu habis, kalau seperti ini saya duga akan menimbulkan konflik bagi rumah tangga ini.
GS : Bukan hanya itu, biasanya pihak istri juga memperhitungkan biayanya, Pak Paul, setiap minat atau hobi itu mengeluarkan uang. Biasanya pihak istri juga keberatan kalau uang ini hanya dipakai senang-senang oleh si suaminya.
PG : Betul sekali, karena memang sudah tentu akan ada perhitungan untuk kebutuhan rumah tangga dan sebagainya. Jadi kalau si istri melihat suaminya akan menggunakan uang akhirnya akan bisa mengcaukan anggaran, dan sudah tentu akan keberatan atau kebalikannya, suami yang melihat istrinya rajin arisan akhirnya si suami juga berkata "Uang kita ini, jadinya tidak bisa dipakai karena kamu pakai untuk itu semuanya."
Maka kita mesti masuk ke suatu prinsip lagi yaitu kalau kita mau kembangkan minat atau aktifitas selain kita harus konsultasikan, kita juga mesti mengece,k memantau dampaknya apakah ini nanti akan mengguncangkan kestabilan atau keseimbangan hidup kita. Segala sesuatu yang mengguncangkan kestabilan hidup kita, memang kita harus perhatikan baik-baik, mawas diri. Saya tidak berkata, "Kita harus selalu hidup dalam kestabilan, yang penting segala sesuatu yang akan bisa mengubah keseimbangan jangan diterima, itu salah juga. Kadang-kadang kita berdua juga harus menerima sebuah tantangan baru dalam hidup ini. Tapi penting sekali kita melihat apakah nanti akan berdampak pada relasi kita. Kalau akan mengguncangkan kestabilan maka kita harus berani mengorbankannya pula.
GS : Selain hal itu Pak Paul, dengan kita mengajak pasangan kita untuk memperbincangkan atau mendiskusikan tentang minat atau hobi baru ini, pasangan akan merasa dihormati atau merasa diperhatikan, kehadirannya dihargai, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Dan itu adalah hal yang penting bahwa misalkan si istri mau ikut kegiatan-kegiatan di luar sehingga akan mengambil waktu lebih banyak kemudian dia akan konsultasikan dengan uaminya, dia minta pendapat suaminya dan dibicarakan terlebih dahulu.
Ini sedikit banyak akan membuat suaminya merasa bahwa aku dihargai karena engkau memerlukan berbicara dahulu dengan aku. Dan apa yang dia katakan juga didengarkan oleh si istri, jangan sampai bertanya kemudian diberikan jawaban tapi tetap saja melakukan apa yang dia ingin lakukan. Pada akhirnya si suami akan berkata, "Lain kali tidak perlu tanya, sebab untuk apa bertanya karena engkau juga tidak akan mendengarkan apa yang aku katakan." Jadi memang penting kalau sudah diberikan tanggapan, kita juga mempertimbangkannya. Kita kadang-kadang Pak Gunawan tidak mau melewati prosedur seperti itu dan itu masalahnya, kita berkata, "Saya mau jalan cepat, jalan pintas, saya tidak mau bicara diskusi dan akhirnya juga tidak boleh atau bagaimana-bagaimana." Saya mau mengatakan ini Pak Gunawan, orang yang langsung ke jalan pintas pada akhirnya tidak bisa tidak akan memutuskan relasi. Akhirnya pasangan akan berkata, "Ya sudahlah apa pun yang ingin kamu kerjakan, kerjakanlah, saya tidak peduli dengan kamu. Kamu pun tidak akan mendengarkan apa yang aku katakan dan kamu tetap saja melakukan apa yang ingin engkau lakukan, kamu juga tidak pernah bertanya langsung dan engkau lakukan, buat apa bicara sekarang !" Itu yang akhirnya membelah relasi, maka saya mengerti kadang-kadang susah buat kita untuk bicara atau konsultasi tapi itulah jalannya, itulah tuntutan hidup bersama. Kalau kita berkata mau hidup bersama, tapi kita tidak mau mengikuti prosedur seperti itu maka dari awalnya jangan menikah, hidup sendiri saja. Tapi begitu kita mengikatkan diri pada suatu tali pernikahan, maka kita akan dan harus konsultasikan dengan pasangan kita.
GS : Tapi memang tanggapan itu harus betul-betul, kadang-kadang orang menanggapinya juga dengan seenaknya saja, hanya untuk memuaskan, "Ya tidak apa-apa itu baik" tapi akhirnya dia mengeluh. Kalau kita lihat dari sisi yang memberikan tanggapan, diharapkan yang memberikan tanggapan juga sungguh-sungguh memberikan tanggapannya.
PG : Sudah tentu betul, Pak Gunawan. Jadi memang kita juga jangan sembarangan bicara melarang tidak boleh harus ini, itu dan sebagainya tapi benar-benar kita mesti pikirkan untuk kepentingan paangan kita.
Jadi dari dua belah pihak memang harus saling menjaga, jangan ada yang menjadi tirani, semaunya saja berbuat sesuatu, tidak bisa berbuat seperti itu ! Jadi perlu pikirkan masak-masak sebelum kita memberikan tanggapan.
GS : Sebenarnya lewat diskusi atau komunikasi seperti itu, keintiman itu juga terbentuk, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Karena tidak bisa tidak, apalagi kalau kita menemukan jembatan di antara kita berdua, itu akan sangat mengakrabkan kita nantinya, bukan saja kita merasa dihargai tapi juga akirnya kita merasa, "Iya, ternyata ada saling pengertian, kita bicaranya lebih mudah," dan ini seperti tabungan, Pak Gunawan.
Makin sering kita bisa menyatukan diri kita atau pendapat kita, di lain kesempatan kalau muncul hal serupa maka kita lebih bisa menyatukannya. Jadi jangan ambil langkah pintas yaitu yang penting lakukan saja semau kita, dan berkata, "Sudahlah, tidak perlulah nanti ribut, tidak perlu bicarakan," malas dan menghindari, itu pun akan memadamkan api keintiman. Kita akhirnya merasa ada gangguan. Waktu kita misalkan ingin pergi berdua dan sebagainya dan rasanya kita sudah enggan, tidak mau. Ini yang kita perlu mawas diri, kadang-kadang orang tidak mengerti, kenapa perasaan saya sudah mulai berubah, rasanya saya sudah tidak menikmati kehadirannya lagi. Padahalnya masalah itu sudah muncul dari hal-hal kecil yang dulu, kita sering menekan hati, hasrat kita, "Sudahlah tidak perlu bicara, untuk apa bicara hindarilah, saya tidak mau pusing." Tapi waktu kita menghindarinya kita benar-benar mulai memangkas api cinta dan api keintiman akhirnya kita petik hasilnya di kemudian hari, kita rasanya kering dan tidak lagi dekat dengan pasangan.
GS : Memang dalam kebersamaan ini, memang harus ada yang mengalah dan kita harus mau saling memberi dan saling menerima seperti itu, Pak Paul.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Jadi baik waktu maupun sikap kita butuh kefleksibelan tersendiri seperti itu.
GS : Pak Paul, apakah ada hal lain selain hobi dan minat yang makin berbeda tadi ?
PG : Yang lain adalah, kita mesti menyadari bahwa pekerjaan yang kita lakukan itu akhirnya akan membentuk kita, itu yang seringkali membuat perubahan pada diri kita. Misalnya orang yang ekstrovrt dia sering tertawa, bergurau spontan dan kemudian dia menikah, setelah dia menikah apa boleh dikata pekerjaannya menuntut dia untuk lebih diam, lebih berpikir ke dalam masak-masak karena dia harus mengambil keputusan dengan kehati-hatian.
Hari lepas hari seperti itu, lima tahun kemudian yang terjadi adalah dia berubah, dia kehilangan sifat ekstrovertnya, dia tidak lagi spontan, dia tidak lagi penuh dengan api ceria dan sebagainya. Tiba-tiba dia menjadi orang yang tenang, diam, apa-apa dipikir sendiri tidak lagi suka bicara dan pasangannya, akhirnya merasa kamu berubah, dulu kamu spontan, seru bicara dengan kamu, enak, ceria dan sekarang tidak lagi, dulu sering ketawa, sekarang jarang ketawa, dulu sedikit-sedikit kamu cerita tapi sekarang kamu simpan semuanya. Perubahan ini akan menimbulkan dampak dalam pernikahan. Kebalikannya orang yang tadinya introvert, setelah menikah bekerja di sebuah tempat dimana dia harus mengambil keputusan, dia mula-mula tidak mau dan tidak bisa tapi terpaksa ambil keputusan dan dikondisikan lebih berinisiatif, lebih harus mengemukakan pendapatnya. Di rumah akhirnya juga terjadi perubahan, dulu si suami senang kepada si istri, penurut tidak banyak bicara, ikut saja tapi sekarang makin berani bicara, sekarang berani bicara ini dan itu, berinisiatif ini dan itu. Kadang-kadang malah menyuruh, kadang-kadang juga membantah sedangkan dulu tidak pernah. Suaminya bingung kenapa kamu berubah? Dianggapnya sekarang kamu kurang ajar, kamu tidak lagi respek terhadap aku dan sebagainya. Ternyata hal-hal ini sering terjadi dalam pernikahan, Pak Gunawan dan seringkali tidak bisa dihindari, karena apa ? Karena pekerjaan, dunia kita yang berbeda akhirnya membentuk kita sehingga pasangan kita tidak lagi mengenali kita dan kita juga tidak lagi mengenali dia, sehingga ruang untuk berbagi bersama tiba-tiba makin hari makin sempit.
GS : Karena itu ada baiknya dan bahkan mungkin perlu untuk pasangan kita tahu apa yang kita kerjakan sehari-hari, karena jam kerja kita cukup lama apalagi bekerjanya di luar rumah sehingga kalau terjadi perubahan, pasangan kita juga mengerti, ini kira-kira karena pekerjaannya dan sebagainya.
PG : Betul. Jadi perlu orang yang lebih banyak mengalami perubahan itu mengkomunikasikannya kepada pasangan dan pasangan juga mau mengerti, sering-sering mengungkapkan tanggapan, "Kamu sekarangberubah, kamu dulu suka begini tapi sekarang tidak lagi suka begini," silakan berikan pantulan-pantulan seperti itu namun bukan dengan tujuan atau nada menghakimi, "Kamu berarti sudah tidak lagi cinta kepada saya, kamu sekarang jadinya tidak menghargai saya," itu yang harus dihindari.
Jadi yang perlu dilakukan adalah memberikan tanggapan-tanggapan, "Kamu sekarang tidak lagi begini, kamu berubah seperti begini." Misalnya lagi contoh yang sering terjadi adalah seorang ibu yang biasanya bisa diajak bicara, nyambung dengan suaminya, pikirannya sangat rasional dan juga bisa diajak berpikir lebih filosofis, setelah punya anak, mengurus anak pagi sampai malam, setiap hari dan bertahun-tahun. Tiba-tiba hilang pola pikirnya yang filosofis yang bisa masuk ke alam-alam yang lebih samar, dia sudah tidak bisa lagi. Kenapa ? Mengurus anak dari pagi sampai malam sampai bertahun-tahun, tidak bisa tidak, hidupnya menjadi pragmatis. Jadi waktu si suami mengajak dia ngobrol, bertukar pikiran, dia susah, dia lebih mau mendengar praktisnya apa. Dan waktu suaminya bicara, dia menjawab yang praktisnya, "Jadi sekarang kamu maunya apa," dan suaminya berkata, "Saya hanya mau bicara, saya hanya mau bagi-bagi sama kamu," dan istrinya akan berkata, "Tapi sekarang maunya kamu apa ?" Tidak sama ! Kenapa tidak sama ? Karena yang satu sudah dilatih dikondisikan untuk sangat berpikir praktis. Ini yang sering terjadi, Pak Gunawan, akhirnya dunia kita itu makin terpaut dan terpaut.
GS : Bagaimana menghindarinya Pak Paul, karena anak ini juga sesuatu yang dinanti-nantikan di dalam keluarga. Dan sekarang kalau anak hadir lalu mereka menjadi asing satu dengan yang lain, ini adalah sesuatu yang tidak benar.
PG : Makanya tidak bisa tidak, kita harus menyisakan diri yang dulu itu Pak Gunawan, sebab bukankah pada awalnya pasangan kita tertarik kepada kita atas dasar diri yang dulu itu. Misalkan kita ang dulu itu enak bicara, karena bisa nyambung tapi sekarang praktisnya saja.
Seringkali kita mau bicara untuk berbagi perasaan, tapi tidak terlalu didengarkan oleh pasangan karena dia masih repot mengurusi anak, membuat susu dan sebagainya. Jadi kita merasa kenapa seperti ini ? Yang mungkin sudah pasti adalah kita harus berikan tanggapan, "Saya mau bicara dengan kamu, kapan waktu yang tepat karena saya lihat kamu sedang sibuk sekarang." Misalkan dia berkata, "Baiklah nanti malam kita baru bicara," maka malam hari kita baru bicara sehingga bisa ditanggapi dengan lebih baik. Jadi kita bertanggung jawab untuk tetap menyisakan bagian diri kita yang lama itu karena itulah yang dikenal pasangan kita dan itu yang dia sukai juga. Contoh lain lagi, misalkan biasanya introvert sekarang lebih ekstrovert, lebih berani mengemukakan pendapat dan sebagainya, tidak apa-apa mengemukakan pendapat tapi juga diselingi dengan mengikuti pendapat pasangannya meskipun tidak terlalu setuju tapi jangan langsung, "Pokoknya kalau tidak setuju ya tidak setuju dan dia harus katakan tidak setuju," karena itulah yang dituntut di tempat pekerjaannya. Kalau di rumah tidak harus seperti itu, jadi memang kita harus menyisakan diri lama itu, begitu diri lama tidak lagi tersisa memang pasangan akan berkata, "Sekarang saya menikah dengan orang lain," dia tidak lagi mengenali diri kita.
GS : Dalam hal ini memang kadang-kadang kita sebagai yang bersangkutan agak sulit mengenali diri kita yang berubah pelan-pelan, perubahan itu tidak mendadak tapi berubah setahap demi setahap dan justru pasangan yang merasakan perubahan kita, diharapkan pasangan mau terbuka untuk memberi tahukan bahwa kamu ini secara perlahan-lahan sudah berubah dalam hal ini.
PG : Betul sekali. Ini saya alami dalam pernikahan saya dengan Santi, Santi seringkali memberikan saya tanggapan secara bergurau di depan anak-anak, "Eh Papa senyum," sebab saya jarang senyum. enapa saya jarang senyum? Karena memang pekerjaan saya, sebab saya harus mengkonseling orang dan sudah tentu kalau orang konseling dengan saya, saya tidak tersenyum terus menerus, orang juga akan bingung, "Saya sedang sedih tapi disenyumi terus."
Jadi saya harus bersama dengan orang kesusahan, penderitaan dan itulah pekerjaan saya. Orang yang konseling itu bukan karena ada berita baik, justru karena ada berita buruk. Tanpa saya sadari saya mulai berubah, tadinya saya memang orang yang spontan, sering tertawa dan sebagainya, aspek itu masih ada dalam diri saya tapi memang agak jarang keluar, kadang-kadang keluar. Sehingga kalau sedang keluar, istri saya menanggapi, "Aduh senang lihat Papa senang senyum seperti ini dan sebagainya." Saya bersyukur dengan istri saya yang memberitahukan saya dengan cara yang halus, dia tidak mempermasalahkannya tapi waktu saya memunculkan diri saya yang lama, justru itulah yang dia tangkap dan dia puji, tapi sekaligus memberikan saya suatu peringatan, "Iya ya, jarang saya tersenyum, bergurau dan sebagainya di rumah." Hal-hal seperti itu yang mesti dilakukan oleh pasangan supaya kita jangan terlalu defensif, di pihak lain saya juga harus memberitahukan istri saya, saya katakan kepada dia, "Memang inilah bentukan dari pekerjaan saya sehingga akhirnya saya menjadi lebih serius dan lebih banyak berpikir dan sebagainya," bukan hanya istri saya tapi teman-teman lama saya yang sudah tidak bertemu dengan saya puluhan tahun juga memberikan saya tanggapan "Kamu sekarang lebih serius, dulu tidak seperti ini." Jadi memang akhirnya saya harus akui bahwa saya yang telah berubah, saya mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan itu kepada istri saya kenapa saya mulai berubah, tapi sekaligus saya juga mesti menyisakan yang lama itu, saya mesti pertahankan.
GS : Dan di satu sisi itu kadang kita sebagai pihak pasangan melihat pasangan berubah, justru kita yang harus menyesuaikan diri. Kita harus menerima dia berubah karena kehadiran anak atau pekerjaannya dan kita juga harus ikut berubah.
PG : Ini penting sekali, Pak Gunawan. kita tidak hanya menuntut, "Yang penting kamu harus seperti dulu," tidak ! Memang hidup harus berubah. Kita juga harus menyesuaikan diri dengan perubahan yng terjadi dengan pasangan kita, betul sekali, Pak Gunawan.
Jadi misalkan istri kita makin hari makin praktis, karena bergaul dengan anak terus-menerus dan kadang-kadang bicaranya kepada kita juga sama saat bicara dengan anak, ini harus dimaklumi karena dia terbiasa bicara dengan anak. Kalau bicara dengan anak biasanya dari atas ke bawah, kalau bicara dengan kita kadang-kadang dia lupa atas ke bawah juga, jangan marah, jangan langsung defensif dan sebagainya dan kita katakan baik-baik, beritahukan dia. Tapi juga tidak selalu kita harus menentukan, yang penting istri kalau bicara dengan kita harus hormat dan sebagainya, tidak! Kita harus maklumi karena kadang-kadang dia bisa lupa, dia terbiasa bicara dengan anak, dia baru saja menyuruh anak mandi sikat gigi dan sebagainya kemudian bicara dengan kita. Untuk dia mengubah nada bicara secara drastis juga tidak mudah, jadi masih dari atas ke bawah misalnya dia berkata, "Coba sikat gigi sekarang, jangan lama-lama lagi," kemudian tanya kepada kita, "Kamu bagaimana besok" langsung seperti itu. Kita harus maklumi tidak selalu berhasil. Jadi kita ini mesti berubah, kita mesti beritahukan pasangan dan hal itu benar, tapi kita juga mesti fleksibel.
GS : Jadi untuk menjaga kebersamaan, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari kedua belah pihak dan tidak bisa hanya sepihak saja.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Apakah ada ayat Firman Tuhan yang mendukung pembicaraan kita ini ?
PG : Saya akan bacakan Filipi 2:2&3, "Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri." Ini sudah tentu sesuatu yang kita inginan, kita sehati sepikir dalam satu tujuan.
Bagaimana caranya untuk kita tegakkan dalam keluarga dalam pernikahan kita ? Saya kira Rasul Paulus sudah memberikan resepnya dengan tidak mencari kepentingan diri sendiri, waktu kita tidak mencari kepentingan diri sendiri, waktu kita tidak berkata, "Sayalah yang harus dimenangkan, diberikan, dipuaskan," tidak lagi mencari kepentingan sendiri, maka akhirnya akan terbangun sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tidak Lagi Menyatu". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat
telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di
www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.