Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tatkala Orangtua Menikah Kembali". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, ada anak-anak yang tidak bisa menerima bahwa orangtuanya mau menikah lagi, apa pun alasannya. Tetapi ada juga sebagian yang malah mendukung, mendorong orangtuanya untuk menikah lagi, ini bagaimana Pak Paul?
PG : Saya bisa memahami kalau ada anak-anak yang sulit mengijinkan orangtuanya menikah kembali. Di sini kita memang tidak membicarakan anak-anak kecil, tapi kita membicarakan anak-anak yang suah besar, akil baliq.
Mungkin orangtua mereka juga sudah lanjut usia, di atas usia 50, 60 tahun. Saya bisa memahami kesulitan anak-anak untuk mengijinkan orangtua untuk menikah kembali, sebab akan ada banyak pertimbangan yang dipikirkan oleh anak-anak. Jadi inilah hal-hal yang nanti akan kita bicarakan sebab inilah yang sering kali menjadi ganjalan dalam relasi orangtua-anak. Kalau orangtua juga tidak bijak langsung mau menikah dan tidak mempedulikan komentar anak-anak, biasanya pernikahan kembali orangtua yang sudah uzur akhirnya menjadi duri dalam relasi orangtua- anak. Adakalanya anak merasa terkhianati oleh orangtua, misalkan mamanya sudah meninggal dunia kemudian papa hendak menikah kembali di usia tua. Anak-anak akan berkata, "Papa sudah menikah dengan mama berpuluhan tahun, mama mengabdi kepada papa berpuluhan tahun, kok sekarang mama sudah meninggal papa bisa melupakan mama begitu saja, kemudian papa menikah kembali." Hal-hal seperti ini yang sering kali menjadi duri dalam relasi orangtua-anak.
GS : Tetapi sebagai anak bukankah juga harus memahami kebutuhan orangtuanya, Pak Paul?
PG : Betul, memang dari kedua belah pihak saya kira perlu duduk bersama dan berbicara dari hati-ke hati agar segala masalah ini bisa kita selesaikan.
GS : Biasanya apa alasan orangtua yang pasangannya meninggal dan mau menikah kembali?
PG : Ada beberapa Pak Gunawan, misalnya ada orangtua yang ingin menikah kembali karena kesepian, karena tidak ada lagi pasangannya, dia hidup sendirian sementara dia tidak bisa hidup sendiri jai buru-buru mau menikah.
Atau yang lainnya lagi adalah adanya kebutuhan finansial yang mendesak. Kadang-kadang karena tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup, harus bergantung pada orang maka menikah kembali. Ada juga yang menikah kembali karena kebutuhan seksual, misalkan ini orangtua pria meskipun sudah usia 60-an tapi tetap mempunyai kebutuhan seksual jadi memerlukan pasangan yang bisa juga memenuhi kebutuhan seksualnya itu. Ada juga yang butuh akan rasa aman, hidup sendiri menakutkan baginya tidak lagi bisa hidup dengan tenang. Terbiasa misalkan semuanya diselesaikan oleh suaminya, ada urusan apa-apa suaminya yang maju, nah sekarang dia sendiri sedangkan anak-anak jauh dari rumah, dia perlu seseorang yang bisa memberikan rasa aman kembali kepadanya. Atau ini juga yang klasik yaitu adanya kebutuhan akan seseorang yang dapat mengurus rumah, biasanya ini dialami oleh para pria tatkala istrinya meninggal dunia. Terbiasa berpuluhan tahun bergantung pada istri, mengatur rumah tangga, makanan dan sebagainya; sekarang tidak ada lagi istri tidak bisa lagi mengatur rumah tangga meskipun ada orang yang membersihkan rumah, tetap tidak bisa mengatur rumah tangga akhirnya memutuskan menikah. Atau kadang-kadang yang kita lihat adalah adanya kebutuhan kasih sayang, ada orang tertentu yang memang terbiasa hidup dalam relasi kasih sayang; mencintai dan dicintai. Sekarang tidak ada lagi pasangan akhirnya membutuhkan seseorang yang dapat mencintainya.
GS : Jenis kebutuhan ini rupanya juga banyak dipengaruhi oleh usianya Pak Paul, jadi kalau tadi Pak Paul katakan bagi mereka yang masih umur 50, 60 tahun kebanyakan memang kebutuhan seksual tapi kalau sudah lebih dari itu yang lain-lain juga banyak. Tapi bukankah alasan-alasan yang Pak Paul sampaikan kebanyakan berfokus pada dirinya sendiri, padahal sebenarnya pernikahan dasarnya bukan itu Pak Paul, ini bagaimana?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi saya tidak mengatakan semua alasan yang telah saya paparkan tadi adalah alasan yang salah. Tidak ada yang bisa mengatakan begitu, saya kira manusiawi kita ksepian, kita ingin adanya pasangan dan sebagainya.
Tapi saya percaya alasan ini tidak boleh menjadi alasan tunggal mengapa kita menikah. Tadi Pak Gunawan sudah mengatakan bahwa semua alasan ini mempunyai satu ciri yang sama yaitu semuanya berpulang pada kebutuhan pribadi. Kita tahu pernikahan bukanlah untuk memenuhi kebutuhan pribadi, pernikahan adalah sebuah relasi di mana kedua insan saling memberi, jadi kita harus kembali lagi melihat alasan kenapa kita menikah. Yang dapat kita langsung katakan adalah kita menikah karena kita saling mencintai dan menghormati, kita benar-benar mencintai dan karena kita mencintai maka kita ingin memberi kepadanya. Dan kita saling menghormati, kita menghargai pendapatnya, pandangannya, dirinya, kita hormat kepada keluarganya dan sebagainya. Alasan yang kedua adalah kita saling mengisi kebutuhan masing-masing, jangan sampai relasi nikah menjadi relasi searah. Satu orang memberikan kecukupan kebutuhan tapi yang lainnya tidak, hal ini tidak baik. Dan yang terakhir alasan kenapa kita menikah kembali adalah secara jelas kita melihat pimpinan Tuhan yang menuntun kita bersatu dalam pernikahan, jadi kita tidak main-main, kita mendoakannya, kita melihat Tuhan menuntun kita setahap demi setahap. Saya kira ketiga alasan inilah yang kita gabung menjadi sebuah alasan kenapa kita menikah.
GS : Supaya hubungan dengan anak-anak ini tetap baik, apakah dari pihak orangtua yang menyampaikan alasannya atau anak yang menanyakan kepada orangtua alasan menikah itu?
PG : Sebaiknya orangtua yang mengambil inisiatif untuk menceritakan kepada anaknya, kenapa dia merasa perlu untuk menikah kembali. Sebaiknya orangtua jangan datang dengan pasangannya kepada ank dan berkata, "Saya sudah menemukan calon istri saya atau calon suami saya dan kami akan menikah."
Nah anak-anak akan merasa kenapa papa-mama ini tidak mau cerita dulu, tidak bersedia berdiskusi, tidak membuka dialog, nah buat apa sekarang datang dan memberitahukan kami; anak-anak akan merasa tersingkirkan, jadi sebaiknya berbicara terlebih dahulu. Mungkin ada sebagian orangtua yang berpendapat begini, "Kami 'kan orangtua kenapa kami harus minta ijin kepada anak." Tapi masalahnya adalah meskipun kita adalah orangtua namun kita sudah menjadi keluarga. Anak-anak bukanlah orang lain, anak-anak adalah bagian hidup kita, jadi apa pun yang kita lakukan akan berdampak pada anak-anak. Kita tidak bisa memisahkan anak-anak dari kita sama seperti waktu anak-anak dulu ingin menikah, bukankah kita selalu tekankan kepada mereka bahwa tolong pertimbangkan kami sebagai orangtua, sebab kami adalah bagian hidupmu. Engkau tidak bisa mengambil keputusan menikah dengan siapa saja tanpa menghiraukan sama sekali pertimbangan kami, sebab kita satu keluarga. Jadi saya kira sama, kalau orangtua menghendaki untuk menikah kembali, sebaiknya sebelum dia bertemu dengan seseorang dia berbicara terlebih dahulu dengan anaknya. "Saya mulai merasakan adanya kebutuhan ini dan itu," dalam pembicaraan itu dengarkanlah masukan dari anak pula.
GS : Biasanya Pak Paul yang menjadi alasan anak untuk mencegah orangtuanya menikah kembali apa Pak Paul?
PG : Saya kira salah satunya adalah ada orang yang memang sengaja menjebak orang lain menikah dengannya karena alasan ekonomi atau alasan lainnya yang keliru. Dengan kata lain kita mesti memasikan orang yang akan menikahi orangtua kita adalah orang yang benar-benar baik dan sungguh-sungguh mengasihi orangtua kita.
Kita takut kalau orangtua kita itu dimanfaatkan sebab ini pernah terjadi, ada orang-orang yang memang mencari orang yang mapan secara keuangan apalagi dia tahu anak-anaknya sudah berhasil, kenapa tidak menikah dengan dia sebab dia paling hidup berapa tahun lagi setelah itu hartanya jatuh ke tangan saya. Jadi anak-anak biasanya khawatir dengan motivasi memanfaatkan orangtua kita.
GS : Di samping tadi Pak Paul sudah sebutkan citra ibunya atau citra ayahnya yang terdahulu masih sangat kuat dalam diri anak-anak.
PG : Betul, memang meskipun anak-anak mengerti kenapa orangtua ingin menikah kembali, tapi pada umumnya anak-anak itu sukar mengundang atau membiarkan seorang yang lain masuk dalam keluarga merka.
Misalkan mereka kehilangan ibu mereka, mereka lebih baik melihat mereka bersama-sama, saling mendukung meskipun tidak ada lagi mama, tapi papa jangan khawatir kami akan tetap di sini, kalau misalkan papa ingin menikah kembali di usia tua, anak-anak ini biasanya akan sukar menerima fakta ini. Anak-anak akan bertanya seberapa pentingnyakah mama dalam hidupmu, seberapa besarnyakah cintamu terhadap mama. Sudah tentu ini perasaan yang sah, anak-anak mempunyai perasaan seperti ini saya kira sangat wajar tapi sekaligus anak-anak juga mesti mendengarkan perasaan dan kebutuhan orangtuanya, di sinilah diperlukan dialog yang terbuka.
GS : Sebaliknya bagaimana dengan anak-anak yang mendorong orangtuanya untuk menikah lagi, bagaimana sebagai orangtua mempertimbangkan hal ini?
PG : Adakalanya anak-anak meminta orangtua menikah kembali karena beberapa alasan Pak Gunawan. Misalkan adakalanya anak-anak melihat orangtua itu secara emosi benar-benar tidak stabil setelah ematian pasangannya.
Kita sebagai anak melihat misalkan, "Kok mama sekarang sering menjadi tidak stabil, sering marah dan sebagainya." Mulailah terpikir dalam benak kita, "Apakah mungkin mama perlu seorang suami, karena kalau ada suami nantinya ada teman bicara dan mama pun tidak terlalu kesepian." Atau yang lebih buruk adalah karena tidak adanya pasangan, misalkan orangtua kita yang masih hidup itu menjadi genit, sering mencoba perhatian lawan jenis. Kita sangat terganggu akan hal ini dan kita akhirnya berpikir apakah papa membutuhkan seseorang untuk pemenuhan kebutuhan seksualnya, apakah lebih baik papa menikah saja daripada papa nanti jatuh ke dalam dosa. Ini pertimbangan-pertimbangan yang kadang-kadang anak-anak pikirkan. Tapi ada juga motivasi yang tidak tepat Pak Gunawan yaitu adakalanya anak-anak meminta orangtuanya menikah kembali sebab mereka tidak mau menanggung beban merawat orangtuanya. Daripada akhirnya harus menanggung beban tersebut ya anak-anak mendorong orangtuanya untuk menikah lagi supaya lepaslah tanggung jawab si anak untuk merawat orangtuanya.
GS : Sebagai anak-anak sebenarnya kita juga harus jujur terhadap orangtua dalam memberikan pertimbangan, Pak Paul. Menyetujui atau menyarankan tidak menikah dan sebagainya tapi pertimbangan-pertimbangan apa yang perlu kita sampaikan?
PG : Pertama kita harus benar-benar bertanya apakah orangtua telah memiliki pasangan yang tepat baginya? Maksudnya apa, misalnya apakah dia sudah melewati masa perkenalan yang memadai. Jangansampai orangtua kita ikut berdarma wisata, jalan-jalan ke luar kota, pulang seminggu kemudian berkata, "Saya mau menikah."
Kita kaget dan kita tanya, "Menikah dengan siapa?" "O..........menikah dengan seseorang yang saya temui dalam tour ini." Kita akan berkata, "Jangan!" Kadang-kadang orangtua atau kita yang pernah menikah beranggapan begini, "Saya telah menikah 40 tahun, saya tahu apa artinya pernikahan, jangan menguliahi saya lagi." Pendapat seperti itu salah, sebab meskipun kita telah menikah 40 tahun dan pasangan kita sekarang telah meninggal, itu tidak menjadikan kita pakar dalam pernikahan berikutnya. Itu tidak sama karena kita akan menikah bukan dengan orang yang sama, kita akan menikah dengan orang yang berbeda. Kita mungkin lebih berpengalaman dalam hal-hal tertentu, kita lebih bisa mengerti pasangan karena dulu terbiasa hidup dengan pasangan kita selama 40 tahun. Tapi itu tidak menjamin kita itu menjadi pakar dalam pernikahan berikutnya. Jadi dengarkan masukan anak, kalau anak berkata, "Jangan! Baru bertemu seminggu atau beberapa bulan sudah mau menikah, apakah sudah memadai waktu perkenalan tersebut?" Yang lainnya anak-anak juga mesti menolong orangtua melihat apakah benar-benar ada kecocokan di antara mereka, apakah ada kecocokan karakter, sifat-sifatnya saling melengkapi atau tidak, apakah dua-duanya sangat keras sehingga tidak mau mengalah. Bayangkan kalau mereka hidup bersama di bawah satu atap, pasti akan ada banyak pertengkaran. Anak-anak perlu melihat dan mengingatkan orangtua akan karakter pasangannya itu. Yang lainnya lagi adalah apakah ada kecocokan gaya hidup, ini penting sekali. Pada usia muda hal gaya hidup memang sudah penting dan perlu penyesuaian dan biasanya penyesuaian itu dilakukan dengan susah payah untuk menyelaraskan gaya hidup apalagi kalau sudah usia lanjut, kita terbiasa dengan hidup kita selama beberapa puluh tahun. Dan dulu misalkan pasangan kita mengerti gaya hidup kita, tidak berkeberatan dan bisa menerima, sekarang kita hendak menikah kembali apakah calon suami atau istri kita bisa menerima gaya hidup kita. Misalkan sejak usia 60 tahun kita terbiasa tidur jam 08.00 malam, sekarang pasangan kita tidak mau tidur jam 08.00 malam dia mau tidur jam 12.00 malam, dan dia merasa kita ini meninggalkannya di rumah, tidak bisa bicara dengannya, dia akan menuntut kita bangun dan temani dia bicara sampai jam 11.00, 12.00. nah gaya hidup ini penting sekali sebab pada usia lanjut gaya hidup kita itu sudah benar-benar berakar dan susah sekali kita cabut dengan begitu saja. Sudah tentu yang terakhir kita mesti memastikan apakah orangtua kita telah memilih pasangan yang seiman dengannya, apakah mereka berdua bisa beribadah bersama di dalam rumah Tuhan, apakah mereka sungguh-sungguh yakin hidup dalam Tuhan Yesus. Nah ini hal-hal yang perlu orangtua juga sadari dan jika tidak menyadarinya, anak perlu mengingatkan orangtua.
GS : Sebenarnya masa pacaran yang kedua ini seharusnya lebih teliti lagi dalam memilih pasangannya daripada dulu waktu menikah yang pertama kali, Pak Paul?
PG : Betul Pak Gunawan, sebab misalkan ini terjadi di Amerika Serikat, di sana angka perceraian tinggi. Tapi sesungguhnya angka perceraian di antara orang yang menikah kedua kalinya jauh lebihtinggi daripada perceraian di antara orang yang menikah untuk pertama kalinya.
Jadi orang mesti menyadari bahwa pernikahan kedua itu risikonya untuk ambruk jauh lebih besar daripada pernikahan pertama.
GS : Di samping kecocokan antara pasangan yang baru, tentu menyangkut anak-anak. Jadi di pihak pria juga mempunyai anak, yang wanita juga mungkin sudah mempunyai anak. Nah ini bagaimana di dalam hubungan selanjutnya?
PG : Di sini, orangtua yang hendak menikah perlu masuk di terima oleh keluarga yang satunya. Ini menjadi hal yang lebih penting dibandingkan waktu misalnya anak mau menikah karena orangtua kit sudah tua, kita ini nanti akan lebih banyak terlibat dalam kehidupan orangtua kita, hal seperti ini tidak bisa dihindari.
Berarti kita akan benar-benar harus bisa berelasi baik dengan pasangan yang baru. Jadi orangtua juga mesti melihat apakah dua keluarga ini atau anak-anak kita bisa menerima pasangan kita, jangan sampai orangtua tidak memperhatikan sama sekali masukan anak-anak. Berikutnya tentang keluarga adalah jangan sampai orangtua itu menikah dengan seseorang yang berusaha keras memisahkan kita dari orangtua kita. Ada pasangan yang seperti itu, terutama pasangan yang memang terlalu dominan, kehendaknya harus terjadi, dia menguasai orangtua kita. Kita mau ajak orangtua kita pergi, mau ajak dia makan susah sekali, mau berkunjung ke rumahnya pun menjadi sangat susah, mau ajak melihat cucu juga susah karena pasangannya menguasai sekali orangtua kita. Dia yang mengatur semuanya, ini mesti kita waspadai terhadap orang-orang yang berkarakter seperti ini. Atau yang lain lagi adalah orang-orang ini memang mempunyai motivasi yang buruk, maka dia sengaja memisahkan kita dari orangtua kita supaya dia benar-benar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan dari orangtua kita. Maka kita mesti melihat apakah orang ini orang yang sungguh-sungguh baik pada orangtua kita, cocok dengan orangtua kita, apakah motivasinya menikahi orangtua kita benar. Jangan sampai orangtua kita terjebak.
GS : Tapi memang sama seperti pernikahan yang pertama, pernikahan yang kedua ini pun sering kali masalah-masalah itu muncul setelah mereka menikah. Jadi anak baru mengetahui seperti misalnya tadi Pak Paul jelaskan sulit menghubungi orangtua dan sebagainya itu setelah mereka menikah. Kalau masalah-masalah ini muncul dan baru diketahui setelah mereka menikah sikap anak-anak bagaimana Pak Paul?
PG : Seharusnya anak-anak berbicara langsung dengan orangtua, tapi berbicara dengan baik-baik mengatakan hal seperti ini misalkan, "Kami prihatin, kami melihat kenapa tante kok seperti ini kepaa papa, kenapa tante itu menghalangi kami datang dan sebagainya.
Pa, kami tidak mau mengatur rumah tangga papa, ini papa yang mempunyai rumah tangga kami menghormati tapi kami hanya mau memberitahukan kami perihatin untuk hal-hal seperti ini, jadi mohon papa berjaga-jaga, papa waspada." Sebab kenapa kita perlu berbicara seperti itu, kalau kita terlalu memaksakan dan langsung memerintahkan papa untuk menegur istrinya, kebanyakan papa kita itu akan marah kepada kita, papa kita mungkin akan langsung membela pasangan dan berkata, "Memang dari dulu kamu sentimenlah dengan istri saya, kamu memang tidak suka dengan istri saya." Nah kita mesti berbicara dengan baik-baik kemudian kita serahkan kembali kepada papa. "Pa, silakan papa putuskan kami hanya ingin memberitahukan ini." Biarlah masukan ini papa mulai ingat sehingga dia mulai berhati-hati bahwa istrinya ternyata tidak seperti yang dia duga. Benar-benar pernikahan ini adalah untuk memenuhi agenda si istri, kalau itu yang terjadi sudah tentu si ayah ini memang harus lebih berwaspada dalam hal misalkan hartanya dan sebagainya.
GS : Biasanya pernikahan yang kedua ini dilakukan pada usia yang sudah cukup lanjut, dan itu saat-saatnya kondisi fisik ini menurun, kesehatannya menurun, sering sakit. Ini bagaimana Pak Paul, apakah hal ini perlu diungkapkan sebagai salah satu pertimbangan?
PG : Sudah tentu, ini berbeda dengan perkawinan di masa muda. Di masa muda kita relatif lebih sehat, kita benar-benar mengantisipasi hari-hari di depan kita di mana kita bisa berkarya, menikmai hidup bersama dalam tubuh yang sehat.
Menikah di usia tua tidak bisa tidak kita harus mempertimbangkan hari-hari tua kita, maka waktu memilih pasangan hidup dua-dua harus siap saling merawat bahwa ini bukan pernikahan di mana kita akan bersenang-senang. Tidak demikian, ini pernikahan di mana dua-dua akan saling bergantung untuk saling merawat. Siap atau tidak, ini yang mesti disadarkan kepada mereka berdua.
GS : Betul atau tidak, ada pengamatan bahwa biasanya yang pria lebih banyak yang menikah kembali daripada yang wanita?
PG : Saya kira itu betul, nomor satu adalah lebih banyak wanita dibandingkan pria yang berusia lanjut. Memang pada umumnya wanita berusia lebih panjang dibandingkan pria. Dengan kata lain kalupun wanita hendak menikah kembali biasanya dia akan kesulitan mendapatkan pasangan hidup.
Yang kedua, kebanyakan wanita lebih bisa hidup tanpa suami dibandingkan suami tanpa istri. Wanita terbiasa mengurus rumah tangga, keluarganya dan sebagainya sehingga waktu pasangannya tidak ada dia masih bisa mengurus semuanya, dan biasanya mama dekat dengan anak-anak dan itu menjadi dukungan yang penting baginya. Papa biasanya tidak terlalu dekat dengan anak sehingga waktu tidak ada istrinya dia akan lebih kesepian.
GS : Pak Paul, untuk merangkumkan perbincangan kita ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan bacakan Amsal 19:14, "Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang, tetapi istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan." Kita mesti mengingatkan orangtua, berhati-hati dalam memlih pasangan hidup sebab jika keliru memilih masa tua yang seyogianya dilewati dalam ketenangan malah berubah menjadi kawah yang mendidih.
Mintalah kehendak Tuhan, mintalah pimpinan Tuhan, firman Tuhan jelas berkata, "Istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan." Kalau kita balik, "Suami yang berakal budi adalah karunia Tuhan." Tuhan yang memberikan jadi kepadaNyalah kita meminta pimpinanNya.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tatkala Orangtua Menikah Kembali". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.