Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tatkala Divonis Terminal". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kita tahu bahwa usia manusia memang di tangan Tuhan. Ada yang meninggal di usia yang sangat lanjut, tetapi juga ada yang masih muda sudah meninggal. Tetapi bagaimana kalau itu menimpa kita atau menimpa para pendengar ? Langsung ketika dokter berkata sudah tidak ada harapan lagi, biasanya bagaimana reaksi seseorang, Pak Paul ?
PG : Memang idealnya kita sebagai anak-anak Tuhan seharusnya ya kuat, menerima, tabah dan sebagainya sewaktu mendengar berita bahwa penyakit yang kita derita itu penyakit terminal, artinya tidak ada lagi obat yang bisa menyembuhkannya. Namun pada kenyataannya, Pak Gunawan, waktu kita mendengar berita itu biasanya kita tidak siap. Bagaimanapun juga itu akan menggoncangkan kita. Jadi, sekuat-kuatnya kita, serohani-rohaninya kita, biasanya memang kita tidak siap untuk menghadapi kenyataan bahwa akhirnya kita harus meninggal dunia. Jadi, biasanya yang diperlukan adalah waktu. Kita harus menjalani sebuah proses waktu untuk dapat menerima kenyataan itu. Pada kesempatan ini kita akan membahas kira-kira apa reaksi kita sewaktu kita mengalami atau mendengar berita bahwa kita terkena penyakit yang serius dan terminal. Saya akan gunakan sebuah teori yang dipaparkan oleh Elizabeth Kubler Ross. Beliau itu bukan seorang yang membahas khusus tentang sakit penyakit tapi memang teorinya itu digunakan untuk menolong kita mengerti reaksi orang terhadap tragedi atau hal-hal buruk yang menimpa.
GS : Biasanya dokter mengatakan mungkin ini bisa bertahan satu tahun atau tiga bulan lagi. Mana yang lebih baik? Makin panjang kesempatan yang diberikan atau makin pendek? Tapi orang mendengar hal seperti itu sama-sama tergoncangnya, Pak.
PG : Kalau misalnya yang saya pernah lihat, orang itu akan lebih siap kalau waktunya lebih panjang. Bukan saja si penderita tapi juga keluarganya akan lebih siap kalau misalkan masih ada waktu yang lebih panjang – beberapa bulan sampai setahun sampai dua tahun. Ketimbang dokter berkata misalnya hanya dalam hitungan minggu paling lama. Biasanya itu memang membuat seseorang panik.
GS : Itu tergantung juga pada pasien itu sendiri, Pak Paul. Dia masih sadar betul atau sudah tidak sadar, hanya keluarganya yang diberitahu. Ini menyangkut orang itu sendiri, ya Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Lalu bagaimana tahapannya, Pak Paul ?
PG : Tahapan pertama, biasanya reaksinya adalah penyangkalan, Pak Gunawan. Waktu kita misalnya mendengar berita dari dokter bahwa kita menderita penyakit yang serius dan terminal, reaksi pertama adalah kita meragukan diagnosis dokter dan berpikir mungkin itu keliru. Sebetulnya penyangkalan sudah dimulai sewaktu kita sudah mulai merasakan gejala sakit, Pak Gunawan. Pada umumnya ‘kan kita berpikir, "Ah, ini penyakit biasa. Nanti ke dokter pasti bisa sembuh." Sebetulnya pada saat itu kita sudah mulai proses penyangkalan. Jarang ada orang yang di dalam gejala tertentu langsung berpikir dan siap, "Wah saya pasti menderita penyakit yang berat. Mungkin saya bisa meninggal dunia." Tidak. Kita selalu mencoba mengecilkan atau meminimalkan keseriusan penyakit itu sendiri.
GS : Biasanya pasien seperti ini lari ke dokter lain. Dan prosesnya akan diawali dari awal lagi. Sehingga waktu terus berjalan dan penyakitnya terus bertambah, Pak Paul.
PG : Iya. Tapi mungkin ini diperlukan bagi sebagian orang atau penting juga bagi keluarganya untuk memastikan memang itulah penyakitnya. Sebab kita juga perlu menyadari bahwa seorang dokter, walaupun dia seorang dokter ahli, tapi dia tetap seorang manusia, dia mungkin saja tidak tepat dalam mendiagnosis. Jadi, memang tidak ada salahnya meminta opini kedua dari dokter lain.
GS : Masalahnya penyakitnya ini bertambah parah, Pak Paul, sehingga waktu yang tersedia semakin pendek.
PG : Betul. Akhirnya dia tidak mendapatkan perawatan yang semestinya.
GS : Lalu, apakah proses penyangkalan itu bisa berlaku lama atau cepat ?
PG : Bergantung ya. Misalkan dia bisa mendapatkan opini kedua dalam waktu yang agak cepat, mungkin dia akan lebih cepat menerima kenyataan itu. Misalkan dia harus tunggu berapa lama, berarti proses penyangkalan itu bisa lebih lama. Atau ada orang-orang tertentu meskipun sudah mendapatkan opini kedua dan ketiga bahwa penyakitnya seperti itu, tetap tidak bisa terima dan berkata, "Tidak, tidak mungkinlah, saya akan sembuh." Memang tidak semua orang akan bisa cepat menerima bahwa inilah faktanya. Kalau kita memang belum siap ya belum siap. Meskipun orang sudah menjelaskan, tetap saja dia bisa berdalih.
GS : Tapi ada orang-orang yang realistis yang langsung bisa menerima.
PG : Iya. Pada umumnya semakin cepat kita menerima, sebetulnya itu akan menolong kita melewatinya dengan lebih baik.
GS : Terutama kalau dia tidak merasakan kesakitan secara fisik ya, Pak Paul. Ada beberapa penyakit yang menjalar, menjalar, menjalar tapi orangnya tidak merasa sakit apa-apa.
PG : Memang seberapa mengganggunya gejala juga sangat memengaruhi ya. Ada orang-orang yang cepat menerima. Tidak apa-apa meskipun penyakitnya serius. Tapi ada orang-orang yang tidak mudah menerimanya dan terus menyangkal bahwa dia memang terkena penyakit yang berat itu.
GS : Dan itu diperkuat lagi oleh keluarganya. Kalau keluarganya juga ikut menyangkal, proses ini bisa lebih lama lagi ya ?
PG : Iya. Memang penyangkalan itu sedikit banyak memperlihatkan bahwa memang kita tidak siap untuk meninggalkan dunia ini. Makin tidak siap, makin kuat penyangkalannya.
GS : Setelah proses penyangkalan itu terlewati, bagaimana Pak Paul ?
PG : Fase berikutnya adalah tawar-menawar. Misalnya kita minta kepada Tuhan untuk menarik kembali keputusan-Nya. Kita berjanji melakukan sesuatu buat Tuhan. Mungkin kita berkata, "Sekarang saya sadar saya salah. Saya sudah minta ampun kepada Tuhan." Jadi, kita beranggapan kalau sudah sadar dan minta ampun, kita akan disembuhkan Tuhan. Atau kita merasa dulu kita kurang beriman, maka sekarang kita lebih beriman. Intinya adalah Tuhan sedang memberikan pelajaran kepada kita, selama kita sudah mengerti pelajarannya apa, Tuhan pasti akan menyembuhkan kita. Inilah proses yang disebut tawar-menawar, Pak Gunawan. Umumnya pada tahap ini kita mengembangkan pengharapan. Kita beranggapan kalau saya sudah ajukan penawaran, kalau saya sudah mengaku sadar akan kesalahan, pasti saya akan sembuh. Jadi, pengharapannya akan tinggi. Dan karena kita percaya Tuhan itu Maha kuasa, kita tahu tidak akan ada masalah buat Tuhan untuk menyembuhkan kita. Kalau Dia menghendaki kita pasti sembuh. Biasanya pada tahap ini orang itu bisa lebih positif dengan Tuhan, Pak Gunawan. Kalau pada awalnya mungkin tidak begitu melibatkan Tuhan. Tapi di tahapan ini orang yang sakit biasanya akan lebih melibatkan Tuhan karena benar-benar berharap Tuhan cepat menyembuhkan dia.
GS : Seringkali dalam proses tawar-menawar ini orang berjanji untuk melakukan sesuatu kalau dia sembuh. Ini juga proses tawar-menawar ya, Pak Paul ?
PG : Iya, Pak Gunawan. Biasanya orang itu berkata, "Saya tidak akan berbuat itu lagi. Sebaliknya saya akan berbuat ini buat Tuhan." Ada orang yang berjanji, "Pokoknya bisa sembuh saya akan melayani Tuhan." Atau misalnya akan menyumbangkan uang buat pekerjaan Tuhan atau apalah. Itu sebetulnya bagian dari tawar-menawar. Kita berharap, dengan tawaran ini Tuhan akan mengubah putusannya dan menarik kembali penyakit itu dari kita.
GS : Kepada orang yang tadinya belum beriman, sebenarnya ini jadi kesempatan yang baik atau malah kurang tepat untuk memberitakan Injil, Pak Paul ?
PG : Karena dia lebih terbuka karena dia mau sembuh, mungkin sekali ini kesempatan yang baik untuk kita mengabarkan Injil kepadanya. Asalkan waktu kita mengabarkan Injil, memang kita bukannya mengiming-imingi dia, "Pokoknya kalau kamu percaya pada Tuhan Yesus, maka kamu pasti sembuh." Jangan bicara begitu karena kita tidak tahu kehendak Tuhan apakah Tuhan mau menyembuhkan dia atau tidak. Jadi, kita mesti hati-hati. Kadang-kadang karena kita terlalu bersemangat mau membuat dia mengerti bahwa Tuhan mengasihi dan ingin menyelamatkan dia, maka akhirnya kita memberikan janji yang sebetulnya kurang tepat. Belum tentu Tuhan akan menyembuhkan orang tersebut. Tak mengapa kita mengabarkan Injil asalkan kita tidak salah mewakili Tuhan dalam memberikan janji yang sebetulnya tidak dibuat-Nya.
GS : Proses tawar-menawar ini sesuatu yang wajar atau memang tidak boleh, Pak Paul ?
PG : Wajar, Pak Gunawan. Saya kira memang ini kodrat manusiawi kita ya. Karena kadang kita tidak terima dan kita tahu Tuhan berkuasa, jadi kita datang kepada Tuhan meminta agar Tuhan mengubah keputusan-Nya. Ini pernah dilakukan oleh Raja Hizkia. Kita tahu dia meminta Tuhan untuk menyembuhkan dia dan akhirnya memang Tuhan menyembuhkan dia, lewat nabi Yesaya. Tuhan berfirman akan menyembuhkan Raja Hizkia dan menambahkan usia 15 tahun lagi. Jadi, tidak apa-apa datang kepada Tuhan dan berjanji kalau saya sembuh saya akan begini. Tidak apa-apa. Asalkan, misalnya kita yang sakit, kita juga mesti sadar bahwa keputusan ini keputusan Tuhan. Tidak apa-apa minta. Tidak usah tawar-menawar pun tidak apa-apa, minta saja. Tuhan mengajarkan kita berdoa untuk meminta kepada-Nya, Tuhan tidak minta kita tawar-menawar baru kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Tidak, silakan berdoa. Kalau memang Tuhan berkehendak, Tuhan akan jawab.
GS : Dalam proses tawar-menawar ini biasanya si sakit merasa lemah kalau sendirian. Lalu dia mulai mengajak orang lain untuk mendoakan dia. Dengan keyakinan doa satu orang itu kurang kuat. Tapi kalau berdoa bersama-sama itu lebih kuat. Apakah ini juga dalam proses tawar- menawar itu, Pak Paul ?
PG : Iya. Seolah-olah dengan dia membawa bala bantuan, Tuhan lebih akan mau mendengarkan doanya dan mengabulkan. Sudah tentu tidak apa-apa meminta orang-orang berdoa buat kita yang sedang sakit. Asalkan kita mengerti bahwa Tuhanlah yang akan memutuskan. Jadi apa pun keputusan Tuhan, kita harus bersedia menerimanya.
GS : Bagaimana kalau sudah sekian lama dia menunggu tidak ada perkembangan yang positif dan malah penyakitnya tambah parah ?
PG : Biasanya setelah orang tawar-menawar tapi sakit penyakitnya tidak kunjung sembuh, reaksinya adalah marah, Pak Gunawan. Seolah-olah dia merasa dia sudah merendahkan diri, tawar-menawar dengan Tuhan, tapi Tuhan tetap saja tidak menjawab. Akhirnya dia marah. Dan yang lebih sering juga kita marah kepada Tuhan kita menganggap Tuhan tidak adil. Kita mungkin beranggapan mengapa Tuhan memberikan kepada saya penyakit ini. Mungkin kita berpikir kita sudah berbuat baik, hidup baik untuk Tuhan, kenapa Tuhan membalas kebaikan dengan kejahatan ? Atau kita mungkin menoleh kiri kanan dan melihat kok orang-orang ini hidupnya baik-baik saja padahal mereka tidak sebaik saya, kok saya yang harus kena penyakit yang berat ini. Apakah Tuhan tidak melihat apa yang sudah saya lakukan ? Akhirnya waktu kita sudah minta-minta tapi kok tetap kita tidak mendapatkan apa yang kita minta, reaksi berikutnya adalah marah.
GS : Seringkali menuduh Tuhan keliru dalam bertindak. ‘Kenapa saya, mestinya orang lain.’ Begitu, Pak Paul ?
PG : Betul. Kita melihat Tuhan seharusnya tidak memberikan ini kepada saya tapi kepada orang lain yang lebih layak menerima atau kita melihat Tuhan juga seperti tidak peduli, tidak melihat kondisi saya. Bukankah anak saya masih kecil, saya masih diperlukan. Bukankah Tuhan tahu saya bukan orang yang kaya raya, saya orang susah, sehingga berobat juga mahal, kenapa Tuhan tidak peduli dan justru memberi penyakit yang begitu berat. Ini yang membuat kita marah. Hal lain yang biasanya membuat kita marah kepada Tuhan adalah kita beranggapan bahwa tidak seharusnya saya meninggal sekarang ini. Kita tahu suatu waktu kita akan meninggal, tapi bukan sekarang. Masih ada tugas yang harus kita selesaikan. Pada intinya kita marah kepada Tuhan karena rasanya keputusan yang Tuhan buat tidak sesuai dengan keinginan kita dan kenapa Tuhan tidak pernah sekalipun melibatkan kita dalam pertimbangan-Nya. Kenapa Tuhan tiba-tiba menjatuhkan vonis memberi kita penyakit yang begitu berat. Tidak ada konsultasi atau pertimbangan atau mengajak kita berdiskusi. Kenapa sama sekali tidak melihat dari kacamata saya ? Itu hal-hal yang membuat kita marah kepada Tuhan.
GS : Kemarahan itu biasanya diekspresikan dalam bentuk seperti apa, Pak Paul ?
PG : Yang pertama adalah dengan menjauhkan diri dari Tuhan. Misalkan kita tidak mau lagi berdoa, tidak mau lagi membaca firman Tuhan. Mungkin kita juga menolak kedatangan hamba Tuhan. Kita tidak mau bicara tentang Tuhan. Kita jadi sangat peka kalau ada orang bicara tentang Tuhan. Buat kita makin diingatkan tentang Tuhan, makin kita marah. Ada orang yang memang dalam kondisi sakit yang berat itu, kita lihat terjadi perubahan, Pak Gunawan. Perubahan kepribadian dan sikapnya. Mungkin kita bingung. Sebelumnya dia orang yang ceria, orang yang sering memuji Tuhan, bersyukur kepada Tuhan. Di awal-awal dia sakit dia juga masih bicara Tuhan begini Tuhan begitu, Tuhan pasti bisa sembuhkan saya. Terus berbicara hal yang positif. Tiba-tiba di tengah-tengahnya dia mulai tidak mau bicara dan kelihatan sekali wajahnya tidak senang. Waktu kita datang, kita mengobrol, apalagi kalau kita sebut-sebut tentang Tuhan dia diam saja tidak mau menjawab. Itu sebetulnya pertanda dia sedang dalam fase marah. Biasanya yang saya lakukan kalau saya berkunjung dan melihat orangnya seperti itu, saya biasanya bertanya, "Apakah ada pertanyaan yang Bapak ingin sampaikan kepada Tuhan saat ini ? Kalau Tuhan berkata, ‘Kamu boleh bertanya apa saja’, apa yang akan Bapak tanyakan ?" Biasanya saya mendapat jawaban begini, "Kenapa kok saya ? Kenapa kok Tuhan tidak menyembuhkan saya ?" atau "Apa salah saya ? Kenapa saya harus kena penyakit ini ?" dari jawaban itu sebetulnya kita sudah mulai mengerti dia marah kepada Tuhan. Jadi kita nantinya bisa bicara kepadanya dengan lebih pas. Kalau kita tidak tahu, kita langsung saja berjalan seperti kereta api, mungkin membuat dia tambah parah dan tambah benci.
GS : Sebagai keluarga apa yang bisa kita lakukan menghadapi saudara atau keluarga kita yang sedang marah seperti ini, Pak Paul ?
PG: Ya sudah, biasanya kalau kita sudah tahu bahwa dia marah, ya biarkan saja. Jangan kita bilang kepadanya, "Kamu tidak boleh marah. Kamu harus bersyukur lho." Lebih baik jangan. Kita mengertilah bahwa dia sedang terpukul, dia marah. Ya sudah kita mengerti. Atau kita bisa berkata, "Kalau kamu sampai marah kepada Tuhan, saya bisa mengerti. Karena kamu melihat Tuhan berkuasa. Sebetulnya Tuhan seharusnya bisa menyembuhkan kamu. Tapi kok tidak. Tuhan seharusnya mengerti kondisi kamu, lebih pedulilah dengan kehidupan kamu, tapi kok terus saja memberikan penyakit ini. Yah, saya mengerti kalau kamu marah kepada Tuhan." Mungkin kata-kata seperti itu membuat dia merasa dimengerti dan bahwa tidak apa-apa seperti itu. Dan sebetulnya memang tidak apa-apa. Tuhan mengerti bahwa manusia tidak siap untuk mati. Jadi waktu terkena penyakit yang berat, kadang-kadang reaksinya adalah marah.
GS : Setelah tahap marah itu, selanjutnya apa yang terjadi, Pak Paul ?
PG : Tahap berikutnya adalah keputusasaan atau depresi, Pak Gunawan. Artinya, pada tahap keputusasaan sebetulnya kita masih marah tapi kemarahan itu mengendap ke dalam menjadi kepahitan. Maksudnya apa ? Misalnya kita merasa semua yang telah kita perbuat buat Tuhan itu sia-sia. Kita jadi pahit. "Kok Tuhan begini ya ?" atau "Semua yang kita percaya tentang Tuhan ternyata tidak tepat lho. Dulu saya percaya Tuhan selalu mendengar doa. Kok Dia tidak dengar-dengar doa saya ? Dulu saya percaya Tuhan itu penuh kasih sayang. Dia akan melindungi kita dari sakit penyakit atau dari marabahaya. Mengapa Tuhan membiarkan saya terkena penyakit ini ?" Jadi akan ada proses dimana kita harus memaknai ulang tentang siapakah Tuhan itu dan apa kehendak-Nya dan cara Dia bekerja. Semakin sederhana cara pemikiran kita, semakin hitam putih cara kita melihat Tuhan dan pekerjaan-Nya, makin susah kita melewati fase-fase ini, Pak Gunawan. Karena kita makin tidak mengerti. Tapi kalau memang kita sudah lebih mengerti bahwa mengikut Tuhan tidak berarti akan dibebaskan dari sakit penyakit. Kadang-kadang Tuhan akan biarkan kita terkena sakit penyakit dan sebagainya. Maka penting kita memiliki konsep yang tepat tentang Tuhan. Kalau tidak, kita mudah sekali merasa pahit kepada Tuhan.
GS : Iya. Dan saat-saat ini memang saat-saat yang cukup kritis. Saya kenal seseorang yang pada fase ini akhirnya dia bunuh diri.
PG : Dia pahit.
GS : Setelah dia tahu penyakitnya tidak tersembuhkan dan menjadi beban keluarganya. Yang kami jumpai, dia mengambil keputusan membunuh dirinya sendiri.
PG : Iya. Biasanya itu dia kecewa berat dan merasa pahit ya. Kok Tuhan tidak seperti itu ? Tuhan kok tidak penuh kasih sayang seperti yang kita yakini ? Intinya pada tahap ini relasi kita dengan Tuhan biasanya mencapai titik terendah, Pak Gunawan. Kita mesti mengerti kalau kita adalah orang yang disitu merawat dia, kita mengerti bahwa bisa jadi diajak berdoa pun sebetulnya dia sudah tidak mau. Kita mengerti sajalah, tidak usah menegur dia, memang tidak gampang berdoa karena sudah lama berdoa kok Tuhan tidak menjawab. Pada intinya pada tahap ini pengharapan sudah mulai menghilang, Pak Gunawan. Badan kita mulai mengecil, mengurus, penyakit kita tambah berat dan kita sudah tahu bahwa inilah akhir hidup kita, kita tidak akan sembuh, dan kita akan mati. Nah, jika proses perawatannya panjang dan menyakitkan, tidak bisa tidak kita makin terpuruk. Jadi, ada orang yang sudah begitu lemah harus menjalani perawatan-perawatan yang menyakitkan, jadi makin terpuruk. Nah, pada saat-saat seperti ini cukup sering si sakit tidak mau dikunjungi, Pak Gunawan. Saya sudah pernah bertemu orang-orang yang benar-benar menutup pintu. Tidak mau bertemu orang sama sekali. Karena bagi dia sudah tidak ada gunanya lagi bertemu orang dan berbincang-bincang. Dan orang-orang seperti ini memang mau mati, tidak bersemangat untuk hidup. Sebenarnya bukan ingin mati, bukan. Tapi dia tidak lagi ingin hidup karena buat dia hidup itu telah membawa kekecewaan yang begitu dalam.
GS : Dan dia tahu dia tidak bisa disembuhkan. Itu juga membuat dia putus asa dan depresi seperti ini.
PG : Iya.
GS : Tapi seandainya dia bisa melewati fase ini, fase berikutnya apa, Pak Paul?
PG : Kalau dia tidak bisa lewati, dia akan terus meluncur ke lembah yang dalam, dan bisa jadi seperti yang Pak Gunawan katakan, dia mengakhiri hidupnya. Atau sebaliknya dia dapat bangkit dan berserah kepada Tuhan. Jika dia bisa bangkit dan berserah kepada Tuhan, dia masuk ke fase terakhir yaitu penerimaan. Di fase ini kalau dia sudah bisa terima dia memang harus kena penyakit ini, nah perlahan-lahan dia disadarkan bahwa Tuhan telah baik kepada kita. Ingatan demi ingatan mulai masuk ke dalam benak kita. "Iya ya ternyata Tuhan baik, Tuhan mengasihi kita. Memang Tuhan tidak mengiyakan permohonan kita, tapi Dia tidak jahat lho. Dia Tuhan yang telah berkorban untuk kita. Dia mati untuk menanggung dosa kita." Akhirnya kita mulai mengambil langkah untuk berserah kepada kehendak Tuhan. Kita mulai menerima kenyataan bahwa kehendak Tuhan adalah keputusan yang terbaik. Bukan saja buat kita tapi juga buat orang di sekitar kita. Meskipun kita tidak mengerti kenapa kita harus kena penyakit ini, tapi kalau kita sudah terima, kita mulai kembali percaya. Kita mulai menyerahkan kekuatiran kita kepada Tuhan. Kita berkata, "Tuhan telah memelihara hidup saya, Dia pasti juga akan memelihara orang-orang yang kita tinggalkan." Di tahap ini pengharapan untuk sembuh sekarang tergantikan dengan pengharapan untuk berjumpa dan hidup bersama Tuhan di surga yang mulia.
GS : Ini dipengaruhi oleh keadaan orang itu semasa masih sehat atau tidak, Pak Paul ? Artinya kalau semasa masih sehat dia memang orang yang sungguh beriman, akankah dia akan tiba pada fase ini atau tidak ?
PG : Saya kira iya, Pak Gunawan. Kalau dia memang mempunyai relasi yang baik dengan Tuhan, pengertiannya tentang Tuhan juga tepat dan dalam, biasanya akan lebih cepat melewati semua ini. Dan banyak orang yang benar-benar kuat dalam Tuhan awalnya ada sedikit penyangkalan, tapi begitu dia bisa terima, benar-benar terima sampai akhirnya. Tidak melewati tahap tawar-menawar, tahap marah dan tahap keputusasaan. Tidak, langsung dia terima. Karena dia sungguh-sungguh percaya Tuhan tahu yang terbaik buat dia dan dia akan terima apapun yang Tuhan berikan buat dia.
GS : Peran pendamping atau keluarga disini juga sangat penting ya, Pak Paul? Untuk membangkitkan semangatnya, untuk membangkitkan kasihnya kepada Tuhan, Pak Paul.
PG : Betul. Biasanya memang kalau dia sudah sampai di tahap menerima, dia akan lebih jauh terima masukan-masukan rohani dari orang. Dia akan mau dikunjungi, mau berdoa. Saya sudah melihat orang di tahap seperti ini, Pak Gunawan. Waktu dikunjungi, waktu didoakan, waktu menyanyi bersama, dia benar-benar seperti sedang melihat Tuhan. Wajahnya, suaranya, benar-benar sudah begitu lain sekali ya. Karena di tahap itu dia memang sudah benar-benar dekat dengan Tuhan.
GS : Artinya dia sudah lebih siap daripada waktu masih fase marah atau fase putus asa itu, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi, pada tahap ini tubuh jasmaniahnya sudah semakin melemah tapi tubuh rohaniahnya akan makin kuat ya. Dia disadarkan Tuhan baik. Bahkan sewaktu dia sakit pun Tuhan baik. Ada banyak hal kecil yang terjadi dan mengingatkannya bahwa Tuhan beserta dia. Jadi, pada tahap ini fokusnya beralih dari dunia kepada surga, dari manusia kepada Tuhan.
GS : Apakah dalam kondisi seperti ini dia tidak lagi berharap untuk sembuh, Pak Paul ?
PG : Biasanya pada tahap ini dia tidak lagi berharap untuk sembuh. Jadi, pengharapan untuk sembuh mulai digantikan dengan pengharapan untuk bertemu dengan Tuhan dan hidup bersama Tuhan. Di saat itu memang dia jauh lebih siap. Selama dia terus berkutat "saya mau sembuh, saya mau sembuh", makin susah. Kalau dia sudah berkata, "Baiklah, sekarang pengharapan saya bukan pada kesembuhan lagi tapi pada saya akan bertemu Tuhan." Dia akan tujukan matanya ke situ.
GS : Seandainya pada waktu itu kita diminta untuk mendoakan orang sakit ini, sebenarnya tidak tepat lagi kalau kita berdoa supaya orang ini disembuhkan, Pak Paul ?
PG : Kalau dia tetap berharap untuk sembuh, kita akan berdoa untuk kesembuhannya. Tapi kalau dia sendiri berkata, "Saya sudah siap. Saya mau bertemu Tuhan." dan sebagainya, ya tidak apa-apa kita dapat berdoa, "Tuhan, Engkau dapat menyembuhkannya. Tapi kami juga mau berserah kepada kehendak Tuhan yang paling baik." Nah, kita bisa berdoa seperti itu.
GS : Dalam hal ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Di 2 Timotius 4:17-18 berkata, "Tetapi Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku, … Dia akan menyelamatkan aku, sehingga aku masuk ke dalam Kerajaan-Nya di sorga. Bagi-Nyalah kemuliaan selama-lamanya! Amin." Artinya adalah pada masa sakit pada akhirnya ya, kalau kita sudah bisa menerima kehendak Tuhan, barulah kita akan bisa berkata seperti Paulus, "Tuhan telah mendampingi aku. Tuhan telah menguatkan aku. Dan Dia akan menyelamatkan aku sehingga aku akan masuk kerajaan-Nya di surga." Jadi kita melihat tangan Tuhan yang telah bersama kita dan tangan yang sama itu yang akan nanti membawa kita masuk ke dalam kerajaan-Nya.
GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini. Saya percaya perbincangan ini bermanfaat bagi kita. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tatkala Divonis Terminal". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.