Tantangan Istri Yang Harus Bekerja

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T493B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Dewasa ini makin banyak istri yang bekerja. Sebagian sudah bekerja sebelum menikah, sebagian lagi baru bekerja setelah menikah. Ada yang senang bekerja—daripada menjadi ibu rumah tangga purnawaktu—dan ada yang terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apa pun alasannya, pada kenyataannya kebanyakan istri yang bekerja tetap harus menunaikan tanggung jawab di dalam rumah tangga. Berikut ini akan dipaparkan beberapa tantangan yang harus dihadapi istri yang bekerja dan cara mengatasinya.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Dewasa ini makin banyak istri yang bekerja. Sebagian sudah bekerja sebelum menikah, sebagian lagi baru bekerja setelah menikah. Ada yang senang bekerja—daripada menjadi ibu rumah tangga purnawaktu—dan ada yang terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apa pun alasannya, pada kenyataannya kebanyakan istri yang bekerja tetap harus menunaikan tanggung jawab di dalam rumah tangga. Berikut ini akan dipaparkan beberapa tantangan yang harus dihadapi istri yang bekerja dan cara mengatasinya.

  1. MAKIN TERBATASNYA WAKTU YANG SEHARUSNYA DIBERIKAN UNTUK DIRI SENDIRI.
    Kita tahu tanpa bekerja pun mengurus rumah tangga sudah menyita banyak waktu. Setelah bekerja, waktu untuk diri sendiri tentulah berkurang banyak. Akhirnya waktu yang tersisa sehabis bekerja harus digunakan untuk memenuhi kewajiban keluarga. Tidak bisa tidak, hal ini dapat menimbulkan stres; itu sebab perlu diambil tindakan untuk mencegah terjadinya stres. Memang, idealnya istri yang bekerja seharusnya dapat menikmati istirahat yang cukup untuk mengembalikan energi yang terkuras. Masalahnya adalah, pilihan ini tidak selalu tersedia. Itu sebab jalan satu-satunya untuk beristirahat atau menyegarkan diri adalah dengan cara memanfaatkan kesempatan yang muncul. Jangan menunda dan mengatakan, "Nanti saja," sebab nanti kesempatan itu belum tentu datang. Selain dari itu, waktu istirahat dan rekreasi harus diiris menjadi lebih tipis. Terutama pada masa anak kecil, pilihan mau ke mana sering kali harus mempertimbangkan faktor anak. Itu sebab, jika kita tidak dapat bepergian lama dan agak jauh, pergilah sebentar dan tidak jauh. Dengan bepergian singkat, misalkan selama sehari, kita pun tidak harus menyiapkan terlalu banyak barang. Dan, karena tidak jauh, kita pun lebih dapat menggunakan waktu untuk beristirahat.

  2. MAKIN TERBATASNYA WAKTU YANG DAPAT DIBERIKAN KEPADA SUAMI DAN ANAK-ANAK.
    Tidak jarang istri yang bekerja harus mengalami keterhimpitan: merasa dituntut kanan dan kiri, oleh pekerjaan di satu pihak dan oleh suami dan anak, di pihak lain. Sudah tentu, sesungguhnya ia ingin memberi waktu dan pelayanan lebih kepada suami dan anak-anak, namun itu tidak selalu dimungkinkan karena tuntutan kerja. Ia tidak enak hati meminta kemudahan dan perkecualian dari tempatnya bekerja. Sebagai akibat, ia terpaksa mengorbankan kepentingan keluarga.

    Sebagai manusia biasa dalam keterhimpitan, ia dapat kehilangan keseimbangan hidup—kesabarannya menipis dan pengertiannya berkurang. Ia mudah marah bila anak atau suami tidak melakukan apa yang diharapkannya dan ia pun cepat beremosi karena merasa dituntut. Jika tidak berhati-hati, kondisi ini dapat memperburuk relasinya dengan anak dan suami. Alhasil, teriakan, "Mama pulang!" bukanlah menjadi teriakan sukacita melainkan teriakan awas. Bukannya disambut, ia malah dijauhi sebab orang tidak mau menjadi sasaran kemarahannya.

    Bila inilah kondisinya sebaiknya ia berbicara apa adanya dengan suami bahwa sesungguhnya ia sudah stres, itu sebab ia sukar menoleransi apa pun yang tidak sesuai harapan. Sampaikan kepada suami bahwa ia membutuhkan bantuan suami, setidaknya sejam pertama ia tiba di rumah. Janjikan kepada suami bahwa setelah itu ia akan merasa lebih baik dan akan lebih dapat berfungsi mengurus keluarganya. Singkat kata, jauh lebih baik mengakui keterbatasan dan memohon bantuan, ketimbang marah-marah.

  3. BAGAIMANA MENJAGA KESEIMBANGAN RELASI DENGAN SUAMI.
    Tidak semua suami membawa penghasilan yang lebih besar dari istri dan tidak semua suami memunyai kedudukan yang lebih tinggi dari istri. Tidak bisa tidak, kesenjangan ini dapat menimbulkan konflik. Perkataan dan sikap istri mudah sekali ditafsir sebagai penghinaan, atau setidaknya, kurang menghargai suami, padahal belum tentu demikian adanya. Akhirnya relasi nikah pun terpengaruh dan memburuk.

    Suami yang merasa terancam biasanya mengeluarkan dua sikap:

    1. maju menyerang atau
    2. mundur teratur.
    Suami yang terancam dapat menjadi suami yang sama sekali tidak ramah kepada istri. Ia berusaha menggunakan setiap kesempatan untuk menjatuhkan atau mendiskreditkan istri agar ia tampil baik dan istri tampil buruk. Ia pun sukar diajak berkomunikasi karena cenderung defensif alias tidak boleh disalahkan. Walaupun salah, ia bersikeras bahwa ia benar sebab ia takut, ia akan makin tidak dihargai, walau faktanya berbeda. Suami yang merasa terancam juga dapat mundur teratur. Ia mengembangkan penilaian dan penghargaan diri yang rendah, karena merasa tidak setara dengan istri. Akhirnya ia merasa malu dilihat orang bersama istri karena beranggapan, pastilah orang memandang dirinya rendah. Itu sebab ia terus menghindar dan ini membuat istri frustrasi. Istri frustrasi karena apa pun yang dilakukannya untuk menjalin kerja sama atau memperbaiki hubungan selalu ditolak. Alhasil relasi pun kian memburuk.

    Istri yang bekerja dan membawa uang lebih banyak dari suami harus memahami dinamika ini. Memang seharusnya reaksi suami tidak demikian; seyogianyalah ia menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan dan ini adalah salah satunya. Terpenting adalah, ia tetap menjadi suami yang baik dan mengasihi istri dan anak. Namun, kita tidak hidup dalam dunia yang ideal. Reaksi suami terhadap keberhasilan istri tidak dapat dipastikan, bergantung pada kematangan jiwanya.

    Istri yang bekerja dan membawa uang yang lebih banyak dari suami harus tetap menunjukkan hormat kepada suami. Upayakan untuk terus melakukan hal-hal yang biasa dilakukan selama ini. Jangan mengubah apa-apa setelah penghasilan meningkat sebab tindakan seperti itu mudah diartikan sebagai keinginan untuk memegang tampuk kepemimpinan keluarga. Jadi, senantiasa tunjukkanlah respek kepada suami dengan mengajukan pertanyaan untuk meminta pendapatnya. Sikap dan perlakuan seperti ini membuat suami merasa dihargai seperti biasa.

    Masalah akan jauh lebih kompleks bila suami tidak dapat bekerja dengan baik atau ia memang pemboros serta tidak dapat mengatur uang. Dalam kondisi seperti ini terpaksa istri yang bekerja mesti lebih proaktif memonitor pemakaian uang dan mengevaluasi rencana suami. Jika memang berpotensi merugikan keluarga, istri harus mengingatkan suami, walau hal itu dapat membuatnya tersinggung. Ya, pada akhirnya kita harus memikirkan anak-anak dan tidak dapat membiarkan perahu rumah tangga karam, gara-gara keputusan suami yang tidak bijak.

BAGAIMANA MENJAGA BATAS DALAM PERGAULAN
Seyogianya di dalam dunia kerja kita berelasi dengan rekan secara profesional, bukan personal. Namun batas ini mudah kabur begitu kita merasa nyaman dengan orang. Akhirnya kita mulai menjalin relasi yang personal di dalam bungkus profesional. Sudah tentu tidaklah salah menjalin pertemanan personal dengan rekan kerja. Masalahnya adalah pertemanan personal ini mudah berubah bentuk menjadi hubungan pribadi yang romantik, di mana dasar pertemanan bukan lagi kesamaan minat dan pikiran tetapi ketertarikan. Ditambah dengan lamanya waktu yang dihabiskan bersama di tempat kerja, relasi personal dan romantik ini cepat bertumbuh dan mengakar, membuahkan perzinahan. Jika di masa lampau mayoritas kasus perzinahan dilakukan oleh pria, sekarang cukup banyak wanita yang terlibat dalam perzinahan juga. Dan, salah satu wadahnya adalah pertemuan lewat dunia kerja, baik itu dengan sesama rekan atau orang yang ditemui lewat pekerjaan. Sudah tentu saya tidak mengatakan bahwa istri yang tidak bekerja imun terhadap godaan perzinahan. Sebagai sesama orang berdosa kita semua rawan, tanpa kecuali. Namun, saya mesti mengakui bahwa kesempatan untuk jatuh ke dalam dosa ini membesar seiring dengan membesar dan mendalamnya relasi dengan orang, biasanya melalui dunia kerja. Istri yang bekerja harus menjaga batas. Tolaklah dengan halus ajakan untuk makan siang atau makan malam bersama—berduaan. Batasi komunikasi dengan teman sekerja; begitu pulang ke rumah, jadilah istri dan ibu bagi keluarga. Jangan terus meladeni obrolan secara on-line. Batasi informasi yang dibagikan dengan teman sekerja, apalagi dengan yang berlawanan jenis. Informasi personal membuka pintu masuknya orang ke dalam hidup kita secara personal pula. Dan, peliharalah takut akan Tuhan; bawalah spirit "takut akan Tuhan" di mana pun kita berada.

Amsal 31:10, 30 berkata, "Istri yang cakap, siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga daripada permata . . . . Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi istri yang takut akan Tuhan dipuji-puji." Ya, "takut akan Tuhan" akan memandu langkah hidup kita di mana pun kita berada—di rumah ataupun di tempat kerja.