Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Tantangan Berat Di Hari Tua". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, menurut statistik katanya rata-rata umur manusia di Indonesia ini bertambah. Artinya lebih banyak orang yang memasuki masa tuanya daripada dulu-dulu. Mungkin karena kondisi kesehatan yang baik. Tetapi makin panjang usia seseorang, masalahnya juga makin bertambah, Pak Paul. Ini yang seringkali dihadapi oleh para manula (manusia usia lanjut) dan tidak siap. Bagaimana saran Pak Paul?
PG : Kebanyakan kita berharap setelah berjerih payah pada masa muda kita akan dapat menikmati hidup pada masa tua. Mungkin kita membayangkan kita akan hidup dengan lebih santai dan tenteram, tidak banyak persoalan lagi yang musti dihadapi. Namun kadang harapan tidak kunjung menjadi kenyataan. Sebaliknya kita malah harus memikul beban yang justru lebih berat daripada beban yang kita pikul di masa muda. Nah, pada kesempatan ini kita akan melihat beban seperti apakah yang kadang mengunjungi kita di hari tua. Sudah tentu untuk mendapatkan panduan yang kita butuhkan kita juga akan melihat firman Tuhan.
GS : Iya. Yang pertama, apa beban hidup hidup bagi manula, Pak Paul ?
PG : Kesulitan ekonomi, Pak Gunawan. Ini adalah kesulitan hidup pertama yang kadang datang. Bagi kita yang mempunyai penghasilan yang baik, kita bisa menabung untuk hari tua. Namun bagi kita yang hidup pas-pasan, kita tidak bisa menabung sebab untuk mencukupi hidup sehari-hari saja sudah sulit. Nah, bila kita berada dalam situasi ini dan anak-anak pun hidup secara pas-pasan, maka di masa tua kita akan mengalami kesulitan. Kita sudah tidak bekerja, jadi tidak berpenghasilan, sedangkan pengeluaran tetap berjalan.
GS : Memang masalah ekonomi ini sering dihadapi oleh banyak orang ya. Hampir sebagian besar memang masalahnya disini ya. Tapi masa produktif itu yang sementara seseorang itu masih bisa bekerja, ini pun kadang-kadang tidak semua orang dapat lapangan kerja yang memungkinkan untuk menabung. Ini yang menjadi kesulitan pada masa tuanya kelak.
PG : Iya. Kita juga belum menerapkan sistem pensiun yang merata. Hanya sedikit sebetulnya perusahaan yang memunyai sistem pensiun yang jelas. Ada yang namanya pesangon tapi memang sebetulnya tidak begitu banyak. Namun sistem pensiun dimana seseorang yang sudah mengabdi beberapa lama nanti akan mendapatkan tunjangan per bulan, tunjangan yang memadai untuk dia hidup, saya kira perusahaan yang menyediakan pensiunan seperti ini bisa dihitung. Jadi, kebanyakan memang tidak ada.
GS : Iya. Karena kadang-kadang sebelum karyawannya ini meninggal, perusahaannya sudah tutup lebih dulu, Pak Paul. Jadi, tidak mungkin bisa memberikan pensiun untuk jangka panjang seperti itu.
PG : Betul. Kalaupun perusahaannya tidak tutup, memang tidak ada sistem pensiun yang sudah mapan di dalam perusahaan tersebut. Akhirnya setelah pensiun, diharapkan bisa hidup dari anak-anak yang membantu orangtua. Masalahnya adalah kadang anak-anak juga hidup pas-pasan. Saya pernah bicara dengan orangtua yang menderita sakit dan akhirnya kesulitan membiayai, dia berkata, "Saya tidak bisa meminta kepada anak-anak sebab mereka tidak ada yang berkemampuan membantu." Dia sebutkan anak-anaknya bekerja sebagai apa. Akhirnya dia juga sulit sekali. Inilah kenyataan hidup yang mesti dihadapi, Pak Gunawan.
GS : Memang masalah ekonomi bukan hanya dialami oleh mereka yang tadinya tidak bekerja atau bekerja dengan gaji yang pas-pasan ya. Dengan orang-orang yang gajinya sebenarnya mencukupi, itu pun seringkali menghadapi kesulitan ekonomi pada masa tuanya.
PG : Iya. Karena pada akhirnya uang yang disimpan akan habis. Tadi Pak Gunawan sudah sebut, usia itu bisa mencapai tahapan yang jauh lebih lanjut sehingga akhirnya masa pensiun menjadi tambah panjang. Itu artinya butuh uang yang lebih banyak untuk membiayai hidup sampai beberapa tahun ekstra. Kalau kita memang tidak punya simpanan yang sangat sangat sangat banyak, akhirnya simpanan kita habis. Makanya tidak jarang ada orang yang di hari tua terpaksa menjual, misal rumahnya, supaya bisa mencukupi kebutuhannya. Atau mungkin harus menjual mobil atau kendaraannya, dan itu tambah menyusahkan hidup mereka tapi tidak ada pilihan lain. Jadi, saya harus mengaku saya tidak punya solusi untuk masalah ini. Saya mengerti betapa peliknya masalah ini. Sudah tentu saya bersyukur kepada Tuhan karena sekarang sudah ada BPJS sehingga biaya perawatan medis sedikit banyak tertutupi. Namun saya pun mahfum bahwa kita tetap memerlukan uang ekstra untuk kesehatan berhubung pada hari tua penyakit datang silih berganti. Dalam kondisi seperti ini kita hanya dapat berdoa, meminta Tuhan terus memelihara kita. Sebagaimana Ia telah memelihara kita di masa lampau melalui penghasilan dari pekerjaan kita, sekarang kita bersandar kepada-Nya untuk memelihara kita di masa tua melalui cara-Nya yang tak terbayangkan. Kita pegang perkataan Yesus, Putra Allah, yang dicatat di Matius 6:26 dan 34. "Pandanglah burung-burung di langit yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung namun diberi makan oleh Bapamu yang di Surga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? … Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok sebab hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."
GS : Iya. Memang seringkali kita itu membuat kesalahan pada masa muda, pada masa kita masih produktif dan sebenarnya masih bisa menabung. Tetapi kita tidak lakukan hal itu, Pak Paul. Kita memenuhi keinginan-keinginan kita sehingga pada masa tua kita memang mengalami kesulitan yang luar biasa.
PG : Adakalanya memang tanggung jawab kita. Betul, Pak Gunawan. Kita ini seharusnya lebih berhematlah atau lebih banyaklah menyisihkan uang untuk kita tabung, jangan hanya menuruti kata hati dan kesukaan pada masa muda, pokoknya beli saja dulu. Itu memang terjadi ya, Pak Gunawan. Namun di samping itu kita juga menyadari ada sebagian orang yang memang tidak memunyai uang lagi untuk disisihkan atau kalaupun ada untuk disisihkan, tidak terlalu banyak lagi sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, uang itu habis.
GS : Iya. Memang kesulitannya adalah mengubah gaya hidup. Setelah seseorang itu tidak lagi produktif, tidak lagi bisa bekerja dengan baik, maka mengubah pola hidup ini agak sulit dialami. Misalnya tidak lagi makan di luar setiap malam minggu atau tidak bepergian keluar kota dengan biaya tinggi. Buat sebagian orang sulit meninggalkan kebiasaan-kebiasaan itu.
PG : Betul. Apalagi kalau mereka sudah dikenal sebagai orang yang memunyai kemampuan ekonomi di atas ya. Mereka dipandang dan dihormati orang padahal sebetulnya di hari tua itu semua sudah berubah. Mereka tidak lagi punya uang untuk itu. Tetapi karena sudah terbiasa dan malu untuk berterus terang, misalnya menjual rumahnya untuk menempati rumah yang lebih kecil, akhirnya tetap memertahankan hidup seperti itu. Misalnya mereka punya anak, ada yang memang membebani anaknya. Tidak mau tahu pokoknya anaknya harus berikan uang pada mereka. Atau ada juga, yang saya tahu, akhirnya dalam pekerjaannya menipu sana sini supaya bisa membiayai kehidupannya yang di atas itu.
GS : Ada pula yang pakai sistem berhutang. Padahal dia sendiri tahu bahwa dia akan kesulitan membayar hutang itu dengan bunga yang cukup tinggi. Tapi itu dilakukan demi itu tadi, memenuhi keinginan-keinginannya yang sulit untuk diubah.
PG : Iya. Memang masalah ekonomi ini menjadi masalah banyak kaum yang sudah lanjut usia.
GS : Seringkali juga kesalahan masa muda ini baru disadari ketika tua ketika dia sudah tidak lagi mampu memerbaiki kesalahannya.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Masa tua bagi sebagian orang menjadi masa yang penuh penderitaan karena adanya masalah ekonomi ini.
GS : Iya. Selain masalah ekonomi, beban apa lagi, Pak Paul ?
PG : Beban kedua yang mungkin mengunjungi kita di hari tua adalah masalah anak, Pak Gunawan. Ada anak yang sudah menyimpan masalah sejak kecil atau muda. Setelah dewasa, pada masa kita tua, masalahnya bertambah dan menjadi beban buat kita. Ada pula anak yang pada masa kecil dan muda tidak bermasalah. Sekolah dan pergaulan baik, kerohanian juga baik, setelah menikah barulah dia mulai bermasalah. Akhirnya pernikahannya hancur dan kehancuran pernikahan disusul dengan kehancuran hidup. Nah, kita terpaksa mengulurkan tangan untuk menolong sedapatnya. Jadi, kita memang tidak dapat memastikan masa depan anak. Sebaik apa pun kita berusaha dalam membesarkannya, pada akhirnya kita tidak tahu akan seperti apakah ia kelak. Hidup penuh dengan keputusan dan anak harus mengambil keputusan dengan bijak. Ada kalanya anak mengambil keputusan yang salah. Bukan sekali, tetapi berulang kali. Tidak bisa tidak, kita pun terseret dan terkena getah perbuatannya. Maka inilah yang terjadi, Pak Gunawan, ada anak yang meninggalkan cucu jadi kita yang harus merawat. Ada anak yang meninggalkan utang kita yang harus membayar! Masa tua akhirnya jauh dari ketenteraman, justru yang datang adalah kecemasan.
GS : Ya. Memang kita bersyukur punya anak. Tetapi kalau anak bisa menimbulkan masalah seperti ini kadang orang berpikir tidak usah punya anak banyak-banyak supaya tidak terlalu banyak masalah.
PG : Tapi kadang kita tidak bisa sama sekali memastikan, Pak Gunawan. Sebab, Pak Gunawan juga pasti tahu, orang-orang yang seperti ini anak-anaknya pada masa kecil dan sudah masuk masa remaja pemuda baik-baik! Melayani Tuhan, kemudian menikah juga masih baik-baik saja, eh, tapi akhirnya bermasalah. Akhirnya pernikahannya berantakan. Akhirnya kita orangtua yang harus turun tangan. Jadi, kita sudah tua, sakit-sakitan, akhirnya harus mengurus cucu. Kita harus menanggung utang anak-anak kita. Jadi, tidak habis-habis masalah itu muncul.
GS : Seperti masalah ekonomi yang mungkin bisa kita antisipasi sebelumnya, masalah anak ini tidak bisa kita antisipasi sebelumnya ya.
PG : Iya, tidak bisa, Pak Gunawan. Di Alkitab ada kisah yang mencerminkan apa yang kita bicarakan ini, yaitu Raja Daud. Kita tahu Raja Daud mencintai Tuhan, mencintai keluarganya, namun di hari tua dia justru dirundung masalah oleh anak. Pertama, Amnon, putra sulungnya menodai Tamar, putri satu ayah berlainan ibu. Berikutnya, Absalom, putra ketiganya yang berusaha menggulingkan pemerintahannya. Sebelum dia melakukan itu dia membunuh Amnon karena menodai Tamar, adik seayah dan seibunya. Akhirnya Absalom mati dalam peperangan. Setelah wafat, masalah Daud berlanjut. Adonia, seorang putranya, berusaha merebut tahta dari Salomo, pewaris mahkota. Dia akhirnya mati di tangan Salomo. Jadi, kita bisa simpulkan Daud tidak menikmati hari tua yang tenteram karena ulah anak-anaknya. Kita sebagai orangtua, memang kita tidak bisa sepenuhnya lepas tangan. Walau anak sudah akil balig, dia tetap anak. Jadi, silakan menolong anak tetapi bersikaplah bijak. Kita harus membedakan antara menolong dan memungkinkan anak atau membuka pintu bagi anak untuk terus bermasalah. Sebagai contoh, bila dia berutang karena berjudi. Ya tidak apa-apalah kita menolongnya satu kali untuk membayar utangnya, tetapi tidak dua kali ! Kita harus tega membiarkannya menanggung akibat perbuatannya. Bila keluarganya terlantar oleh karena ulahnya sehingga mereka tidak memunyai tempat berteduh, silakan buka pintu untuk cucu dan mungkin pula menantu, tetapi untuk dia tidak. Kita mesti bersikap tegas kepadanya sebab kita tidak mau menjadikan dia benalu. Amsal 19:13 berkata, "Anak bebal adalah bencana bagi ayahnya." Jadi, ini prinsipnya, Pak Gunawan. Silakan menolong anak tetapi jaga batas agar dia tidak menimpakan bencana kepada kita.
GS : Tetapi mau tidak mau ‘kan menimbulkan masalah tersendiri buat kita, Pak Paul. Misalnya tinggal serumah dengan kita, biaya kehidupannya itu menjadi tanggung jawab kita. Ini kembali ke masalah pertama tadi tentang ekonomi. Walaupun kita sudah siapkan untuk berdua, suami istri yang lanjut usia, tetapi dengan bertambahnya kehadiran keluarga lain yang di rumah jadi tidak cukup, Pak Paul.
PG : Betul. Memang gara-gara ulah anak, banyak orangtua akhirnya kena getahnya. Harus membayar utang, saya juga tahu ada yang harus ikut lari karena anaknya utang dan dicari-cari orang jadi harus ikut lari meninggalkan kehidupannya dan hidup menderita. Jadi, begitu banyak masalah di hari tua bukan karena kita hidup tidak bertanggung jawab tetapi karena anak kita hidup tidak bertanggung jawab.
GS : Iya. Beban lainnya apa, Pak Paul ?
PG : Beban ketiga yang ada kalanya datang mengunjungi kita di hari tua adalah pasangan sakit dan memerlukan perawatan jangka panjang. Mungkin dia menderita kelumpuhan atau mungkin dia terkena penyakit parkinson. Apapun itu sebagai pasangan kita harus merawatnya. Kita mau merawatnya tetapi kadang kita merasa tidak sanggup, sebab kita sendiri sudah tua. Walau ada perawat atau pembantu, kita tetap mesti terlibat, apalagi kalau tidak ada perawat atau pembantu. Pada akhirnya kita menjadi letih dan kadang kehilangan kesabaran. Kita manusia terbatas, kita tidak selalu kuat, kadang kita tidak tahan lagi, kita ingin menyerah, kita tidak sanggup lagi merawat pasangan yang sakit, apalagi bila dia karena sakit sering memarahi kita. Beban seperti ini sangat berat, Pak Gunawan. Masalahnya adalah tidak selalu kita bisa meminta bantuan anak atau orang lain. Kadang hanya kitalah yang dapat merawat pasangan. Ada anak yang mau tahu orangtuanya, ada anak yang tidak mau tahu orangtuanya. Ada anak yang mau tahu orangtuanya tapi tidak berkemampuan untuk menolong karena harus kerja banting tulang dari pagi sampai malam. Akhirnya kita mengalami depresi. Sebab walau sudah tidak berdaya, tetap harus kita merawat. Kadang kita pun merasa bersalah, Pak Gunawan. Sebab kadang-kadang kita mau menyerah tidak mau lagi merawat dia, akhirnya kita melihat diri sebagai pasangan yang tidak setia. Betapa banyaknya kecamuk emosi dan perasaan pada diri kita kalau pasangan kita terkena penyakit yang menahun.
GS : Kadang-kadang kita sendiri juga ikut sakit, Pak Paul. Yang sakit bukan hanya pasangan kita, tetapi kita sendiri sakit. Ini jadi beban yang berat sekali bagi keluarga ini.
PG : Berat, Pak Gunawan. Saya pernah menyaksikan seorang ibu tua 80-an tahun, setiap hari pergi naik bus mengunjungi suaminya yang dirawat di sebuah tempat perawatan. Merawat si suami sampai sore sudah mau malam dia baru pulang, naik bus lagi, Pak Gunawan ! Saya juga tahu seorang yang berumur 80-an ke atas, suaminya juga sudah tua 80-an ke atas, tapi suaminya tidak bisa berbuat apa-apa. Si istri yang harus angkat suaminya, membersihkan kalau dia buang air dan sebagainya. Dia sendiri mengeluh, "Saya sudah sebegini tua harus mengangkat-angkat suami saya. Sudah tidak sanggup lagi." Inilah bagian dari penderitaan orangtua, Pak Gunawan.
GS : Hanya sebagian yang dikatakan beruntung karena anaknya atau menantunya cukup perhatian pada mereka. Mungkin ada contoh di Alkitab ?
PG : Untuk suatu masa dalam kehidupannya, Rut harus merawat dan menopang Ibu mertuanya, Naomi. Karena kasih dan tanggung jawabnya kepada mertuanya, Rut meninggalkan tanah air dan kaum sebangsanya. Dia tidak tahu akhir kehidupannya. Yang dia ketahui adalah dia harus menemani Ibu mertuanya. Namun hidupnya berakhir baik. Dia menikah kembali, setelah suaminya juga sudah meninggal dan Naomi bisa tinggal bersamanya. Dari garis keturunannya lahirlah Raja Daud dan Mesias Juru selamat dunia yaitu Yesus Tuhan kita. Jadi, tidak mudah mendampingi orang yang sudah tua, lebih tidak mudah lagi merawat pasangan yang telah tua dan sakit-sakitan. Mungkin hidup kita tidak berakhir indah seperti kehidupan Rut di Alkitab, tapi yang pasti adalah Tuhan memunyai rencana dan mendampingi pasangan yang sakit adalah bagian dari rencana-Nya. Mungkin sampai kita meninggalkan dunia, kita tidak akan mengerti rencana Tuhan secara menyeluruh. Tapi yakinlah bahwa menolong orang adalah kehendak Tuhan dan lewat menolong orang, Tuhan menjalankan roda rencana-Nya.
GS : Iya. Memang kalau kondisinya sudah seperti ini, satu-satunya ya kita hanya bisa pasrah kepada Tuhan, biar rencana-Nya yang terbaik yang terjadi atas hidup kita ya. Terus memohon kekuatan untuk terus menjalani kehidupan ini.
PG ; Ya.
GS : Apakah masih ada beban yang lain, Pak Paul ?
PG : Ada satu lagi beban yang kadang datang ke dalam hidup kita pada masa tua yakni kematian pasangan. Apabila hubungan pernikahan kita tidak terlalu harmonis atau bahkan buruk, kematian pasangan tidak terlalu menghadirkan beban dalam hidup kita. Namun bila pernikahan kita relatif hangat dan harmonis, kematian pasangan akan memberi pengaruh besar pada hidup kita. Bukan saja kita terguncang, kita pun bingung. Kita tidak tahu mesti berbuat apa dalam hidup sepeninggalnya. Kita merasa kehilangan tempat di dunia ini. Jika kita punya hubungan baik dengan anak dan kondisi memungkinkan, kita bisa tinggal serumah dengan anak. Tapi ada kalanya kondisi tidak memungkinkan dan hubungan dengan anak juga tidak terlalu akrab. Akhirnya kita harus tinggal sendiri. Bila itulah yang mesti kita hadapi, satu hal yang mesti kita lakukan adalah bergabung dalam komunitas baik itu di gereja atau perkumpulan lainnya. Isilah hari dengan kegiatan, jangan mengurung diri. Satu lagi yang penting, kita harus memerhatikan orang dan tidak hanya mengharapkan orang memerhatikan kita. Apabila duduk pasif dan berharap orang datang dan mengajak kita pergi, kita akan kecewa. Pada akhirnya orang hanya akan memerhatikan kita jika kita pun memerhatikan mereka. Jadi, jangan sampai kita terjerumus masuk ke lembah mengasihani diri. Makin sering kita keluar dari diri sendiri dan memerhatikan sesama, makin banyak orang mengisi hidup kita.
GS : Iya. Selama kita masih sehat mungkin kita masih bisa lakukan itu, Pak Paul. Tapi kadang-kadang setelah kematian pasangan, kondisi fisik seseorang itu menurun dan sakit. Jadi, terpaksa butuh bantuan orang lain. Memang kalau anak-anak masih perhatian ya kita harus mensyukurinya. Tetapi ‘kan kadang-kadang tidak. Ini ‘kan kesulitan.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Memang idealnya kalau pasangan sudah tidak ada, kita bisa tinggal dengan anak kita, tetapi memang itu tidak selalu bisa terjadi. Ada anak yang mau ikut dengan orangtua tapi menantu tidak mau. Akhirnya orangtua merasa tidak disambut. Ada juga orangtua yang mau tinggal dengan anak tapi dia mengerti anaknya seperti apa. Ada anak yang memang mungkin hatinya baik tapi mulutnya tajam sehingga ada orangtua yang mengeluh kepada saya, "Aduh, hati saya seperti teriris-iris. Kalau anak saya marah, dia marah seenaknya, tidak ingat lagi saya ini siapa." Jadi, ada banyak pertimbangan sehingga ada orangtua yang berkata, "Lebih baik saya tinggal sendiri." Ada juga orangtua yang berkata, "Saya kalau tidak ingat saya ini anak Tuhan, saya akan lari kabur dari rumah dan saya akan tinggal di jalanan daripada tinggal dengan anak dan diperlakukan seperti itu."
GS : Bagaimana dengan ide menikah kembali, Pak Paul ?
PG : Mungkin ini adalah jalan yang baik dan mungkin ini adalah kehendak Tuhan bagi kita. Sungguh pun demikian kita harus berhati-hati dan tidak gegabah memilih pasangan hidup. Salah pilih bisa membuat hari tua kita bukan bertambah tenteram tapi malah bertambah kacau. Juga, jangan sampai kita meninggalkan masalah kepada anak sepeninggalnya kita. Oleh karena ketidakjelasan dan ketidaktegasan kita, akhirnya anak dan pasangan baru kita bersengketa warisan. Jadi, kita memang harus berhati-hati kalau memertimbangkan menikah kembali.
GS : Ini pun harus minta pertimbangan dari anak-anak juga ya sehingga tidak menimbulkan masalah baru.
PG : Betul dan tidak jarang anak-anak tidak setuju. Sebelum menikah kembali, anak-anak akrab dengan kita. Setelah kita menikah kembali, anak-anak menjauhkan diri. Jadi, kita mesti benar-benar memikirkan dampaknya. Memang menikah kembali bisa saja kehendak Tuhan dan kita akan merasa hidup kita lebih baik tapi mesti dipertimbangkan dampaknya pada keluarga besar kita pula.
GS : Juga mesti memertimbangkan berapa usia kita saat itu untuk menikah kembali. Masih memungkinkan atau tidak untuk membangun keluarga baru. Karena ini sebuah masalah tersendiri.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi, betul-betul perlu pertimbangan dan jangan sampai gegabah.
GS : Iya. Apakah ada janji firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Melalui Nabi Yesaya 46:4, firman Tuhan mengantar kita memasuki hari tua dengan iman, "Sampai masa tuamu dan sampai putih rambutmu, Akulah Dia, Akulah Dia yang akan memeliharamu. Akulah yang menciptakanmu dan Aku akan menggendongmu. Aku akan memeliharamu dan Aku akan menyelamatkanmu." Jadi, walau beban berdatangan di hari tua, yakinlah bahwa Tuhan sudah datang terlebih dahulu. Dia akan memelihara kita.
GS : Satu hal yang penting kita lakukan adalah bersandar kepada Tuhan. Tetap berpegang teguh pada janji-Nya karena ini yang bisa memberikan jaminan kepada kita.
PG : Iya.
GS : Iya. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tantangan Berat Di Hari Tua". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.