Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Tahan Banting". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, istilah tahan banting ini cukup sering kita dengar ya. Tapi memang jarang, apalagi sekarang ini dengan semua kemudahan dan semua fasilitas, orang yang tahan banting itu semakin langka. Justru yang banyak kita temui adalah orang yang seperti keramik yang sangat mudah pecah. Ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Iya, betul sekali, Pak Gunawan. Akhirnya di jaman ini orang hidup terlalu mudah sehingga tidak terlatih ya. Kita biasanya mengatakan seseorang tahan banting artinya orang itu kuat, begitu kuatnya sehingga bila orang itu terbanting dia tetap bertahan. Nah, mungkin kita beranggapan bahwa tahan banting adalah bawaan lahiriah, kita ini tidak berandil sama sekali, orang itu lahir sudah kuat. Pendapat ini keliru, Pak Gunawan. Sebab pada kenyataannya karakter tahan banting bukanlah bawaan dari lahir melainkan bentukan dari lingkungan. Satu faktor lagi, ternyata karakter tahan banting merupakan produk dari pilihan yang kita buat dalam menghadapi kesulitan hidup. Ada orang-orang yang memang mengambil keputusan atau membuat pilihan yang membuat dia tambah hari tambah kuat. Sebaliknya ada orang-orang yang mengambil keputusan dalam hidup yang justru membuat dia tambah hari tambah lemah. Ini yang mau kita pelajari, seperti apa sih orang yang tahan banting dan seperti apa sih karakter tersebut supaya kita juga bisa belajar.
GS : Sebenarnya di dalam Alkitab cukup banyak orang yang tahan banting, Pak Paul. Misalnya Yusuf, Musa, kemudian juga Rasul Paulus di Perjanjian Baru, itu juga orang-orang yang tahan banting, terutama Tuhan Yesus sendiri, Pak Paul.
PG : Iya. Betul sekali.
GS : Bagaimana kita akan memelajari ciri-cirinya atau kita belajar dari orang-orang yang tahan banting ini ? Mestinya kita mau menjadi orang yang tahan banting tapi itu ‘kan melalui proses yang menyakitkan.
PG : Betul. Ada beberapa, Pak Gunawan. Pertama, orang yang tahan banting adalah ORANG YANG BERTANGGUNG JAWAB ATAS HIDUPNYA. Orang yang tidak bertanggung jawab atas hidupnya, bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan dan kebahagiaan hidupnya tidak mungkin menjadi tahan banting. Sebaliknya, dia menjadi orang yang tidak terlatih menghadapi tantangan hidup. Akhirnya dia menjadi orang yang lemah, begitu tantangan datang dia retak atau lari. Poin saya adalah orang yang tidak bertanggung jawab atas hidupnya, orang yang bergantung pada orang lain untuk kebutuhan dan kebahagiaan hidupnya akhirnya selalu mengharapkan orang lain yang mengatasi persoalan apapun dalam hidup ini sehingga dia sendiri tidak terlatih untuk menghadapi persoalan hidupnya. Akhirnya dia menjadi orang yang lemah. Begitu harus menghadapi tantangan, kalau bisa dia lari, kalau terpaksa harus hadapi belum apa-apa dia sudah retak. Sebaliknya orang yang tahan banting adalah orang yang sejak muda telah memikul tanggung jawab atas kebutuhan dan kebahagiaan hidupnya. Alhasil dia terbiasa menghadapi kesulitan dan pukulan hidup. Dia tahu apa artinya kecewa dan dia tahu apa artinya susah. Namun karena dia harus bertanggung jawab atas hidupnya dan mungkin pula hidup orang lain, dia memilih untuk berjalan terus dan tidak menyerah. Ini membuatnya kuat alias tahan banting.
GS : Sebenarnya disini peran orangtua itu juga besar sekali, Pak Paul. Kalau orangtua terlalu melindungi anaknya dan memberikan kemudahan-kemudahan, akhirnya anak ini bisa menjadi orang yang tidak tahan banting.
PG : Betul.
GS : Mendapat kesulitan sedikit, orangtuanya yang maju menyelesaikan. Anak ini merasa tidak bertanggung jawab. Karena memang tidak diberi tanggung jawab, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi, sebagai orangtua kita juga harus bijaksana ya. Jangan sampai kita terus menyelamatkan anak kita dari persoalan hidup. Ada hal-hal yang mesti dihadapinya dan biarkan dia menghadapinya. Meskipun dia nanti agak babak belur, agak sedih, kecewa atau apa, biarkan. Karena hal-hal itulah yang membuat anak-anak kita itu nantinya tangguh dan tahan banting.
GS : Orangtua itu bermaksud baik, artinya melindungi anaknya. Tapi akibatnya itu lho bisa seperti ini, menjadi orang yang tidak bertanggung jawab.
PG : Betul sekali. Sekali lagi kita ulang bahwa ciri pertama orang yang tahan banting adalah orang yang bertanggung jawab atas hidupnya. Kalau dia mengharapkan orang lain yang bertanggung jawab atas hidupnya, dapat dipastikan dia akan menjadi orang yang lemah, tidak tahan banting.
GS : Ciri lainnya apa, Pak Paul ?
PG : Kedua, orang yang tahan banting adalah ORANG YANG MENERIMA KENYATAAN HIDUP TANPA BANYAK MENGELUH. Sebaliknya orang yang tidak tahan banting adalah orang yang sukar menerima kenyataan dan cepat mengeluh. Dia hidup dalam dunia khayal, dalam pengertian dia beranggapan bahwa hidup tidak semestinya seperti apa adanya hari ini. Dia tidak mau menerima kenyataan bahwa apa yang di depan matanya adalah fakta kehidupan yang mesti diterimanya dan dia terus mengeluh seakan-akan dengan mengeluh dia dapat mengubah fakta. Sebagai contoh orang yang begitu kerja tak lama sudah merasa tidak cocok, "Aduh, tidak cocok. Aduh, atasan saya begini. Aduh, orang-orangnya begini." Belum apa-apa sudah mengeluh, Pak Gunawan. Tidak bisa menerima kenyataan hidup bahwa ini sesuatu yang harus dihadapinya. Tidak ada dunia yang sempurna, tidak ada tempat kerja yang sempurna. Dia sudah masuk ya sudah cobalah dulu, berikan waktu yang lebih panjang. Nah, orang yang tahan banting adalah orang yang menerima kenyataan hidup dan tutup mulut, tidak mengeluh. Jadi, orang yang tahan banting ini berusaha hidup dalam kenyataan. Dia tidak berusaha menghindar, sebaliknya dia memilih menghadapi kenyataan tidak peduli seberapa buruknya kondisi. Ternyata orang yang memilih menghadapi kenyataan pada akhirnya akan hidup lebih ringan dan bahagia. Dia tidak dikejar-kejar ketakutan karena dia tahu apa yang dihadapinya. Dia pun tidak mengeluh karena ia tahu, keluhan tidak akan mengurangi tekanan yang dihadapinya. Sebaliknya, mengeluh justru memperlemah daya tahannya.
GS : Ya. Biasanya itu ketika seseorang mulai membandingkan dirinya dengan orang lain. Tadinya dia memang bisa menerima kenyataannya seperti itu. Tapi ketika dia membandingkan dengan orang lain, "Orang lain tidak mengalami seperti saya. Kenapa hanya saya yang mengalami ini?" Nah, disana dia mulai kehilangan kekuatan untuk tahan banting ini, Pak Paul.
PG : Betul. Saya pernah mendampingi beberapa orang menghadapi penyakit terminal, penyakit yang berat, Pak Gunawan. Saya perhatikan, orang yang berani menghadapi kenyataan bahwa dia itu terkena penyakit yang berat dan besar kemungkinan dia tidak akan bisa sembuh lagi, justru karena dia menerima dengan apa adanya, saya melihat mereka lebih ringan, Pak Gunawan. Yang lebih berat adalah orang yang tidak bisa menerima itu, terus mengeluh, "kenapa saya kena penyakit ini, kenapa Tuhan tidak adil", justru tambah berat. Tapi orang-orang yang menerimanya dan berkata, "Ya sudah, saya mungkin akan meninggal dunia, saya tidak bisa hidup terlalu lama lagi, tidak apa-apa. Saya hadapi sebisa-bisanya. Apa yang bisa saya lakukan, saya lakukan. Pokoknya kita ini sudah tahu nanti kita dipanggil pulang akan pulang ke Rumah Tuhan." Nah, justru mereka akhirnya lebih ringan dan lebih bisa menikmati hidup, Pak Gunawan.
GS : Tapi itu ‘kan sudah terjadi atau sudah dimiliki sejak dia belum sakit, Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Jadi, sebelum dia sakit dia memang sudah punya mental seperti itu.
PG : Betul. Jadi, kalau kita memang tidak terbiasa untuk melihat kenyataan, mengakui kenyataan dan hidup dalam kenyataan itu, sewaktu kita ditimpa kemalangan yang besar, ya dapat dipastikan kita akan kocar-kacir, Pak Gunawan. Kita tidak akan bisa berdiri tegak menghadapinya. Tapi kalau kita terbiasa hidup dalam kenyataan ini, ya meskipun harus mengurangi ini itu, tapi ya sudah kita hadapi. Nah, waktu kita ditimpa kemalangan yang besar, biasanya kita lebih mampu menghadapinya dan hati kita lebih ringan.
GS : Jadi, itu memang harus dipersiapkan sejak dini dan sejak kita itu masih sehat.
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Yang ketiga apa, Pak Paul ?
PG : Orang yang tahan banting adalah ORANG YANG POSITIF DAN HUMORIS. Orang yang tahan banting adalah orang yang bisa melihat hal yang positif dan menemukan sesuatu yang lucu dari situasi seburuk apa pun. Oleh karena dia dapat melihat sesuatu yang baik dan lucu, dia pun lebih sanggup menghadapi situasi yang buruk. Dia tahu bahwa ditengah situasi yang buruk masih ada hal yang baik dan untuk itu dia bersyukur kepada Tuhan. Sebaliknya orang yang tidak tahan banting, tidak dapat melihat hal yang positif. Dia justru terus melihat dan mencari hal yang negatif di dalam situasi yang dihadapinya. Oleh karena itulah dia pun tidak dapat menemukan hal yang lucu di tengah kesulitannya. Sebagai akibatnya dia tambah terpuruk. Makin hari dia makin tertekan dan murung. Sikap seperti ini membuatnya lemah dan apatis. Pada akhirnya dia berhenti mencoba dan berhenti berharap.
GS : Iya. Ini adalah bagaimana dia memunyai cara pandang terhadap sesuatu peristiwa yang menimpa dirinya, Pak Paul. Tetapi memang menjadi orang humoris itu tidak semua orang bisa, Pak Paul.
PG : Betul. Memang ada orang yang bisa lucu, sering lucu, tapi juga ada orang yang tidak. Tapi poinnya adalah dia bisa melihat ada hal-hal yang bisa membuat dia tersenyumlah. Jadi, tidak semua hal itu buruk. Dia bisa menemukan hal-hal yang positif di tengah-tengah penderitaannya dan bisa memikirkan atau melihat hal-hal yang lucu sehingga dia bisa tersenyum. Ini membuat dia tambah kuat, Pak Gunawan. Tambah tahan banting.
GS : Termasuk menertawakan dirinya sendiri ?
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan, orang yang bisa menertawakan dirinya sendiri justru menjadi orang yang lebih merdeka. Sekali lagi saya mau tekankan, tahan banting sebetulnya adalah sebuah sikap, Pak Gunawan. Bukan dari lahir memangnya mentalnya kuat, tidak. Tapi sebuah sikap menghadapi hidup. Orang yang mencoba melihat yang positif kebanyakan lebih kuat menghadapi kemalangan. Orang yang bisa melihat hal-hal yang lucu dalam hidup ini juga cenderung kuat menghadapi masalah.
GS : Tapi apakah memang dalam setiap peristiwa selalu ada yang positif, Pak Paul ?
PG : Memang tidak selalu ya, Pak Gunawan. Tapi poinnya adalah mungkin dalam peristiwa itu sendiri tidak ada yang positif tapi nanti dia bisa melihat hal yang positif yang muncul gara-gara peristiwa itu. Jadi dia bisa menekannya yang positifnya itu.
GS : Iya. Katakanlah sebuah bencana alam, orang menyikapinya dengan cara berbeda-beda. Ada orang yang sudah menganggap, "Ya ini memang bencana alam ya diterima saja." Tetapi ada yang menyalahkan Tuhan, mengapa terjadinya di tempat saya sehingga saya hancur dan sebagainya, Pak Paul.
PG : Iya. Saya berikan satu contoh nyata, Pak Gunawan. Saya pernah bicara dengan seorang hamba Tuhan yang pernah melayani di negara lain sebagai seorang utusan Injil. Disana pun dia itu harud pindah berkali-kali. Kemudian setelah dia akhirnya menetap di negaranya kembali, dia juga terpaksa di hari tuanya harus pindah lagi karena organisasi dimana dia bernaung pindah kantor pusatnya. Ketika saya bertemu dia, dia bersama istri dan keluarganya sedang bersiap-siap untuk pindah. Mereka sudah tidak muda lagi, jadi saya berkata, "Aduh, berat ya. Kamu harus pindah lagi. Kamu sudah begitu sering pindah sekarang harus pindah lagi bahkan di usia tua ini." Saya masih ingat si istri berkata begini, "Iya, betul. Memang berat pindah-pindah lagi. Tapi lewat pindah-pindah inilah kami diingatkan bahwa rumah kami bukan di dunia tetapi di surga." Jadi, dia memang tidak berkata di dalam pindah itu ada yang positif, tidak. Tapi dia melihat yang lain yang berkaitan dengan pindahnya itu mengingatkan dia rumahnya itu bukan di dunia tetapi di surga.
GS : Dia bisa mengambil hikmahnya, mengambil sesuatu yang positif, dari sesuatu yang orang lain anggap itu negative, ya.
PG : Iya. Orang lain bisa berkata, "Aduh, kenapa sih saya sudah umur segini… Kantor kami kok harus pindah… tapi kalau saya tidak ikut pindah, saya harus mencari kerjaan lain juga susah karena sudah usia segini… aduh, saya kok sial banget…" nah, orang yang mengeluh itu bukannya tambah kuat malah tambah lemah. Orang yang saya sebut tadi, dia justru tegar menerima semuanya.
GS : Intinya dia tidak mengasihani dirinya sendiri, Pak Paul. Dia juga bisa melihat ada banyak orang yang sebenarnya lebih menderita dari pada dia.
PG : Iya. Betul.
GS : Apa lagi yang bisa kita pelajari, Pak Paul ?
PG : Yang keempat, orang yang tahan banting adalah ORANG YANG TERBUKA TERHADAP ULURAN TANGAN ORANG DAN SIAP MENGULURKAN TANGAN TERHADAP ORANG YANG MEMBUTUHKAN PERTOLONGAN. Singkat kata, orang yang tahan banting tidak hidup untuk dirinya saja. Dia memikirkan dan peduli dengan orang lain. Dalam situasi sesulit apapun, dia tidak tenggelam sehingga tidak lagi memerhatikan orang lain. Sebaliknya dia ingat bahwa ada banyak orang yang sama atau bahkan lebih menderita dari dia. Bukan hanya itu, dia pun bersedia menerima pertolongan orang. Dia menghargai perhatian dan bantuan yang diterimanya. Sikap seperti ini membuat orang senang dan makin ingin menolongnya. Alhasil, dia tidak pernah kekurangan orang yang siap mendampingi dan mengulurkan tangan untuk membantunya. Itu sebab pada akhirnya dia dapat bertahan dan tidak retak walau mengalami bantingan. Jadi, saya memang menggabungkan orang ini bukan saja orang yang bisa dan bersedia menolong orang lain tapi juga bersedia menerima pertolongan dari orang lain. Karena ya kita akui kadang-kadang bantingan begitu berat, kita tidak bisa menghadapinya sendiri, ya kita dengan lega hati terimalah pertolongan orang. Akhirnya orang lain pun karena melihat kita menghargai pertolongannya, juga makin mau menolong. Nah, itu makin memperkuat dia. Tapi orang yang tidak mau terima pertolongan orang, hadapi sendiri, lebih mudah retak. Atau orang yang juga tidak mau menolong orang lain pokoknya memikirkan diri sendiri, kebanyakan orang seperti itu akhirnya ambruk, karena hatinya juga bukan hati yang besar dan kuat. Orang yang mau menolong orang adalah orang yang berhati besar.
GS : Tapi memang dari awalnya Tuhan itu menciptakan kita sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan sehingga kita bisa bertahan terhadap bantingan-bantingan kehidupan ini.
PG : Betul sekali. Kita lihat bahkan orang seperti Rasul Paulus. Dia beberapa kali dalam suratnya, salah satunya di Filipi sewaktu dia dalam kesusahan di penjara, dia menyebut tentang Epafroditus yang diutus untuk mendampinginya. Dia berterima kasih mereka telah memikirkan dia, mengutus salah seorang hamba untuk menolong dia dan dia terima, Pak Gunawan. Dia tidak berkata, "Saya ini tidak perlu pertolongan, saya bisa menghadapi ini sendiri." Tidak. Dia terima. Berkali-kali dalam suratnya dia berterima kasih pada orang yang diutus untuk menolongnya. Jadi, ternyata dia sendiri menerima. Tuhan Yesus pun sewaktu hidup di dunia menerima uluran tangan orang. Ada beberapa wanita paro baya yang memang diberkati Tuhan menolong atau mendukung pelayanan-Nya. Jadi, selayaknyalah kita juga menerima pertolongan tapi jangan sampai kita menjadi orang yang maunya menerima pertolongan tanpa memberikan pertolongan pada orang. Nah, orang yang bisa tahan banting berjiwa luas. Mau menolong orang dan juga siap ditolong orang.
GS : Iya. Justru keluasan jiwa ini yang dibutuhkan dan harus dibentuk supaya bisa menerima pertolongan orang dan mau melihat kebutuhan orang lain dan bisa memberikan pertolongan.
PG : Betul. Beberapa kali dalam pelayanan saya berjumpa dengan orang yang akhirnya dirundung depresi berat dan sebagainya. Penyebabnya sederhana sekali, yaitu orang ini sangat tertutup, Pak Gunawan. Tidak mau memikirkan orang, hidup untuk diri sendiri dan waktu mau ditolong juga tidak mau. Akhirnya mengalami masalah yang berat.
GS : Iya. Mungkin masih ada hal yang lain, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir atau yang kelima adalah orang yang tahan banting adalah ORANG YANG BERIMAN TEGUH PADA TUHAN. Dia sepenuhnya percaya pada pemeliharaan Tuhan dan tidak memunyai ruang di dalam hatinya untuk meragukan Tuhan serta mempertanyakan keputusan-Nya. Dia tahu Tuhan tetap baik meski situasi yang dihadapinya tidak baik. Sebaliknya dengan orang yang tidak tahan banting, dia tidak beriman kepada Tuhan dan dia belum mempercayakan hidup sepenuhnya kepada pemeliharaan Tuhan. Orang yang tahan banting bisa lemah. Dia bukannya ‘superman’. Tapi karena dia beriman, maka dia dapat datang kepada Tuhan untuk memohon kekuatan. Akhirnya lewat firman Tuhan dan cara lainnya Tuhan memberikan kekuatan sehingga dia sanggup melewati hari-hari yang sulit itu. Sebaliknya bila tidak beriman kita tidak dapat datang kepada Tuhan karena kita tidak percaya bahwa Dia ada dan sanggup menolong. Akhirnya semua kita pikul sendiri sampai kita ambruk.
GS : Memang ada orang yang menganggap kalau kita datang kepada Tuhan meminta tolong, kita justru orang yang tahan banting, kita orang yang lemah, orang yang cengeng, sedikit-sedikit datang kepada Tuhan. Ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Nah, kalau memang Tuhan kemudian mengambil alih tanggung jawab sehingga semuanya Dia hadapi dan kita tidak usah menghadapinya, saya setuju kita menjadi orang kerdil, tidak kuat, tidak dewasa. Tapi dalam kenyataannya, Tuhan itu tidak mengambil alih. Tuhan mendampingi kita, bersama kita, tapi tetap Dia meminta kita menghadapinya. Kita bisa lihat itu di dalam sejarah bangsa Israel. Sewaktu dalam perjalanan masuk ke tanah yang Tuhan janjikan, mereka harus berjumpa dengan orang-orang asli Kanaan yang menolak mereka. Apakah Tuhan secara ajaib memusnahkan orang-orang Kanaan ? Tidak. Orang Israel harus berhadapan dengan mereka, berperang dengan mereka dan kadang mereka kalah, tidak selalu menang. Jadi, disitu kita melihat Tuhan tidak mengambil alih sebab memang Tuhan tidak mau kita menjadi orang yang tidak dewasa.
GS : Iya. Bahkan sebenarnya kalau saya melihat apa yang Tuhan kehendaki dari kita itu bukan hanya sekadar tahan banting, tapi bisa membal, melenting ke atas lagi, menjadi lebih dekat lagi dengan Tuhan melalui bantingan itu tadi.
PG : Itu poin yang baik sekali, Pak Gunawan. Sudah tentu seharusnyalah itu yang terjadi. Waktu kita terbanting, kita melenting ke atas, menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Karena hanya dekat dengan Tuhanlah kita akan bisa menghadapi masalah-masalah kehidupan kita.
GS : Karena makin hari rasanya tantangan kehidupan ini bukan semakin mudah tapi akan semakin berat dan orang-orang yang tahan banting ini semakin langka, Pak Paul.
PG : Iya. Karena memang jauh lebih mudah kita bertindak sendiri, tidak usah lari ke Tuhan, tidak usah mencoba melakukannya sesuai kehendak Tuhan, kita gunakan cara kita saja. Tapi orang yang beriman akan berkata, "Meskipun saya punya pilihan-pilihan itu, tetapi saya memilih untuk percaya kepada Tuhan dan mengikuti jalan Tuhan." Itu memerlukan kekuatan, Pak Gunawan. Orang yang hidupnya pokoknya sesuai dengan keinginannya sebetulnya orang yang lemah. Tapi orang yang kuat justru adalah orang yang berkata meskipun saya bisa begini begitu tapi saya memilih tidak karena saya mau menaati Tuhan.
GS : Iya. Karena dia juga harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Membentuk diri supaya dirinya menjadi seorang yang tahan banting dan bisa membal itu tadi, Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Adakah ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Mazmur 4:3-7 berkata, "Tetapi Engkau Tuhan adalah perisai yang melindungi aku. Engkaulah kemuliaanku dan yang mengangkat kepalaku. Dengan nyaring aku berseru kepada Tuhan dan Ia menjawab aku dari gunungNya yang kudus. Aku membaringkan diri lalu tidur. Aku bangun sebab Tuhan menopang aku. Aku tidak takut kepada puluhan ribu orang yang siap mengepung aku." Orang yang beriman adalah orang yang BERHARAP PENUH KEPADA TUHAN, Pak Gunawan. Itu sebab dia merasa aman. Dia percaya Tuhan bersamanya dan membuatnya kuat dalam situasi sesulit apapun.
GS : Iya. Terima kasih untuk firman Tuhan dan untuk ulasan yang sudah Pak Paul sampaikan kepada kami. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tahan Banting". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.