Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang “Sumber dan Dampak Kecemasan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Kecemasan bisa melanda siapa saja termasuk anak-anak. Tetapi yang kita kadang-kadang tidak mengerti kenapa anak-anak cemas dan ini dampaknya bisa sampai nanti remaja dan dewasa sekalipun, kecemasan itu tetap terbawa. Itu seperti apa, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Mungkin di antara semua relasi, relasi orang tua - anak adalah relasi yang paling kuat dan paling sulit berubah, itu sebabnya jika relasi tersebut merupakan relasi yang buruk maka dampak buruknya cenderung bertahan untuk waktu yang lama. Sebaliknya bila relasi itu sehat maka dampak positifnya pun bertahan untuk waktu yang lama. Jadi saya kira kita perlu membahas tentang pengaruh ikatan relasi orang tua - anak yang khusus berkaitan dengan kecemasan sebab sudah saya singgung bahwa ini nantinya akan memengaruhi kehidupan si anak sampai di usia dewasanya.
GS : Tentu kita tidak mengharapkan anak-anak kita cemas sejak kecil, tetapi apa sebenarnya yang menimbulkan kecemasan dalam diri anak itu ?
PG : Saya akan mundur sedikit ke belakang. Jadi salah satu dampak positif relasi orang tua - anak yang sehat adalah timbulnya rasa aman dalam diri anak. Yang dimaksud dengan rasa aman adalah absennya atau tidak adanya kecemasan. Jadi ini yang ideal yang seharusnyalah dicicipi oleh seorang anak. Dengan kata lain, di dalam relasi orang tua yang tidak sehat maka kecemasan yang kerap timbul di dalam diri anak. Kita sekurangnya bisa melihat ada dua jenis kecemasan yang acapkali dialami oleh anak. Coba kita bahas yang pertama dulu yaitu kecemasan yang bersumber dari ketakutan. Jika relasi orang tua tidak harmonis dan sarat konflik, tidak bisa tidak anak akan harus hidup dalam ketegangan, akhirnya anak sering dicekam ketakutan kalau-kalau orang tua akan berkelahi lagi atau mungkin takut terkena getahnya. Jadi akhirnya si anak terus hidup dalam ketegangan ini karena relasi orang tua tidak harmonis, ketegangan ini yang nantinya akan melahirkan kecemasan dalam diri si anak.
GS : Tapi ketakutan seperti itu bukan hanya terjadi pada sebuah rumah tangga, artinya ketakutan itu bisa datang dari luar dan memengaruhi anak. Sampai sejauh mana dampaknya bagi anak kalau ketakutan itu timbulnya dari luar, Pak Paul ?
PG : Saya kira kalau memang intensitasnya itu berat, apa pun yang dialami oleh si anak meskipun itu di luar rumah, maka akan tetap berdampak berat pada diri si anak, tapi kalau misalkan intensitasnya sama-sama berat sudah tentu yang lebih memengaruhi si anak adalah yang bersumber dari dalam rumah tangga sendiri, yang bersumber dari misalnya relasinya dengan orang tua. Biasanya itulah yang akan terus memengaruhi si anak sampai di usia dewasa.
GS : Padahal misalnya yang timbul itu pertengkaran antara suami istri, artinya orang tua si anak ini. Apakah anak juga terkena dampaknya ?
PG : Biasanya, ya. Jadi pada umumnya kecemasan yang bersumber dari ketakutan ini akan melahirkan dua perilaku yang ekstrem. Yang pertama anak akhirnya bertumbuh menjadi seorang yang pemarah atau setidaknya menyimpan api kemarahan, dia cepat tersulut dan sulit mengendalikan emosi dan juga ada kecenderungan ia pun kerap mengalami ayunan emosi artinya mudah marah, mudah reda. Pada dasarnya ia mudah marah karena dia cepat menyimpulkan bahwa orang sengaja membuatnya marah atau menuduh orang tidak menghormatinya atau menghargainya, padahal besar kemungkinan orang tidak berniat membuatnya marah dan tidak bermaksud untuk menyepelekannya, sudah tentu kita bisa menyimpulkan bahwa sanggahannya seolah-olah orang memang sengaja membuatnya marah, itu sebetulnya dalih, pada hakikinya dia mudah tersulut karena ketegangan yang tersimpan dalam jiwanya. Ketegangan itulah yang membuatnya cepat bereaksi terhadap apa pun yang ditafsir sebagai penambah ketegangan. Masalahnya adalah dia menafsir banyak hal sebagai upaya menambah ketegangan. Jadi sedikit-dikit dianggapnya orang mau menambah ketegangan, sehingga dia bereaksi dengan kemarahan.
GS : Apakah itu bukan bentuk kecurigaan dia terhadap orang lain, Pak Paul ?
PG : Jadi biasanya anak-anak yang memang dibesarkan dalam rumah tangga yang penuh dengan konflik, tidak bisa tidak akhirnya juga kesulitan memberikan kepercayaan kepada orang. Dia cenderung berhati-hati sekali memberikan dirinya kepada orang, sebab di rumah orang yang seharusnya bisa diandalkan untuk menerima dirinya, ternyata tidak bisa diandalkan karena sering bertengkar.
GS : Kemarahan itu biasanya ditujukan kepada siapa, Pak Paul ? Jadi misalnya yang sering marah di dalam rumah itu si ayah, apakah anak ini berani membalas kemarahan itu kepada ayahnya ?
PG : Biasanya sampai usia remaja si anak tidak akan berani dan biasanya dia akan simpan. Tapi di luar dia marah dengan teman, dia marah dengan gurunya karena sedikit-sedikit dia merasa orang sengaja membuatnya marah, menyepelekannya dan tidak menghargainya. Jadi di luaran dia marah terus. Di rumah dia tidak berani marah terhadap ayahnya dan mungkin saja dia marah terhadap ibunya yang tidak berdaya di bawah kekuasaan si ayah. Tapi nanti pada masa pemuda biasanya si anak akan mulai berani melawan si ayah apalagi kalau tubuhnya bertambah besar, biasanya di saat itulah si anak itu biasanya akan berani melawan si papa.
GS : Jadi di sini kesulitan si anak untuk menemukan jati dirinya, begitu Pak Paul ?
PG : Tidak bisa tidak, itu akan memengaruhi perkembangan jati dirinya sebab pada akhirnya dia tidak begitu berkesempatan mengembangkan dirinya, karena hidupnya itu terlalu sibuk menangkis atau melindungi diri dari ketegangan, dari masalah yang muncul di antara orang tuanya.
GS : Perilaku ekstrem yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang lain, anak menjadi tidak tahan bersinggungan dengan ketengangan, namun berbeda dengan penjabaran yang pertama, anak ini tidak mengungkapkan kemarahannya keluar, tapi malah memendamnya, dia takut ketegangan namun dia tidak bereaksi dengan kemarahan sebaliknya ia memberi reaksi lemah dan tidak berdaya, justru jadinya dia tidak agresif dan justru agak pasif, singkat kata kecenderungan adalah melarikan diri dari ketegangan dan berupaya mencari ketenangan. Jadi benar-benar anak ini menjadi anak yang kita sebut pencemas. Tapi sebetulnya tadi kita sudah bahas baik yang pencemas atau si pemarah akarnya sebetulnya sama karena sebetulnya dua-duanya itu penuh dengan kecemasan yang berasal dari ketakutan, ketakutan terhadap kekerasan atau pertengkaran yang dialami dalam rumah tangganya.
GS : Ini sebuah perilaku yang sangat berbeda, ada sebagian yang mengekspresikan dengan kemarahan, yang satunya mengekspresikan dengan diam, sebenarnya yang mendasari apa, Pak Paul ?
PG : Yang mendasari kenapa berbeda seperti itu, biasanya adalah karena kepribadiannya, jadi kalau kebetulan si anak itu memang anak yang agak pendiam, agak pasif, perasaannya agak halus, kecenderungannya dia akan menyimpan dan dia menjadi anak yang penuh dengan ketakutan. Tapi kalau memang sifatnya agak keras dari kecil dan dari kecil kelihatan anaknya itu tidak gampang menurut dan berani melawan biasanya dia akan menjadi anak yang pemarah. Jadi itulah yang menjadi akarnya yang membedakan mereka bereaksi.
GS : Kalau perbedaan antara laki-laki dan perempuan, bukan karena itu ?
PG : Tidak. Biasanya ada anak laki yang justru lebih pendiam tapi ada anak perempuan yang lebih keras kepala dan dia itu yang lebih pemarah atau sebaliknya, jadi gender dalam hal ini memang tidak terlalu memengaruhi.
GS : Di dalam hal menolong mereka, mana yang lebih mudah untuk ditangani ? Yang pemarah yang mengekspresikan seperti itu atau yang justru pendiam ?
PG : Menurut saya yang kedua, yang lebih pendiam atau pencemas. Sebab biasanya dia lebih tidak melawan jadi lebih bersedia mendengarkan. Tapi kalau yang pemarah biasanya sedikit lebih sulit karena sifatnya agak lebih keras sehingga lebih tidak mudah mendengarkan masukan dari orang lain. Dan satu hal lagi adalah kalau dia sudah terlalu terbiasa mengekspresikan dengan kemarahan akhirnya itu telah mendarah daging artinya kalau dia tidak marah dia belum selesai. Jadi untuk dia benar-benar bisa menahan diri menguasai kemarahannya, itu tidak mudah.
GS : Jenis kecemasan yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Tadi kita sudah bahas jenis kecemasan yang pertama yang bersumber dari ketakutan karena konflik di antara orang tua. Jenis kecemasan yang kedua adalah kecemasan yang berhulu dari tuntutan. Kita mengerti bahwa tidak ada kasih dan penerimaan tanpa syarat bahkan penerimaan orang tua terhadap anak pun bersyarat dalam pengertian orang tua mengharapkan anak untuk taat, untuk bersikap baik dan hormat kepada orang tua dan sebagainya dan tidak bisa tidak, penerimaan orang tua terhadap anak sedikit banyak dipengaruhi oleh perbuatan anak, kalau anak itu baik, penurut, sikap orang tua biasanya akan lebih baik tapi kalau anak itu pemberontak biasanya sikap orang tua juga lebih keras kepadanya. Namun kita tahu ada orang tua yang berharap tinggi, menyebabkan anak gagal mencapai tuntutan dan kegagalan demi kegagalan membuatnya menganggap diri sebagai anak yang gagal. Tidak memenuhi syarat. Akhirnya dia senantiasa merasa dievaluasi dan malangnya hasil evaluasi selalu buruk. Pada akhirnya dia menyimpulkan bahwa dia bukanlah orang yang cukup baik, sebaliknya dia merasa dirinya buruk. Persepsi diri seperti ini membuatnya terpuruk terutama selama dia bersama orang lain dan merasa diri dibandingkan.
GS : Tuntutan ini bisa juga terjadi atau timbul karena tuntutan dari gurunya atau pembimbingnya yang lain, padahal sebenarnya orang tua tidak menuntut anak terlalu banyak tapi di sekolah dia dituntut begitu banyak, apa itu menimbulkan pengaruh kecemasan ?
PG : Iya, misalnya kita menempatkan anak kita di sebuah sekolah yang menekankan prestasi, tuntutannya tinggi sekali dan anak kita kebetulan tidak bisa mencapainya, dia selalu menjadi anak yang paling bawah. Tidak bisa tidak dampaknya akan sama, jadi ia merasa dirinya sebagai seorang yang gagal, yang tidak memenuhi syarat. Meskipun di rumah orang tua hangat menyambut, menerimanya dan memberikan kepadanya dorongan, tapi kalau misalkan setiap hari di sekolah dia selalu melihat dirinya sebagai anak yang paling bawah, maka tidak bisa tidak akan menimbulkan kecemasan dan dia ke sekolah pun tidak bahagia dan dia tidak bisa menikmati dari pagi sampai sore di sekolah dan akhirnya kalau terus berlangsung bertahun-tahun akan mencederai pandangannya terhadap dirinya dan dia tidak bisa melihat dirinya secara positif dan dia akan melihat dirinya yang paling bawah. Kalau dia bersama dengan teman-temannya biasanya dia akan sangat minder sekali.
GS : Apakah hal itu juga akan diekspresikan seperti pada bagian yang pertama tadi yang Pak Paul katakan ada anak yang kemudian marah karena dituntut seperti itu dan menjadi pendiam. Apakah hal yang sama itu bisa terjadi ?
PG : Bisa. Ada anak yang misalnya membuat ulah di sekolah, berkelahi dan mengganggu anak-anak lain atau ada anak yang karena malu dan takut jadi akhirnya menarik diri dan mengucilkan diri, tidak berani bergaul dan minder sekali. Jadi betul sama dampaknya.
GS : Hal-hal ini membuat anak lalu bersikap ragu-ragu terhadap mengambil keputusan dan sebagainya lalu selanjutnya bagaimana yang terjadi, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi kecemasan yang berasal dari tuntutan membuat anak ragu akan kemampuannya dan dia takut mengambil inisiatif karena dia takut salah, takut gagal dan takut menderita malu. Jadi sekali lagi ragu-ragu terus, pada akhirnya hidup baginya merupakan sebuah usaha untuk menjauh dari kemungkinan gagal dan menanggung malu. Alasannya jelas, sebelum dia bertindak sesungguhnya di dalam hati dia sudah beranggapan bahwa dia adalah seorang yang gagal dan dia merasa malu dengan dirinya dan dia hanya tidak ingin orang lain mengetahuinya. Itu sebab dia berusaha untuk terus menyembunyikannya dengan cara menghindar dari kemungkinan gagal dan malu. Maka orang tua seringkali frustrasi dengan anak yang seperti ini, disuruh tidak mau dan takut terus. Bisa jadi awalnya adalah orang tua yang mengharapkan terlalu banyak dan terlalu mengharapkan di luar jangkauan si anak atau mungkin sekali di sekolah dia tidak merasa bisa mencapai standart sehingga dia merasa dirinya itu seorang yang gagal.
GS : Kalau seandainya anak ini punya saudara kandung, apakah ada pengaruhnya terhadap sikap yang seperti itu ?
PG : Kalau misalnya orang tua membanding-bandingkan maka tidak bisa tidak dampaknya berat karena si anak yang dibandingkan dan dibandingkannya dia kalah, maka dia akan merasa bahwa mama dan papa tidak sayang saya dan hanya sayang kepada saudara saya yang memang pandai. Kalau ada saudara, orang tua harus berhati-hati dalam menyampaikan tuntutannya kepada anak apalagi kepada anak yang tidak bisa.
GS : Ini masalahnya seringkali orang tua tidak menyadari bahwa anaknya itu sedang dikuasai oleh rasa cemas yang berat, dianggapnya biasa saja, dan ini bagaimana bisa menyadarkan orang tua itu, Pak Paul ?
PG : Memang orang tua harus jeli melihat reaksinya karena kita tidak bisa mengetahui apa yang ada dalam isi hati si anak dengan pasti, tapi kita masih bisa melihat perilakunya. Kalau si anak ini misalnya makin hari makin menurun prestasinya, itulah saatnya untuk kita mencari tahu apa yang terjadi. Kalau kita sadari bahwa kita di rumah tidak memberikan tuntutan tapi dia menjadi anak yang selalu ragu, tanya dan takut, tidak berinisiatif maka kita harus berkata ini di sekolahnya, di dalam lingkungan pergaulannya mungkin tidak merasakan setara dengan teman-temannya. Jadi orang tua mesti jeli melihat reaksi-reaksi seperti itu dan mencoba untuk menolong atau mengubah selama ini yang dilakukan oleh orang tua.
GS : Kecemasan yang tidak timbul akibat tuntutan ataupun sesuatu ketakutan apakah itu juga menimbulkan reaksi yang sama? Maksudnya, misalkan saja anak itu merasa gelisah tinggal di suatu lingkungan tertentu karena orang-orang yang tidak dikenal.
PG : Saya kira bisa, tapi sekali lagi peranan orang tua penting sekali. Misalkan lingkungannya itu adalah lingkungan yang menyeramkan bagi si anak dan tidak aman maka sudah tentu si anak akan mengembangkan ketakutan, ketegangan dan sebagainya, tapi biasanya efeknya itu tidak terlalu berakar. Jadi pada umumnya yang lebih berakar dan biasanya dibawa sampai usia dewasa adalah kalau sumber kecemasan itu berada di dalam keluarganya sendiri. Itu biasanya yang lebih berakar dan ini yang lebih susah untuk hilang. Tapi kalau misalnya dari lingkungan waktu dia tinggal di situ maka dia akan ketakutan dan tidak aman, tapi begitu dia keluar dari lingkungan itu, justru dia menjadi lega.
GS : Kalau dengan orang tua setiap hari dia ketemu, sedang di lingkungan luar dia bebas setelah dia meninggalkan lingkungan itu. Tapi akhirnya dia menjadi tidak mau kembali ke lingkungan itu ?
PG : Benar sekali, dia bisa menghindar dari lingkungan seperti itu.
GS : Bagaimana kecemasan ini terus berkembang di dalam diri seorang anak kalau tidak ditolong ?
PG : Biasanya dia akan selalu berjaga-jaga dan saya ilustrasikan dia itu sering-sering menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kalau dia tidak dalam keadaan terancam, sebab sekali lagi kecemasan menghilangkan ketenteraman. Apapun sumber kecemasan, baik itu ketakutan atau kegagalan memenuhi syarat pada akhirnya membuat si anak merasa tidak aman. Jadi di dalam biasanya perilakunya setelah dia sudah besar, tindakannya atau perilakunya itu lebih merupakan reaksi terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Jadi artinya dia tidak begitu mengerti sebetulnya siapakah dirinya dan apa yang hendak dia lakukan, lebih seringnya dia bereaksi terhadap orang. Sebenarnya dia tidak tahu dengan jelas arah hidupnya dan ketidaktahuan ini membuatnya senantiasa mencari arah dan jalan.
GS : Kecemasan ini bisa juga dipicu oleh apa yang dia lihat misalnya melalui televisi, melalui buku-buku. Pengaruh-pengaruh itu besar sekali ternyata, Pak Paul. Jadi walaupun orang tua tidak menakut-nakuti, tetapi karena membiarkan anaknya tiap hari dibombardir dengan hal-hal yang seperti itu, anak ini diam-diam punya kecemasan tersendiri.
PG : Bisa. Ini salah satu yang pernah saya dengar, orang tua misalnya sedang konflik tapi jarang konflik, tapi pas sedang konflik, si anak berkata kepada mama atau papanya, “Apakah Papa atau Mama akan bercerai", Papa Mamanya kaget dan berkata, “Tidak, kami hanya berbeda pendapat dan akan kami selesaikan", tapi anak itu bisa bereaksi begitu keras dan menangis takut sekali orang tuanya bercerai, kenapa? Misalnya dari teman-temannya dia sering mendengar orang tua temannya yang bercerai atau dia menonton televisi tentang begitu banyak perceraian dan berdampak buruknya pada anak sehingga bisa jadi hal-hal itu akhirnya memengaruhi juga reaksi dia.
GS : Jadi bagaimana kita mencari jalankan keluar bagi si anak yang dikuasai oleh kecemasan seperti ini, Pak Paul ?
PG : Ada langkah yang harus diambil untuk pulih dari kondisi ini namun sebagai langkah pertama, firman Tuhan sudah memberitahukan caranya secara jelas. Coba saya bacakan dari Mazmur 34:5 dan 6, “Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku. Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu." Firman Tuhan menegaskan bahwa hanya ada satu cara untuk dapat lepas dari kegentaran yaitu mencari Tuhan. Kita tidak boleh mengalihkan pandangan ke manusia atau hal lainnya dan kita harus mengarahkan pandangan hanya kepada Tuhan. Jadi kita ikuti dan taati kehendak Tuhan maka Ia akan menuntun hidup kita, kita berikan hidup kita kepada-Nya maka Ia akan memberikan hidup yang baru kepada kita.
GS : Bagaimana hal ini kita terapkan kepada anak atau yang masih kecil atau yang masih relatif susah untuk membayangkan bagaimana Tuhan itu.
PG : Sudah tentu kalau memang anak itu masih berusia belia maka yang harus kita lakukan bukannya memfokuskan kepada dianya, tapi memang kitanya sendiri yang harus mengadakan perubahan-perubahan. Jadi misalkan kalau kita sadari sumbernya adalah di sekolah, maka anak melihat dirinya sebagai anak yang gagal, anak yang tidak bisa. Itu masalah yang harus kita selesaikan. Misalkan kalau di rumah kita menuntut terlalu tinggi, maka kita harus menyesuaikan tuntutan kita juga. Kalau kita menjadi sumber ketakutan karena kita sering bertengkar maka kita yang harus sering mengubah maka relasi kita menjadi lebih baik lagi. Jadi kepada anak yang kecil yang kita lakukan bukannya memfokuskan kepada dia, tapi kepada orang-orang dewasa atau kepada lingkungannya. Tapi setelah itu yang kita tetap bisa lakukan dan harus lakukan kepada anak adalah mengajarkan dia bahwa dia itu dijaga oleh Tuhan dan bahwa Tuhan itu sanggup untuk melindunginya dan yang dia perlu lakukan hanyalah berdoa. Jadi dengan kata lain, kita mau mendidik anak sejak kecil waktu mengalami ketakutan dia bisa berdoa dan bahwa doanya itu didengarkan oleh Tuhan. Jadi konsep inilah yang harus kita tanamkan kepada anak.
GS : Biasanya kecemasan ini menjadi lebih menonjol ketika anak itu remaja, ia biasa meninggalkan rumah dan sebagainya. Bagaimana kita sebagai orang tua menolong anak ini ?
PG : Memang kita harus mengatakan kepada anak bahwa sekarang kamu sudah remaja dan kamu akan sering keluar dan sebagainya. Papa dan Mama tidak akan bisa bersama kamu di sana, tapi kamu selalu harus ketahui bahwa Tuhan bersama kamu di manapun kamu berada dan mata-Nya akan selalu memandang kamu. Jadi tatkala kamu mengalami ketakutan, ingat firman Tuhan ini, “Cari Tuhan maka Tuhan berjanji Dia akan menjawab dan melepaskan kita dari ketakutan itu". Jadi apapun yang kau alami. Kita ajarkan kepada anak tujukan mata kepada Tuhan dan yakin Tuhan bersamamu.
GS : Selama orang tua tidak berubah misalkan ayahnya pemarah. Apakah nasihat itu akan banyak dampaknya, Pak Paul ?
PG : Saya kira tidak terlalu banyak dampaknya kalau memang suasana di rumah tidak berubah, maka sudah tentu kalau kita sadar kitalah yang menjadi sumber masalah maka sebaiknya kita jangan terlalu banyak memberikan nasihat kepada anak, maka anak akan tambah marah kepada kita sebab anak melihat kita sendiri yang menimbulkan masalah tapi kita tidak menyadarinya. Jadi sekali lagi kalau kita menyadari memang masalahnya ada pada diri kita, maka kitalah yang mesti berubah.
GS : Pada kesempatan yang akan datang kita perlu memperbincangkan bagaimana memulihkan seorang anak, terutama dari kecemasannya namun karena waktu yang tidak mengizinkan pada saat ini, kita sudahi dulu perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Sumber dan Dampak Kecemasan" . Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.