Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan suatu seri yaitu tentang Suami yang memimpin dan istri yang menolong dan seri ini terdiri dari empat bagian, dan untuk kali ini kami akan memulainya dengan satu tema "Memimpin adalah Mengarahkan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pertama-tama kita akan membicarakan tentang tanggung jawab suami karena seringkali di dalam rumah tangga itu terjadi percekcokan, ketidak sesuaian dengan banyak alasan. Salah satunya adalah karena masing-masing tidak berfungsi, kita sekarang mau membicarakan tentang apa fungsi suami dan apa fungsi istri. Dan kali ini kita akan berbincang-bincang terlebih dahulu tentang fungsi atau peran dari seorang suami. Apa saja kira-kira yang bisa kita bicarakan tentang hal ini dan apa yang menjadi dasar Alkitab, kita perlu mengetahui tentang peran dari suami, Pak Paul.
PG : Sebagaimana tadi Pak Gunawan sudah katakan, memang kita ini harus menjalani fungsi sebagaimana telah ditetapkan oleh Tuhan. Waktu Tuhan menciptakan manusia dan waktu Tuhan menciptakan pernikahan, maka Tuhan sudah menetapkan cara-Nya agar pernikahan ini bisa berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan dan benar-benar bisa mencapai tujuan-Nya. Karena kita tidak selalu menjalani peran dan fungsi sebagaimana ditetapkan Tuhan, maka timbullah banyak masalah di dalam pernikahan ini. Jadi kita mau membahas lebih mendetail tentang fungsi atau peran yang Tuhan tetapkan pada suami dan istri. Semoga kita bisa menjalankannya agar dapat membangun sebuah pernikahan yang sehat. Memang ada beberapa bagian firman Tuhan yang bisa kita baca, tapi karena waktu maka saya hanya akan memilih. Kita tahu bahwa di dalam Efesus 5:22-33 tertulis dengan jelas bahwa Tuhan menghendaki suami bertugas sebagai kepala yang memimpin istri, sedangkan istri ditugaskan Tuhan menjadi seorang pendamping yang tunduk kepada suaminya. Di Kejadian 2:18 Tuhan Allah berfirman, "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." ini adalah perkataan Tuhan tatkala Tuhan sedang dalam proses ingin menciptakan Hawa bagi Adam. Jadi dengan jelas tertulis bahwa Tuhan memunyai tujuan yang spesifik menciptakan seorang istri bagi Adam, supaya Hawa menjadi seorang penolong yang sepadan. Kalau kita gabungkan dari dua ayat ini yaitu di Kejadian dan di Efesus maka bisa kita simpulkan bahwa Tuhan menetapkan istri untuk menjadi seorang pendamping yang menolong suaminya. Saya percaya kalau suami menjalankan tugas dan peran sebagai kepala yang memimpin istri dan istri menjadi pendamping yang menolong suami maka akan terwujudlah pernikahan yang sehat serta yang memang bisa membawa kebahagiaan dan hidup kita.
GS : Seringkali justru melalui pernikahan, masing-masing mengharapkan haknya, apa yang bisa diperbuat pasangan kita terhadap diri kita, Pak Paul. Jadi ini yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman hubungan suami istri terutama pada awal pernikahan, Pak Paul.
PG : Memang ini adalah sesuatu yang ironis sebab kalau kita perhatikan tatkala kita tengah berpacaran kita itu menjadi orang yang paling murah hati, paling rela melepaskan hak kita, tapi begitu kita menikah maka kita menjadi orang yang susah melepaskan hak kita. Justru terbalik, justru dalam pernikahan kita diminta Tuhan untuk melepaskan hak.
GS : Kalau kita mulai memfokuskan pembicaraan ini pada suami, kita akan membicarakan suami yang berperan sebagai pemimpin. Tadi kita berkata bahwa tema dari pembicaraan kita kali ini adalah "memimpin adalah mengarahkan", ini seperti apa, Pak Paul ?
PG : Memang Alkitab tidak dengan jelas menguraikan arti memimpin sebagai kepala, namun saya mencoba untuk menerapkannya di dalam pernikahan. Memimpin itu seperti apa ? Bukankah kita mengetahui bahwa seorang pemimpin bertugas untuk mengarahkan. Misalkan waktu Tuhan memimpin umat Israel keluar dari Mesir menuju kepada tanah yang Tuhan janjikan maka Tuhan memberikan arah lewat tiang api dan tiang awan, maka Tuhan menunjukkan ke mana umat Israel harus pergi. Jadi dengan kata lain, seorang pemimpin haruslah menjadi seorang yang dapat memberikan arah. Itu sebabnya suami kalau ingin berfungsi sebagai kepala, maka ia pun juga harus dapat mengarahkan istrinya, sehingga si istri jelas mengetahui apa yang harus dilakukannya.
GS : Seringkali pengertian memimpin dianggap, terutama kalau si suami juga memimpin di tempat kerjanya atau di masyarakat, dia selalu mengharapkan orang lain menghormati dia seperti ketika dia ada di pekerjaan atau di masyarakat, Pak Paul.
PG : Memang seorang suami apalagi yang mendapatkan kedudukan yang baik, terbiasa dengan penghormatan dari lingkungannya, maka dia juga akan menuntut penghormatan yang sama dari istrinya di rumah. Sudah tentu tidak ada salahnya mengharapkan hal itu, namun yang terpenting adalah dia harus juga pertama-tama mawas diri dan instrospeksi diri apakah dia telah menjadi orang yang layak dihormati. Kalau kita ingin menjadi seseorang yang dapat mengarahkan memang kita harus menjadi orang yang dihormati terlebih dahulu, sebab kalau kita tidak dihormati maka orang tidak akan menghormati kita. Tapi bagaimanakah caranya agar kita akhirnya menjadi orang yang dihormati, saya kira penting sekali kita menjadi panutan yang layak dicontoh, ini yang kadang-kadang luput kita perhatikan sebagai suami dan kita hanya mengetahui kita harus dihormati sehingga dapat mengarahkan istri, "Kamu begini, kamu begitu, kamu lakukan itu, kamu seharusnya begini atau begitu" kita kalau hidupnya tidak memunyai integritas, kita akan sukar sekali untuk dihormati oleh istri kita, apa yang kita katakan haruslah sama dengan apa yang kita lakukan. Jangan sampai kita mengatakan apa dan melakukan apa, namun akhirnya tidak sama dan akhirnya istri kita akan berkata, "Kamu sendiri hanya bisa bicara" sudah tentu standartnya di sini adalah firman Tuhan sendiri. Jadi apa yang Tuhan tetapkan maka si suami harus berusaha untuk melakukannya. Memang dia tidak sempurna tapi setidaknya istri melihat adanya sebuah kejujuran, keotentikan hidup yang berusaha untuk mencapai standart yang Tuhan tetapkan, kalau istri melihat hal ini, barulah nanti akan tumbuh hormat kepada suaminya sehingga waktu suami mengarahkan istri maka istri pun lebih dapat mendengarkannya.
GS : Jadi praktisnya, Pak Paul, dalam hal apa si suami perlu menjadi contoh terhadap istrinya ?
PG : Misalnya yang paling mudah. Kadang-kadang suami menegur istri, misalnya, "Kamu ini tidak bisa membagi waktu dan kamu hanya bisa mengurusi ini dan ini, sehingga ada hal-hal yang harus kamu kerjakan tapi tidak kamu kerjakan, entah itu masalah anak dan sebagainya". Kita mengeluhkan hal itu kepada istri kita yang tidak bisa membagi waktu. Sudah tentu kalau memang itu faktanya maka kita harus menyampaikan kepada istri, ini adalah koreksi dan koreksi harus diberikan satu sama lain, namun pertanyaannya adalah apakah sebagai suami kita telah menjadi contoh dalam hal membagi waktu. Kalau misalnya istri melihat kita waktu bekerja, pada menit terakhir baru kita sibuk menyelesaikannya dan kemudian akhirnya karena menit terakhir baru kita menyelesaikan, maka kita menjadi tegang suka marah-marah dan menyalahkan orang, maka waktu kita berkata kepada istri kita, "Kamu tidak bisa bagi waktu, lihat ini terbengkalai, itu terbengkalai" istri kita akan berkata, "Bagaimana dengan kamu sendiri". Ada yang lain misalnya dalam hal pemakaian uang, "Kamu suka menghamburkan uang, saya memberi uang segini tapi masih tidak cukup dan sebagainya". Istrinya akan berkata, "Saya memakai uang untuk keperluan anak dan ini buktinya sekarang uang ini untuk membeli barang ini dan itu untuk anak dan ada buktinya" kalau misalnya suami tidak memunyai disiplin juga dalam soal uang, dia juga bisa membeli misalnya alat-alat elektronik yang mahal-mahal, tapi kalau istrinya mengatakan, "Kamu ini kenapa beli barang-barang seperti itu ?" suami berkata, "Ini penting, kemajuan teknologi dan memudahkan komunikasi" tapi sebetulnya tidak perlu membeli yang semahal dan secanggih itu. Tapi suami karena ingin maka membeli dan membenarkan tindakannya. Sekarang dia menegur istrinya menghamburkan uang, maka susah bagi si istri untuk menerima teguran itu. Maka sekali lagi suami ditugaskan untuk memimpin dan memimpin adalah mengarahkan, kalau suami tidak mengarahkan maka dia tidak memimpin. Kalau suami ingin memimpin maka arahkanlah istri, tapi arahkanlah dengan catatan dia sendiri telah hidup berintegritas, sehingga bisa dihormati oleh istrinya.
GS : Mungkin dalam hal memberi contoh, suami ini memang agak susah, karena itu ada banyak suami yang merasa, "Tidak perlu menjadi pemimpin, lebih baik menjadi pemimpi saja", jadi hal-hal yang dia impikan itu yang tercapai.
PG : Betul.
GS : Pak Paul, selain bahwa kita harus menjadi panutan sebagai seorang suami terhadap istrinya, hal lain yang juga penting apa, Pak Paul ?
PG : Sebagai seorang pemimpin yang mengarahkan, seorang suami itu harus mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Kita harus menyadari memang kita adalah makhluk yang berkeinginan dan karenanya kita berusaha untuk mewujudkan keinginan. Itu sebabnya salah satu sumber gesekan dalam pernikahan adalah kegagalan kita menyelaraskan keinginan. Jadi seolah-olah istri menghendaki untuk berjalan ke kiri sedang suami ingin mengambil jalan ke kanan. Untuk dapat mengarahkan istri maka penting bagi suami menunjukkan kepada istri bahwa dalam pengambilan keputusan dia telah berusaha sedapatnya untuk memerhitungkan keinginan istri. Singkat kata, suami baru dapat mengarahkan istri bila istri sungguh-sungguh yakin bahwa suami berusaha memperjuangkan keinginannya pula. Sebaliknya jika istri menilai bahwa suami hanya memikirkan kepentingan pribadinya, maka dia tidak bisa memercayai arahan suaminya lagi. Jadi penting sekali istri melihat jelas bahwa suami berusaha mementingkan kepentingannya. Barulah dia dengan mudah menyerahkan keputusan akhir itu kepada suaminya.
GS : Tetapi kadang-kadang sebagai suami, kita diperhadapkan pada sebuah situasi dimana memang ini untuk kepentingan suami dan bukan untuk kepentingan istri sehingga istri kita tinggalkan. Dalam hal ini seperti apa, Pak Paul ?
PG : Susah tentu itu terjadi dan tidak apa-apa, masalahnya adalah seberapa seringnya. Kalau sekali-sekali itu normal, istripun juga akan melakukan hal tertentu untuk kepentingannya saja, contoh yang mudah adalah bukankah istri kita kadang-kadang harus ke salon untuk set rambut, kalau kita tidak perlu set rambut kita. Jadi benar-benar kepentingan istri murni bagi dia, kadang-kadang kita melakukan sesuatu untuk kepentingan kita dan tidak apa-apa. Tapi istri ingin melihat adanya keadilan di sini. Apakah yang pertama engkau membiarkan aku yang kadang-kadang melakukan hal-hal yang aku inginkan ataukah engkau melarang aku melakukan hal yang aku inginkan dan kalau engkau melakukan yang engkau inginkan aku tak punya kuasa atau suara untuk memberikan koreksi. Kalau istri melihat kenapa tidak adil, maka dia akan sukar menyimak apa yang suaminya coba lakukan atau arahkan dan memang penting sekali istri itu melihat bahwa secara umum dalam keputusan-keputusan yang lebih besar lagi, suami itu selalu berusaha memertimbangkan pemikiran dan kebutuhan istrinya. Itu sebabnya bila suami ingin dapat mengarahkan istri maka penting baginya untuk pertama-tama mengenali kebutuhan dan kondisi istrinya dan setelah mengetahui dengan jelas maka berusaha untuk mengikut sertakan faktor kebutuhan dan kondisi istri ke dalam rancangan hidupnya, jangan sampai dia hanya mementingkan diri. Jadi waktu dia mengambil keputusan dia bisa berkata, "Saya mengetahui kamu memang seperti ini dan kamu memunyai kebutuhan ini, jadi saya mencoba memerhitungkan supaya kebutuhanmu bisa dipenuhi dan sebagainya .
GS : Terkait dengan peran suami sebagai pemimpin seringkali si suami mengatakan, "Kamu ikut saya saja, saya yang menentukan segalanya" lalu istri ini menyampaikan idenya, "Jangan seperti itu, itu tidak perlu, ikut saya saja" karena dia merasa dia memimpin di sini.
PG : Sebetulnya kalau seorang suami itu mau adil dan benar-benar berpikiran luas dan terbuka, seorang suami pada umumnya bekerja di luar dan mungkin bekerja di bawah pimpinan orang lain, kita bisa bertanya pada diri kita sebagai laki-laki, "Apakah kita akan suka bekerja untuk seorang atasan yang kalau kita berikan usulan akan berkata, "Kamu tutup mulut dan tidak perlu beri usulan saya yang memutuskan semua", apakah kita akan bertahan bekerja di situ. Kalau kita berkata, "Tidak tahan", maka kita bertanya kepada perasaan istri kita yang kita suruh untuk tutup mulut terus menerus dan seolah-olah bekerja untuk kita, tapi tidak memunyai kesempatan untuk bersumbangsih pemikiran. Jadi seharusnya sebagai seorang suami kita harus lebih terbuka, lebih menyadari kehidupan seperti ini, memang Tuhan menghendaki kita menjadi pemimpin dan mengarahkan istri namun bukankah seorang pemimpin yang baik akan selalu memikirkan kepentingan orang-orang yang dipimpinnya ?
GS : Tapi ada juga sikap istri yang berkata kepada suaminya, "Kamu adalah pemimpin di sini, maka terserah kamu dan saya akan mengikuti kamu" jadi seolah-olah istri menyerahkan semuanya pada suaminya, tapi ketika suaminya mengambil keputusan atau bertindak kemudian dia tidak setuju, sehingga ini merepotkan bagi si suami.
PG : Kadang terjadi seperti itu. Kalau terjadi seperti itu maka kita sebagai suami harus mengingatkan, "Kamu serahkan kepada saya untuk memutuskan jadi saya akan memutuskan, tapi tolong setelah diputuskan kamu jangan mengganggu gugat lagi, kalau kamu tidak setuju dengan apa yang saya canangkan maka sekarang waktumu bicara dan kamu beritahu saya". Jadi dengan kata lain, kalau kita memunyai istri yang seperti itu maka kita harus sering-sering memberitahukan perkembangannya dalam pengambilan keputusan itu.
GS : Hal yang ketiga yang penting apa, Pak Paul ?
PG : Memimpin adalah mengarahkan dan mengarahkan adalah kita harus dapat bersikap tegas, seorang pemimpin kadang-kadang dituntut untuk bersikap tegas tapi bersikaplah tegas dalam kebenaran dan bukan dalam kemarahan. Saya kira ini pengamatan Pak Gunawan juga, bahwa dewasa ini terlalu banyak suami yang bersikap tegas kepada istri bukan di dalam kebenaran melainkan di dalam kemarahan. Terlalu sering suami bersikap kasar kepada istri bukan karena kebenaran, melainkan karena ketidaksukaan belaka. Jadi bila suami ingin mengarahkan istri maka dia harus mengetahui apa yang benar dan apa yang menjadi kehendak Tuhan, setelah itu dia harus menjadi orang pertama yang mengakui kesalahan atau kegagalannya hidup sesuai kehendak Tuhan, sehingga bukan saja dia mengakuinya lewat perkataan, tapi dia juga menunjukkan lewat perbuatan, yaitu dia terbuka untuk menerima teguran atau koreksi istri. Dengan sikap terbuka atas teguran atau koreksi istri, maka dia berusaha untuk menjalankan apa yang Tuhan kehendaki maka dia bisa meluruskan perbuatan atau sikap istri di dalam kebenaran.
GS : Yang sulit itu justru suami harus meminta maaf kepada istrinya walaupun dia bersalah, ini kadang-kadang sulit sekali untuk dilakukan, Pak Paul.
PG : Namun inilah yang diperlukan supaya istri melihat bahwa suami itu mengikut Tuhan secara sepenuh hati bersedia meminta maaf, bersedia merendahkan diri, dengan kata lain, istri melihat suami hidup di dalam kebenaran sehingga waktu suami harus memberikan koreksi kepada istri, di dalam kebenaran istri juga akan lebih mudah untuk mendengarkannya.
GS : Malah yang seringkali terjadi, si suami ditunjukkan kesalahannya oleh istrinya malah dia marah-marah karena istrinya menuduh dia dan menunjukkan kesalahannya, ini menimbulkan kemarahan bagi suaminya.
PG : Seringkali kita sebagai pria cepat tersinggung kalau istri kita mencoba mengoreksi kita, tapi sekali lagi bukankah, coba kalau kita mau ‘fair’, bukankah di dalam dunia ini seorang pemimpin yang layak diikuti adalah pemimpin yang rela bersedia mendengarkan teguran atau koreksi dari orang yang dipimpinnya juga. Bukankah pemimpin yang memang layak diikuti adalah pemimpin yang juga bisa berkata, "Saya salah dan saya minta maaf". Kalau kita bisa berkata itulah pemimpin yang baik, maka jadilah pemimpin yang seperti itu di dalam keluarga kita.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang meneguhkan bahwa kita itu perlu meminta maaf atau memberikan maaf kepada orang lain, Pak Paul ?
PG : Saya teringat Galatia 6:1 berkata, "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan". Jadi Tuhan meminta kita untuk saling koreksi satu sama lain namun Tuhan memberi syarat kalau kita ingin mengoreksi orang maka pertama-tama kita harus memeriksa diri yaitu apakah kita orang yang rohani, apakah kita menyampaikannya dengan roh lemah lembut dan apakah kita telah menjaga diri supaya jangan sampai kita itu menjadi orang yang munafik, yang memberi teguran kepada orang lain namun diri sendiri jatuh ke dalam dosa yang sama. Jadi sekali lagi Tuhan meminta kita untuk selalu melihat diri kita dan waktu kita memang telah hidup dalam kebenaran, dalam kerohanian yang Tuhan tetapkan, maka kita itu nantinya lebih dapat mengarahkan istri untuk hidup juga dalam kebenaran.
GS : Apakah ada hal lain, Pak Paul, yang perlu diperhatikan oleh suami di dalam hal mengarahkan istrinya ?
PG : Yang terakhir adalah kalau kita ingin menjadi pemimpin yang dapat mengarahkan istri maka kita harus membuktikan diri sebagai orang yang berhikmat di dalam hal-hal kecil, mustahil bagi suami untuk dapat memberi arahan kepada istri bila rekaman jejaknya sarat dengan kesalahan. Kadang ini yang terjadi, suami memaksakan kehendaknya pada istri namun masalahnya di masa lampau terlalu sering dia membuat kesalahan, perhitungannya sering meleset, perkiraannya sering keliru, sudah tentu rekaman jejak yang penuh kegagalan ini akan menyulitkan istri untuk memercayai arahan suami, apalagi bila kenyataannya pemikiran istrilah yang terbukti benar atau tepat. Jadi lebih susah lagi kalau memang rekaman jejaknya membuktikan si suami yang penuh dengan kekeliruan. Sebagai suami memang kita mengakui kalau kita memang lebih banyak salah, maka kita akuilah dan jangan tergesa-gesa mengeluarkan pendapat, jangan lebih memaksakan kehendak, karena kita harus sadar bahwa kita memang lebih sering keliru. Jadi justru yang harus kita lakukan adalah sering-seringlah bermusyawarah dengan istri dan sedapatnya melakukan keputusan berdasarkan mufakat bersama.
GS : Di sini yang disebut kesalahan adalah kesalahan selama mereka sudah menikah dan bukan pada masa lampaunya, Pak Paul ?
PG : Saya kira sudah tentu kalau misalnya mereka baru menikah maka rekaman jejak yang dilihat oleh istri adalah rekaman jejak sebelum menikah. Tapi kalau mereka sudah menikah lama maka sudah tentu yang dilihat adalah rekaman jejak selama menikah itu. Jadi dengan kata lain saya kira masuk akal, apakah kita bisa mengikuti perintah atasan kita kalau 9 dari 10 keputusannya adalah salah, maka akan terjadi kesulitan. Maka kita harus menjadi orang yang bijaksana dalam hal-hal yang kita lakukan sehingga istri percaya waktu kita berkata, "Saya kira ini saja, ini yang lebih baik" dia percaya karena dia mengetahui rekaman jejak kita itu mendukung. Jadi tolong kita juga harus tahu diri.
GS : Tapi sebagai suami tidak senang diingat-ingat kesalahannya di masa lalu, Pak Paul.
PG : Sudah tentu sebagai istri, istri bisa mengatakannya dengan cara yang lembut misalnya, tolong kita perhatikan ini dan ini, tolong jangan lupakan faktor ini dan ini, kita coba tunda sebentar dan kita berdoa lagi, mari kita meminta pendapat orang lain. Jadi tidak langsung berkata, "Kamu ini sudah sering buat kesalahan, sekarang mau membuat keputusan apakah kamu tidak bercermin diri ?" Jangan seperti itu karena sangat menjatuhkan suami, sebaiknya hanya katakan hal-hal yang perlu diperhatikan.
GS : Kadang-kadang kita sebagai suami terpaksa mengambil keputusan-keputusan yang sangat mendesak di waktu yang sangat singkat dan ini biasanya yang keliru. Dan istri yang lebih bijaksana didalam mengambil keputusan, bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Kadang-kadang itu yang terjadi kalau memang intinya kalau kita salah dan ini jarang terjadi maka kita minta maaf dan katakan jadilah ‘gentleman’, "Saya keliru dan keputusan saya salah" tanpa disuruh mengakui oleh istri dan atas keinginan sendiri. Sebab kalau kita mengakui, "Saya salah" tapi setelah dikonfrontasi istri maka istri akan berkata, "Kamu kalau sudah didesak maka baru mengaku", jadi tidak ada sifat ‘gentleman’nya dan ini yang perlu diperlihatkan kepada istri bahwa kita seorang ‘gentleman’, kalau kita bersalah maka kita mengakui salah.
GS : Perbincangan kita ini masih akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang khususnya bagaimana kita harus bersikap sebagai seorang suami. Untuk mengakhiri perbincangan kita tentang ‘memimpin adalah mengarahkan’, mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Saya akan bacakan 1 Petrus 3:7, "Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang". Jadi firman Tuhan jelas meminta kita penuh kasih sayang, lembut, memerhatikan istri sebagai kaum yang lebih lemah dan bukan untuk diinjak-injak mentang-mentang lebih lemah, tapi justru harus dihormati sebagai teman pewaris dari kasih karunia. Ini adalah perintah Tuhan dan kalau kita melakukannya maka doa kita didengarkan Tuhan. Kalau kita tidak melakukan perintah Tuhan ini, Tuhan sudah berkata, "Doa kita akan terhalang".
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang bagian pertama dari suami yang memimpin dan istri yang menolong, yang merupakan suatu seri yang kali ini kita baru saja berbincang-bincang tentang "Memimpin adalah Mengarahkan" kami berharap Anda tetap mengikuti seri ini sampai pada akhirnya nanti. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.