Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Suami Yang Berkenan di Hati Allah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Menjadi orang yang berkenan di hati Allah itu saja sudah menjadi suatu pergumulan tersendiri, apalagi dengan predikat sebagai suami dan kita tahu itu bukan sesuatu hal yang mudah, Pak Paul. Kalau kita mencoba mencari-cari orang di sekitar kita rasanya tidak ketemu, tetapi kalau kita membaca di Alkitab apakah ada kira-kira tokoh yang bisa mencerminkan hal itu, yang menjadi seorang suami yang berkenan di hati Allah?
PG : Salah seorang tokoh di Alkitab yang saya kira terabaikan adalah Yusuf, ayah dari Yesus, Putra Allah di dunia. Walaupun tidak banyak catatan tentang dirinya, tapi ada beberapa hal yang dapat kita pelajari dari Yusuf terutama dalam peranannya sebagai seorang suami. Meski sekarang ini pada waktu kita merekam bukanlah masa Natal tapi saya kira tidak apa kita melihat sosok Yusuf dan menimba beberapa hikmah dari kehidupannya.
GS : Tapi itu ‘kan hanya sedikit sekali dicatat dalam kitab Injil dan bahkan di seluruh Alkitab, Pak Paul, bagaimana kita bisa mempelajari dari hal yang sedikit itu ?
PG : Betul, nama Yusuf ternyata hanya muncul 2 x, pada masa kanak-kanak Tuhan Yesus. Yang pertama adalah di Matius 1:18-21, coba saya bacakan "Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut, pada waktu Maria ibu-Nya bertunangan dengan Yusuf ternyata ia mengandung dari Roh Kudus sebelum mereka hidup sebagai suami istri. Karena Yusuf suaminya seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama istrinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. Tapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata, ‘Yusuf anak Daud janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu sebab Anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka’." Jadi sebagaimana telah kita baca, Yusuf telah bertunangan dengan Maria tatkala ia tahu bahwa Maria sudah mengandung. Alkitab tidak memberi kepada kita keterangan, percakapan seperti apakah yang terjadi antara Yusuf dan Maria sewaktu ia mendengar kabar kehamilan Maria. Alkitab hanya mengatakan bahwa Yusuf berniat memutuskan tali pertunangannya. Jadi tampaknya bisa kita simpulkan bahwa ia tidak memercayai apa yang dikatakan oleh Maria.
GS : Pak Paul, pada waktu itu, pada jamannya Yusuf dan Maria ikatan pertunangan itu seperti apa, Pak Paul ?
PG : Pertunangan itu belum menikah sama seperti sekarang ini tapi mungkin beda dengan sekarang ini, pertunangan itu benar-benar sudah dianggap hampir seperti menikah. Jadi yang membedakan adalah benar-benar mereka tidak berhubungan secara jasmaniah dan mereka juga tidak tinggal serumah. Itulah biasanya yang terjadi pada waktu orang bertunangan. Itu adalah sebuah ikatan yang sangat mengikat. Benar-benar sama seperti relasi atau status suami istri namun tidak ada hubungan jasmaniah dan juga tidak tinggal serumah.
GS : Katakan pada waktu itu Yusuf betul-betul menceraikan Maria, tapi sebenarnya kalau dalam pertunangan itu tidak sampai diceraikan. Jika Pak Paul katakan hampir seperti pernikahan, memang tepat bisa dikatakan diceraikan. Katakan Yusuf itu sampai menceraikan Maria, dampaknya apa, Pak Paul?
PG : Sudah tentu orang akan bertanya-tanya kenapa sampai bercerai? Kita mau melihat lebih dalam lagi tentang Yusuf kenapa atau siapakah dia itu dari tindakannya ini. Nah, mungkin kalau kita membaca Alkitab dan melihat mengapa Yusuf ingin menceraikan Maria, tidak percaya pada Maria, bukankah Maria sudah menceritakan bahwa Anak ini adalah dari Roh Kudus. Seharusnya ‘kan dia percaya kepada Maria, sebelum kita menuduh Yusuf sebagai orang yang tidak berbelas kasih atau tidak beriman, mungkin kita harus menempatkan diri dalam situasinya. Belum pernah Allah masuk ke dalam kehidupan manusia secara jasmaniah, Ia selalu hadir dalam Roh karena kita tahu Allah adalah Roh, tidak pernah dalam tubuh jasmaniah. Pada waktu Yusuf mendengar dari Maria perkataan bahwa "Saya mengandung" dan Anak ini berasal dari Roh Kudus, sudah tentu untuk Yusuf hal ini sesuatu yang susah untuk diterima secara nalar sebab meskipun ia seorang Yahudi, dia seorang yang percaya kepada Tuhan tapi benar-benar tidak pernah ada catatan Allah itu menampakkan diri secara jasmaniah apalagi hadir di tengah-tengah manusia dalam bentuk seorang bayi. Dia tidak percaya, ini sesuatu yang bisa kita mengerti kalau kita dalam posisi dia, kita juga akan memunyai reaksi yang sama.
GS : Apakah Yusuf dan Maria memang ada ikatan keluarga, Pak Paul ?
PG : Memang tidak ditulis apakah mereka memunyai ikatan keluarga sebab yang ditulis hanyalah Yusuf dari anak Daud, dari garis keturunan Yehuda. Maria tidak diketahui apakah ada hubungan keluarga dengan Yusuf. Informasi itu tidak kita miliki.
GS : Sebelum Allah ini mewujud menjadi manusia memang di Perjanjian Lama beberapa kali kita membaca bahwa Allah menampakkan Dirinya sebagai manusia, misalnya ketika ketemu dengan Abraham dan sebagainya, Pak Paul.
PG : Memang itu bukan Allah sendiri tapi adalah malaikat-malaikat-Nya. Di Perjanjian Lama ada beberapa peristiwa dimana Allah mengutus Malaikat-Nya menampakkan diri kepada umat manusia. Memang selalu pada waktu Allah sendiri berbicara, Ia berbicara dalam Roh, Dia tidak pernah memunculkan diri-Nya maka waktu Musa meminta-minta untuk bisa melihat Tuhan, Tuhan tidak memberikan kesempatan itu. Tuhan hanya berkata, "Aku akan lewat dan engkau akan melihat belakang-Ku". Jadi dia pun tidak melihat Tuhan meskipun kita mengetahui bahwa Musa adalah hamba Allah yang dikasihi dan dia berjalan sangat akrab dengan Tuhan tapi tetap sampai terakhir ia ingin melihat Allah, Tuhan tidak mengijinkannya. Benar-benar untuk Yusuf ini sebuah konsep yang sangat sangat baru. Belum lagi hal yang kedua kenapa dia susah untuk bisa menerima penjelasan Maria, belum pernah Allah membuat seorang perawan mengandung seorang anak, tidak pernah ! Jadi waktu dia mendengar apa yang dituturkan oleh Maria sudah tentu untuk dia tidak bisa dipahami. Tuhan telah melakukan banyak mujizat, betul, dia seorang Yahudi pasti dia mengetahui semua itu, namun belum pernah Tuhan membuat seorang perawan mengandung seorang anak, singkat kata apa yang Tuhan Allah lakukan membuat Maria mengandung lewat Roh Kudus tanpa berhubungan dengan manusia benar-benar sebuah tindakan yang sama sekali baru. Tidak heran Yusuf akhirnya mengalami kesulitan untuk memercayainya.
GS : Katakan sekarang saja kalau istri kita berkata dia ketemu malaikat, kita mungkin juga ragu-ragu, apa betul dia ketemu malaikat?
PG : Betul dan yang memang saat itu sudah bertemu dengan malaikat Tuhan adalah Maria. Yusuf belum, jadi benar-benar dia harus memercayai Maria, apa yang dikatakan oleh Maria. Rupanya jelas ia tidak memercayai maka ia berniat untuk menceraikannya.
GS : Lalu apa sikap Yusuf selanjutnya, Pak Paul?
PG : Begini, terlepas dari kenyataan bahwa bayi yang dikandung adalah Yesus Putra Allah, apa yang Yusuf lakukan, yaitu memutuskan relasi pertunangan atau apa yang ingin dilakukannya, memutuskan relasi pertunangan, untuk saya justru memperlihatkan integritas, Yusuf bukan seorang beriman secara teori saja. Ia berusaha menerapkan imannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Di mata Yusuf pada saat itu, Maria telah berbuat dosa. Alasan mengapa ia tidak mau menikahi Maria karena ia tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai moralnya. Tuhan menghargai prinsip hidupnya. Jadi benar-benar dia adalah seseorang yang memang tidak mau mengkompromikan, dia tidak percaya penuturan Maria jadi ia memilih untuk berpisah dengan Maria.
GS : Tapi itu akan dilakukan secara diam-diam, dikatakan oleh Alkitab, Pak Paul.
PG : Nah, nanti kita akan lihat di situ justru inilah lebih menampakkan karakter Yusuf bahwa dia seorang "gentleman" meskipun pada saat itu dia mungkin sekali merasa telah tertipu, terluka oleh Maria karena dia tidak memercayai penuturan Maria namun dia tetap dengan secara "gentleman" hanya berniat untuk memisahkan dirinya secara diam-diam dengan Maria karena tidak mau mencemarkan namanya Maria.
GS : Tapi kita juga tidak tahu dari Alkitab bagaimana reaksi Maria pada saat itu ketika Yusuf mau menceraikan dengan diam-diam.
PG : Saya duga sebagai manusia tentu dia sedih sekali, tapi saya juga menduga ia bisa memahami bagaimana pun juga karena sampai saat itu memang malaikat belum menampakkan diri kepada Yusuf. Jadi dari sini kita mau petik satu pelajaran tentang Yusuf sebagai seorang suami, sebagai seorang pria. Seorang suami yang berkenan kepada Tuhan adalah seorang suami yang menjunjung tinggi nilai moral, yang dijunjung tinggi oleh Tuhan sendiri. Apa yang diperkenankan Tuhan diterimanya, apa yang tidak diperkenankan Tuhan ditolaknya. Inilah yang kita pelajari dari Yusuf. Ia tidak berkompromi bahkan demi cinta sekali pun, sudah tentu ia mencintai Maria tapi pada saat itu bagi dia, dia tidak bisa terima penjelasan Maria. Mungkin sekali ia beranggapan Maria telah berkhianat, meskipun ia mencintai tapi ia tidak berkompromi. Jadi ini bisa kita pelajari, kehidupan suami yang lurus dan tidak bercacat bukan saja menjadi persembahan yang harum di hadapan Tuhan tapi juga persembahan terbaik yang dapat diberikan suami kepada istrinya. Sewaktu istri melihat kehidupan suami yang berintegritas, istri pun akan menghormati dan akhirnya mengikuti suami.
GS : Di sini yang makin lama makin luntur atau makin tidak nampak dengan jelas itu adalah integritas itu tadi, Pak Paul. Sebagai seorang suami demikian pula sebaliknya seringkali terjadi sebagai seorang istri pun tidak menunjukkan integritasnya, sehingga nilai-nilai moral di dalam keluarga itupun lemah sekali, Pak Paul.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kita sebagai suami memang mesti menjadi tolok ukur nilai moral yang telah kita terima dari Tuhan. Jangan kita justru sebagai suami yang seharusnya menjadi kepala keluarga mengkompromikan nilai-nilai moral kita. Bagaimana kita mengharapkan istri kita mengikut kita kalau kita tidak memberikan contoh kehidupan berintegritas. Dari Yusuf saya kira kita belajar satu prinsip yang penting, yaitu dia seorang laki-laki yang berintegritas. Begitu dia melihat saat itu, ini tidak benar, sudah tidak benar, dia konsekwen dia harus putus ya dia putus. Dia tidak terbawa atau terayun oleh perasaan, dia melihat ini jelas bagi dia ini salah, ia tidak bisa menerimanya. Saya pikir tadi Pak Gunawan sudah katakan ini yang kurang di jaman sekarang, kita laki-laki, kita suami kita harus ingat, kita harus memunyai prinsip kehidupan yang benar dan lurus di hadapan Tuhan.
GS : Tapi pada waktu itu, Yusuf belum sampai pada ikatan pernikahan, baru pertunangan. Bagaimana kalau itu sudah terikat dalam pernikahan lalu kita mengetahui bahwa istri kita melakukan suatu dosa, Pak Paul? Bukankah kita tidak bisa dengan mudahnya bisa menceraikan dia, demi sebuah integritas?
PG : Betul, jadi dalam kondisi kita sudah menikah memang kita mau melihat apakah ada penyesalan, apakah ada pertobatan juga. Nah, misalkan ini dalam kasus yang berbeda seorang suami mendapati bahwa istrinya telah berkhianat, sudah tentu yang harus dilakukan adalah memperhadapkan dengan perbuatannya itu, namun setelah itu kita lihat apa reaksi istri kita. Kalau dia menyesali, dia mengakui dia telah berbuat dosa dan dia meminta pengampunan kita, saya kira kita memang harus mengampuni. Saya mengerti perkataan "harus" ini terlalu susah untuk dilakukan kadangkala kita tidak mampu melakukannya, tapi karena kita mengetahui adalah kehendak Tuhan untuk kita memberikan pengampunan, jadi kita harus berusaha. Kalau kita tidak bisa, kita bisa datang kepada Tuhan, kita bicara langsung meminta Tuhan memberikan kepada kita kasih karunia, pengampunan, hati yang bisa menerima kembali istri kita, inilah yang menjadi doa kita. Jadi kita janjikan istri kita bahwa "Saya akan berdoa, sebab pada akhirnya saya mau mengampuni kamu sepenuh hati. Saat ini perasaan saya begitu berkecamuk, reaksi saya begitu kuat tapi saya tahu ini yang Tuhan kehendaki, saya mengampuni kamu. Saya akan memulai perjalanan untuk mengampuni kamu, saya akan terus berdoa meminta Tuhan untuk menolong". Ini tidak bisa kita lakukan dalam waktu sehari, sudah tentu ini susah sekali, namun dalam prosesnya kita perlu melihat bahwa istri kita sungguh-sungguh sudah berubah. Kalau misalnya ia menyesali hari ini kemudian seminggu kemudian kita melihat dia mulai seperti dulu lagi, kalau berbicara membentak-bentak kita, kalau bicara tidak mau mengalah, ini membuat kita bertambah susah mengampuni dia. "Engkau katanya sudah bertobat, engkau katanya mau berubah, kok masih seperti itu sombongnya, masih begitu keras hatimu, tidak mau bersikap lembut kepada saya?" Mana sikap penyesalan atau pertobatan, nah ini menyulitkan kita untuk mengampuni istri kita. Kalau memang ini yang telah terjadi kita mesti melihat juga adanya perubahan dari istri kita.
GS : Dalam hubungan suami istri, integritas itu penting tapi bagaimana kita bisa membangun diri kita berintegritas dalam keluarga itu?
PG : Kita memang akhirnya harus selalu memfokuskan mata kita pada Tuhan, kita tidak boleh mengarahkan mata kita pada manusia, bahkan kepada pasangan kita sendiri. Kita bukannya takut istri kita, kita takut Tuhan. Kenapa kita tidak mau melakukan dosa karena kita tahu Tuhan melihat kita dan kalau Tuhan melihat, Dia akan meminta pertanggungjawaban kita. Itu pasti, kita mungkin bisa lolos atau kita masih hidup di dunia ini, tapi kita tidak akan bisa lolos setelah nanti kita bertemu dengan Tuhan di penghakiman akhir. Kita tetap harus mempertanggung-jawabkan perbuatan kita. Dan kita selalu ingat bahwa perbuatan kita kalau kita berdosa tidak menjaga integritas kita, dampaknya bukan hanya menyangkut satu orang, tapi menyangkut banyak orang. Memengaruhi kehidupan orang-orang lain, jadi kita mesti menjaga jangan sampai kita berbuat dosa mengkompromikan inte-gritas kita.
GS : Memang sebagai suami, kita ‘kan kepala keluarga dan tentunya namanya kepala keluarga itu mutlak harus punya integritas, begitu Pak Paul?
PG : Karena sebagai kepala kita memang mengharapkan istri kita atau anak-anak kita ikut kita, namun mereka perlu respek kepada kita sebelum ikut kita. Untuk bisa respek kepada kita mereka perlu melihat keteladanan dalam diri kita, bahwa kita adalah anak Tuhan yang takut Tuhan. Kita hidup di dalam integritas seperti yang Tuhan telah tetapkan bagi kita.
GS : Memang biasanya kita tidak mau integritasnya cuma mau dihormati oleh anggota keluarga yang lain, ini sulit kalau kita tidak menunjukkan keteladanan yang baik sebagai kepala keluarga.
PG : Betul, Pak Gunawan. Ada satu pertanyaan yang bisa saya bagikan kepada para pendengar kita untuk menolong kita sebagai laki-laki, sebagai suami, mengecek apakah kita telah melakukan yang Tuhan kehendaki, apakah kita telah hidup dalam integritas. Pertanyaan adalah "Apakah saya berani melakukan apa yang saya lakukan ini di hadapan istri saya?" Jadi sering-seringlah bertanya begitu, apakah saya berani yang saya lakukan di sini, di hadapan istri saya. Jika saya tidak berani melakukannya di hadapan istri karena saya tahu itu salah, itu berarti saya pun tidak boleh melakukannya di luar istri saya. Sejak awal pernikahan biasakanlah diri untuk tidak mengembangkan dua kehidupan, di hadapan istri dan di luar istri. Ingat, baik di hadapan istri maupun di luar istri kita akan senantiasa berada di hadapan Tuhan. Dia melihat segala yang kita perbuat dan Ia menuntut pertanggungjawaban kita. Coba saya minta kita selalu ingat pertanyaan itu, "Apakah kalau ada istri saya, jangan melakukan ini. Kalau tidak ya sudah jangan".
GS : Biasanya orang lupa mempertanyakan hal itu, jadi dijalani saja, seolah-olah tidak ada yang mengetahui. Dari Yusuf sendiri apalagi yang bisa kita pelajari, Pak Paul?
PG : Ada satu hal lagi yang bisa kita tiru yaitu ini, firman Tuhan mengatakan bahwa Yusuf berniat menceraikan Maria dengan diam-diam. Sekali lagi, di mata Yusuf saat itu Maria telah berkhianat dan bukan saja berkhianat tapi juga berbohong kepadanya sebab sampai saat Maria menyampaikan berita tentang kehamilannya dan penampakan malaikat kepadanya, Yusuf belum diberi kesempatan untuk berjumpa dengan malaikat sendiri, sungguh pun demikian Yusuf tidak berniat untuk mempermalukan Maria apalagi menghukumnya. Dia bertekad memutuskan tali pertunangan namun ia tidak ingin melakukannya dengan sikap membalas, saya kira alasannya jelas, yaitu Yusuf seorang yang lembut hati, dia seorang yang baik, dia seorang yang penuh belas kasihan. Ini pelajaran yang bisa kita petik untuk kita sebagai suami lembut hati, baik hati dan berbelas kasihan. Saya kira tidak ada istri yang akan mengeluh kalau suaminya itu lembut hati, baik hati dan berbelas kasihan.
GS : Tetapi ada yang mengatakan kalau diam-diam begini, tidak "gentleman", tidak berani bertanggungjawab kepada keluarganya atau keluarga maksudnya orang tua dan sebagainya, begitu Pak Paul.
PG : Saya memang tidak mengetahui karena ini tidak sampai terjadi, saya juga kalau sampai dia harus menceraikan Maria saat itu, dia harus berbicara dengan orang tua Maria dan saya juga bisa berkata bahwa yang dimaksud dengan diam-diam di sini adalah Yusuf tidak berniat membawa masalah ini ke hadapan publik atau masyarakat. Tidak, dia akan melakukannya secara intern dalam keluarga saja supaya nama baik Maria tetap terlindungi.
GS : Memang kelembutan ini bagi kita kaum pria agak sulit dikerjakan, Pak Paul.
PG : Saya sendiri mengingat ke belakang, waktu di mana saya kurang berbelas kasihan kepada istri saya. Pada waktu saya telusuri penyebabnya, saya menemukan bahwa pada waktu saya kurang berbelas kasihan, pada waktu saya kurang lembut hati, pada waktu saya kurang baik hati kepada istri saya, dikarenakan saya kurang memikirkan kepentingan dan kebutuhan istri saya. Singkat kata, saya hanya memikirkan diri sendiri. Saya akhirnya melihat itulah penyebabnya, kalau saja saya perhatikan kepentingannya, saya bisa lebih lembut hati, bisa lebih sabar, bisa berbaik hati, bisa berbelas kasihan tapi kalau saya tidak memunyai itu, tidak bisa. Belum lama ini saya melihat suatu adegan di suatu tempat parkir, rupanya si pria yang saya duga adalah suami mau cepat-cepat keluar dari tempat, toko atau apa, dia berjalan dengan cepat. Saya mula-mula tidak tahu kalau ada orang lain, ada istrinya, karena dia berjalan begitu cepat tiba-tiba saya melihat di belakang, saya duga itu istrinya, mereka bukan orang yang terlalu muda lagi, keluar tergopoh-gopoh mengejar-ngejar suaminya, suaminya tidak mau melambatkan langkahnya, berjalan cepat ke mobil. Si istri tergopoh-gopoh mengejar akhirnya sampai juga ke mobil. Saya melihat itu jadi teringat saya juga pernah begitu, saya mau cepat-cepat dan kurang memikirkan istri saya dan kepentingannya. Nah itulah yang saya kira yang menjadi penyebab kita sebagai suami kurang lembut hati dan baik hati kepada istri kita.
GS : Apakah buah dari kelembutan itu di dalam kehidupan kita sebagai suami istri?
PG : Tuhan ingin agar kita memunyai hati yang lembut dan ini buahnya kalau kita memikirkan istri hidup dalam Tuhan maka kita akan mulai menghasilkan hati yang lembut dan mesti ingat Tuhan tidak senang hati yang keras, itu sebab kadang Tuhan menghadirkan situasi demi situasi untuk menumbuhkan hati yang lembut dalam diri kita. Biasanya situasi yang digunakan Tuhan adalah kegagalan sebab obat penawar terbaik untuk menghilangkan kesombongan dan kekerasan hati adalah kegagalan. Akhirnya waktu kita mengalami kegagalan kita belajar lebih rendah hati sehingga lebih akhirnya mau memikirkan kepentingan istri kita. Akhirnya kita juga simpulkan di sini, pada saat kritis itu Tuhan mengutus malaikat-Nya kepada Yusuf untuk meneguhkan cerita yang telah disampaikan Maria kepadanya bahwa bayi yang dikandung berasal dari Roh Kudus. Sekali ia berjumpa dengan malaikat, Yusuf langsung percaya, dia menaati Tuhan sesuai kehendak-Nya.
GS : Itu juga buah kelembutan di dalam diri Yusuf, kerendahan hati sehingga ia bisa menerima apa yang dikatakan malaikat kepadanya.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Pak Paul, perbincangan ini masih akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Namun sebelum kita mengakhiri bagian ini, mungkin Pak Paul ingin membacakan ayat dari firman Tuhan?
PG : Kolose 3:19 berkata, "Hai suami-suami kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadapnya". Nah, saya kira kita suami pernah bersalah dalam hal ini, pernah kurang mengasihi istri dan pernah berlaku kasar, jadi kita terima teguran dari Tuhan, jangan sampai berlaku kasar dan tambahkanlah kasih sayang kita kepada istri kita.
GS : Memang melalui kegagalan itulah Tuhan menyadarkan kita dan mengingatkan kita bahwa sebenarnya kita patut memiliki integritas, memiliki kerendahan hati khususnya terhadap istri kita, Pak Paul.
Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Suami yang Berkenan di Hati Allah" bagian yang pertama. Kami mengharapkan Anda akan mengikuti perbincangan ini sebagai kelanjutan perbincangan pada saat ini di kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.