Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Strategi Menghadapi Bullying". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, bagaimana kita menyusun strategi menghadapi bullying ini ? Ada baiknya kita mengenal dulu latar belakang si pelaku bullying ini.
SK : Benar. Memang pelaku itu sendiri bukan muncul dari kondisi kekosongan tetapi ada riwayatnya. Salah satu riwayatnya adalah bahwa pelaku bullying ini kemungkinan besar sudah terbiasa melihat orang tuanya melakukan bullying atau kekerasan kepada pasangannya. Mungkin sang mama melakukan bullying kepada suaminya atau papanya, atau sang ayah melakukan bullying terhadap mamanya. Dan anak ini seringkali atau bahkan bertahun-tahun menyaksikan tayangan langsung bagaimana antar orang tua ini melakukan bullying. Satu menjadi pelaku, satu jadi korban, sehingga terjadi suatu imitasi atau peniruan.
H : Contoh bullying antar pasangan itu seperti apa, Pak ?
SK : Contoh yang paling sederhana misalnya kata-kata. "Kamu memang istri yang tidak becus, tidak bertanggung jawab!" "Kamu sebagai istri, wanita begini ya, tidak tunduk pada suami. Firman Tuhan mengatakan istri tunduk pada suami" wah ayat firman Tuhan dimanipulasi untuk melakukan tindakan kekerasan. Mulai mengata-ngatai. Itu terjadi bertahun-tahun. Sehingga akhirnya si anak laki-laki menyerap kekerasan ayahnya. Meniru secara tidak langsung, akhirnya dia menjadi pelaku bagi orang lain. Termasuk media kekerasan, tayangan televisi, film, game. Berkali-kali, bertahun-tahun pembunuhan, pencurian, perampokan, apalagi di game ‘kan lebih terlihat hidup daripada sekadar menonton. Itu membentuk jiwa antisosial yang ditanamkan oleh orang tuanya sendiri, oleh permainan-permainan atau oleh tayangan media yang dikonsumsi oleh anak itu mungkin sejak batita (di bawah usia 3 tahun).
H : Mengerikan ya. Dia sebagai saksi sudah bisa mencetak dia sebagai calon pelaku bullying.
SK : Iya. Khususnya yang terasosiasi jenis kelamin. Kalau dia anak laki-laki melihat ayahnya pelaku bullying. Kalau dia anak perempuan melihat mamanya pelaku bullying. Yang gendernya sama itu lebih mudah meniru sebagai pelakunya. Atau kalau gendernya sama sebagai korban mungkin dia akan lebih mudah menyerap sebagai korban. Gender sama tetapi yang dia lihat, ayah atau ibunya, adalah korban maka dia akan menyerap figur sebagai korban.
H : Kenapa, Pak ?
SK : Itu terjadi secara alami. Anak laki-laki cenderung mengasosiasikan atau mengaitkan dirinya dengan ayahnya. Anak perempuan cenderung mengasosiasikan dirinya dengan ibunya. Itu secara otomatis, karena gender yang sama itu tadi.
H : Tadi Bapak memberikan contoh bullying dalam bentuk verbal ya. Misalnya si bapak mengata-ngatai si ibu, dan sebaliknya si ibu mengata-ngatai si Bapak.
SK : Apalagi kalau fisik ya.
H : Kekerasan ya, Pak ? Itu juga berpengaruh ya ?
SK : Iya, betul.
H : Selain dia menyaksikan dan melihat, apakah ada lagi riwayat si pelaku, Pak ?
SK : Kalau ditambahkan dia adalah korban bullying dari orang tuanya sendiri. dia menjadi korban kekerasan dari ayahnya atau dari ibunya. Jadi dia sebagai korban, dia menyerap luka dan kemarahan, kepahitan. Tidak berani melawan orang tua sehingga imbasnya meledak melawan orang lain yang lebih lemah. Di sekolah, di gereja atau di lingkungan tetangga dia menindas orang lain. Dia tidak sanggup membalas kepada orang tuanya, tidak sanggup fisiknya atau otoritasnya. Akhirnya kepada yang lebih lemah di luar rumah.
H : Tadi Bapak menyinggung, kalau dia sering menjadi korban akhirnya dia bisa menjadi korban, tapi ternyata juga bisa menjadi pelaku ya, Pak ?
SK : Iya. Jadi memang tidak mutlak. Jadi kemungkinannya sama-sama ada. Termasuk kalau dia bullying di tempat lain atau di luar rumah. Misalnya di gang rumahnya, di lingkungan tempat dia tinggal yang kumuh ataupun rumah gedongan. Intinya di luar rumahnya. Akhirnya dia jengkel, "Kenapa aku menjadi korban ?" akhirnya dia ikut perguruan silat, melatih diri fisiknya. Setelah sekian lama akhirnya dia melawan si pelakunya. "Kok enak ternyata. Aku menikmati kemuliaan, kekuasaan, kepuasan sebagai pemenang." dulu pecundang sekarang jadi penguasa dan pemenang. Rupanya keterusan. Dia menikmati akhirnya dia melakukan kepada orang lain. "Daripada aku menjadi korban, lebih baik aku lebih dulu menjadi pelaku." Jadi tidak hanya di rumah tapi juga bisa di luar rumah.
H : Saya ingat Bapak pernah sampaikan di sesi sebelumnya, bahwa jenis bullying itu juga mencakup bullying sosial. Kalau anak mengalami bullying sosial dalam arti ditelantarkan secara emosional oleh orang tuanya, apa itu juga bisa memengaruhinya menjadi pelaku ?
SK : Betul, Pak Hendra. Itu bagian dari kekerasan orang tua terhadap anak, secara verbal, fisik dan juga dalam bentuk penelantaran atau pengabaian (neglecting), yang bisa membuat emosi sang anak menjadi tidak terawat atau tidak terasah. Yang ada hanyalah emosi kekosongan atau emosi negatif. Dan itu membuat dia mati rasa, mati nurani, sehingga dia susah berempati kepada orang lain karena dia sendiri tidak menerima empati, solidaritas, perasaan peduli dari orang tua. Tidak punya kepedulian, empati tidak tumbuh, nurani tidak terasah. Akhirnya dengan gampangnya dia menyakiti orang lain karena dia memang tidak punya kepekaan itu.
H : Saya tangkap bahwa pelaku bullying ini tidak bisa berempati, tidak bisa merasakan perasaan korbannya ya ?
SK : Betul, tepat. Memang bicara tentang anak, kalau kita mau menghentikan mata rantai anak menjadi pelaku bullying, maka tumbuhkan dan asahlah secara sadar dan sengaja anak-anak kita dari sisi rasa empati, rasa kepedulian. Itu akan menghentikan kemungkinan dia menjadi pelaku bullying.
H : Apa lagi yang bisa menjadi latar belakang pelaku bullying ?
SK : Kemungkinan pelaku bullying berlatar belakang mengalami ketidakberdayaan di sektor yang lain. Misalnya di pelajaran sekolah, prestasi akademisnya pas-pasan atau buruk. Akhirnya dia dihina, dikata-katai negatif oleh orang tuanya atau oleh lingkungan keluarga pergaulannya. Akhirnya, "Ah, aku tidak berprestasi di sekolah. Ya sudah aku berprestasi saja di sisi yang lain." Lalu dia melakukan bullying supaya mendapat kemuliaan, biar terkenal dan ditakuti karena dia pelaku bullying. Pelajaran boleh gagal tapi untuk sektor sosial sebagai pelaku bullying dia jadi superior.
H : Ini satu hal yag kadang tidak disadari oleh orang banyak. Memang kita sering lihat fenomena ini. Anak-anak yang tidak berprestasi suka menjadi ‘trouble-maker’, salah satunya membully teman-temannya.
SK : Betul. Makanya kalau kita mau memotong siklus kemungkinan menjadi pelaku, maka bangunlah penghargaan diri anak secara sehat. Tidak apa kalau prestasi akademiknya tidak menonjol. Beri tempat dalam sektor-sektor yang lain untuk dia memunculkan talenta, bakat dan kemampuannya dari segi apa dan hargai itu. Kalau dia punya penghargaan diri yang positif, dia tidak akan tergoda untuk mencari penghargaan diri di sektor-sektor yang negatif di antaranya menjadi pelaku bullying.
H : Ini poin yang baik sekali. Jadi kita harus menanamkan penghargaan diri kepada anak sejak dini.
SK : Iya. Penghargaan diri yang sehat berdasarkan hal-hal yang positif. Dan itu akan selalu ada tempat, kalau orang tua atau guru mau menggali.
H : Selain faktor ketidakberdayaan yang menjadi latar belakang si pelaku, apa ada yang lain ?
SK : Yang lain yaitu kemarahan yang tidak terselesaikan. Itu masih ada kaitannya dia menjadi korban dari orang tuanya, dari guru, dari orang-orang dewasa sekitarnya ataupun dari teman-temannya. Karena dia berkali-kali menjadi korban, akhirnya kemarahannya tertumpuk, terpendam, akhirnya meledak dan dia pun menjadi pelaku bagi orang lain.
H : Memang ini berkaitan ya. Isu kemarahan ini berkaitan dengan apa yang terjadi dengannya di rumah atau di lingkungan tempat tinggalnya, bisa berkaitan erat. Tapi saya jadi berpikir tentang keterkaitan ketidakberdayaan tadi, Pak. Bisa jadi ‘kan ada anak yang memang dia sudah berprestasi, tapi dia tetap menjadi pelaku bullying.
SK : Oh iya, betul ! Kadang berprestasi tetapi mungkin kurang dihargai. Kurang dihargai oleh orang tuanya. Atau mungkin di satu sisi dia besar dalam lingkungan yang tidak ada disiplin moral, terlalu dihormati, dihargai, tapi tidak ada batasan.
H : Ekstrem sebaliknya, ya ? Kalau yang tadi tidak dihargai, yang ini terlalu dihargai.
SK : Iya! Terlalu dihargai artinya dia dipuja-puja tapi apa yang salah, apa yang kurang sopan, apa yang kurang peduli dengan orang lain itu tidak diarahkan atau tidak dikoreksi, sehingga dia juga bisa menjadi anti sosial. Anti sosial bukan karena dia menjadi korban kekerasan tapi korban ketiadaan disiplin dan arahan.
H : Jadi dia merasa dirinya jadi raja kecil ?
SK : Tepat! Jadi nuraninya tidak terasah. Nurani terasah itu juga selain menerima kasih sayang, juga ada arahan bagaimana membentuk nurani itu. Berempati, mau mengalah, menghargai, berterima kasih, minta maaf, melihat lingkungannya seperti apa dan coba peduli pada lingkungan sekitarnya. Itu bagian dari pembentukan nurani.
H : Apa bisa kalau dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk menjadi populer, Pak?
SK : Iya, bisa sekali. Tadi dia tidak populer, sedangkan setiap anak ingin populer dan ingin diterima, dan dia tidak diterima. Ternyata dia ingin diterima dengan cara membullying orang lain, "Kok orang lain tertawa senang ? Yes! Ada jalan baru." Dengan cara ini dia bangun karirnya sebagai pelaku bullying.
H : Menarik ya, Pak. Ternyata latar belakangnya cukup luas. Kalau kita melihat pelaku bullying, kita tidak kenal latar belakangnya maka kita akan sulit mengenali mengapa dia jadi seperti ini. Di antara semua yang Bapak sebutkan tadi, apakah masih ada poin yang lain ?
SK : Ya, salah satunya adalah asumsi. Pelaku bullying berasumsi bahwa bullying adalah hal yang lucu dan ringan. Seperti yang Pak Hendra pernah singgung, "Ah ini ‘kan permainan. Ini ‘kan sesuatu yang ringan. Menyenangkan, hiburan, relaksasi. Tidak apa-apa ‘kan ? Hanya gurauan!" Inilah! Tapi ini serius! Gurauan yang dilakukan berulang-ulang lama-lama kepekaan sosialnya makin tumpul, yang terasah adalah dorongan dan pelampiasan sisi kekerasan atau sisi agresifitasnya. Sehingga membuatnya benar-benar menjadi pelaku, artinya perilaku yang dilakukannya secara berulang-ulang kepada siapa pun yang bisa menjadi korbannya.
H : Artinya ini adalah pemahaman yang keliru tentang bullying itu sendiri ya, Pak ?
SK : Betul.
H : Kita sudah bahas panjang lebar mengenai latar belakang si pelaku. Sekarang kita masuk pada korban bullying. Orang-orang seperti apa yang rawan menjadi korban atau menjadi target bullying itu ?
SK : Yang bisa menjadi korban, kecenderungannya adalah orang yang berbeda penampilannya dari teman-temannya. Misalnya fisiknya, postur tubuhnya terlalu gemuk atau terlalu kurus, terlalu pendek atau terlalu jangkung(tinggi) dibandingkan teman-teman yang lain. Warna kulit, yang lain kulitnya sawo matang, dia kuning langsat sendiri atau kebule-bulean. Atau yang lainnya kuning langsat, dia kebule-bulean, sehingga dia diejek "Hei, Bule! Bule!" Atau di antara orang-orang keturunan Eropa atau Amerika, dia orang kulit hitam, "Hei, Negro!" Julukan "negro" itu ‘kan menghina. Orang kulit hitam atau ‘black people’ itu normal. Tapi kalau disebut negro, orang marah. Itu rawan. Termasuk perilakunya yang canggung, cara berjalan, cara bicara, logat bicara yang aneh untuk lingkungannya karena dia memang pendatang baru, mempunyai kebiasaan yang berbeda. Intinya yang berbeda inilah yang rawan menjadi korban bullying.
H : Jadi tampilan fisik yang berbeda ya, Pak ?
SK : Betul, tampilan fisik dan perilakunya.
H : Berbicara tentang perilaku, berarti ada aspek non-fisiknya, Pak ?
SK : Betul.
H : Non-fisik ini seperti apa, Pak ?
SK : Cara dia berjalan, cara bicara, logat atau dialek. Intinya kebiasaan-kebiasaannya dalam berelasi sosial. Misalnya orangnya gagap atau latah. Akhirnya ditirukan temannya, digarap, dikageti, supaya latahnya makin menjadi-jadi. Itu ‘kan non-fisik.
H : Termasuk pembawaannya yang kurang percaya diri atau pemalu ya, Pak ?
SK : Betul. Di sisi lain yang rawan menjadi korban adalah kalau dia memiliki kepribadian inferior. Ada rasa minder, kurang mampu bersosialisasi, pemalu, pendiam, penyendiri, suka menyendiri secara sosial. Dia dianggap tidak punya modal sosial, tidak punya kekayaan sosial, sehingga dia dianggap miskin secara sosial, tidak punya teman atau pendukung sosial. Orang yang sendirian semacam inilah yang lebih rawan menjadi korban bullying.
H : Kalau kita sudah pahami ini yang rawan menjadi korban dan tadi kita juga sudah melihat latar belakang pelaku, sekarang kita masuk ke strateginya. Bagaimana strategi melindungi diri dari bullying ?
SK : Yang pertama bagi sang korban, dia perlu berani berkata, "Tidak. Aku tidak suka dengan apa yang kamu lakukan." Jadi korban perlu berani menampilkan diri secara meyakinkan, menegakkan bahu, tidak membungkuk dan tatap mata si pelaku, dan katakan dengan tegas, "Aku tidak mau! Aku tidak suka. Aku terganggu !"
H : Artinya perlu keberanian yang besar untuk berkata "tidak" ini ya, Pak ?
SK : Iya. Dalam konteks pribadi lepas pribadi tidak selalu besar sekali, ya. Tapi intinya ini justru paling penting kalau dilakukan sejak dini. Dalam hal ini mungkin kalau kita punya anak, murid atau keponakan, sejak dini kalau kita mendengar dia sudah mendapatkan perilaku bullying waktu dia TK atau mungkin PAUD, kita sudah ajarkan katakan, "Tidak, aku tidak suka, aku tidak mau." Nah, itu bukan keberanian yang terlalu besar, masih bisa. Tapi kalau sudah sekian tahun menjadi korban untuk hal ini pun tidak semudah itu dia berkata tidak. Tapi ini bagian yang lebih bersifat pencegahan. Kalau sejak usia dini dilatih berani berkata tidak dengan tegas.
H : Katakan, "Tidak!" adalah strategi pertama. Strategi yang kedua, Pak ?
SK : Yang kedua adalah pergi, tinggalkan situasi atau tempat itu. Jadi hindari. Kalau disana ada teman yang suka membullying, pergi begitu saja, tanpa bicara, langsung tinggalkan. Dalam hal ini jangan lari ! Kalau lari tambah dikejar, karena "Dia ini penakut! Yes, dia korban empuk!" karena ketakutan. Sedapat-dapatnya jangan lari. Kalau lari cenderung dikejar.
H : Artinya dia harus mewaspadai itu dan dari jauh dia sudah pergi menghindar, jangan sampai mencolok lah.
SK : Betul. Kalau memang bisa menghindar ya hindari tempat itu.
H : Mungkin ini bagi yang usianya sudah lebih besar. Kalau berhadapan sulit berkata tidak, pergi ini adalah strategi yang lebih baik ya, Pak ?
SK : Betul.
H : Strategi ketiga, Pak ?
SK : Ceritakan! Ceritakan kepada orang dewasa yang dapat dipercayai dan teruslah memberitahu orang lain sampai ada pertolongan.
H : Artinya tidak disimpan sendiri.
SK : Tepat! Jadi korban itu bisa berulang-ulang menjadi korban salah satunya karena dia tutup mulut, dia memendam, dia menyembunyikan pengalaman-pengalaman bullyingnya. Korban harus buka mulut, harus berbicara. Kalau perlu berteriak supaya tahu, "Ini ada bullying! Tolong saya !"
H : Tapi kadang dia diancam, Pak, dia takut.
SK : Makanya memang tidak mudah, tetapi dia perlu mencari orang yang bisa dia percayai sekaligus punya kuasa untuk menolong. Memang yang agak riskan, menyedihkan, membuat hati miris, kalau ternyata orang-orang yang seharusnya punya kuasa atau kemampuan untuk menolong dan melindungi malah mendiamkan. Ini sangat menyakitkan.
H : Tapi dia harus ceritakan dalam situasi apapun, minimal pada satu orang.
SK : Betul. Contohnya kalau kita bandingkan dengan situasi negara kita, ada sebuah gerakan kampanye yang judulnya menarik "Melawan Lupa", ini cara untuk berhenti menjadi korban. Oke, orang atau tokoh tertentu dihilangkan secara paksa. Diracun, dibunuh, diculik. Kemudian pemerintah tidak menindaklanjuti secara hukum padahal pelakunya sudah jelas bahkan ada bukti-bukti secara hukum, tapi dibiarkan. Maka si korban dan keluarganya melawan lupa dengan terus mengkampanyekan di media sosial, membuat aksi "kamisan", memakai baju hitam dan payung hitam, selalu berdiri dengan diam jam 12 siang di depan Istana Negara. Itu gerakan melawan lupa. Inilah strategi melindungi diri dari bullying. Bicara, bicara, bicara, sampai ada orang yang merespons sekaligus memberi pertolongan.
H : Baik, Pak. Katakan, "Tidak", "Pergi" dan "Ceritakan". Berikutnya, Pak ?
SK : Berikutnya adalah gagasan kreatif, solusi kreatif. Pertama kita bisa menanggapi kekerasan verbal dengan memberi pernyataan yang sebaliknya. "Kamu itu memang menjijikkan." Jadi kata-kata yang merendahkan. Dia lalu menjawab, "Tapi ‘kan aku sayang kamu." Pelakunya kaget. "Lho, mestinya ‘kan dia takut, marah. Kok malah menyatakan sayang ?" Intinya korban malah menunjukkan perilaku dan sikap yang berbeda. Ini membuat si pelaku tidak habis pikir. Justru pelaku berpikir orang itu tidak enak dijadikan sebagai sasaran bullying, "Ah, orang ini tidak waras. Tidak enak diganggu." Nanti bukan korbannya yang pergi, malah si pelaku ini yang pergi menjauhinya. Yang kedua, kalau terbiasa dibullying dengan cara dimintai uang saku ya tidak usah membawa uang saku. "Mana uangmu ?" "Tidak ada !" padahal uangnya biasanya dia pakai untuk beli makan saat istirahat siang. Tapi karena dia membawa bekal makanan dari rumah, dia tidak perlu membawa uang saku. Jadi ini solusi kreatif. Atau yang ketiga, kalau diancam, "Aku rusak bukumu ya!" langsung saja sobek-sobek bukunya itu di depan pelaku itu. Atau "Aku rusak handphonemu ya! Aku banting handphonemu lho ya kalau kamu tidak mau nurut!" ambil handphone sendiri langsung banting! Pelaku jadi terkejut, "Hah ? Gila ! Handphone sendiri dibanting ! Padahal aku baru mengancam, kok sudah dibanting sendiri ?"
H : Pastinya ini adalah kreatifitas tinggi oleh si korban yang memberikan reaksi yang tidak diharapkan oleh si pelaku ya, Pak ?
SK : Tepat! ‘Out of the box’, di luar pemikiran dari si pelaku !
H : Bisa jadi waktu dia lempar handphone itu adalah handphone palsu ya, Pak ?
SK : Oh, ya handphone asli ! Hahahaha. Kalau handphone palsu ya ketahuan nanti. Handphone asli yang mahal ini. Akhirnya pelaku berpikir, "Gila ini. Lebih gila dari aku ini !"
H : Agak ekstrem juga ya, Pak ?
SK : Memang ekstrem, sih. Tidak selalu efektif, bukan berarti mujarab. Tetapi kemungkinan seperti ini layak untuk dikreasi, diciptakan dan dieksplorasi.
H : Baik, Pak. Itu tadi strategi melindungi diri agar tidak jadi korban. Kalau kita menjadi saksi, ada teman yang menjadi korban, kira-kira apa yang bisa kita lakukan ?
SK : Dari definisi bullying, bukan hanya pelaku aktif, tapi kalau dia menjadi penonton itu termasuk bullying sekalipun secara pasif. Maka kalau kita melihat bullying, langkah pertama adalah ajak teman untuk menjauhinya. Karena kalau kita tetap menjadi penonton di lokasi tersebut, sesungguhnya kita memberikan tambahan bensin kepada api kekerasan yang dilakukan oleh pelaku bullying itu, menyemangati pelaku. Seharusnya kita mengajak pergi, "Ayo pergi, pergi. Buat apa hal seperti ini ditonton ?" justru itu cara untuk meredam pembesaran api kekerasan yang dilakukan pelaku bullying itu. Jauhi bahkan ajak teman-teman bubar.
H : Jadi harus gerakkan kaki, genggam tangannya dan ajak dia menjauh, begitu ya Pak ?
SK : Tepat, Pak Hendra.
H : Selain menjauhi, apa lagi ?
SK : Kalau kita cukup berani, kita bisa katakan, "Itu salah ! Aku tidak setuju dengan apa yang kamu lakukan." Kalau diajak melakukan bullying. "Sekarang kamu yang pukul dia, lempar telur busuk ini ke dia !" tolaklah, "Tidak mau, itu salah" itu cara yang salah.
H : Jadi berani berkata bahwa itu perbuatan yang salah dan saya tidak mau melakukannya.
SK : Betul.
H : Selain menjauhi dan berani mengatakan itu salah, apalagi Pak ?
SK : Yang ketiga, kita bisa menolong korban itu. Temani korban untuk melapor. Kalau dia terluka, kita bisa tolong dia membawa ke UKS di sekolah, ke UGD, atau klinik terdekat. Kita bisa temani dia melapor ke guru atau pihak-pihak yang punya otoritas untuk bisa melindungi.
H : Sekalipun ini juga berisiko dia menjadi sasaran berikutnya ya Pak, karena dia mendampingi si korban.
SK : Betul. Semua ini ada resikonya. Tapi ini adalah cara yang sehat agar kita tidak menjadi pelaku yang pasif.
H : Harus aktif menolong, mendekati dan berempati, begitu ya Pak ?
SK : Betul.
H : Ada lagi, Pak ?
SK : Yaitu memberi tahu guru dan orang tua untuk mengawasi tempat-tempat dimana bullying biasanya terjadi. Jadi guru bisa mengawasi bahkan beberapa sekolah mengembangkan CCTV. Itu bagus menurut saya. Di tempat-tempat yang rawan misalnya di lapangan sepak bola, di pojok-pojok, di tempat yang remang-remang, di depan kamar mandi – bukan di kamar mandinya ya – dipasangi CCTV supaya terpantau. Lampu dibuat terang, ruangan dibuat tidak suram, warnanya dibuat cerah. Itu cara yang bisa dilakukan sekolah kalau ada laporan. Makanya penting, ketika melihat bullying, salah satu cara adalah lapor kepada yang berotoritas agar diawasi.
H : Terima kasih, Pak Sindu, ini strategi yang pasti sangat menolong seluruh pendengar kita dan untuk menutup sesi ini, apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Amsal 16:31, "Siapa menindas orang lemah, menghina penciptanya. Tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia." Jadi kita tidak boleh sedikitpun membullying orang lain. Membullying seseorang, siapa pun dia, seberapa anehnya kesan yang dia miliki, itu sama saja kita membullying Tuhan, Penciptanya dan Pencipta kita. jadi hati-hati, ini urusan yang serius. Bukan urusan dunia tapi juga urusan akhirat, bicara tentang kekekalan. Karena siapa yang menghina manusia, dia menghina Tuhan.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Strategi Menghadapi Bullying". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.