Sikap Dominan Dalam Keluarga

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T424B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Seringkali orang mengaitkan sifat dominan dengan salah satu jenis kepribadian, namun faktanya sifat dominan bisa menghinggapi semua jenis kepribadian, entah itu kepribadian kolerik, melankolik, sanguin, dan flegmatik. Sifat dominan tidaklah salah, yang membuat salah adalah jika sifat dominan itu sendiri melemahkan sifat orang lain sehingga orang lain menjadi bergantung kepadanya dan yang yang di dekatnya tidak bisa mandiri. Jika sifat dominan itu ada pada kita, apa yang harus dilakukan? Agar sifat dominan itu bisa menjadi berkat bagi orang lain dan diri kita sendiri, disini akan diulas secara jelas.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
Setiap keluarga unik. Salah satu unsur yang menentukan keunikan sebuah keluarga adalah campuran kepribadian ayah dan ibu atau suami dan istri itu sendiri. Pada umumnya kepribadian turut memengaruhi kebiasaan dan gaya hidup yang akhirnya memengaruhi bagaimana anak dibesarkan.

Berikut akan dipaparkan dampak sikap dominan pada keluarga.

Hal pertama yang mesti kita ketahui adalah definisi sikap dominan. Pada dasarnya kita semua berharap bahwa kita dapat memengaruhi orang. Pada umumnya kita akan disebut dominan apabila kita cenderung memaksakan kehendak demi memengaruhi orang untuk melakukan apa yang kita harapkan.

Hal kedua adalah sikap dominan itu sendiri yang sesungguhnya tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan salah satu jenis kepribadian. Jika kita membagi kepribadian dalam empat tipe--kolerik, melankolik, sanguin, dan flegmatik--sesungguhnya sifat dominan bisa berada pada semua jenis.

Hal ketiga adalah acap kali sikap dominan lebih terkait dengan pengalaman tertentu dan latar belakang keluarga kita sendiri, secara khusus dengan bagaimanakah kita dibesarkan.

Contohnya sebagai berikut :

• Anak yang dipercayakan dengan banyak tanggung jawab, terutama untuk mengawasi adik-adiknya, cenderung mengembangkan sikap dominan.

• Anak yang terpaksa dinaikkan "pangkat" menjadi pengganti ayah atau ibu, cenderung mengembangkan sikap dominan.

• Anak yang menunjukkan kecerdasan atau keterampilan yang di atas rata-rata kerap menerima penghargaan dan kepercayaan untuk memimpin dan ini berpotensi mengembangkan sikap dominan.

• Anak yang mengalami perlakuan buruk atau penghinaan, kemudian berhasil keluar dari kondisi tersebut, cenderung mengembangkan sikap dominan untuk memertahankan dirinya.

• Apabila kita memiliki rasa tidak aman dan sarat kecemasan, kita pun cenderung mengembangkan sikap dominan untuk memastikan semua berjalan sesuai harapan.

• Sebagai kepala keluarga yang diharapkan untuk memimpin, kadang kita pun berlaku berlebihan guna memperoleh respek dan kepatuhan. Alhasil kita bersikap dominan.

Hal keempat yang perlu kita sadari adalah bahwa sikap dominan memberi dampak tertentu pada anggota keluarga yang lain, baik positif maupun negatif, seperti:

• Secara positif, ada 2 hal, yaitu (1) sikap dominan dapat memberi rasa aman. Di bawah kepemimpinan yang dominan, anak dan pasangan tidak perlu repot-repot memikirkan apa-apa sebab semua telah dipersiapkan dan ditentukan.

(2) Sikap dominan juga memberi kejelasan. Singkat kata, orang tidak harus bingung menebak-nebak apa yang kita pikirkan.

• Secara negatif, ada 3 hal yaitu, (1) sikap dominan dapat memadamkan kreativitas dan spontanitas.

Oleh karena semua telah diatur, pasangan dan anak tidak bebas berkreasi dan memunculkan gagasan secara spontan. (2) Sikap dominan dapat melemahkan kemandirian dan malah

mengokohkan kebergantungan. (3) Sikap dominan dapat melahirkan pemberontakan. Pasangan dan anak yang tidak nyaman dengan sikap kita yang dominan akhirnya melawan dengan keras sebab

mereka tahu mereka tidak dapat meyakinkan kita untuk berubah pendapat dengan mudah.

Setelah menyadari, baik dampak positif maupun negatif dari sikap dominan, jelas terlihat bahwa kita mesti menjaga agar sikap dominan tidak membuahkan akibat buruk. Tidak bisa tidak, kita harus mengendalikannya sehingga sikap dominan tidak menguasai kita dan orang di sekitar kita. Caranya sederhana:

• Kita harus lebih bersedia mendengarkan dan lebih terbuka untuk belajar atau berubah.

• Kendati kita beranggapan bahwa pendapat kita lebih baik daripada pendapat pasangan atau anak, biarkanlah. Tidak selalu pendapat kita mesti didengarkan.

• Mintalah maaf bila selama ini kita telah "menggilas" pendapat mereka. Ingatlah bahwa mengarahkan tidak sama dengan memaksakan.

Pada akhirnya ingatlah Firman Tuhan yang berkata, "Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran."