Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Siapakah Anak Kita". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, kadang-kadang kita heran kalau tidak kenal dengan anak kita sendiri atau kita mempunyai pengertian yang agak berbeda dengan anak bahwa kita mengharapkan sesuatu dan ternyata tidak sesuai dengan kita. Kadang-kadang muncul pertanyaan seperti ini "Ini sebenarnya anak saya atau anaknya orang lain." Apakah ini merupakan konsep tentang anak, apakah betul seperti itu atau bagaimana Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan. Saya kira kita tidak bisa membebaskan diri dari tuntutan dan pengharapan terhadap anak, meskipun kita ingin anak-anak kita itu bertumbuh besar dengan bebas menjad diri apa adanya namun kita tidak bisa menyangkali bahwa dalam hati kita terkandung harapan-harapan tentang anak kita akan menjadi seperti apa dan sebagainya.
Dan akhirnya relasi seperti itulah yang akan mewarnai relasi kita dengan anak. Sekali lagi penting untuk kita yaitu kembali kepada firman Tuhan, kembali menyadari sebetulnya apakah yang menjadi kehendak Tuhan, rencana Tuhan dengan menghadirkan anak dalam keluarga kita. Sehingga pada akhirnya kita juga bisa membesarkan anak-anak lebih tepat dan tidak membiarkan pengharapan/tuntutan kita mendominasi relasi kita dengan anak.
GS : Biasanya harapan-harapan apa yang muncul didalam diri orang tua atau apa pengertian orang tua terhadap anak itu sendiri, Pak Paul?
PG : Sekurang-kurangnya ada empat yang akan saya bahas dan yang kelima yang saya ambil dari firman Tuhan, keempat-empatnya ini biasanya akan nyata sewaktu anak kita itu bertumbuh remaja. Waktu nak kita masih kecil, interaksi kita itu relatif searah kita memberi kepada anak-anak, mengarahkannya, mengasihinya, merawatnya, jadi benar-benar searah.
Makin anak-anak besar, makin relasi itu dua arah karena anak-anak sudah mulai memberi tanggapan kepada kita, bisa berkata-kata yang menyukakan/mendukakan hati kita. Akibatnya waktu anak-anak mulai remajalah terlihat jelas konsep yang mendasari sebetulnya siapakah anak bagi kita? Pada masa kecil tidak terasa, kita bisa menyanyikan nina bobok, tapi waktu anak-anak sudah mulai remajalah kita mulai disadarkan sebetulnya kita mempunyai pengharapan dan tuntutan terhadap anak-anak ini. Yang pertama yang cukup umum yaitu sebagian kita ini orang tua berharap anak kita itu menjadi kepanjangan kita artinya kita berharap bahwa anak kita melakukan semua yang kita lakukan dan menjadi sama dengan diri kita. Maksudnya kalau kita sekarang menjadi dokter, kita mengharapkan anak-anak kita menjadi seorang dokter. Kalau kita berdagang, kita mengharapkan anak-anak menjadi seorang pedagang juga. Kalau kita menjadi orang yang rohani, kita mengarapkan anak-anak menjadi orang yang rohani seperti kita pula, kalau kita senang menolong orang dan tidak perhitungan, kita berharap anak-anak pun bertumbuh besar senang menolong orang dan tidak perhitungan. Itulah biasanya terkandung dalam hati kita yaitu anak menjadi kepanjangan kita tapi biasanya kita menganggap bahwa yang kita lakukan/siapakah kita ini baik, kalau kita tidak anggap baik sudah tentu akan lain ceritanya. Kalau kita anggap diri kita baik dan kita lakukan juga baik biasanya kita langsung mengharapkan anak-anak menjadi kepanjangan kita, dan nantinya sewaktu mereka tidak menjadi kepanjangan kita barulah kita itu tidak terima, kita marah kita kecewa, "Kenapa saya orangnya murah hati, saya orangnya suka menolong orang tapi kamu perhitungan sekali. Dulu saya diminta oleh orang tua sesuatu dan saya langsung lakukan, tapi kamu ini diminta sedikit oleh saya perhitungannya seperti itu. Kamu judes tapi saya ini orangnya ramah dengan orang." Disinilah terjadi konflik dan tadi saya sudah tekankan biasanya muncul tatkala anak menginjak usia remaja.
GS : Kalau itu sesuatu yang positif, kenapa anak tidak mau menerima apa yang diinginkan oleh orang tuanya?
PG : Anggap saja keluarga kita itu harmonis, seyogianyalah anak itu akan menyerap cukup banyak dari kita tapi kalau saya boleh umpamakan anak menyerap 80% dari kita, kita harus menerima fakta bhwa akan ada yang 20% yang dia akan kembangkan berdasarkan siapa dirinya sendiri, siapa diri menurut dirinya dan siapakah orang-orang menurut dirinya dan apakah hidup menurut dirinya dan siapakah Tuhan menurut dirinya, apakah hidup ini/dunia ini menurut dirinya.
Semua ini nanti akan diolahnya menjadi sesuatu yang dia sebut dirinya dan bisa jadi yang 20% itu berbeda, Pak Gunawan. Kalau rumah tangga kita memang menjadi lahan yang kacau banyak masalah dalam rumah tangga, besar kemungkinan memang anak-anak belum apa-apa sudah langsung menolak menjadi kepanjangan diri kita. Meskipun yang tadi Pak Gunawan katakan betul yaitu yang dilihat seharusnya yang positif tapi tetap dia tidak mau karena memang dia sudah menolak kita secara keseluruhan.
GS : Selain itu gambaran yang lain apa Pak Paul?
PG : Ada orang tua yang melihat anak sebagai kompensasi, artinya kita itu menuntut anak untuk menutupi kekurangan kita dan kita berharap anak kita tidak menjadi seperti kita. Misalnya dulu kitasebagai mama/istri tidak berhikmat yaitu menikah terlalu muda belum ada pengalaman hidup sudah langsung percaya kepada suami kita/ikut dia, kebetulan misalkan hubungan suami istri kita tidak bagus, kita terus-menerus diterjang oleh masalah demi masalah, kita kecewa dan melihat ke belakang kemudian berkata, "Kenapa dulu saya mau menikah dengan dia, seharusnya saya tidak menikah dulu.
Saya akan teruskan sekolah, saya akan kembangkan karier dan barulah saya lihat dunia lebih banyak dan barulah saya akan memilih siapa yang akan saya nikahi." Bisa jadi itu yang menjadi penyesalan kita, Pak Gunawan dan nanti kita akan tekankan kepada anak-anak, indoktrinasi anak-anak jangan sampai melakukan kesalahan yang saya lakukan. Artinya anak-anak didorong untuk ke sekolah sebaik-baiknya, anak-anak didorong untuk mengembangkan karier, kalau anak-anak mulai berpacaran pada masa-masa misalkan tingkat pertama tingkat ke dua orang tua atau si mama akan berkata, "Jangan pacaran dulu, lihat dunia dulu, lulus kuliah kerja dulu, agar kamu melihat dunia seluas luasnya, nanti setelah engkau melihat baru engkau tentukan pilihanmu." Jadi dimana kita gagal, biasanya kita nanti menuntut anak kita jangan sampai mengulangi kegagalan kita. Ini yang saya sebut dengan kompensasi.
GS : Padahal anak itu belum tentu akan mengulang sejarah yang sama dengan kita?
PG : Betul sekali. Karena memang kita tidak pernah bisa menyaksikan kehidupan anak kita. Dan yang kedua yang juga memang sering terjadi adalah kompensasi dalam pengertian kita itu dulunya mendabakan menjadi seseorang misalnya profesi tertentu dan kemudian kita tidak berhasil mencapainya, dan kegagalan kita disitu kita akan jadikan sebagai dorongan bagi anak kita "Kamu harus menjadi seperti ini."
Jadi dimana kita gagal, kita nanti menuntut anak untuk menutupi kekurangan atau kegagalan kita dan tidak menjadi seperti kita.
GS : Biasanya apakah anak mau dibentuk seperti itu?
PG : Ada yang mau dan ada yang tidak mau, Pak Gunawan. Kalau memang kebetulan anak itu punya kemampuan maka tidak menjadi masalah dan dia akan terima, misalkan dari dulu kita ingin menjadi seorng dokter dan kita tidak bisa menjadi dokter, kita benar-benar menyuruh anak kita untuk bekerja keras menjadi seorang dokter.
Kalau anak kita punya kemampuan menjadi seorang dokter maka tidak masalah dan itu memang adalah garisnya. Tapi kalau tidak itu akan justru mengacaukan hidupnya. Ada seorang yang saya kenal, dulu dia disekolahkan kedokteran dan memang orang tua mengharapkan anaknya menjadi seorang dokter maka dia sekolah kedokteran sampai lulus, setelah dia lulus dia menjadi seorang pedagang. Jadi akhirnya dia kembali lagi kepada diri yang semula, sebab dia harus akui bahwa dia tidak menyukai bidang itu. Belum lama ini saya berbicara dengan seseorang, yang dulunya adalah teman kuliah saya dia dulunya sudah berkata, "Saya tidak suka, tapi saya disuruh oleh orang tua saya sekolah bidang ini," sekarang dia sudah lulus dan sekarang sudah menjalani profesinya dan dia berkata, "Saya tidak suka melakukan ini juga." Jadi saya kasihan karena orang tua itu terlalu membebani anak menjadi yang mereka inginkan dan kadang-kadang menjadi seseorang dimana seseorang itu gagal menjadi diri dan anaklah yang dijadikan kompensasi, dia harus menutupi kesalahan orang tua.
GS : Apakah ada pandangan yang lain tentang orang tua terhadap anaknya?
PG : Ada Pak Gunawan. Ada orang tua yang beranggapan anaknya itu beban hidupnya, mungkin Pak Gunawan atau sebagian pendengar kita terkejut mana mungkin orang tua seperti itu? Tapi ini ada dan ii kita harus maklumi kadang-kadang bisa menimpa kita, yaitu misalkan kita dalam kondisi pas-pasan tidak ada uang, tapi tahu-tahu istri hamil atau kita hamil.
Kita tidak bayangkan bagaimana bisa membesarkan anak ini, uang sekolah mahal, biaya beli susu dan sebagainya mahal. Jadi waktu anak itu lahir, kita sudah benar-benar tidak bisa menyambutnya dengan suka cita, kita harus mengakui kalau kita melihatnya sebagai tambahan beban kita. Biasanya kalau itulah yang menjadi pandangan kita kepada anak, kita tidak ramah terhadap anak kita. Kita akan menganggapnya sebagai gangguan, kita susah bersikap ramah dan ini yang berbahaya yaitu kita mulai perhitungan kepada dia. Waktu kita minta tolong kepadanya, kita mengharapkan dia melakukannya. Kalau kita berikan lima kita berharap dia berikan kepada kita lima. Jadi benar-benar relasi dengan anak bukanlah relasi orang tua memberi kepada anak tapi seperti barter, saya beri maka engkau harus beri. Saya sudah bertemu dengan keluarga yang seperti ini, memang waktu si anak lahir orang tua dalam kondisi susah dan kesusahan itu berkelanjutan tidak berhenti-henti terus seperti itu. Saya lihat pola relasi dengan anak menjadi seperti itu yaitu perhitungan luar biasa. Seolah-olah suatu perdagangan saya jual kamu beli, saya bayar kamu harus bayar, benar-benar tidak ada lagi sebuah relasi yang bebas semua dihitung dari untung rugi, sedikit saja kita merasa rugi yaitu ketika anak tidak melakukan bagiannya lalu kita menjadi marah. Sehingga waktu anak-anak bertumbuh besar, mereka merasa belum apa-apa dia sudah berhutang. Maka dalam keluarga seperti ini, anak-anak tidak merasa dikasihi akhirnya mereka berkata, "Yang penting, kapan waktu bisa mandiri saya mau cepat-cepat mandiri, saya mau cepat-cepat keluar dari rumah, saya tidak mau lagi berhutang kepada orang tua. Dari pada saya nanti seumur hidup akan ditagih utang ini."
GS : Ini adalah anak-anak yang kelahirannya tidak dikehendaki. Bukan hanya faktor ekonomi, kadang-kadang karena jenis kelamin. Jadi karena orang tua sudah punya anak perempuan semua lalu yang lahir perempuan lagi, itu juga menjadi beban untuk keluarga itu sendiri Pak Paul?
PG : Bisa terjadi seperti itu, Pak Gunawan. Jadi jenis kelamin yang diharapkan tidak datang, akhirnya tidak menyambut dengan ramah, justru lebih bersikap tidak ramah. Atau ada kasus yang sepert ini, mulai dari kecil dia menderita karena dia seorang wanita dan kakak-kakaknya mendapatkan kenikmatan/keuntungan menjadi seorang laki-laki.
Akhirnya dia tidak menyukai kodratnya menjadi seorang wanita. Maka waktu anaknya yang lahir adalah wanita dia tidak senang sebab dia tidak mau anaknya nanti seperti dia yaitu menderita. Sehingga waktu anak ini lahir dia melihat anak ini sebagai beban tidak lagi menyambutnya dengan ramah sehingga perhitungan dengan anak, akhirnya menyuruh anak ini dan itu, harus ini dan itu. Benar-benar relasi itu ditandai dengan sebuah kontrak kerja, aku kerjakan bagianku kau harus kerjakan bagianmu.
GS : Itu seandainya karena faktor ekonomi tadi, anak-anak sudah lahir tentu bukan kemauannya sendiri justru itu kemauan orang tua Pak Paul, dan apa yang orang tua harus lakukan?
PG : Mereka memang harus kembali kepada konsep tentang siapakah anak menurut Tuhan, anak adalah pemberian Tuhan dan bahwa anak ini lahir berarti ada rencana Tuhan. Anak secara manusiawi memang enambahkan beban tapi ingat bahwa ada Tuhan yang dapat menolong kita dan Tuhan memiliki rencana atas anak ini pula.
Belum lama ini saya mendengar kesaksian ada seorang yang berkata, "Waktu saya masih dalam kandungan, ibu saya berusaha menggugurkan saya," saya telah mengenal orang ini, dia telah menjadi berkat buat masyarakat, buat orang di sekitarnya. Betapa berbahagianya saya bertemu dan mengenal orang ini yang telah menjadi berkat untuk orang di sekitarnya, itu rencana Tuhan. Bagi si ibu atau orang tua saat itu, dia adalah tambahan beban maka dia hendak digugurkan tapi Tuhan mempunyai rencana buat anak ini. Jadi begitulah orang tua harus menyikapi kelahiran anaknya.
GS : Apakah masih ada pandangan yang keliru dari orang tua terhadap anaknya?
PG : Yang berikutnya adalah ada orang tua yang melihat anak itu sebagai penolong, sekilas ini rasanya tidak salah menganggap anak sebagai penolong. Tapi tetap meskipun sekilas tampaknya tidak slah tetap tidak tepat karena orang tua yang menganggap anak sebagai penolong, cenderung anak itu makin dewasa makin bergantung kepadanya, sedikit-sedikit minta tolong, menyuruh anak ini dan itu.
Apalagi misalkan dalam rumah tangga bermasalah, ini sering terjadi si bapak merasa tidak bisa bicara dengan si ibu, susah hatinya, ada apa-apa dia simpan sendiri, dan anak perempuannya makin besar makin mengerti dia, dia curhat dengan anak perempuannya, minta tolong kepada anak perempuannya menjadi juru bicara kepada mama, membantu dia kalau sedang marah. Atau kebalikannya mama yang tersiksa oleh papa yang bermasalah, curhat kepada anak laki-lakinya atau perempuannya, menganggap anak sebagai penolongnya bertugas untuk mengeluarkannya dari masalah dan ini tidak sehat. Sehingga nanti kalau anak sudah besar, orang tua menuntut kepada anaknya sangat tinggi sekali, harus begini dan begitu, harus menolong saya dan sebagainya. Jadi meskipun terdengar baik tetap sebetulnya tidak tepat.
GS : Termasuk juga kalau orang tua mengharapkan nanti kalau sudah tua, ada anak yang menolong dia. Itu juga tetap tidak betul?
PG : Sudah tentu memang mempunyai harapan seperti itu, tidak salah. Namun sedapat-dapatnya sebelum kita menginjak hari tua, kita mempersiapkan diri. Sebisanya kita tidak menambahkan beban kepad anak-anak, kalau anak-anak berkelebihan mereka pun dengan sendirinya menolong kita mencukupi kebutuhan kita.
Tapi kalau kebetulan anak-anak kita tidak seperti itu, kita pun juga tidak harus membebani hidup mereka. Jadi yang terbaik saya kira adalah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi hari tua.
GS : Kalau begitu konsep yang benar orang tua terhadap anaknya itu apa, Pak Paul?
PG : Kita harus melihat anak sebagai ciptaan Tuhan yang dipercayakan kepada kita, maka kalau kita melihatnya seperti itu kita akan mengasuh anak-anak dengan penuh tanggung jawab bersama Tuhan. aya tekankan bersama Tuhan, kita tidak melihat ini proyek kita tapi ini proyek Tuhan dan kita ini pekerja Tuhan.
Tuhan sedang membentuk anak-anak ini karena Tuhan memiliki rencana atas mereka. Tuhan memiliki proyek, proyeknya adalah anak-anak kita, kita dilibatkan dalam proyek Tuhan yaitu membesarkan dan mengarahkan anak sehingga rencana Tuhan dalam diri mereka tergenapi. Maka kalau kita melihatnya seperti itu, kita juga akan bisa lebih efektif menjadi orang tua. misalnya kita lebih bisa berserah meskipun mereka tidak seperti kita, kita maunya murah hati, baik hati seperti kita tapi anak kita tidak, dan kita mau serahkan kepada Tuhan. Kita mempunyai hati yang melayani Tuhan tapi anak kita rasanya tidak, itu tidak menjadi masalah dan kita bawa kepada Tuhan. Kita pernah gagal disini, kita pernah luka disini dan kita mau anak kita jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama, "Anak ini sudah diberi tahu tapi pergi kesitu lagi," itu tidak apa-apa sebab ada Tuhan. Sehingga dalam proses membesarkan anak, kita tidak terlalu tegang, kita tidak terlalu sedikit-sedikit inginnya marah tidak sabar dan kita tidak lagi seperti itu, karena kita tahu ini proyek Tuhan kita pekerja yang Tuhan libatkan, mereka ciptaan Tuhan yang Tuhan percayakan kepada kita, tapi Tuhanlah yang mengerjakan proyek dalam hidup mereka. Kalau ini sudah menjadi perspektif kita maka akan berbeda. Kita tidak akan memaksakan dia lagi sebagai kepanjangan kita, kita tidak mengharuskan dia menjadi kompensasi kita, kita juga tidak melihatnya sebagai beban karena kita tahu Tuhan dapat memikul semua beban, kita juga tidak menjadikan dia penolong sebab Tuhanlah penolong kita. Akhirnya si anak pun bisa bertumbuh besar dalam kondisi yang lebih bebas, bisa bernapas lebih lega dan rencana Tuhan atas hidupnya lebih bisa terwujud pula.
GS : Dan itu akan mempengaruhi bagaimana kita mengekspresikan kasih kita kepada anak itu Pak Paul?
PG : Tepat sekali. Bagaimanakah kita mengasihi anak itu pasti akan dipengaruhi oleh konsep kita akan siapakah anak itu. Misalkan kalau anak kita tidak seperti yang kita harapkan tidak menjadi kpanjangan kita dan sebagainya kasih kita berkurang atau kalau kita merasa anak kita tidak menghargai pengorbanan kita, kita lebih berprinsip untung dan rugi, saya beri kamu memberi, saya sudah berkorban tapi kamu tidak mau berkorban, kita akan kecewa karena kasih kita akan berkurang.
Atau kita mau dekat dengan anak, kita mau mengulurkan tangan, mau berhubungan dengan dia tapi anak tidak terlalu tertarik dan kita juga akan merasa, "Sudahlah tidak perlu mengasihi dia lagi buat apa mengasihi dia." Atau waktu anak mulai remaja, mulai membangkang/melawan maka kasih kita mulai berkurang kita tidak bisa mengasihi dia atau yang lebih parah lagi waktu anak mulai menghina kita dan tidak menghormati kita, kita rasanya marah sekali akhirnya mau buang anak itu bahkan ada orang tua yang berkata, "Menyesal melahirkanmu, saya menyesal punya anak sepertimu, saya berharap kamu bukan anak saya dan sebagainya." Kita melihat di situ kalau konsep kita terhadap anak itu sudah tidak lagi tepat maka kasih kita terhadap anak akan terpengaruh, tapi kalau kasih kita itu didasari oleh konsep yang tepat mereka adalah ciptaan Tuhan yang Tuhan embankan kepada kita, percayakan kepada kita, dan kita membesarkannya bersama Tuhan sebab inilah proyek Tuhan dalam hidupnya, maka kita tidak terlalu dipengaruhi oleh sikap-sikap mereka meskipun masih ada pengaruh kita manusia tapi tidak akan didikte oleh reaksi mereka sehingga kita lebih bebas bisa mengekpresikan kasih kepadanya.
GS : Kalau kita mengekspresikan kasih itu secara salah karena konsep yang keliru tadi, apakah hal itu juga akan dirasakan oleh anak?
PG : Sudah tentu, Pak Gunawan. Misalnya kalau anak melihat sebetulnya kasih papa/mama ini sangat mempunyai kondisi, tuntutan, syarat, tidak mungkin papa/mama memberikan kasih tanpa ada sesuatu ibaliknya.
Anak-anak itu akan tawar hati, Pak Gunawan, sebab anak-anak lahir di dunia mengharapkan orang tua mengasihi mereka tanpa syarat meskipun manusia masih ada syarat tidak bisa lepas dari tuntutan tapi kita tidak seharusnya membiarkan harapan-harapan kita itu terlalu mewarnai kasih kita kepadanya, karena mereka perlu rasakan dan lihat adalah memang kasih tidak bersyarat sehingga waktu mereka sadar mereka tidak memenuhi permintaan orang tuanya, mereka tetap bisa berkata "Tetap papa/mama mengasihi saya." Saya berikan contoh Pak Gunawan dari kehidupan saya, anak saya sudah kuliah dan ada yang sudah hampir selesai kuliah sekarang, saya dan istri saya selalu menekankan, doakan dan rencanakan pulang kembali ke Indonesia atau ke nagera-negara lain yang lebih membutuhkan sumbangsihmu, lebih membutuhkan kamu karena disitulah pekerjaan Tuhan lebih dibutuhkan. Saya tahu ada anak saya yang sedang bergumul mau menyenangkan hati saya tapi rasanya masih ingin tetap terus hidup di Amerika karena rasanya ke sanalah arah hidupnya, pacarnya juga orang situ dan sebagainya. Saya tahu bahwa dia merasa tidak enak dengan saya karena dia tahu harapan saya. Saya perlu tegaskan kepada dia begini "Kamu berdoa, kamu tahu apa yang saya rasakan dan harapkan, tapi saya tidak mau ini menjadi penentu hidupmu, Tuhanlah yang menjadi penentu hidupmu. Kalau memang kamu bisa berkata, 'Pa, saya tahu Tuhan menghendaki saya tinggal disini bukan di Indonesia,' dan saya berkata, "Baik silakan dan lakukan dan tidak perlu merasa bersalah." Saya perlu katakan itu Pak Gunawan, sebab tanpa disadari mereka sudah memiliki perasaan itu yaitu perasaan bahwa saya mengharapkan mereka menjadi orang tertentu.
GS : Memang di dalam hal ini anak harus jelas bahwa kita sebagai orang tua tidak menjadi penghalang mereka untuk melakukan apa yang Tuhan kehendaki bagi mereka, itu yang penting Pak Paul?
PG : Betul sekali, anak saya berkata seperti ini, "Pa, saya tahu Papa selalu menginginkan kami pulang ke Indonesia tapi saya jujur pada Papa," dan berkata, "Buat saya ladang misi yang lebih bert adalah di sini di Amerika.
Begitu banyak teman-teman saya yang tidak kenal Tuhan, di Indonesia lebih banyak orang yang takut akan Tuhan dari pada di Amerika. Justru ini ladang pelayanan saya yang saya mau menggumuli." Dan saya berkata, "Baiklah, memang itu yang kamu inginkan tapi tetap kamu berdoa dan memang kalau Tuhan menyatakan seperti itu, tinggallah penuhi panggilan Tuhan tanpa rasa bersalah."
GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 127 :3-5, "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada Tuhan," dan kata-kata ini bisa ditukar anak-anak secara umum, "dan buah kandungan adalh suatu upah.
Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." Anak-anak adalah milik pusaka dari pada Tuhan, sekali lagi Tuhan dan bukan milik kita, ini proyek Tuhan, kita adalah pekerja yang Tuhan undang dan libatkan untuk mengerjakan proyek Tuhan ini.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Siapakah Anak Kita." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat
telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di
www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
END_DATA