Kata kunci: Empati, komunikasi, banyaknya kesamaan di antara pasangan
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Sepuluh Faktor Penguat Pernikahan" bagian yang ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, di waktu yang lalu kita mulai berbincang-bincang tentang sepuluh faktor penguat pernikahan, empat faktor yang pertama kita sudah bahas yaitu Komitmen, Pemahaman akan Makna Pernikahan, Kedewasaan Pribadi dan Kebiasaan Hidup yang Sehat. Faktor apa lagi selain keempat faktor tadi yang perlu diperhatikan oleh setiap pasangan yang ingin pernikahannya menjadi kuat?
PG: Faktor kelima adalah empati. Apakah empati? Empati ialah kemampuan untuk memahami dan menyelami pikiran dan perasaan pasangan atau orang lain. Pernikahan yang kuat didirikan diatas empati, tanpa empati pernikahan menjadi kering dan hambar. Tanpa empati putuslah komunikasi dan akhirnya memutuskan tali relasi pula, betapa seringnya, Pak Necholas, pada akhirnya pasangan mencari orang lain yang dapat memahami dan menyelami pikiran dan perasaannya karena ketidakmampuan kita untuk berempati. Itu sebab sulit bagi kita untuk membangun pernikahan yang kuat bila kita tidak dapat memahami dan menyelami pikiran dan perasaan pasangan.
ND: Caranya bagaimana, Pak Paul, untuk meningkatkan kemampuan kita bisa berempati, bisa memahami pikiran dan perasaan pasangan kita?
PG: Memang ada orang-orang yang secara alamiah lebih bisa berempati, ada orang-orang yang secara alamiah lebih sulit berempati. Ada orang yang memang perasaannya lebih halus sehingga lebih bisa merasakan perasaan orang. Ada orang juga yang memang mampu berpikir dengan lebih introspektif ya sehingga akhirnya lebih bisa mengerti pemikiran orang lain. Nah, tapi memang tidak semua orang seperti itu, ada yang memang bawaannya sulit untuk bisa merasakan perasaan sendiri apalagi perasaan orang lain. Ada orang yang bawaannya agak sulit menyelami, mengerti pikiran sendiri apalagi pikiran orang lain. Nah, selain dari itu juga ada faktor memang bagaimana kita dibesarkan, Pak Necholas, ada keluarga yang memang tidak membolehkan anak untuk merasakan, mengekspresikan perasaan. Akhirnya anak-anak ini tidak terbiasa dengan perasaan sehingga kurang bisa mengerti apalagi mengekspresikan perasaannya. Atau ada keluarga yang tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk berbincang-bincang dengan orangtua sehingga kurang sekali masukan orangtua tentang dirinya, sehingga anak tidak didorong untuk berpikir mendalam atau melihat dirinya, apalagi kalau bukannya dorongan tapi yang diterima adalah kemarahan, disalahkan dan sebagainya. Anak makin tidak bisa memahami dirinya atau tidak bisa berpikir dan melihat kedalam. Jadi ada latar belakang-latar belakang yang menyulitkan kita untuk dapat berempati. Salah satu lagi yang lain adalah alasan pribadi, Pak Necholas, kadang kita tidak mau berempati karena kita ini kalau berempati harus membuka pintu gerbang perasaan kita. Kebetulan kita banyak sekali menyimpan kesedihan atau rasa malu atau kegagalan, atau kekecewaan atau kemarahan. Kita tidak mau membuka pintu supaya perasaan-perasaan kita tetap akhirnya tersimpan dengan baik. Maka kita juga sulit untuk bisa merasakan atau menghayati perasaan orang karena kita memang tidak mau masuk ke ranah perasaan karena takut perasaan kita nanti keluar dengan tanpa kendali. Jadi kita mesti pertama-tama mengetahui diri kita, apakah kita orang yang bisa atau mudah atau sulit merasakan perasaan orang dan mengerti pikiran orang. Misalkan kita dapat tanggapan dari orang ataupun dari pasangan kita, memang kita kurang disitu, kita mesti akui kemudian kita mesti cari penyebabnya, apakah ada hal-hal tertentu yang kita alami. Apakah mungkin cara kita dibesarkan, apakah ini pengaruh pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan, apakah mungkin ini bawaan kita. Nah, kita mesti ketahui semuanya itu, jika alasannya bukan bawaan tapi faktor-faktor yang lain, memang kita mesti bereskan dahulu lewat konseling sehingga akhirnya kita lebih bisa mengerti perasaan kita dan mengekspresikannya keluar, tapi kalau memang ini bawaan, kita tidak ada apa-apa dalam masa pertumbuhan kita, maka kita mesti jelaskan kepada pasangan, ini bawaan kita namun kita harus tekankan bahwa kita mau belajar. Jadi bagaimana caranya belajar, kita harus memang berani bertanya. Langsung kita bertanya, "Saya tidak mengerti apa yang kamu pikirkan, saya tidak tahu perasaan kamu, bisa tidak tolong jelaskan". Dengan kita memberanikan diri bertanya, kita mendapat jawaban, kita mulai belajar. Oh, kalau begini kalau ini perasaannya, oh, kalau begini ini yang dirasakannya, oh kalau dia berpikir begini berarti ini latar belakang pemikirannya kenapa ia berpikir demikian. Makin kita belajar dari pasangan, makin kita lebih bisa nantinya mengerti perasaannya dan juga menyelami pikirannya.
ND: Tentunya semua ini perlu waktu ya, Pak Paul?
PG: Iya, tidak mudah ya, Pak Necholas, apalagi kita memang tidak terbiasa atau tidak tahu bagaimana caranya. Kalau kebetulan pasangan kita seperti itu, kita juga mesti bersabar mengajarkannya. Memang bisa kita frustrasi karena hal seperti ini saja harus dijelaskan. "Hal seperti ini saja kamu tidak mengerti", kita bisa frustrasi tapi kita mesti bersabar, terpenting adalah pasangan bersedia belajar.
ND: Karena juga salah satunya, tadi Pak Paul sempat sebutkan soal karakter atau bawaan. Ada orang yang lebih ekstrovert, ada yang lebih introvert atau lebih peka. Biasanya yang ekstrovert sepertinya lebih tidak memahami bagaimana perasaan yang introvert itu.
PG: Biasanya perbedaan kepribadian juga memengaruhi, Pak Necholas. Orang-orang yang ekstrovert dan terbiasa dengan apa yang di pikiran itu yang dikeluarkan, apa yang di hati itu juga yang dia keluarkan. Dia mau keterbukaan, maka waktu dia menikah dengan seorang yang introvert, dia frustrasi sebab pasangannya tidak bisa mencetuskan apa yang dipikirkan atau dirasakannya, cenderung lebih menutup diri. Dia lebih sering marah karena pasangannya tidak bisa menyeimbangkan dia, sebaliknya yang introvert juga akan tidak nyaman karena merasa dia dipaksa, "Saya belum biasa begitu dan saya memang belum bisa begitu. Kenapa dipaksa?". Memang perlu kesabaran dari dua belah pihak kalau kita memunyai perbedaan kepribadian, yang satu ekstrovert, yang satu introvert.
ND: Baik, selain hal ini ada faktor yang berikutnya yang bisa kita pelajari untuk memerkuat pernikahan kita, Pak Paul?
PG: Faktor keenam adalah komunikasi, Pak Necholas, hubungan antara komunikasi dan pernikahan dapat diibaratkan seperti hubungan antara darah dan tubuh. Sangat penting dan sangat erat, makin mudah kita berkomunikasi dengan satu sama lain, makin kuat pernikahannya, sebaliknya makin sulit dan enggan, makin lemah pernikahan. Saya tidak bisa lagi menekankan betapa pentingnya komunikasi dapat diibaratkan seperti darah dan tubuh. Nah, jadi yang penting disini adalah seharusnya sebelum kita menikah kita sudah bisa melihat apakah kita bisa berkomunikasi atau tidak dengan pasangan kita. Kalau masih pada masa berpacaran kita bisa bicara bebas, bisa bicara lama, bisa melihat masalah dari sudut pandang yang sama, memunyai minat-minat yang juga serupa. Nah, itu akan sangat memperakrab komunikasi, tapi misalkan sejak kita berpacaran, kita sudah merasakan sebetulnya kita sulit sekali untuk bisa bicara dengan pasangan kita, itu sebetulnya tanda awas, sebab faktor komunikasi ini merupakan faktor yang penting sekali didalam penciptaan persahabatan. Pernikahan sebetulnya dibangun diatas persahabatan atau pertemanan. Bila tidak ada persahabatan atau pertemanan sulit sekali untuk nanti kita dapat membangun pernikahan sedangkan persahabatan kita tahu dibangun diatas komunikasi yang bisa akrab, bisa terbuka, maka sangatlah penting, ya. Pak Necholas, ada beberapa faktor yang bisa memengaruhi komunikasi, misalnya yang pertama adalah mendengarkan. Makin sabar kita mendengarkan dan makin tepat kita memahami apa yang disampaikan, makin baik komunikasi. Kedua adalah penerimaan, makin besar penerimaan, kita terima pasangan kita, makin mudah berkomunikasi. Sebaliknya makin sarat penghakiman atau menyalahkan, makin buruk kualitas komunikasi. Dan terakhir adalah makin dua arah komunikasi, makin baik. Sebaliknya makin searah, makin enggan kita berkomunikasi dengan pasangan.
ND: Jadi, Pak Paul ada sebutkan bahwa masa pacaran itu penting untuk kita mengetahui bagaimana pasangan kita, apakah kita mudah berkomunikasi dengan dia. Bagaimana dengan pasangan yang dijodohkan? Saya pernah mendengar juga bahwa di India banyak pernikahan yang diatur oleh orangtua, malah lebih bertahan dibandingkan dengan pernikahan di Amerika Serikat misalnya yang kebanyakan mencari sendiri, menemukan ‘soul mate’ tapi malahan mereka berpisah. Bagaimana bisa menjelaskan fenomena ini, Pak Paul?
PG: Ada beberapa, Pak Necholas, misalkan yang pertama adalah mungkin sekali faktor sosial itu berpengaruh besar. Di negara yang bebas dan individualistik, faktor tekanan sosial tidak begitu berperan, artinya kita suka kita sama-sama, kita tidak suka ya sudah kita cerai. Dan tidak ada tekanan sosial untuk kita bersama terus sedangkan dalam budaya-budaya tertentu tekanan sosial itu kuat, sehingga kita lebih berjuang untuk memertahankan ketidakcocokan kita. Untuk membereskan masalah kita, sebab kita tidak mau nanti kita menjadi aib buat keluarga kita, di mata masyarakat secara umum. Nah itu mungkin faktor pertama, faktor kedua adalah saya kira karena begini, orangtua seringkali dapat melihat dengan jelas, ia tahu siapa anaknya, tahu kelemahannya, tahu kekuatannya, sehingga misalkan pada waktu mencari jodoh untuk anaknya, mereka akan memilih yang mereka kira-kira tahu ini akan cocok. Itu tidak berarti bahwa kalau anak memilih sendiri pasti salah. Tidak ya, tapi poin saya adalah, bukankah memang ada hal-hal yang tidak kita sadari, kita tidak lihat dengan jelas, tapi dilihat jelas oleh orangtua kita. Ini tentang diri kita, juga tentang pasangan kita. Kadang karena kita diamuk cinta, kita tidak bisa melihat dengan jelas, besar kemungkinan orangtua lebih dapat melihat dengan jelas, siapakah pasangan kita. Mereka akhirnya berkata,"Ini tidak cocok" atau kebalikannya,"Ini cocok". Mengapa pernikahan yang diatur sepertinya lebih bisa langgeng, salah satu faktornya adalah karena perspektif atau masukan dari orangtua yang tepat karena mereka melihat dengan lebih jelas. Akhirnya mereka bisa memasangkan putra atau putri mereka dengan orang yang lebih sepadan.
ND: Karena orangtua lebih berpengalaman, ya.
PG: Lebih berpengalaman, lebih banyak melihat, bertemu, mengenal orang jadi lebih mengerti sebetulnya tentang manusia itu. Kita tidak bisa memang meniadakan faktor pengalaman hidup, Pak Necholas, misalnya kita baru umur 25 tahun, berarti kita baru 25 tahun berpengalaman. Misalnya orangtua kita dua kali usia kita, berarti pengalamannya sudah dua kali lipat lebih banyak, sudah lima puluh tahun jadi lebih banyak juga yang mereka telah pelajari. Maka dalam membina relasi apalagi di awal-awal terbukalah untuk berbicara dengan orangtua, terimalah masukan-masukan mereka sehingga nanti akhirnya mereka bisa memberikan bimbingan kepada kita.
ND: Setelah kita menikah, yang tadi Pak Paul sempat katakan soal komunikasi ini, bagaimanapun juga kita harus belajar untuk berkomunikasi. Bagaimana dengan tadi Pak Paul sempat katakan tentang penghakiman atau menyalahkan. Boleh dijelaskan lebih lanjut tentang hal ini, mengapa bisa memerburuk kualitas pernikahan pada akhirnya.
PG: Betul ya, kalau kita belum apa-apa tahu kita akan nanti disalahkan, kita enggan berbicara, Pak Necholas, atau kita tahu bahwa pasangan kita kritis sekali, jadi kalau kita bicara tentang sesuatu dan ada kaitannya dengan kita, kita tahu kita akan jadi sasaran kritikan. Akan ada saja tentang diri kita yang kurang pas, yang kurang benar yang dapat ditemukannya. Jadi kalau kita mau membangun komunikasi, kita mesti membebaskan pasangan dari penghakiman-penghakiman itu. Saya tidak berkata, bahwa kita harus selalu memuji pasangan dan tidak boleh sama sekali menunjuk kesalahannya, bukan begitu maksud saya, tapi lakukanlah itu jarang-jarang. Kalau memang penting sekali, harus sekali, baru kita katakan. Bila tidak, lebih baik jangan sering-sering kita menunjuk kesalahan pasangan atau kekurangannya, sebab pada akhirnya itu akan nantinya membunuh komunikasi karena tidak ada orang yang senang bicara dengan kita, kalau kita nantinya akan selalu melihat kesalahan-kesalahan atau kekurangannya.
ND: Bagaimana dengan mendengarkan tadi, bagaimana kita bisa mendengarkan lebih baik lagi pasangan kita?
PG: Beberapa masukan yang praktis, pertama misalnya adalah jangan potong. Betapa seringnya kita memotong percakapan, biarkan pasangan bicara, menyelesaikan sampai selesai, baru kita nanti tanggapi. Yang kedua adalah kalau kita belum tahu jelas jangan mengambil kesimpulan, sebab seringkali orang akhirnya malas bicara dengan kita karena belum apa-apa kita sudah menarik kesimpulan. Meskipun kesimpulan kita benar tapi mereka merasa, tolonglah beri saya kesempatan menjelaskannya dulu. Apalagi kalau kesimpulan kita salah, makin orang itu kesal, mengapa kamu tidak mau mendengarkan sampai selesai baru nanti simpulkan, bukankah bisa lebih jelas. Belum apa-apa sudah langsung menyimpulkan, jadi salah. Pada waktu kita bicara dengan pasangan dan ini semua terjadi, ini tidak bisa tidak akan menyurutkan niat kita untuk bicara. Bukankah nantinya sebelum kita bicara kita langsung berpikir untuk apa, nanti akhirnya bertengkarlah, tidak bisa jelas salah pahamlah, ya sudah tidak usah bicara. Maka penting kita belajar mendengarkan, tidak memotong percakapan, tidak menarik kesimpulan tergesa-gesa dan yang ketiga tentang mendengarkan, kalau kurang jelas tanya, daripada tergesa-gesa mengatakan apa, tanya dulu benar tidak ini yang saya dengar, tadi apakah kamu bicara ini atau tidak? Dengan bertanya kita akan mendapatkan penjelasan, ini beberapa masukan praktis untuk mendengarkan.
ND: Jadi kita tidak berasumsi sendiri bagaimana pasangan kita berpikir atau merasakan.
PG: Betul sekali, Pak Necholas.
ND: Dari dua faktor yang sudah kita bahas, mungkin kita bisa lanjutkan ke faktor yang berikutnya, Pak Paul.
PG: Faktor yang ketujuh adalah kesamaan. Norman Wright, seorang pakar pernikahan dan keluarga mengatakan bahwa, "Makin banyak kesamaan, makin bertambah baik pernikahan". Sudah tentu yang dimaksud dengan kesamaan disini adalah kesamaan dalam hal yang baik, bukan hal yang buruk. Maksudnya bukan sama-sama keras kepala, sama–sama tidak mau mengalah, bukan itu. Kalaupun tidak sama adalah baik kita menikah dengan orang yang setidaknya dapat menerima dan menghargai keunikan kita masing-masing. Makin banyak kesamaan, makin mudah kita saling mengerti dan makin lancar kita berkomunikasi dalam pengambilan keputusan kita cenderung melihat dari sudut dan nilai yang sama sehingga tidak perlu konflik dan bersitegang. Walau interes berbeda, kita masih dapat saling menerima dan menghargai interes masing-masing karena kesamaan nilai yang kita miliki. Itu sebab makin banyak kesamaan, makin kuat pernikahan kita.
ND: Kesamaan disini maksudnya kesamaan nilai, bukan kesamaan didalam memandang sesuatu, karena saya rasa kalau kita ada masalah bukankah lebih baik jika ada pandangan atau perbedaan pendapat sehingga masalah itu bisa terlihat lebih jelas.
PG: Idealnya memang kita menikah dengan orang yang memunyai kesamaan bukan saja dalam nilai tapi juga dalam sudut pandang, tapi pada kenyataannya sesama-samanya kita, tetap saja akan ada perbedaan, nantinya dalam pernikahan, kita akan tetap harus menyesuaikan diri dengan sudut pandang yang berbeda, karena tidak mungkin persis sama. Penekanannya adalah pada carilah yang lebih banyak samanya sebab tentu akan ada perbedaan, tidak bisa dihindari daripada dari awal kita mencari pasangan yang terlalu berbeda dari kita, ini akan sangat sulit sekali nanti untuk disatukan.
ND: Kuncinya kalau saya lihat di faktor yang sebelumnya dan faktor yang sekarang ini adalah mencari pasangan yang tepat sebelum memulai pernikahan. Apakah memang begitu maksudnya, Pak Paul?
PG: Betul. Tepat ini memang banyak yang terlibat didalam ketepatan, salah satunya adalah kesamaan, Pak Necholas. Kadang kita beranggapan kita justru harus mencari yang bertolakbelakang dari kita supaya nanti saling melengkapi. Masalahnya adalah kalau terlalu begitu bertolak belakang, berarti PR yang kita nanti harus selesaikan dalam pernikahan, sangatlah banyak, sebab hampir dalam setiap hal kita ini berbeda. Maka benar kata Norman Wright, makin banyak kesamaan, makin rukun tapi memang tidak akan mungkin 100% sama, kita akan tetap berbeda. Dalam menghadapi perbedaan itu, kita perlu saling menghargai, menerima keunikan masing-masing dan mencoba untuk menyesuaikan sehingga bisa mencapai titik temu.
ND: Kesamaan ini juga bisa seperti kesamaan hobi, begitu Pak Paul?
PG: Betul. Selain dari pandang, selain dari nilai, ada juga interes atau hobi karena kalau terlalu berbeda akan sulit. Sebagai contoh, misalkan kita sangat menyenangi musik, kita tahu kita yang senang dengan musik ingin berbagi mendengarkan musik, membicarakan musik bersama dan kalau misalnya memungkinkan memainkan atau melantunkan musik bersama. Misalkan pasangan kita tidak mengerti musik sama sekali dan tidak berminat pada musik, akhirnya kita sendirian. Waktu mendengarkan musik, waktu ingin bicara mengapa ini musik indah, bagusnya disini bagusnya disana, tidak bisa. Karena tidak bisa akhirnya ya sudah sendiri saja. Kalau kita hanya berbeda sedikit, tapi kalau sekali lagi perbedaannya terlalu banyak akhirnya PR kita untuk bisa merukunkan, menyatukan itu berat sekali. Akhirnya banyak orang yang karena terlalu berbeda tidak lagi pusing-pusing mencari titik temu, mencari kesamaan atau membangun kesamaan, tidak lagi. Akhirnya mereka masing-masing hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Ini tidak sehat.
ND: Jadi meskipun menikah, mereka sebetulnya berjalan sendiri-sendiri, menikmati lingkup sosialnya, aktifitasnya sendiri, tidak peduli lagi dengan pasangan.
PG: Betul, iya karena pada akhirnya mereka menyadari kalau terus-menerus dibicarakan, dibahas, tidak akan ketemu titik tengahnya, ribut lagi, ribut lagi akhirnya mereka sudah masing-masing saja. Kamu kerjakan urusanmu, kamu senang apa ya kamu cari sendiri. Saya kerjakan tugas saya, urusan saya, saya senangnya apa sukanya apa, sudahlah saya kerjakan sendiri, ini yang tidak sehat, Pak Necholas. Dalam pengalaman saya, saya sudah bertemu dengan orang yang seperti ini, atau pasangan yang seperti ini, seolah-olah untuk satu waktu rukun karena memang jarang bertengkar. Mengapa jarang bertengkar? Karena masing-masing hidup dalam dunianya sendiri, tapi misalnya ada sesuatu terjadi, tekanan besar yang harus mereka hadapi, retak langsung hubungan itu karena memang keakraban, kedekatan, ikatan itu sangatlah lemah, tipis, belum lagi kalau ada orang ketiga masuk, nah pas orang ketiga itu bisa berbagi banyak kesamaan. Itu godaan yang sulit untuk ditampik.
ND: Baik, terima kasih, Pak Paul untuk pembahasan kali ini. Kita sudah belajar bahwa faktor yang memperkuat sebuah pernikahan adalah empati, komunikasi dan juga banyaknya kesamaan diantara pasangan.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sepuluh Faktor Penguat Pernikahan" bagian yang ketiga. Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.