Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sendiri namun Produktif", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam kehidupan ini kita memang mempunyai harapan-harapan, kadang-kadang harapannya malah terlalu tinggi dan sebagainya, tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Justru kadang-kadang yang tidak kita harapkan itu terjadi di dalam hidup ini. Kalau kita bicara tentang sendiri namun produktif ini bagaimana Pak Paul?
PG : Begini Pak Gunawan, tadi Pak Gunawan sudah memunculkan pengamatan bahwa hidup ini tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan kita. Kalau boleh menggunakan pengibaratan, kadang-kadang kitadipaksa untuk berbelok arah, kita tidak siap tapi tidak bisa tidak kita harus berbelok arah.
Nah, kadang-kadang yang terjadi adalah kita kehilangan orang yang dekat dengan kita, orang yang tadinya bersama dengan kita sekarang tidak ada lagi. Bisa ini orang tua, bisa anak, bisa pasangan dan bisa juga sahabat. Nah, ini adalah hal-hal yang memang memaksa kita untuk membelokkan arah hidup kita karena ketidakhadiran mereka itu. Apa yang bisa kita lakukan, biasanya memang kita harus melewati masa kehilangan itu dan itu tidak bisa kita hindari, kita harus terima, kita harus melewati masa kehilangan itu. Namun pada kesempatan ini kita juga mau mengajak para pendengar kita untuk melihat melampaui kehilangan itu sendiri, ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk melewatinya. Yang pertama adalah kita mesti berhenti berandai-andai, sering kali kita berandai aduh....kalau saja saya bertemu dengan orang ini, maka akan begini, begini, andai saja saya tidak bertemu dengan orang ini maka saya akan begini, begini. Nah, tidak bisa kita terus berandai, kadang-kadang berandai itu masih wajar tapi jangan sampai pola pikir berandai menjadi pijakan kita dalam mengambil keputusan dalam hidup ini. Karena hidup berandai bukan saja menjauhkan kita dari realitas tapi membuat kita tidak hidup sepenuhnya di masa sekarang. Nah artinya apa, artinya kita tidak bisa menghadapi hidup dengan efektif. Kadang kita sulit menerima fakta kehidupan ini karena memang pahit namun pada akhirnya kita harus hidup melampaui kepahitan itu.
WL : Pak Paul, tapi faktanya kalau di negara Indonesia atau budaya Timur, kita sering jumpai bahwa nadanya nada minor terhadap terutama wanita, kalau pria tidak terlalu dipikir tapi kalau wanita yang single baik yang belum menikah atau pun sudah menikah kemudian kehilangan pasangan. Kalau yang belum menikah, pada usia tertentu belum menikah nah itu menjadi nada-nada minor juga, terus bagi yang janda juga begitu. Mungkin itu juga menjadi tekanan bagi wanita-wanita yang hidup sendiri ini jadi akhirnya berandai-andai terus, Pak Paul?
PG : Ya, saya bisa melihat yang tadi Ibu Wulan katakan, tekanan dari luar mendorong kita untuk berharap dan berharap bahwa suatu hari kelak pasangan kita yang kita nantikan itu akan muncul di pntu rumah kita.
Tadi saya sudah katakan pemikiran yang datang secara ringan, itu saya kira normal, tidak bisa tidak kita akan mengharapkan adanya perubahan. Namun sekali lagi akhirnya kita tidak bisa dihalangi oleh pemikiran berandai ini. Kita harus melampaui andai kata tidak, andai kata akhirnya memindahkan kita dari realitas masuk ke dalam dunia khayal, nah kita harus kembali lagi ke dunia realitas bahwa memang tidak ada. Kita tidak lagi berpikir nanti kalau ada bagaimana, tidak, kalau memang kita belum mempunyai pasangan hidup ya sudah kita terima memang sekarang ini belum ada pasangan hidup. Saya teringat ada seseorang yang pernah berkata kepada saya, kebetulan dia seorang wanita, dia bertanya: "Apakah saya akan menikah, apakah saya akan mempunyai pasangan hidup nanti?" Ya saya bilang saya tidak tahu jawabannya. Terus dia bertanya lagi: "Apakah Tuhan menghendaki saya menikah nanti?" Saya berkata: "Nanti saya tidak tahu, tapi yang sekarang bisa saya tahu pasti yaitu Tuhan tidak menghendaki kamu menikah sekarang, sebab sekarang kamu tidak menikah jadi berarti sekarang ini Tuhan tidak menghendaki kamu menikah dan hiduplah dengan yang sekarang Tuhan tetapkan untuk kita, yaitu sekarang Tuhan tetapkan kamu tidak menikah ya hiduplah seperti ini."
GS : Biasanya ada semacam rasa penyesalan Pak Paul, kenapa saya melewati jalan ini, apakah saya tidak keliru melewati jalan ini. Tadi Pak Paul menggunakan ilustrasi orang yang berjalan kemudian terpaksa berbelok, jadi kadang-kadang memang di dalam perjalanan sehari-hari kita dipaksa untuk belok juga karena kecelakaan atau apa. Nah, itu bisa menimbulkan rasa keterkejutan, saya tidak merencanakan jalan ke sini, tetapi karena keadaan memaksa saya harus jalan ke sini padahal saya tidak tahu jalan itu, mungkin di luar kota dan sebagainya. Kemudian timbul penyesalan kenapa saya tadi tidak melewati jalan yang lain saja, kenapa harus lewat sini, begitu Pak Paul?
PG : Sering kali itu muncul Pak Gunawan, karena kita terus mengenang jalan yang seharusnya kita ambil, kenapa sekarang jalan ini yang harus saya tempuh. Dan contoh tadi memang tidak sempurna seab kalau kita berbelok arah waktu kita mengendarai kendaraan kita, kita tahu kita akan sampai ke tujuan semula meskipun jalannya berbeda.
Nah, sering kali ini waktu kita dipaksa berbelok arah dalam hidup memang tujuannya pun nantinya berubah. Nah, tujuannya berarti tidak seperti yang kita dambakan. Misalkan kita berharap umur 30 kita sudah berkeluarga, nah sekarang sudah umur 35 belum berkeluarga berarti ada kemungkinan saya tidak akan berkeluarga. Nah itu berarti tujuannya sudah berubah dan ini yang memang membuat kita panik karena tujuannya itu tidak sama. Nah, sekarang ini saya mau dibawa ke mana oleh Tuhan nah ini yang menakutkan tapi sekali lagi tidak bisa kita tetap berharap nanti umur 35 saya menikah karena memang tidak tahu, kita hidup apa adanya sekarang ini.
WL : Pak Paul, saya tertarik dengan istilah "maunya Tuhan" kalau kita melihat dari Alkitab pengajaran secara keseluruhan dikatakan bahwa sebenarnya keinginan Tuhan yang pertama adalah supaya kita menikah, berkeluarga. Kalau pun sendiri itu demi keefektifan pelayanan, bukan karena permasalahan kita, karena kita memang tidak mau, kalau menikah mau tidak mau harus tunduk tidak bisa egois dan sebagainya atau berbagai masalah lain semata-mata demi keefektifan pelayanan. Menurut Pak Paul sendiri bagaimana?
PG : Saya setuju dan itulah yang saya coba nanti membawa pendengar kita untuk sampai ke titik itu. Sebab untuk sampai ke titik itu tidak mudah Ibu Wulan, sebab kita ini menghadapi realitas hidu dan sukar untuk membawa pikiran ke atas, ke kacamata Tuhan.
Di kacamata kita adalah tidak ada yang mendekati saya, kenapa saya pacaran tidak berhasil, berkali-kali pacaran tapi putus dan sebagainya, jadi itu yang di depan mata kita dan sulit bagi kita untuk melihat bahwa masih ada kehendak Tuhan di atas semuanya ini.
GS : Selain menerima semua realitas kehidupan ini, sebetulnya apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul?
PG : Kita mesti mengisi ruang waktu yang memang kita miliki. Misalkan kita terbiasa bersama dengan pasangan kita sekarang tidak ada lagi pasangan. Nah, ruang waktu yang ditinggalkannya itu kosog dan tidak bisa tidak kita mesti mengisinya.
Misalkan tadi seperti yang saya bilang kita berandai-andai. Kadang-kadang berandai-andai sedikit banyak memenuhi kebutuhan kita, sebab waktu kita berandai seolah-olah kita sedang mengisi ruang waktu kita dengan kehadiran pasangan yang memang belum ada itu, makanya tidak bisa terus begitu. Kenyataannya memang tidak ada, ruangan ini kosong, nah karena ruangan ini kosong kita mesti mengisinya dengan hal-hal lain. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan, misalnya kalau ada waktu kita bisa bersekolah kembali ya kita bersekolah, kita masih ada waktu untuk misalkan mengikuti keterampilan musik yang kita belum pernah kuasai sebelumnya, kita lakukan itu. Kita belum pernah berkunjung ke daerah-daerah wisata yang lain, sekarang kita pergi, kita isi waktu itu. Jadi memang mesti kreatif, mesti berani mengambil resiko, mesti melangkah keluar.
GS : Kalau seandainya ruangan kosong itu dibiarkan kosong, apa yang terjadi?
PG : Wah....biasanya memang kita akan makin tenggelam dalam kegelapan pikiran kita, kita benar-benar merasa aduh saya sendirian, saya tidak akan ke mana-mana, mungkin akhirnya putus asa dengan idup ini.
WL : Pak Paul, itu di hadapan Tuhan tidak apa-apa kalau misalnya seperti tadi saran Pak Paul mengisi ruang waktu itu dengan bersekolah dan sebagainya begitu. Orang sering mempertanyakan motivasi di balik itu, Pak Paul?
PG : Saya melihat Tuhan itu mudah dan mau mengerti kita, meskipun motivasi kita sekolah bukan sungguh-sungguh mau mendapatkan ilmu apa, tidak menjadi soal. Saya percaya Tuhan mudah dan mau mengrti kondisi kita, bahwa Dia mengerti kita mau mengisi ruang waktu yang kosong ini dan Dia akan ijinkan kita untuk melakukannya.
Dan Dia akan berkati, Dia akan menolong kita sehingga bisa mengisi kembali ruang waktu itu, nah ini yang saya perhatikan tentang cara Tuhan bekerja.
GS : Ya, biasanya orang malah enggan untuk melakukan hal-hal seperti itu Pak Paul, dia lebih banyak merenungi nasibnya sendiri, kesedihannya itu.
PG : Betul, tadi saya singgung bahwa pada awalnya itu wajar, kita memang akan menangisi dan meratapi kehilangan kita, tapi setelah satu titik tertentu memang kita harus melampaui kepahitan itu,sebab kalau tidak ruangan itu tetap kosong.
Semakin kosong, semakin kosong akhirnya yang kosong itu makin membesar dalam hidup kita.
GS : Untuk mengisi hal itu dengan sesuatu yang berguna bagi kehidupan ini, apa yang bisa kita lakukan?
PG : Kita harus membuat rencana Pak Gunawan, jadi dengan kata lain ini suatu usaha yang terkoordinir, yang terencana dengan penuh kesadaran. Kita tidak bisa hanya melihat saja nanti bagaimana, adi setelah kita berhasil melampaui kehilangan kita itu kita mesti mulai memikirkan rencana misalnya lima tahun mendatang kita ingin melakukan apa, nah susun dulu untuk lima tahun itu.
Setelah lima tahun lewat, susun lagi untuk lima tahun berikutnya, misalnya seperti itu. Kalau masih belum bisa menyusun untuk lima tahun, susun untuk satu tahun dulu. Kalau belum bisa untuk satu tahun, enam bulan dulu, pokoknya buat rencana dan cobalah untuk penuhi target kita itu.
GS : Pak Paul, di dalam penyusunan rencana itu sebenarnya apakah bisa dilakukan sendiri atau kita melibatkan orang lain atau membutuhkan bantuan orang lain atau bagaimana Pak Paul?
PG : Kira-kira memang perlu bantuan orang lain, karena apa, karena pada saat-saat sendiri itu kita kehilangan tenaga untuk memulai apa-apa, karena itu kita perlu uluran tangan sesama untuk bisamemberikan kita dorongan, waktu kita rasanya tidak ingin melakukan apa-apa, nah teman atau sahabat bisa berkata ayo lakukan, kamu begini yuk, dia masih memberikan perhatian.
Dan itu seolah-olah memberikan kita pinjaman kekuatan.
GS : Karena sering kali orang merasa trauma dengan masa lalunya, nanti saya rencanakan-rencanakan tidak tahunya belok lagi atau gagal lagi.
PG : Sering kali masa lampau itu memang menjadi ingatan yang menakutkan kita jadi kita tidak mau lagi jatuh atau mengalami kesedihan yang sama, tapi bangunlah persahabatan itu salah satu prinsi yang harus kita pegang.
Dan yang lebih realistik adalah bersahabat dengan sesama rekan yang juga hidup sendiri, sesama rekan yang hidup sendiri memiliki kemerdekaan yang sama dengan kita dan ini berarti akan ada banyak hal yang dapat kita kerjakan bersama. Berteman yang berkeluarga mempunyai keterbatasannya.
GS : Ini mungkin ada kaitannya juga merasa senasib Pak Paul, sehingga sama-sama menempuh kehidupan ini lagi.
PG : Meskipun waktu kita bersahabat dengan yang seperti kita sama-sama sendirian, mungkin masih ada sedikit rasa takut kalau dia nanti ada pasangan, kita akan ditinggal lagi, yang tadi seperti ak Gunawan katakan.
Jadi pengalaman ditinggal sendiri lagi itu akan muncul lagi, takut kita luka. Nah, ini kadang-kadang membuat kita merasa enggan memulai persahabatan, tapi tidak apa-apa nikmati selama masih bisa dinikmati. Kalau memang dalam rencana Tuhan teman kita itu diberikan pasangan hidup dan tidak sendiri lagi ya sudah, memang kita akan kehilangan dia tapi ya tidak apa-apa kita mesti mencari lagi yang seperti kita lagi.
GS : Memang dalam perencanaan ini kita harus melibatkan Tuhan, Pak Paul?
PG : Tepat sekali, kita harus bertanya: "Tuhan, apa itu yang Engkau inginkan untuk aku lakukan?" Harus selalu kita tanyakan itu, "Tuhan, apa makna kesendirian saya ini, apa yang edang Engkau tunjukkan supaya saya dapat melihatnya dengan jelas."
WL : Pak Paul, kalau rencana-rencana ini tadi saya pikir berkaitan dengan tema kita, sendiri namun produktif. Yaitu merencanakan sesuatu supaya nantinya ada hasil, sehingga kita dalam kesendirian itu tidak menjadi sia-sia. Nah, saya ingin bertanya definisi dari produktif itu apakah kita harus menghasilkan sesuatu ataukah penting juga internal kita semakin menjadi matang, semakin dewasa, bagaimana menurut Pak Paul?
PG : Itu betul sekali Ibu Wulan, jadi produktif menghasilkan sesuatu yang tidak selalu diukur dengan hal-hal yang terjadi di luar kita, tapi juga yang terjadi di dalam kita. Kita melihat diri kta bertumbuh wah....itu
memberikan kita kesenangan luar biasa atau kebahagiaan tertentu. Sekarang saya bisa begini, sekarang saya bisa begitu, dulu tidak pernah saya berpikir saya bisa kok sekarang bisa. Nah, kita merasa itu produktif, kita menghasilkan sesuatu, ada tunas baru yang keluar dari dalam diri kita.
WL : Saya melihat banyak sekali justru yang sendiri atau single itu "aneh" tapi ada juga yang kelihatan justru matang, dewasa sekali.
PG : Betul, akhirnya terpulang pada diri sendiri, kalau dia terus mengurung dirinya dan tidak bersahabat, berelasi dengan orang makin hari makin aneh itu betul sekali. Tapi kalau dia mempunyai anyak teman, bersahabat dengan bebas, itu akan memperkaya diri dia sehingga dia tidak sempat hidup untuk dirinya sendiri lagi.
GS : Tadi Pak Paul katakan bahwa berteman dengan orang yang berkeluarga itu ada keterbatasannya, keterbatasan apa Pak Paul?
PG : Kita tidak bisa misalnya mengajak dia sembarang waktu, dia harus mengurus anaknya, keluarganya, nah kalau dengan sesama single bisa. Kita bisa merencakan pergi ke mana dan dia tidak ada bean apa-apa dan dia bisa lakukan itu.
Jadi sebetulnya orang yang single mempunyai kesempatan yang tidak dimiliki oleh orang yang sudah berkeluarga. Sebab secara alamiah kita yang berkeluarga memang makin hari makin menyempitkan ruang pergaulan kita.
WL : Pak Paul, berkaitan dengan persahabatan tadi saya mau bertanya dari beberapa kali pengalaman berkenalan atau bersahabat dengan orang yang single begitu kok agak posesif, karena apa Pak Paul?
PG : Tadi yang saya katakan yaitu ada rasa takut bahwa nanti rekan kita ini akan bersanding dengan orang dan kita ditinggal. Nah, ini bersanding tidak harus dalam pengertian menikah, tapi bisa uga dalam pengertian dia mempunyai sahabat lain.
Nah, itu memang menakutkan karena kesendirian sangat menakutkan dan kita tidak mau kita mengalaminya lagi. Kalau kita sudah dekat dengan seseorang, kita tidak siap untuk melihat dia nanti meninggalkan kita sendiri lagi.
GS : Tapi ada juga kekhawatiran nanti kita dipikir cuma menggunakan kesempatan saja, jadi kita hanya mau berteman untuk menghilangkan rasa duka kita atau kesendirian kita, Pak Paul.
PG : Adakalanya begitu, sehingga kita akhirnya tidak berani memulai persahabatan, karena belum apa-apa kita sudah berpikir oh.....nanti orang mengira kita mau memanfaatkan dia saja.
GS : Nah, katakan kita sudah bisa bersahabat atau bahkan bisa masuk dalam satu kelompok, apakah yang bisa kita lakukan di sana?
PG : Saya kira kita mesti membuat suatu rencana yang jelas yaitu kita mau menginvestasikan hidup dan diri kita ini pada kelompok yang tertentu ini. Kita tidak bisa memikirkan seluruh dunia, selruh kota, seluruh dosa dan kampung kita, kita hanya bisa memfokuskan perhatian kita pada sekelompok masyarakat.
Nah, jadikan ini seperti lahan garapan kita, kita fokuskan diri kita di sana, apa yang bisa kita kerjakan untuk mereka, bantuan apa yang bisa kita berikan, sumbang sih apa yang bisa kita bagikan. Nah, itu yang akan coba kita lakukan.
GS : Tetapi itu juga ada resikonya keterbatasan kita, kalau kita sudah masuk ke sana dan menginvestasikan waktu dan sebagainya tapi tidak mendapatkan tanggapan yang positif, itu bisa mengecewakan kita lagi.
PG : Betul, kalau itu yang terjadi kita mesti mengevaluasi, apakah saya di tempat yang tepat, apakah mungkin saya harus mencari tempat yang lain, yang berbeda dan sebagainya. Misalkan, kita berecimpung di sebuah persekutuan di gereja, kemudian itu yang kita lihat kok rasanya mereka tidak begitu tertarik untuk menerima uluran tangan kita.
Nah, mungkin kita boleh memikirkan ke tempat yang berbeda. Mungkin di sanalah kita sebagai orang single lebih bisa diterima, dihargai dan dimanfaatkan untuk pelayanan, nah ini hal-hal yang kita juga harus pikirkan.
WL : Pak Paul, saya sering mendengar hamba Tuhan mengatakan, bagi orang yang menikah itu adalah orang-orang yang berani. Berani dalam pengertian karena itu sekolah seumur hidup, harus tenggang rasa dan sebagainya. Nah, kalau dibandingkan dengan orang yang sendiri, orang yang single, mereka tidak mengalami sekolah seumur hidup seperti itu. Bahkan sering dikatakan sudah kelamaan sendiri keenakan, segala sesuatu mengambil keputusan sendiri dan tidak harus tenggang rasa dengan orang lain, dan kalau terjun dalam kelompok tertentu atau kelompok yang lainnya akhirnya sering kali banyak sekali gesekan dan masalah timbul, begitu Pak Paul.
PG : Itu memang mungkin terjadi, karena kita itu tidak ditaruh dalam suatu tempat yang penuh dengan tekanan, intensitasnya tinggi, harus menyesuaikan diri, kalau kita hidup single tidak ada memng rasa terpaksa seperti itu.
Kalau kita menikah memang ada paksaan itu dan akibatnya banyak hal-hal yang tadinya tajam-tajam pada diri kita itu bisa diasah menjadi lebih lunak. Karena kita sendiri kalau tidak ada paksaan itu, yang tajam-tajam itu masih bisa mencuat dan melukai orang. Namun sekali lagi, Tuhan sangat kaya dan besar sehingga kalau kita sendiri mau belajar dan diajar oleh Tuhan Dia akan sediakan, Dia akan sediakan lingkungan dan teman yang bisa akhirnya melunakkan sisi-sisi yang tajam dari dalam diri kita itu.
GS : Sebenarnya banyak manfaat yang bisa kita ambil melalui kita bergabung dalam satu kelompok itu ya Pak Paul. Untuk ke depannya supaya kita bisa lebih melengkapi diri kita agar kalau toh kita harus mengalami hal yang dibelokkan lagi, apa yang bisa kita lakukan?
PG : Pertama, kita harus melebarkan wawasan kita yaitu kita melihat tokoh-tokoh Alkitab. Cukup banyak tokoh-tokoh Alkitab itu orang yang lajang atau sendiri, tidak dicatat mereka itu mempunyai asangan hidup.
Misalnya Elia, Elisa, Tuhan Yesus sendiri dan rasul Paulus yang jelas-jelas mengatakan dia hidup sendiri. Jadi cukup banyak tokoh-tokoh Alkitab yang dipakai Tuhan luar biasa dan mereka sendiri. Jadi yang ingin saya tekankan adalah bahwa kita meskipun sendiri masih bisa produktif dalam pengertian kita tidak harus hidup untuk diri kita, kita masih bisa hidup untuk orang lain, untuk kelompok kita dan sudah tentu untuk Tuhan.
GS : Apakah dalam hal ini Tuhan Yesus mengatakan sesuatu, Pak Paul?
PG : Saya akan menggunakan kisah orang kaya yang bodoh, mengumpulkan hartanya di lumbung. Nah, Tuhan katakan: "Hai, orang bodoh pada malam ini juga jiwamu akan diambil daripadamu, dan apa ang telah kau sediakan untuk siapakah itu nanti."
Nah, saya ingin meninggalkan pertanyaan Tuhan ini pada kita semua yang masih single yaitu untuk siapakah hidup saya ini, memang saya sendiri tapi untuk siapakah saya hidup. Nah, kita mau katakan hidup ini saya akan berikan kepada Tuhan dan kepada sesama kita jadi kita tidak hidup untuk diri sendiri.
GS : Pak Paul, contoh konkretnya di dalam kita itu menyerahkan kehidupan ini untuk Tuhan, apakah itu harus terlibat di dalam hal-hal yang rahani, Pak Paul?
PG : Tidak, terlibat di sini luas sekali, sudah tentu hal-hal rohani menjadi bagian darinya. Tapi setelah itu secara sosial, secara kultural, dalam hal seni atau apa kita bisa terlibat o....silkan.
Karena semua adalah obyek-obyek penerima berkat dari kita dan kita mau bagikan berkat itu kepada mereka.
GS : Jadi kalau kita sudah melewati masa pembelokan dan sebagainya yang tadinya kurang menyenangkan, kita juga melihat ke belakang bahwa itu sesuatu yang indah.
PG : Biasanya begitu Pak Gunawan, orang yang berhasil melihat belokan itu di ujung jalan itu dia akan berkata: "O....belokan ini juga indah."
GS : Terima kasih sekali Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sendiri namun Produkif". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untu mengunjungi situs atau website kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.