[sampai_maut_memisahkan_kita_1] =>
"Sampai Maut Memisahkan Kita"( I ) oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Lengkap
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sampai Maut Memisahkan Kita". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Dari judul perbincangan ini, tentu kita tahu Pak Paul bahwa kita akan membicarakan tentang hubungan pernikahan. Kalau kita melihat kenyataan kehidupan pernikahan, memang ada yang berumur panjang tapi tidak sedikit pula yang berumur pendek artinya terjadi perceraian dan sebagainya. Bagaimana dengan hal itu, Pak Paul ?
PG : Saya percaya sewaktu kita memasuki pernikahan, kita tidak pernah berpikir bahwa suatu hari kelak kita akan menceraikan pasangan kita. Saya percaya kita semua masuk ke pernikahan berharap prnikahan kita bisa terus berjalan langgeng sampai akhirnya.
Tapi dalam perjalanannya masalah sudah mulai berjamuran, perbedaan pendapat juga mulai mencuat akhirnya kita sering berpikir, "Tidak bisa lagi untuk meneruskan pernikahan ini". Pada saat itulah alternatif perceraian mulai kita pertimbangkan. Hal ini yang kita akan coba bahas supaya kita bisa menyiapkan diri sebaik-baiknya agar jangan sampai kita jatuh dan akhirnya harus bercerai. Kita mau belajar bagaimanakah menyiapkan pernikahan kita dari titik ini atau dari hari ini supaya bisa bertahan terus sampai di hari tua.
GS : Tapi dalam konsep pernikahan Kristen, perceraian adalah sesuatu yang tabu. Jadi bagaimana pun kondisinya tetap tidak boleh bercerai dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Kita memang memiliki target bukan saja memertahankan pernikahan, tapi tetap untuk bisa berbuah sebab kita semua menyadari bahwa ada pernikahan di sekitar kita yang memang bertahan sampai hri tua, tapi hanya bertahan saja dan sesungguhnya mereka tidak lagi berbuah, mereka tidak mencicipi buah-buah pernikahan mereka.
Dan kita tidak buta terhadap fakta bahwa ada orang yang menikah sampai tua, tapi tidak memiliki relasi antara satu dengan yang lain, tidak lagi memiliki kasih, tidak lagi memunyai kepedulian terhadap satu sama lain dan masing-masing hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Kita tidak mau hanya bertahan seperti itu, tapi kita mau menyiapkan pernikahan yang berbuah pula sampai tua.
GS : Tapi banyak orang yang mengira kalau kita itu sudah tua, hubungan kita dengan pasangan kita itu biasa-biasa saja dan hanya bertahan sampai salah satu meninggal lalu selesailah pernikahan itu. Konsep seperti itu bisa dibenarkan atau tidak, Pak Paul ?
PG : Konsep seperti itu keliru sebab semakin kita tinggal lama dengan pasangan kita dan menikmati keharmonisan, seyogianyalah perasaan kita itu makin mendalam, kita semakin susah untuk berpisahdengan dia karena dia benar-benar menjadi bagian dalam hidup kita dan dia bukan saja seolah-olah menumpang di hati kita, tapi benar-benar dia membuat rumah di dalam hati kita sehingga tidak bisa tidak kita dengan dia sudah menyatu.
Waktu misalkan dia tidak ada, pergi agak lama maka hidup kita akan mengalami goncangan dan kita akan kehilangan dia. Jadi seharusnya dengan berjalannya waktu kalau hubungan kita baik, memang hubungan itu akan mengakrabkan kita sehingga kita begitu menyatu dengan pasangan kita.
GS : Berarti ada beberapa kesamaan setelah pasangan itu memasuki usia lanjut, begitu Pak Paul ?
PG : Pada usia lanjut, memang akan memasuki tahap-tahap tertentu. Guna memersiapkan semuanya, Pak Gunawan coba kita lihat ciri yang pertama yang seringkali dihadapi oleh orang-orang yang tua yatu, pada masa tua mereka sering melihat ke belakang dan tidak bisa lagi memandang ke depan karena pada masa tua, hidup yang tersisa tidak sebanyak hidup yang telah dilewati.
Pada masa muda hidup yang tersisa masih lebih panjang dari pada hidup yang telah dilewati. Dengan kata lain, pada masa tua kita tidak lagi bisa memandang ke depan dan kita tidak bisa lagi memulai sebuah perjalanan yang baru dan kita hanyalah menyelesaikan perjalanan hidup yang telah kita lalui selama ini. Jadi dengan kata lain, pada masa tua kita hanya akan membawa album kenangan dan bukan buku dengan halaman kosong, itu sebabnya pada masa tua kita cenderung mengingat apa yang telah terjadi. Itu sebabnya di masa-masa kita lebih muda kita harus memastikan bahwa kita telah berusaha sekeras mungkin mengharmoniskan relasi kita, supaya di hari tua sewaktu kita menengok ke belakang, kita akan mengingat hal-hal yang telah kita perjuangkan bersama. Kita tidak akan selalu sukses dan berhasil menyelesaikan masalah-masalah kita, tapi setidak-tidaknya kita bisa menengok ke belakang dan berkata bahwa saya melihat suami saya benar-benar berusaha mengorbankan diri menyatukan pernikahan kita. Pasangan kita juga bisa berkata hal yang sama tentang diri kita. Itulah yang menjadi modal kenangan yang nanti akan terus memperkuat pernikahan kita sampai tua.
GS : Tapi juga hal-hal yang terjadi di dalam keluarga yang bisa mereka lampaui, maka itu juga akan membawa kenangan yang manis juga, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi kalau ada hal-hal yang berhasil dilewati bukankah itu justru akan menjadi buah-buah manis yang nantinya akan kita petik, waktu kita menengok ke belakang dan kita melihat "Wah kita telah melewati itu semua dan kita telah melewati hal ini dan kita berhasil".
Dengan kata lain, kita merasa senang karena kita telah melewati tantangan itu bersama-sama berduaan. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan pula pada masa tua adalah masa untuk kita menuai apa yang telah ditabur, pada masa tua kita menyadari bahwa apa pun yang terjadi di masa lalu memang tidak bisa diperbaharui atau diubah berhubung kesempatan itu pun sudah lenyap. Jadi kita hanya akan menuai apa yang telah ditabur, kita memetik buah dari pohon yang ditanam. Itu sebabnya jika kita telah menanam pohon kehidupan yang sehat di dalam pernikahan maka kita pun akan mencicipi buah yang manis, sebaliknya jika kita menanam pohon kehidupan yang tidak sehat dalam pernikahan maka kita pun harus memakan buah yang pahit. Itu sebabnya di masa muda inilah kita harus menabur benih yang sehat agar pada akhirnya kita dapat menuai dan memetik buah yang manis untuk diri kita sendiri dan bukan hanya untuk orang lain. Saya tegaskan hal ini karena seringkali kita berpikir bahwa kita harus menjadi buah yang manis untuk orang, kesaksian indah tentang Kristus bagi orang lain, bukan hanya itu saja tapi ini juga untuk diri kita sendiri.
GS : Tapi perjalanan pernikahan itu panjang, Pak Paul. Jadi kita sulit untuk menaburkan buah-buah yang bagus-bagus saja, yang manis-manis saja tapi kenyataannya pasti ada hal-hal yang kurang menyenangkan yang akan terbawa sampai masa tua kita.
PG : Betul. Jadi yang harus kita usahakan adalah hal yang pahit-pahit itu harus ditekan seminimal mungkin, sehingga waktu kita menengok ke belakang tetap akan melihat lebih banyak kenangan-kenagan yang indah yang telah kita bangun bersama.
GS : Tetapi di dalam menengok ke belakang dan melihat ke depan Pak Paul, ada pasangan yang sudah lanjut usia bisa mengakhiri kehidupan dengan baik dan sebaik mungkin yang mereka bisa lakukan dan ini berarti mereka bisa melihat ke depan.
PG : Sudah tentu waktu di hari tua kita bisa memerbaiki relasi kita, maka kita harus melakukannya dan jangan sampai kita jatuh ke tahap pesimis, "Sudahlah memang harusnya begini." Itu adalah ha-hal yang harus dialami oleh orang tua "Sudahlah kita harus terima dan tidak ada gunanya, percuma saya sudah berusaha tapi tetap dia seperti ini dan ini memang sifatnya".
Kita memang harus mencoba tapi secara realistik saya mau menguraikan bahwa di masa tua kita memang hanya bisa menuai dan tidak banyak lagi yang bisa kita tanamkan di hari tua, susah sekali menanam hal yang baru meskipun kita harus berusaha tapi kita harus realistik berkata bahwa memang sudah susah untuk menanam benih-benih atau buah-buah yang baru itu.
GS : Yang menjadi lebih kompleks ialah karena di masa tua ketika kita masih berpasangan, ada anak-anak, ada menantu, ada cucu-cucu yang nantinya akan menimbulkan masalah baru bagi suami istri yang sudah lansia ini, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi kalau hubungan kita di masa tua tidak terlalu baik maka nanti kita akan diganggu dengan masalah anak, menantu, cucu, dan itu bisa menggoncang kembali pernikahan kita. Jai pada saat-saat seperti itu kita bisa melestarikan masalah ke anak-cucu kita, bahkan ada orang tua yang dengan sengaja mau membela anak-anaknya yang jelas-jelas salah.
Jadi misalkan si Papa membela si anak laki-laki dan si Mama tidak mau membelanya karena si Mama tahu kalau anaknya ini memang bermasalah. Jadi akhirnya ribut dan misalkan si Mama lebih simpati kepada menantu perempuan karena melihat dirinya sama seperti menantu perempuannya diperlakukan tidak baik oleh si suami dan sekarang menantunya diperlakukan buruk oleh putranya sendiri. Dengan kata lain rumah tangga itu terus terbelah. Dengan munculnya masalah baru antara anak menantu dan cucu, hubungan suami istri ini makin terbelah dan tidak pernah bersatu.
GS : Kalau kita mau menikmati buah-buah yang manis pada masa lanjut usia, hal-hal apa yang harus kita lakukan sedini mungkin Pak Paul, dalam hidup pernikahan kita ?
PG : Pak Gunawan, makin tua maka makin kita menyadari bahwa betapa pentingnya dari awal kita menetapkan prioritas, dengan adanya prioritas maka kita tahu apa yang penting dan apa yang tidak pening, apa yang harus didahulukan dan apa yang harus dikebelakangkan.
Saya kira terlalu banyak orang yang menjalani hidup tanpa sistem prioritas yang tepat atau yang baik. Saat ini saya ingin membagikan sebuah sistem prioritas yaitu kita harus memelihara relasi dengan Tuhan, yang kedua memelihara relasi dengan keluarga dan yang ketiga memelihara relasi dengan sesama. Dan inilah ketiga prioritas yang harus kita tekankan, jadi kalau kita intisarikan ketiganya sebetulnya hanya satu yaitu di dalam hidup ini kita harus mengutamakan relasi di atas kepentingan lainnya, pertama relasi dengan Tuhan, kedua relasi dengan keluarga dan yang ketiga relasi dengan orang-orang lain.
GS : Yang Pak Paul maksudkan dengan relasi itu seperti apa, Pak Paul ?
PG : Kita harus menjalin hubungan yang baik dan akrab di mana bukan saja kita menikmatinya tapi pihak lain pun juga menyenangi relasi ini, berarti keduanya harus berusaha sekuat mungkin melakukn hal-hal yang menyenangkan satu sama lain, mengutamakan kepentingan satu sama lain di atas kepentingan pribadi.
GS : Tapi tadi Pak Paul katakan memelihara relasi dengan Tuhan, dan ini bagaimana Pak Paul ?
PG : Yang kita harus lakukan adalah kita harus mengutamakan kehendak Tuhan di atas kegiatan bagi Tuhan. Maksud saya seperti ini, sejak awal kita harus mengerti bahwa kegiatan bagi Tuhan tidak sma dengan kehendak Tuhan, seolah-olah seringkali kita ini berpikir bahwa makin kita sibuk bergereja melakukan tugas-tugas gerejawi atau pelayanan lainnya, maka itu sama dengan mengutamakan kehendak Tuhan, itu belum tentu.
Walaupun saya katakan ini, bergiat bagi Tuhan melakukan kegiatan pelayanan bagi Tuhan adalah hal yang penting tapi terlebih penting adalah hidup di dalam kehendak Tuhan. Tuhan melihat dan mencatat apa yang kita lakukan di luar gereja, lebih dari apa yang kita perbuat di dalam gereja. Jadi dengan kata lain, kita harus menaati-Nya di dalam hidup kita, bukan hanya di dalam gereja atau melakukan kegiatan gerejawi. Relasi dengan Tuhan hanya bisa terjaga jika kita menaati-Nya di dalam hidup kita.
GS : Ketaatan itu baru muncul kalau kita memahami apa yang dikehendaki oleh Tuhan, kehendak itu justru kita peroleh dengan melakukan kegiatan-kegiatan gereja itu.
PG : Sudah tentu itu betul, Pak Gunawan. Jadi relasi dengan Tuhan yang sehat seyogianyalah kita juga akan berusaha sekuat mungkin untuk melakukan hal-hal yang Tuhan minta, misalnya melayani Tuhn dan sebagainya di dalam gereja-Nya.
Tapi tetap harus ditekankan bahwa melakukan kegiatan-kegiatan itu tidak identik dengan memunyai hubungan yang akrab dan taat dengan Tuhan karena hampir semua orang bisa melakukan hal-hal seperti itu, hampir semua orang bisa melayani di paduan suara, hampir semua orang bisa menjadi pengambil kolekte, hampir semua orang juga bisa menjadi majelis jemaat. Semua bisa menjadi seperti itu dengan memelajari caranya kemudian kita bisa melakukannya, namun apakah di luar gereja hati kita taat kepada Dia, apakah di luar gereja kita bersedia meminta maaf, apakah di luar gereja kita memiliki kemurahan hati untuk menolong orang yang susah ? Apakah di luar gereja kita berbesar hati menerima kritikan dan tidak marah atau tersinggung ? Jadi hal-hal seperti itulah yang diutamakan dan bukan kegiatan bagi Tuhan, tapi kehendak Tuhan sendiri yang kita tinggikan.
GS : Tetapi itu menyangkut kedewasaan kepribadian seseorang atau karakter orang itu, Pak Paul, yang sesungguhnya agak sulit dilihat atau dinilai dari masing-masing orang. Ada orang yang memang sejak sebelum menikah banyak kegiatannya di gereja, apakah setelah dia menikah kemudian dia harus mengurangi kegiatan itu atau bahkan meninggalkan sama sekali kegiatan itu ?
PG : Tidak, Pak Gunawan. Jadi kalau kita sudah mengerti tanggung jawab kita sebagai orang Kristen dan kita berusaha menaati Tuhan di dalam hidup kita, sudah tentu pelayanan-pelayanan itu adalahpelayanan yang indah dan yang berkenan kepada Tuhan.
Tapi sekali lagi syaratnya adalah justru di luar rumah kita harus mengutamakan kehendak Tuhan dan menaati suruhan-suruhan-Nya, jadi itu yang harus kita tinggikan di atas kegiatan-kegiatan itu sendiri.
GS : Ada banyak orang yang masih kesulitan menemukan atau untuk mengetahui apa yang menjadi kehendak Tuhan dan apa yang bukan menjadi kehendak Tuhan, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kita harus kembali kepada firman Tuhan, Pak Gunawan, bahwa di sanalah terdapat pengetahuan tentang Tuhan, apa yang Tuhan inginkan dari kita dan sebagainya. Namun saya harus teknkan lagi prinsip yang kedua yang berkaitan tentang itu yaitu untuk menjaga relasi dengan Tuhan, mengutamakan Tuhan karena kita harus mengutamakan firman Tuhan di atas pengetahuan akan Tuhan.
Kadang-kadang kita ingin tahu tentang sesuatu, belajar ini dan belajar itu, ikut pembinaan ini dan pembinaan itu, ikut Sekolah Alkitab Malam dan sebagainya. Waktu kita semakin tahu banyak maka kita berpikir kalau kita itu makin akrab dengan Tuhan, sebetulnya tidak. Yang membuat kita akrab adalah sewaktu firman Tuhan hidup di hati kita. Misalkan kita menggunakan perumpamaan suami istri, apa buktinya kita dekat dengan istri kita ? Waktu tidak ada istri kita di samping kita maka kita mengingat perkataannya, kita mengingat dirinya, waktu dia hadir di hati kita terus menerus barulah kita bisa mengklaim bahwa kita dekat dengan dia. Pengetahuan kita tentang istri kita itu tidak sama dengan kita dekat dengan istri kita. Hal itu sama halnya dengan Tuhan. Kita boleh mengklaim kalau kita tahu banyak tentang Tuhan, doktrin ini dan itu, tapi Dia tidak hadir di dalam diri kita, berarti Dia jauh dari kita. Yang harus kita utamakan adalah apakah hati kita dipenuhi oleh Tuhan dan apakah kita senantiasa memikirkan Dia, memikirkan apa yang menyenangkan hati-Nya.
GS : Selain kita harus memelihara relasi dengan Tuhan, langkah yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Kita pun harus memelihara relasi dengan keluarga. Jadi secara konkret kita harus mengutamakan kepentingan semua di atas kepentingan untuk diri sendiri. Jadi secara praktisnya, didalam pengmbilan keputusan kita harus memikirkan kepentingan semua anggota keluarga.
Jangan mengambil keputusan karena itu baik bagi diri sendiri. Jadi kita harus memertimbangkan kepentingan yang lain-lainnya juga. Memang mengutamakan kepentingan semua tidak mudah dan biasanya memperlambat proses pengambilan keputusan namun semua upaya untuk memertimbangkan kepentingan semua anggota keluarga kita memerlihatkan komitmen kita untuk mengutamakan keluarga di atas kepentingan pribadi. Waktu istri, waktu suami, waktu anak-anak melihat kalau kita mengutamakan kepentingan mereka, maka mereka tahu kalau kita mengutamakan kepentingan mereka dan relasi dengan mereka, mereka itu sangat yakin bahwa merekalah yang sangat penting dan bukan kepentingan-kepentingan lainnya.
GS : Tapi untuk menyelaraskan semua kepentingan orang yang berbeda-beda yaitu berbeda usia, gender, kepentingan, itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, Pak Paul ?
PG : Memang untuk mementingkan kepentingan semua memang tidak mudah, tapi harus ada usaha untuk melakukannya, harus ada usaha untuk memenuhi semuanya meskipun pada akhirnya kita tidak bisa memeuhi kepentingan semua dengan sama rata, mungkin ada yang harus berkorban tapi kalau kita bisa melakukan itu, maka mereka akan melihat kalau kita telah berusaha sekeras-kerasnya.
Saya berikan contoh, waktu saya bertemu dengan istri saya dan pertama kali saya berpacaran, saya katakan kepada istri saya,"Saya merasa kalau Tuhan memanggil saya untuk pulang kembali ke Indonesia, apakah kamu mau kembali bersama saya ?" dan dia berkata dia mau. Dari titik saya bertemu dengan dia, pacaran dengan dia dan sampai kami benar-benar mau pulang itu ada rentang waktu selama sepuluh tahun. Jadi dalam sepuluh tahun itu banyak hal yang telah terjadi, kami telah menancapkan akar dan tinggal dengan komunitas kami, bekerja dan sebagainya dan untuk pergi dari sana sangat susah. Jadi istri saya merasa berat untuk meninggalkan keluarganya, komunitasnya dan sebagainya untuk ikut saya pulang ke Indonesia. Saya berusaha meyakinkan istri saya untuk pulang tapi memang tidak mudah. Jadi selama dua tahun kami mengalami proses pengambilan keputusan itu. Satu titik sampai saya tidak bisa lagi dan istri saya rasanya juga tidak siap untuk pulang maka saya harus mengalah dan berkata, "Baiklah kalau begitu saya putuskan untuk tidak pulang ke Indonesia dan tinggal di sini saja," tapi setelah itu istri saya melihat perubahan dalam diri saya, saya kehilangan semangat, saya kehilangan tujuan hidup saya karena bertahun-tahun saya merasakan kalau ini adalah panggilan Tuhan dan saya telah menyiapkan hati dan diri saya untuk kepulangan itu. Waktu itu tidak terjadi maka saya kehilangan arah hidup saya dan istri saya melihat hal itu, hal ini tidak saya buat-buat karena ini adalah reaksi alamiah saya. Karena istri saya mengasihi saya dan dia melihat perubahan saya yang begitu drastik pula, kemudian kami mencoba setahun dulu, istri saya berkata, "kalau saya tidak betah nanti kita akan kembali ke Amerika" dan saya berkata, "Saya bersedia". Jadi akhirnya kami pulang ke Indonesia. Dan setelah satu tahun dia merasa nyaman kemudian kami teruskan. Jadi dengan kata lain, waktu saya diperhadapkan dengan keputusan yang seperti ini, saya memang mengorbankan diri saya tapi tidak berarti juga saya tidak berusaha meyakinkan istri saya tapi sampai titik terakhir saya berusaha mengorbankan diri saya dan waktu saya mengorbankan diri saya, justru istri saya yang maju satu langkah yang terus mengalah sampai saat ini.
GS : Memang intinya adalah harus ada yang berkorban supaya terjadi kesepakatan. Namun apakah ada hal lain yang bisa kita lakukan didalam memelihara relasi dengan keluarga, Pak Paul ?
PG : Satu lagi yaitu kita harus belajar dari keluarga, di atas mengajarkan kepada keluarga. Sebagai orang tua memang kita harus mengarahkan anak atau pasangan kita, bak seorang pendidik kepada nak didiknya namun kita juga harus menyadari bahwa kita terbatas dan kita pun harus terbuka terhadap apa yang keluarga ingin ajarkan kepada kita.
Demikian pula terhadap pasangan kita, jangan sampai kita beranggapan bahwa kita selalu tahu dan berada di pihak yang benar. Kita harus menyadari bahwa kita dapat belajar banyak dari tanggapan anggota keluarga, tatkala kita membuka diri, bersedia belajar maka kita menunjukkan kalau merekalah prioritas hidup kita, sehingga mereka tahu kalau kita mengutamakan relasi dengan keluarga di atas kepentingan lainnya.
GS : Belajar di sini mengenai apa misalnya, Pak Paul ?
PG : Banyak hal misalnya sebagai suami, kita harus mengasihi istri dengan lebih baik, memerhatikan anak-anak dengan lebih baik. Sebagai istri misalkan mengendalikan emosi kita dengan lebih baik menjadi orang tua yang lebih bijaksana kepada anak-anak kita.
Dan kita juga bisa terima dari anak-anak dan bukan hanya dari pasangan. Misalkan anak kita berkata kepada kita bahwa "Papa cepat sekali bereaksi dan tidak tanya dulu, tapi langsung menghukum saya dan sebagainya." Maka kita belajar bahwa sebelum saya menjatuhkan hukuman lebih baik saya tanya dulu baik-baik dan barulah menjatuhkan hukuman kepada anak saya. Jadi waktu kita menunjukkan kalau kita memang salah dan saya mau belajar karena komentar kamu itu juga baik dan saya terima. Kalau mereka diperlakukan seperti itu maka mereka tahu kalau mereka itu penting dan karena begitu pentingnya sehingga mereka didengarkan oleh kita dan hal itu akan dapat membangun keluarga kita.
GS : Kalau pelajaran itu, yang Pak Paul sampaikan tadi. Hal itu harus kita pelajari terus menerus sampai akhir hayat kita artinya kita tidak bisa berhenti belajar dengan berkata, "Saya sudah menguasai hal itu."
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi hal itu yang perlu dilihat oleh keluarga kita bahwa kita itu mementingkan kepentingan mereka. Beberapa waktu yang lalu saya dipanggil untuk mendoakan sebuahkeluarga, ada seorang ayah yang tengah terbaring di ICU, waktu saya masuk dan melihat istri dari si ayah itu dan anak-anaknya yang datang dari luar kota dan mengelilingi ranjang ayahnya dan kemudian saya berdoa, setelah satu jam kemudian si ayah itu dipanggil Tuhan.
Dari situ saya melihat satu hal yaitu di akhir hayat yang akan mengelilingi ranjang di mana kita akan menghembuskan nafas terakhir adalah keluarga kita dan bukan orang lain. Jadi seyogianyalah dari mereka kecil dan kita masih muda, kita tunjukkan kalau mereka penting bagi kita, kita tidak akan mengambil keputusan hanya untuk kepentingan kita dan kita juga mau mengutamakan mereka juga supaya mereka tahu kalau mereka itu penting dan kita pun mau membuka diri belajar dari mereka, kita tahu apa yang mereka sampaikan juga penting untuk kita dengarkan.
GS : Tapi hal itu harus ditanamkan sedini mungkin, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Rupanya kita masih punya satu pokok pembicaraan yang lain mengenai relasi ini tapi karena keterbatasan waktu maka kita akan bicarakan pada kesempatan yang lain. Jadi kita sangat berharap para pendengar kita bisa mengikuti perbincangan kita ini. Namun sebelum kita mengakhiri perbincangan kita mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Matius 19:6 berkata, "Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia". Dari ayat ini kita belajar satu hal bahwa sewaktu Tuhan berkata "Tidak boleh diceraikan oleh manusa," berarti manusia harus berusaha sekeras mungkin menyatukan dirinya.
Jadi larangan ini bukan hanya sekadar larangan tapi sebuah perintah atau himbauan untuk kita terus menyatukan diri. Jadi bukan hanya kita berikan batas akhir tidak boleh bercerai, tapi di dalam teritori yang sama itulah kita harus membangun relasi kita sebaik mungkin, kita mengutamakan Tuhan dalam hidup kita dan mengutamakan keluarga kita sehingga pada akhirnya kita bisa memetik buah-buah pernikahan yang manis itu.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sampai Maut Memisahkan kita" bagian yang pertama, dan perbincangan ini akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.