Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen selama ± 30 menit akan menemani saudara dalam acara perbincangan seputar kehidupan keluarga. Telah hadir bersama saya Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling yang kini aktif mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Juga telah hadir bersama kami Ibu Idajanti Raharjo salah seorang pengurus di LBKK. Ikutilah perbincangan kami, karena kami percaya acara Telaga ini pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita semua.
Lengkap
GS : Pak Paul kali ini saya ingin mengemukakan sebuah perbincangan tentang ketergantungan antara suami dan istri. Kita tahu bahwa beberapa puluh tahun yang lalu mungkin ibu saya misalnya atau nenek saya itu sebagai seorang wanita sangat-sangat tergantung pada suaminya, lalu keadaannya sekarang rupanya tidak seperti itu lagi dengan majunya pendidikan dan sebagainya, rasa-rasanya istri tidak terlalu bergantung pada suaminya dia bisa mandiri tanpa suami sekalipun, dan suami sebagai pria itu juga kadang-kadang tidak merasa terlalu tergantung dengan istri. Jadi sebenarnya bagaimana Pak Paul mengenai saling ketergantungan antara suami dan istri dalam hal ini?
PG : Memang pada masa yang dulu Pak Gunawan wanita atau istri cenderung bergantung pada suami karena mereka sangat bergantung pada penyediaan finansial dari suami. Dan tidak bisa disangkal bahw siapa yang memegang uang itulah yang berkuasa, jadi itupun atau hukum ini pun berlaku dalam keluarga.
Itulah salah satu sebabnya mengapa ada kasus di mana suami merasa kurang aman Pak Gunawan sewaktu istrinya mempunyai penghasilan yang lebih besar darinya. Meskipun si istri sendiri tidak mengancam atau merendahkan si suami, namun secara psikologis si suami sudah merasa dia itu tidaklah terlalu berharga. Karena apa karena dia tidak merasa si istri itu bergantung padanya, jadi merasa sedikit minder Pak Gunawan, sebab suami itu ingin sekali menjadi orang yang digantungi, disandari. Sewaktu istri itu tak terlalu bersandar padanya suami bisa merasa panik karena tiba-tiba dia merasa kehilangan peran, kehilangan sumbang sih dalam hubungan suami-istri ini.
(1) GS : Di dalam hal ini sebenarnya bagaimana hubungan yang sehat antara suami dan istri Pak Paul?
PG : OK! Istilah saling bergantung itu bisa menjadi istilah yang tidak sehat Pak Gunawan. Memang istilah saling bergantung adalah suatu istilah yang baik ya yang serasi, yang seharusnya. Namun isa menjadi sesuatu yang tidak sehat, sebetulnya sekarang ada suatu istilah di dalam ilmu konseling keluarga, istilah itu disebut co-dependence.
Co-dependence memang dapat diterjemahkan seolah-olah saling bergantung, namun co-dependence dalam ilmu konseling keluarga justru adalah istilah yang sarat dengan muatan yang berbau negatif. Maksudnya begini, istilah itu sebetulnya merujuk pada keadaan di mana sepasang suami-istri gagal untuk melihat realitas, secara gamblang apa adanya. Dan malah mencoba menutup-nutupi realitas tertentu atau aspek tertentu agar tidak menjadi problem dalam hubungan mereka itu. Namun sesungguhnya dengan menutup-nutupinya itu sudah menjadi problem yang bisa lebih serius, misalkan ini Pak Gunawan, saya mengingat waktu dulu saya bekerja di sebuah Rumah sakit jiwa, ada bagian yang merawat orang-orang yang bergantung pada obat-obatan terlarang dan juga alkohol atau minuman keras. Nah itu sangat nampak sekali kasus-kasus di mana terjadi kesalingbergantungan yang tidak sehat atau co-dependence yang tidak baik. Di mana misalkan si suami yang mengidap masalah dengan alkoholisme, bergantung pada minuman keras dia itu akhirnya mempunyai istri yang juga bekerja sama dengan dia sehingga problemnya itu dilestarikan. Contoh konkretnya begini Pak Gunawan dan Ibu Ida, si suami itu kalau diminta datang ke pesta ulang tahun anaknya atau istrinya tidak mau datang atau tidak bisa datang. Karena misalnya mabuk habis minum, nah si istri akan berkata kepada orang-orang di luar o......suami saya berhalangan, karena ada urusan kerja, lembur dan sebagainya atau misalkan ditanya oleh temannya kok suamimu itu nampaknya minum dan tidak begitu sehat, tidak begitu betul tindakannya. Nah si istri misalkan justru menutupi dengan berkata o....suami saya tidak apa-apa, nah jadi hal-hal seperti itu menunjukkan bahwa si istri tanpa direncanakan dan tanpa dia sadari sebetulnya sedang bekerja sama dengan si suami untuk menutupi problem si suami dan akhirnya malah melestarikan problem si suami itu. Sehingga orang luar tidak bisa masuk dan menolong rumah tangganya yang sebetulnya sedang dilanda problem yang serius begitu.
IR : Nah sebenarnya langkah apa yang harus diambil oleh si istri untuk menolongnya?
PG : Yang paling umum dilakukan oleh istri biasanya adalah seperti yang tadi saya gambarkan Ibu Ida. Pada awalnya si istri ini akan mencoba menutupi, dalam usahanya menutupi dia memang mencoba engoreksi, menolong si suami agar jangan bergantung pada minuman keras misalnya.
Tapi si suami tetap saja melanjutkan kebiasaannya, nah akhirnya si istri ini seharusnya meminta bantuan ke luar, jadi harus mengatakan bahwa dalam rumah tangga saya ada problem, problemnya terletak pada suami saya yang minum seperti ini. Nah pertanyaannya adalah kenapa kok sedikit sekali orang yang bisa berani ke luar dan mengatakan kami membutuhkan bantuan, sebab pernikahan kami sedang dilanda problem. Banyak faktor Bu Ida, misalkan ada faktor malu, faktor nanti orang melecehkan kami, menghina kami atau faktor putus asa buat apa cerita sama orang lain, mereka pun tidak bisa membantu, akhirnya hanya jadi bahan percakapan masyarakat saja. Dan juga adakalanya gengsi, harga diri, nanti jadi terhina gara-gara menceritakan problem kami, jadi akhirnya gengsi juga. Misalkan faktor lain yang bisa juga muncul adalah faktor ingin membetulkan diri sebab adakalanya pernikahan ini tidak disetujui oleh keluarganya kemudian dia tetap keras menikah dengan pria ini akhirnya setelah menikah baru benar-benar menyadari suaminya itu bermasalah besar. Nah akhirnya yang terjadi adalah si istri menutupi supaya apa, supaya keluarganya tidak tahu bahwa dia sedang mempunyai problem. Sebab kalau diketahui oleh keluarganya, keluarganya bisa mungkin berkata: 'Kan dari dulu kami sudah beritahu kamu jangan menikah dengan dia." Nah daripada di salahkan dan mengakui bahwa dia salah pilih ya sudah dia tutup-tutupi. Semua yang saya paparkan tadi adalah alasan-alasan yang relatif sehat, ada satu alasan lain yang tidak sehat nah istilah teknisnya dalam ilmu konseling pernikahan disebut enabling. Enabling itu kalau saya terjemahkan langsung adalah memungkinkan, memampukan, artinya ada kasus di mana misalkan si istri, si istri ini juga membutuhkan sesuatu dari si suami yaitu dia butuh sekali dihargai, dibutuhkan bantuannya, sumbangsihnya. Nah sewaktu si suami ini mabuk, tidak bisa berfungsi dengan baik nah sedikit banyak si suami ini sebetulnya bergantung pada dia, pada si istri. Nah akhirnya si istri tanpa disadari melakukan hal-hal yang memampukan si suami untuk melanjutkan perbuatannya itu yang tidak benar yaitu terus minum. Memampukannya dengan cara apa, misalkan tadi itu menutupi atau tidak sungguh-sungguh mengambil tindakan yang tegas memberitahu orang di luar, meminta bantuan ke orang ketiga dan sebagainya. Sebab kalau benar-benar merasa ini tidak benar harus diselesaikan 'kan lebih masuk akal adalah dia akan ke luar, memberitahu orang di luar, meminta bantuan pihak ketiga tapi toh itu tidak dilakukannya. Nah bisa jadi karena faktor itu, faktor bahwa si istri sendiri mempunyai kebutuhan tertentu, maka di sinilah hubungan ini disebut hubungan yang co-dependen saling tergantung untuk memenuhi kebutuhan masing-masing yang terselubung, di mana kebutuhan itu kebutuhan yang tidak sehat.
GS : Tapi kebutuhan antara suami dan istri itu beda ya Pak, jadi yang suami memang butuh perlindungan istrinya tapi istri itu punya kebutuhan untuk melindungi suaminya itu.
PG : Betul, jadi si istri ini mendapatkan atau menemukan fungsinya dengan menutupi kesalahan si suami atau lebih bisa berfungsi sebagai seorang istri karena suaminya tidak begitu berfungsi secaa maksimal, nah dia merasa lebih berfungsi, lebih berguna dan peranan itu menjadi peranan yang sangat berharga bagi dia.
GS : Gejala seperti itu justru nampak pada akhir-akhir ini Pak Paul, pada abad-abad yang modern. Karena pernikahan-pernikahan yang tradisional yang lama itu justru tidak menampakkan gejala-gejala seperti itu Pak Paul.
PG : Betul, karena memang dapat dikatakan pernikahan-pernikahan yang tradisional yang dulu-dulu itu relatif jauh lebih kokoh dibandingkan dengan sekarang ini. Jadi banyak faktor yang sebetulnyabisa kita bahas yang mempengaruhi keadaan atau kekuatan pernikahan sekarang ini.
(2) GS : Nah sekarang kalau kita kembali kepada Alkitab, kepada Kitab Suci sebenarnya bagaimana Tuhan itu merancang suatu pernikahan supaya ketergantungan itu sehat Pak Paul?
PG : Di Firman Tuhan di kitab Efesus 5 itu tercantum dengan sangat jelas disain Tuhan akan pernikahan Pak Gunawan. Dan di sana Tuhan memang meminta istri untuk tunduk kepada suami dan suami it berfungsi sebagai seorang kepala.
Jadi sekali lagi memang ada ketergantungan, tapi ketergantungan yang memang seharusnya karena sebagai kepala suami ini diminta bukan saja memerintah keluarga, tidak sama sekali tapi justru penekanannya yang lebih penting di situ adalah bahwa suami itu bertanggung jawab terhadap atas kesejahteraan keluarganya. Nah adakalanya memang kita melihat ayat-ayat tersebut dari sudut wah suami itu harus memerintah, harus mempunyai kuasa tertinggi di rumah tangga. Sebetulnya memang ada dan memang itu betul harus ada yang mengambil keputusan terakhir dan harus ada yang dihormati sebagai seorang kepala, namun termaktub dalam peran tersebut adalah tanggung jawab bahwa suami diminta Tuhan untuk bertanggung jawab atas istrinya. Sebab itulah diminta oleh Tuhan agar suami itu mengikuti contoh Tuhan Yesus, di mana Tuhan Yesus itu mempersembahkan gerejanya sebagai suatu pengantin perempuan yang tanpa cacat, yang indah, benar-benar cantik. Dalam pengertian itulah tugas kita sebagai suami memang menjaga istri kita agar menjadi seorang anak Tuhan yang utuh, yang bertumbuh dan yang matang.
(3) GS : Tapi untuk menuju ke sana Pak Paul, tentunya harus ada langkah-langkah yang konkret yang bisa dimulai sejak awal pernikahan Pak Paul. Nah mungkin yang kami butuhkan itu mungkin Pak Paul bisa memberikan sedikit uraian bagaimana suami-istri muda khususnya itu bisa membina ke arah itu Pak Paul?
PG : OK! Saya kira langkah pertama yang paling penting adalah kita mesti berani melihat kekurangan dalam hubungan kita, dalam hubungan nikah kita atau pacaran kita. Ada kecenderungan Pak Gunawa dan Ibu Ida kita ini menutup-nutupi problem dalam masa berpacaran, karena jelas sekali alasannya kita menginginkan kita bisa bersama dengan pacar kita, jadi semakin mengakui problem semakin kita ini sebetulnya menghalangi diri untuk bersama dengan dia.
Jadi kecenderungan yang natural adalah menutup mata, tapi yang penting justru adalah kebalikannya, kita mesti mengakui siapa kita, siapa pacar kita dan bagaimana hubungan kita ini sebetulnya. Saya bisa memberikan suatu contoh yang sering terjadi Pak Gunawan, misalkan seorang istri pada awal pernikahan atau pada masa berpacaran disenangi sekali oleh suami karena pendiam, penurut, dan mengikuti petunjuk si suami. Tapi setelah 10 tahun menikah si suami tidak lagi mempunyai rasa senang dengan sifat si istri yang terus-menerus diam dan menantikan petunjuk darinya. Sebab apa, sebab ada harapan dalam diri si suami agar si istri ini mandiri, bisa mengambil keputusan sendiri, tidak terlalu bergantung pada si suami dan tidak bertanya kepada si suami atas segala problem dalam hidup ini. Tapi bisa jadi si istri tidak mau begitu sebab dia terbiasa dengan perannya yang bergantung pada si suami. Nah sering kali hal ini sebetulnya sudah nampak dari awalnya tapi tidak mau diakui sebagai problem meskipun adakalanya mengganggu tapi diabaikan. Jadi langkah pertama kita mesti berani melihat realitas Pak Gunawan.
GS : Mungkin harapannya adalah nanti kalau sesudah menikah itu bisa berubah begitu Pak Paul?
PG : Betul itu harapan yang sering kali kita miliki, namun belum tentu kesampaian Pak Gunawan. Kalau kesampaian ya bagus, jadi saya kira bagi pasangan nikah yang sekarang mendengar kita, saya hnya mengimbau agar siapapun yang mendengar mulai melakukan tindakan yang konkret yaitu kalau ada problem akui problem itu jangan ditutup-tutupi, jangan tidak mau mengakui keberadaannya.
Adakalanya si suami tidak mau ngomong langsung dengan si istri meskipun ini mengganggu dia, karena diapun mendapatkan manfaat dari ketergantungan si istri Pak Gunawan dan Ibu Ida yaitu dia merasa saya ini tetap menjadi raja, saya ini tetap menjadi penguasa di rumah tangga saya. Saya bisa memerintah istri saya kiri, kanan dan sebagainya dan istri saya tidak bisa membantah saya. Nah justru adakalanya ada kecenderungan dari si suami juga mempertahankan status quo, status yang sama ini agar keinginannya juga terpenuhi begitu. Dan hal ini tidak sehat juga sebetulnya, jadi saling menguntungkan dalam hal yang justru tidak sehat.
GS : Di dalam hal saling ketergantungan ini, yang Pak Paul tadi sebut dengan co-dependence itu mungkin tidak hanya terjadi antara suami dan istri, kemungkinan juga terjadi antara orang tua dan anak, apa mungkin itu Pak Paul?
PG : Mungkin sekali Pak Gunawan, jadi co-dependence ini bisa terjalin dalam hubungan orang tua-anak. Orang tua yang bergantung pada anak misalnya ada orang tua yang meskipun sudah tua tapi (maa ya saya menggunakan kata/istilah kekanak-kanakan) ada itu, yakni segala sesuatu salah orang lain, segala sesuatu tanggung jawab orang lain.
Nah sekarang segala sesuatu tanggung jawab si anak, kalau misalnya si anak mulai memberikan sikap yang lebih tegas, nanti si orang tua yang istilahnya ngambek, terluka dan sedih dan sebagainya. Sehingga si anak serba susah tidak bisa menyatakan sikapnya, dengan kata lain sebetulnya si orang tua waktu mengambek itu dia sebetulnya sedang mengontrol si anak agar si anak tetap menjadi si anak, tapi karena dia tahu dia tidak bisa dengan level dewasa dengan level yang matang meminta si anak mengerti posisinya atau melakukan kehendaknya, jadi akhirnya menggunakan siasat atau cara yang kekanak-kanakan. Yaitu membuat anaknya merasa bersalah dan akibatnya si anak merasa tidak berkutik, ada orang tua yang seperti itu juga, jadi tidak juga menghadapi kenyataan. Ada anak yang begitu terhadap orang tuanya, segala sesuatu salah orang tua karena akhirnya anak ini tidak pernah dewasa juga. Jadi kalau orang tuanya melarang dia atau anak misalnya berkata: "Nanti kalau ada apa-apa salah mama, kalau ada apa-apa salah papa. Nah si orang tua takut sekali untuk mengambil tanggung jawab atau mengambil resiko itu, akhirnya si orang tua menuruti kehendak si anak. Akhirnya yang terjadi adalah hubungan yang co-dependence itu yang tidak sehat. Memang masalah-masalah ini Pak Gunawan dan Ibu Ida masalah yang komplek dan mungkin bagi sebagian orang istilah-istilah ini asing Pak Gunawan.
GS : Tapi kenyataannya memang seperti itu Pak Paul ada juga orang tua itu yang sekalipun tahu bahwa anaknya misalnya nakal sekali atau suka mencuri, tapi di mata atau di hadapan ibunya anak itu baik terus, jadi walaupun salah tetap dibela.
IR : Ya itu bagaimana Pak Paul, kalau dibiarkan terus si ibu yang tidak sadar ini 'kan tambah berantakan Pak Paul ya.
PG : Saya kira dalam kasus seperti ini kalau suami yang bicara susah didengar juga oleh si ibu, jadi kalau bisa panggillah orang ketiga yang bisa disegani dan nasihatnya bisa didengar. Sehinggasi ibu bisa disadarkan bahwa sebetulnya sudah terjadi suatu hubungan yang tidak sehat di sini karena engkau membuat si anak ini tetap jadi anak-anak, tak pernah dewasa begitu.
GS : Tapi apa kira-kira ibu itu bisa mengerti Pak Paul bahwa anaknya memang kondisinya sudah sejelek itu?
PG : Adakalanya ada yang tidak mengerti Pak Gunawan. Sebab terus terang Pak Gunawan dan Ibu Ida, realitas itu adakalanya terlalu pahit, jadi lebih baik kita tidak hidup dalam realitas daripada enelan realitas.
Realitas pahit sebab akhirnya akan menohok harga diri kita, bahwa kita telah melakukan hal yang keliru dan sebagai orang tua kita enggan sekali mengakui hal itu. Sebab ya kita orang tua sehingga kita sadar bahwa kita juga berusaha menjadi orang tua yang baik, dan tatkala telah mencoba menjadi orang tua yang baik selama berbelasan tahun akhirnya sadar kita keliru, susah untuk mengakuinya.
GS : Tapi itu harus diakui ya Pak Paul sebagai bagian dari pertumbuhan itu sendiri?
PG : Betul harus diakui, kalau tidak ada pengakuan, tidak ada perubahan Pak Gunawan, akhirnya terus dilestarikan sampai tua dan ini bisa terjadi memang dan mungkin terjadi juga.
IR : Nah Pak Paul kalau sudah diakui tapi karena konsep itu sudah terbentuk Pak Paul, bagaimana orang tua ini bisa meluruskan atau memperbaiki anak yang misalnya tadi nakal itu Pak Paul?
PG : Bisa terjadi anak itu sendiri yang akan meluruskannya dalam pengertian di dalam kenakalannya si anak itu akan menjadi semakin nakal sehingga tidak bisa tidak dunia luar akan melihat, semuaorang akan tahu dan akhirnya realitas itu tidak bisa lagi dihindari sehingga si orang tua terpaksa mengakui bahwa inilah yang sedang terjadi, bahwa dialah atau merekalah yang telah keliru.
Tapi bisa juga yang kedua adalah kesadaran ini muncul dari diri si orang tua dengan sendirinya. Pada waktu dia menyadari bahwa ya yang kami lakukan itu justru tidak berhasil malah membuat anak ini semakin terlibat dalam hal-hal yang tidak betul. Dan adakalanya ini yang terjadi Bu Ida dan Pak Gunawan, saya sudah melihat juga memang akhirnya ada orang tua yang sadar bahwa ini salah mereka tapi masalahnya adalah pada waktu mereka menyadari itu sudah terlambat. Anak itu sudah susah sekali untuk dikoreksi.
GS : Tapi katanya tidak ada kata yang terlambat Pak Paul, kalau memang mau sungguh-sungguh diperbaiki apalagi di dalam Tuhan, kuasaNya yang luar biasa itu akan memulihkan hubungan, baik hubungan suami-istri maupun orang tua dan anak itu Pak Paul.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, memang dalam kasus-kasus seperti ini nasihat yang kita semua bisa berikan kepada orang tua yang mengalami problem adalah kembalikan semuanya kepada Tuhan di dalamdoa kita.
Jadi ini juga berlaku untuk pasangan-pasangan yang co-dependence Pak Gunawan dan Ibu Ida, pasangan yang bergantung secara tidak sehat. Jadi mereka juga harus melihat problem, mengakui problem itu, memunculkan problem itu ke permukaan dan mencoba mencari bantuan agar bisa meluruskan kembali hubungan yang tidak sehat ini dan harus bayar harga, harus bayar harga dalam pengertian kita akan berkorban karena yang dulu kita bisa nikmati, keuntungan-keuntungan terselubung yang kita bisa petik sekarang harus kita lepaskan. Tapi itulah memang bagian dari pertumbuhan, Tuhan pun memang meminta agar kita ini tidak menjadi anak-anak terus-menerus.
GS : Saya ingat akan suatu kisah yang dicatat di Perjanjian Lama tentang Absalom anak Daud, Daud selalu berusaha menutupi kesalahan dari Absalom apakah itu salah satu bentuk konkret dari co-dependence itu Pak Paul?
PG : Saya sendiri tidak pernah terpikir ke situ Pak Gunawan, tapi itu adalah contoh yang sangat-sangat tepat Pak Gunawan itulah contoh co-dependence kebergantungan yang tidak sehat antara orangtua dan anak.
Betul sekali, Absalom selalu dilindungi, ditutupi kesalahannya oleh Daud dan akhirnya sangat fatal bahkan sampai Absalom mati pun Daud tetap menangisi Absalom dan tidak membela rakyatnya.
GS : Kelihatannya memang sulit untuk dipisahkan antara kasih yang membangun dan kasih yang merusak ini Pak Paul?
PG : Betul, dan saya menduga Daud melakukan itu karena rasa bersalahnya juga, memang Daud tidak menjadi seorang ayah yang baik.
GS : Jadi memang kita tetap saling membutuhkan, anak membutuhkan orang tua, orang tua membutuhkan anak, suami membutuhkan istri, istri membutuhkan suami tapi dalam batas-batas yang wajar begitu Pak Paul ya.
PG : Dengan catatan kita membutuhkan tanpa mengabaikan realitas.
GS : Realitas jadi kalau ada problem harus diakui itu sebagai problem, baik Pak Paul dan Ibu Ida saya rasa kita harus berhenti dahulu dengan perbincangan kita pada kali ini. Dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi telah kami persembahkan ke hadapan anda sebuah perbincangan seputar keluarga khususnya masalah saling ketergantungan. Dan apabila anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang Jawa Timur. Saran-saran, pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan, terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.