[putusnya_komunikasi_dan_pemberontakan_anak] =>
"Putusnya Komunikasi dan Pemberontakan Anak"
Lengkap
oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Putusnya Komunikasi dan Pemberontakan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Kita semua menyadari bahwa di dalam keluarga, komunikasi memang penting. Tetapi kadang-kadang yang namanya berkomunikasi juga bisa mengalami kesalahan, sehingga timbul masalah yang besar termasuk terhadap anak-anak kita. Bagaimana terjadinya dan mengatasinya, Pak Paul ?
PG : Memang betul, Pak Gunawan, bahwa di dalam keluarga kadang terjadi masalah antara kita dan anak akibat komunikasi yang tidak lancar dan sudah tentu akibatnya adalah biasanya menimbulkan pemerontakan pada anak.
Kenapa bisa sampai seperti itu, karena ada beberapa unsur yang membuat komunikasi itu begitu penting. Misalnya, komunikasi merupakan pengisi kebutuhan anak yang hakiki. Jadi tanpa komunikasi anak akan bertumbuh dalam kehampaan dan orang yang besar dalam keluarga di mana banyak orang yang tidak mengajaknya bicara dan tidak ada yang menstimulasinya, sedikit banyak akan membuat si anak misalnya kesepian atau merasa dirinya kosong atau bermasalah dalam mengambil inisiatif, sehingga dia menjadi anak yang relatif pasif. Semua itu adalah hal-hal yang bisa terjadi dalam keluarga di mana ada masalah komunikasi. Hanya sekarang kita mau menyoroti yaitu kaitannya dengan pemberontakan anak. Mengapakah kalau sampai dalam keluarga ada masalah di mana antara orang tua dan anak tidak bisa berkomunikasi dengan baik, kenapa sampai bisa menimbulkan pemberontakan ? Ada sekurang-kurangnya dua hal yang bisa kita soroti. Yang pertama adalah hilangnya komunikasi berpotensi membuat anak merasa tidak didengarkan. Jadi apa yang disampaikan berlalu begitu saja atau malah lebih buruk lagi, ia tidak mau mengatakan apa-apa lagi sebab dia merasa percuma. Jadi karena dia merasa apa yang disampaikan juga tidak disambut dan tidak ditanggapi, maka lain kali tidak perlu bicara lagi karena tidak akan didengarkan. Rasa tidak didengarkan adalah bahan yang membuat anak memberontak, karena dia merasa seperti berhadapan dengan tembok sehingga untuk menembusnya dia harus menabrak dan menghancurkan tembok itu. Inilah salah satu bentuk pemberontakan. Jadi kita bisa melihat misalnya dari yang sederhana dulu, waktu berbicara dengan kita, dia akan beremosi, dia akan berteriak, itu adalah wujud dari pemberontakan yang menyatakan keinginan dia untuk bisa menghancurkan tembok itu karena dia merasa bicara perlahan tapi tidak didengarkan, tidak dituruti yang dia inginkan, tidak dipertimbangkan usulannya. Sehingga dia mesti meninggikan suara dengan emosi yang lebih kuat, seolah-olah semua itu adalah bentuk-bentuk usaha untuk menghancur-kan tembok tersebut. Ini yang awalnya biasa terjadi.
GS : Tapi itu tidak terjadi dengan seketika, Pak Paul, artinya buruknya suatu komunikasi merupakan suatu proses yang memang dari awal kita sudah bermasalah dengan anak ini.
PG : Biasanya seperti ini. Kalau dalam keluarga kita katakan tidak ada masalah sepertinya tidak mungkin, sebab di setiap keluarga ada masalahnya, namun ada perbedaan antara satu keluarga dengankeluarga yang lain dalam hal komunikasi.
Jadi kalau dalam keluarga ada komunikasi, artinya anak itu terbiasa mengutarakan pendapat secara terbuka kepada orang tua, demikian juga orang tua kepada anak, kalau pun ada masalah maka kita akan melihat bahwa kedua belah pihak masih dapat berbicara. Dua-duanya mungkin masih tetap jengkel, masih tetap tidak suka, tidak setuju dan sebagainya tapi dua-duanya masih bisa berkomunikasi. Kuncinya adalah yang sudah saya sebut tadi yaitu anak merasa kalau dia didengarkan. Jadi selama kita bisa menanamkan ini sejak kecil bahwa ia didengarkan dan pendapatnya cukup layak untuk dipertimbangkan maka kalau nanti di masa-masa remaja, anak-anak itu mulai memberontak setidak-tidaknya jalur komunikasi itu masih ada. Kenapa ada kasus-kasus di mana anak itu memberontak terlalu parah ? Itu dikarenakan tali komunikasi sudah putus, sehingga seolah-olah anak itu harus menggedor-gedor pintu rumah orang tuanya agar didengarkan, agar pendapatnya itu dianggap penting.
GS : Didengarkan atau dipertimbangkan, itu tidak berarti bahwa kita harus menuruti permintaan anak ini. Kadang-kadang putusnya ini karena permintaannya tidak kita turuti.
PG : Kadang-kadang memang ada reaksi keras dari anak karena apa yang dia minta tidak kita berikan. Namun saya kira kuncinya yaitu dia melihat bahwa kita tidak menuruti bukan karena kita tidak au direpotkan, kita tidak mau berpikir panjang lebar, kita tidak mau menurunkan wibawa, tidak mau mengorbankan ego tapi yang mesti anak lihat bahwa kita tidak mau atau tidak setuju dengan pendapatnya, karena alasan yang hakiki sekali.
Jangan sampai anak berkesimpulan bahwa kita tidak mau karena tidak mau repot. Ada orang yang tidak mau repot dan akhirnya berkata, "Ya" kemudian mengikuti pendapat anak tapi ada juga yang tidak mau mengikuti pendapat anak dengan berkata, "Tidak, tidak." Atau dia merasa kalau dia mengikuti anak maka dia gengsi karena egonya akan dikorbankan, dari pada ego dikorbankan maka lebih baik berkata "tidak dan tidak untuk menuruti kehendak anak." Jadi yang penting adalah anak tidak memunyai persepsi bahwa kita seperti itu. Kalau dia sudah memunyai kesimpulan bahwa kita seperti itu, yaitu kita itu tidak tulus dan benar-benar tidak mau memertimbangkan pendapatnya, maka sudah tentu komunikasi akan terputus. Jadi selama anak melihat, "Papa atau Mama bukan orang yang seperti itu, Papa dan Mama adalah orang yang benar-benar bersedia mendengarkan saya. Namun untuk yang satu ini Papa dan Mama bergeming, Papa dan Mama tidak mau mengubah pendapatnya." Sudah tentu dalam kondisi itu relasi akan terhambat karena adanya ketegangan, namun saya kira dalam kondisi seperti itu pun orang tua tetap bisa berbicara meskipun tidak memiliki titik temu tapi setidaknya masih memiliki komunikasi, masih ada usaha-usaha untuk menjelaskan diri dan siapa tahu di kemudian hari akan ada titik temu.
GS : Memang mengutarakan isi hati kita atau kita mendengarkan orang lain berbicara atau anak berbicara untuk berkomunikasi, membutuhkan latihan dan keterampilan tertentu. Ada keluarga-keluarga yang kurang sering berkomunikasi. Dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Memang komunikasi itu adalah sesuatu yang penting dan akan kita wariskan kepada anak kita, Pak Gunawan. Jadi kalau kita ini tidak bisa berkomunikasi dengan baik antara suami dan istri, ituah yang akan kita wariskan kepada anak-anak kita.
Atau karena hubungan kita dengan anak tidak baik sehingga jarang adanya komunikasi, akibatnya anak harus bertumbuh besar dalam rumah di mana dia akan kehilangan kesempatan belajar untuk berkomunikasi. Saya berikan contoh, waktu dia melihat orang bersitegang dan tidak sependapat tapi dia melihat orang tua itu berbicara. Maka tanpa kita sadari sebetulnya dia tengah belajar bagaimana berkomunikasi dan menyelesaikan perbedaan pendapat. Lain kali ketika dia sudah besar apalagi waktu dia berkeluarga, dia menghadapi persoalan yang serupa, tanpa disadari apa yang dia lihat dan alami dulu sudah mengendap di dalam dirinya sehingga itu yang nanti bisa dia gunakan, dia melihat misalkan orang tuanya malam ini tidak bisa mencapai titik temu, tapi kemudian esok hari mulai berbicara lagi sehingga akhirnya nanti di hari ketiga barulah mencapai titik temu. Sedikit banyak ini menjadi pelajaran baginya, kalau nanti tidak mendapat titik tengah maka akan dicoba lagi, mungkin hari pertama tidak berhasil maka coba lagi di hari kedua dan hari ketiga. Bandingkan dengan kalau orang tua dengan anak tidak bisa berkomunikasi dengan baik, ribut, bertengkar dan kemudian berhenti sampai di situ, maka anak akan berkata, "Jadi caranya seperti itu, maka lain kali saya juga akan seperti itu dengan suami atau istri saya, kalau berbicara dan tidak ada titik temunya maka saya akan berhenti dan tidak meneruskan, mendiamkan saja." Jadi sekali lagi waktu anak harus hidup di dalam keluarga yang miskin komunikasi, ia pun harus kehilangan pembelajaran penting yaitu bagaimana berkomunikasi dengan benar. Dan inilah yang akan kita coba cegah.
GS : Pak Paul, kadang-kadang di dalam berkomunikasi seperti yang tadi Pak Paul utarakan, ada anak yang meledak-ledak, berbicara keras dan menyatakan ketidakpuasannya. Tapi justru ada anak remaja yang malah menutup komunikasi dengan cara tidak berbicara, mengurung diri dan sebagainya. Ini bagaimana, Pak Paul ? Apakah memang ada sikap yang seperti itu ?
PG : Sudah tentu ada anak yang lebih ekstrovert dan ada anak yang lebih introvert, sudah tentu anak yang ekstrovert akan lebih mudah diajak berkomunikasi. Anak yang introvert akan lebih cepat mnyerah.
Jadi kalau dia merasa sudah tidak ada lagi gunanya maka dia akan berhenti dan tidak mau lagi meneruskannya. Namun meskipun anak itu berbeda tapi kuncinya adalah apakah dari awal kita bersedia mendengarkan dia. Yang membunuh komunikasi antara kita dan anak dan akhirnya mendorong dia untuk memberontak terhadap kita adalah karena kita mendapati tembok di rumah, dan dia merasakan apa yang dia katakan seperti memantul kembali, tidak bisa masuk ke dalam diri kita, kita tidak mengambil waktu untuk memikirkan pendapatnya. Jadi misalkan anak itu berbeda dengan kita, kecenderungan kita adalah marah, kenapa kamu memunyai pikiran seperti itu atau dia diam dan kita tidak mau menjawabnya atau menanggapinya. Hal-hal seperti ini akhirnya akan membuat anak berpikir percuma. Dan suatu kali ada waktu di mana dia tidak tahan lagi dan mengeluarkan emosinya, berontak dan meledak. Jadi yang penting, mulai anak kecil kita menjalin percakapan untuk terbuka. Kalau pun kita tidak setuju, sedapatnya jangan terburu-buru dengan cepat melarang dengan berkata, "Tidak, jangan" dan sebagainya. Kalau pun pemikirannya aneh dan sebagainya maka kita mencoba untuk mengatakan, "Mari kita pikirkan terlebih dahulu" atau berilah jawaban-jawaban yang rasional, apalagi sikap-sikap yang merendahkannya atau menertawakannya, "Kenapa bisa memiliki sikap seperti itu" dan sebagainya, itu akan membuat anak terhina dan akhirnya dia berkesimpulan, "Untuk apa saya berbicara, tidak perlu lagi." Ini yang ingin saya tekankan, begitu komunikasi terputus antara kita dan anak maka tinggal tunggu waktu maka anak akan memberontak.
GS : Biasanya anak yang sukar untuk mengutarakan pendapatnya justru digunakan oleh orang tua untuk mengindoktrinasi anak ini, memberikan masukan yang begitu banyak sehingga anak ini merasa tertekan dan itu yang membuat dia tidak mau berbicara lagi.
PG : Betul. Kalau anak merasa bahwa percakapan itu searah bahwa orang tua itu hanya tertarik untuk didengarkan dan menanamkan pandangannya pada diri si anak, maka pada akhirnya dia akan merasa ewalahan, terbenamlah dia di dalam semua pendapat orang tuanya dan dia tidak lagi bersemangat untuk menanggapi atau berdialog.
Jadi betul, kita sebagai orang tua mesti berhati-hati dan kita jangan merasa diri lebih tahu dan merasa benar, sehingga harus selalu didengarkan dan akhirnya kita luput untuk mendengarkan anak.
GS : Tapi suatu saat dia juga akan berontak, Pak Paul, ujung-ujungnya sama yaitu dia akan berontak meninggalkan orang tua itu.
PG : Bisa, sebab dia merasa percuma saya datang dan berbicara dengan orang tua karena saya hanya dibebani, diberikan masukan-masukan terus. Maka lebih baik lain kali tidak perlu lagi dan akhirna karena mereka tidak memilki keterampilan berkomunikasi atau berdialog, waktu dia merasa tidak suka maka yang keluar adalah emosi, ledakan-ledakannya, kemarahan-kemarahan dan kadang-kadang akan muncul pemberontakan yaitu ketika diminta orang tua maka dia akan melawan, meskipun dia sendiri sebetulnya belum tentu sungguh-sungguh mau atau tidak setuju dengan orang tuanya.
Tapi demi untuk menunjukkan bahwa dia tidak suka, maka dia justru akan melawan atau memberontak.
GS : Jadi cara penanganannya bagaimana, Pak Paul ?
PG : Yang pertama tidak bisa tidak sebagai orang tua kita harus bersedia memerbaiki komunikasi. Jadi jika tidak berhasil, maka kita harus segera mencari pertolongan pihak ketiga yakni seorang knselor keluarga.
Jadi kita jangan berpikir untuk mendiamkannya, "Siapa tahu lain kali akan membaik dengan sendirinya," tidak seperti itu tapi kita harus berusaha. Kalau kita sudah berusaha dan berusaha, tapi tetap tidak menemukan jalan keluarnya maka jangan ragu untuk meminta bantuan. Jadi sekali lagi yang saya harapkan ialah kita terus berusaha dan berusaha. Saya mengerti sebagai orang tua yang mengusahakan percakapan, mengajak anak untuk berbicara lagi atau bertanya kepadanya, kadang-kadang mengalami kendala karena kita merasa, "Kenapa inisiatif dari kita saja, kenapa dari pihak dia tidak," kalau kita tidak mengajak bicara dan memunculkan percakapan maka tidak akan terjadi percakapan yang penting atau mendalam, percakapannya seringkali hanya biasa-biasa saja, "Tapi mengapa harus selalu dari kita." Namun kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa ini adalah tugas kita, kalau bukan tugas kita maka siapa. Memang kita harus merendahkan diri dan mengorbankan harga diri kita, tapi tidak mengapa sebab sekali lagi kalau bukan dari kita kemudian mau siapa. Ini adalah anak kita maka sedapatnya dengan pertolongan Tuhan, kita harus terus menjangkaunya, menariknya dan mengajaknya berbicara. Tekankan bahwa kita ingin memerbaiki komunikasi, kita mau memerbaiki relasi kita ini. Jadi terus kita komunikasikan hal itu kepadanya.
GS : Yang sulit adalah kita sudah berusaha untuk membuka komunikasi lagi, tanggapannya kadang-kadang sepotong-sepotong seperti yang Pak Paul tadi katakan tapi kadang-kadang itu juga berujung dengan pertengkaran baru lagi sehingga saya berpikir, "Kalau nanti berbicara lagi maka nanti salah lagi."
PG : Betul sekali. Jadi sudah tentu kita mesti berhikmat dalam pengertian ada waktu-waktu kita mendiamkan, namun ada waktu yang kadang-kadang muncul atau kesempatan emas untuk berbicara itu datng.
Misalkan dia sedang diam atau sedang makan kemudian kita duduk di sebelahnya dan ngobrol, tanya-tanya. Tapi setelah itu kita bisa berkata seperti ini, "Ada sesuatu yang Papa atau Mama ingin bicarakan dan mungkin ini sedikit serius tapi boleh tidak kalau Papa atau Mama bertanya." Jadi kita bisa memulai inisiatif seperti itu "Boleh tidak saya bertanya." Jadi kita tidak tiba-tiba masuk ke topik percakapan yang hangat atau panas itu. Jadi kita tanya dulu, "Mau tidak, boleh tidak saya bertanya sesuatu mengenai ini dan sebagainya," umumnya kalau kita masuk ke dalam topik percakapan itu dengan nada yang merendah, "Boleh tidak saya tanya dan sebagainya" kemungkinan anak akan bersedia. Misalnya di akhir percakapan terjadi pertengkaran seperti yang tadi dikatakan oleh Pak Gunawan, maka kita bisa berkata, "Maaf ya, kalau kita harus ribut tapi saya harap kamu tidak patah hati atau patah arang, dan mungkin nanti kita bisa lanjutkan lagi." Jadi kita tekankan bahwa pada akhirnya ini tidak enak tapi ini bukan akhir dari segalanya bahwa kita masih terus mau mencoba untuk mendapatkan titik temu.
GS : Cara yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Kadang-kadang masalah muncul sebetulnya dari kita, kita yang memiliki masalah komunikasi dengan satu sama lain artinya suami dengan istri atau istri dengan suami. Itulah yang akhirnya diliat oleh anak dan menjadi masalah, akhirnya anak tidak mau bicara dengan kita dan sebagainya.
Yang saya mau tekankan adalah jangan menunggu komunikasi di antara kita membaik, jadi jangan sampai kita menunggu situasi membaik kemudian kita bicara. Coba langkah pertama adalah mengajak dia berbicara dari hati ke hati dan kalau perlu meminta maaf kepadanya akan kurangnya komunikasi yang terjadi selama ini, mungkin ada masalah antara kita dengan pasangan yang akhirnya membuat dia tidak semangat berbicara dengan kita, maka kita akui dan kita katakan, "Selama ini Papa dan Mama tidak begitu baik berkomunikasi, mungkin kamu kesal juga, atau karena kami ini banyak masalah sehingga kami tidak selalu terbuka, kami kadang-kadang tidak mendengarkan kamu." Dan kita akui juga, "Karena semua itu maka besar kemungkinan kamu juga sudah enggan berbicara dengan kami." Jadi kita akui semua itu, kemudian kita juga mesti menerima artinya kadang-kadang kita juga harus menerima keputusan untuk tidak berkomunikasi dan menunggunya hingga siap, adakalanya anak akan berkata, "Jangan nanti kita akan ribut lagi" maka kita jawab, "Baiklah kalau begitu di waktu lain kita lanjutkan perbincangan ini dan tidak harus hari ini." Sudah sampai di situ saja dan kita jangan sakit hati dan berkata, "Lihat anak ini, mau diajak bicara tapi tidak mau diajak bicara." Akhirnya dia semakin tidak mau berbicara dengan kita. Jadi lebih baik waktu anak belum siap, kita jangan berbicara lagi, nanti kita ribut lagi. Jadi kita katakan, "Baiklah saya mengerti mungkin hari ini bukanlah hari yang baik untuk kita bicara kalau begitu lain kali saja." Jadi tidak mengapa seperti itu, jadi jangan memaksanya, kalau kita paksa maka makin mengkonfirmasi kepada dia bahwa kita bukan orang yang cocok untuk berbicara dengan dia. Tapi kita juga bisa menyampaikan kepadanya, bahwa walaupun dia tidak berminat untuk berbicara dengan kita tapi kita tetap mau belajar dari kesalahan masa lampau. Jadi setelah kita akui kalau kita ini kurang di sini dan di sana, kita katakan bahwa kita tetap mau belajar dari kesalahan di masa lampau atau kita bisa bertanya lagi apa yang telah dilihatnya dan apa yang dialaminya selama ini yang tidak mengenakkannya, sehingga kita mengetahuinya dan memerbaiki diri. Maka kita mencoba tanyakan kepadanya semua itu.
GS : Bagaimana kalau kita sebagai orang tua berkatakan kepada anak, "Kalau kamu sudah siap bicara nanti kamu saja yang berbicara kepada Papa atau Mama, dan nanti kita bahas lagi," tapi nyatanya dia tidak mau berbicara.
PG : Memang benar. Tidak akan mungkin mereka berbicara. Jadi lebih baik jangan berbicara seperti itu, jangan berkata, "Pokoknya kamu siap maka kamu katakan kepada Papa atau Mama," hal itu tidakakan terjadi.
Jadi lebih baik kita katakan "Mungkin hari ini kamu tidak siap dan Papa Mama mengerti, mungkin lain kali saja." Beri waktu beberapa hari, kemudian saat dia sedang santai kemudian kita tanya lagi, "Apakah sekarang kamu sudah lebih siap untuk berbicara, mungkin kita bisa mencoba-coba berbicara sebetulnya Papa hanya ingin tanya satu saja, atau Mama ingin tanya satu saja." Jadi kita bisa mulai dengan pertanyaan dan janjikan hanya satu pertanyaan sebagai pembuka, karena mungkin dia lebih siap kalau saya ingin tanyakan ini saja, maka dia akan berkata, "Baiklah silakan." Maka kita tanya, pertanyaan yang lebih tulus dan kemudian kita coba membuka dialog dan mendengarkannya, waktu dia berbicara dan kita mendengarkan, "Baiklah kalau itu yang kamu rasakan dan kamu pikirkan," dan coba terus seperti itu.
GS : Kadang-kadang kalau kita menemukan hal seperti itu, biasanya tidak hanya satu pertanyaan tapi bisa dua atau tiga pertanyaan karena kita merasa mumpung dia mau diajak bicara tapi dampaknya memang negatif.
PG : Kalau kita sudah bicara satu hal, itu sudah cukup dan responsnya baik maka kita katakan, "Baiklah Papa dan Mama sudah jelas maka nanti lain kali kita sambung lagi." Kecuali kalau dia masihingin berbicara maka kita ladeni.
Tapi kalau tidak maka lebih baik berhenti dulu. Jangan kita bersikeras untuk menyelesaikan hari ini karena kadang-kadang tidak akan selesai mungkin perlu waktu satu atau dua bulan atau mungkin setahun. Jadi sabar sedikit demi sedikit saja.
GS : Ada cara lain tentang cara penanganannya, Pak Paul ?
PG : Ini cara terakhir yaitu kita harus menunjukkan usaha memerbaiki keadaan, jangan sampai dia merasa bahwa apa yang telah disampaikan hanya berlalu begitu saja karena nantinya dia tidak akan ersedia kembali menjalin komunikasi.
Tapi jika dia melihat usaha kita menanggapi masukannya, mencoba untuk mendengarkannya, berbuat sesuai yang dia inginkan, besar kemungkinan suatu hari kelak dia akan membuka pintu komunikasi dengan kita. Jadi kuncinya adalah dia melihat kesungguhan kita bahwa kita membuka pintu komunikasi bukan untuk menguasainya, tapi justru untuk memerbaiki relasi dengan dia.
GS : Ini akan sulit kalau anak tinggal berjauhan dengan orang tua, Pak Paul, karena itu membutuhkan waktu yang lebih lama karena dia tidak melihat secara langsung usaha kita yang sungguh-sungguh untuk memerbaiki komunikasi.
PG : Betul kalau tidak serumah biasanya memang lebih berat lagi, tapi mungkin dengan SMS atau telepon, kita mencoba mengajak dia berbicara sekali-sekali.
GS : Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Firman Tuhan memberikan kepada kita pedoman untuk berkomunikasi di Yakobus 1:19 "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lmbat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah."
Lambat berkata-kata sudah tentu tidak berarti menghilangkan komunikasi tapi di sini lambat untuk berkata-kata dan lambat untuk marah disebut dengan konteks perbandingan untuk mendengar. Jadi perbandingan antara mendengarkan dan berkata-kata serta marah haruslah berkebalikan seperti cepat dan lambat. Jadi itu memang dikontraskan. Komunikasi yang sehat dibangun atas upaya mendengarkan secara optimal dan ini kuncinya. Makanya Firman Tuhan menyuruh kita untuk sangat cepat mendengarkan. Sebab inilah kunci membangun komunikasi dan inilah resep Tuhan untuk kita.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, saya percaya ini akan menjadi berkat bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Putusnya Komunikasi dan Pemberontakan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.