Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Profil Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Kita sering dipertontonkan, diperhadapkan dengan kekerasan-kekerasan yang terjadi di sekeliling kita, Pak Paul. Entah di jalan, entah itu di ruang rapat, tetapi di dalam rumah tangga rupanya juga seringkali terjadi kekerasan-kekerasan fisik, itu bagaimana terjadinya, Pak Paul?
PG : Memang kita ini tidak bisa tidak akan ada konflik karena kita dan pasangan kita datang dari latar belakang yang berbeda dan sudah tentu itu perlu usaha, kesabaran untuk bisa menyelesaikan konflik, namun konflik akan jauh lebih serius jikalau disertai dengan pemukulan. Istilah yang sekarang digunakan adalah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Sudah tentu kenapa menjadi lebih serius karena bukan saja ini bisa membahayakan, tetapi ini juga bisa nanti berakhir dengan pemenjaraan dan bahkan dalam kasus tertentu berakhir dengan kematian. Memang ini adalah hal yang sangat serius, itu sebab kita mau mengangkat hal ini, Pak Gunawan.
GS : Dalam hal ini yang mau diangkat lebih dahulu yang mana, Pak Paul?
PG : Yang perlu kita soroti adalah si pelakunya sendiri, jadi kalau ada yang saat ini mendengarkan siaran kita dan memunyai masalah, saya berharap kita semua bisa belajar. Coba kita akan lihat apa ciri-ciri atau profil seorang pelaku yang kerap menggunakan kekerasan dalam rumah tangganya.
GS : Tentunya seseorang itu bersikap keras, kasar ‘kan ada latar belakang sendiri yang dialaminya. Itu apa saja, Pak Paul ?
PG : Pertama, kemungkinan orang ini dibesarkan dalam keluarga yang sarat kekerasan. Bila kita sering mendengar dan menyaksikan kekerasan dalam keluarga, besar kemungkinan benih kekerasan sudah tertanam dalam diri kita. Kemarahan yang kita saksikan di antara ayah dan ibu dan kemarahan yang muncul sebagai respons terhadap ketegangan yang terjadi begitu seringnya, membuat kita menjadi seseorang yang mudah tersulut. Oleh karena jarak antara kemarahan yang kuat dan kekerasan fisik hanyalah sehelai benang saja, tidak heran hanya dalam hitungan menit kemarahan pun berkembang menjadi kekerasan.
GS : Ini pengaruhnya terhadap anak-anak sekitar usia berapa biasanya, Pak Paul ?
PG : Biasanya anak-anak mulai dari usia 2 atau 3 tahun sudah mulai bisa mengamati apa yang terjadi dan menyerap secara lebih langsung apa yang dialaminya itu, sudah tentu makin bertambah besar, usia 6, 7, 8 tahun makin mengerti duduk masalah makin menjadi benih-benih yang tertanam dalam hidupnya, yaitu benih-benih kemarahan. Awalnya sudah tentu yang tertanam bukanlah benih kemarahan pada usia misalnya 3, 4, 5, 6 atau 7 tahun. Yang lebih tertanam adalah benih ketakutan karena melihat orang tua berkelahi itu sangat mencekam. Tapi di usia dia mulai mengerti duduknya masalah misalnya di usia 8 tahun ke atas, yang tertanam adalah kemarahan karena waktu mendengar orang tua berkelahi, berteriak, marah, kemarahan itu terserap dalam jiwanya. Karena tidak suka hidup dalam ketegangan, perkelahian terus-menerus seperti itu, maka si anak pun mengembangkan kemarahan kepada orang tuanya, kenapa mesti berkelahi terus. Kemarahan itu dobel, yang diserap dari kemarahan orang tuanya dan kemarahan dia sendiri, menyaksikan pertikaian orang tuanya yang tidak berkesudahan.
GS : Apakah ada perasaan malu dalam diri anak itu, Pak Paul, karena pertengkaran ini ‘kan pasti keras dan para tetangga pasti juga mendengar adanya pertengkaran dalam rumah itu, apakah anak bisa merasa malu ?
PG : Seringkali ya, anak-anak ini seringkali merasa di mata masyarakat dia bermasalah meskipun sebetulnya secara rasional dia tahu yang bermasalah adalah orang tuanya bukan dia, tapi tidak bisa tidak, dia adalah anak. Dia sudah membayangkan orang pasti membicarakan orang tuanya, tetangganya berkata, "Lihat berkelahi terus". Tidak bisa tidak sejak awal dia akhirnya juga memunyai rasa malu yang harus dipikulnya, sehingga dia selalu merasa dirinya tidak sama dengan orang dan cenderung melihat dirinya lebih rendah dari pada orang lain.
GS : Bukankah disamping itu dia juga belajar bagaimana caranya orang itu memaksakan kehendaknya terhadap orang lain, Pak Paul, kalau dia melihat misalnya ayahnya. Bukankah dia bisa belajar dari situ caranya memaksakan kehendak itu.
PG : Betul, jadi akhirnya dia akan menjadi orang yang sulit untuk bernegosiasi, dia adalah anak yang besar dalam rumah yang penuh dengan kekerasan, tidak begitu mengenal bagaimana caranya bernegosiasi. Mengalah bagi yang saat ini bisa mengalah karena yang dipelajarinya adalah memaksakan kehendak. Itu sebabnya waktu misalnya setelah menikah dia konflik karena perbedaan pendapat, dia tidak bisa mundur. Susah untuk bernegosiasi, caranya bagaimana dia tidak bisa mengerti, akhirnya yang keluar kemarahan dan begitu merasa tertantang, kemarahannya meledak menjadi pemukulan.
GS : Pak Paul, apakah hal itu bisa memengaruhi kalau terjadinya kerap kali, jika jarang-jarang terjadi apakah itu juga berpengaruh pada anak di usia seperti itu ?
PG : Kalau jarang-jarang terjadi dampaknya minimal, sudah tentu jarang-jarangnya kita mau lihat dari segi skalanya, yaitu skalanya juga bukan skala besar. Kalau jarang-jarang terjadi namun skalanya serius, misalnya ibunya dikejar oleh ayahnya dengan pisau atau golok mau dibacok, sudah tentu pemandangan seperti itu benar-benar menakutkan sekali. Itu akan terpateri dalam jiwa si anak, tapi kalau jarang-jarangnya adalah pernah terjadi pemukulan, didorong tapi jarang terjadi, sudah tentu dampaknya minimal meskipun tetap ada dampak pula.
GS : Selain dia dibesarkan dalam keluarga yang banyak mengalami kekerasan itu, apakah ada latar belakang yang lain, Pak Paul ?
PG : Latar belakang lain yang membuat seseorang bisa menjadi seorang yang terlibat dalam kekerasan dalam rumah tangga adalah bertumbuh dalam lingkungan yang keras. Yang dimaksud lingkungan yang keras bukan saja lingkungan di mana sering terjadi tindak kekerasan, tetapi juga lingkungan di mana kesulitan ekonomi merajalela sehingga orang harus bertahan hidup dengan cara yang keras. Saya berikan contoh, salah satu kota di Amerika Serikat yang memunyai angka pembunuhan tertinggi adalah kota Chicago, yang menarik adalah hampir semua pembunuhan itu terjadi di sebelah Selatan kota itu. Dengan kata lain, hampir tidak ada pembunuhan yang terjadi di sebelah Utara kota itu. Fakta menunjukkan bahwa mayoritas penduduk yang tinggal di Selatan kota Chicago hidup dalam kemiskinan. Dalam kondisi hidup yang berat akhirnya belas kasihan dan sisi kemanusiaan lainnya hilang, tergantikan oleh kekerasan.
GS : Tapi itu ‘kan juga tergantung bagaimana orang tuanya menghadapi kesulitan dalam bidang ekonomi. Kalau mereka dapat menghadapinya dengan tenang dan bersandar pada Tuhan ‘kan itu pengaruhnya minimal sekali terhadap anak.
PG : Betul jadi misalkan anak ini dibesarkan dalam rumah yang sehat, orang tuanya mengayomi dengan kasih sayang, mendidik dengan baik. Anak ini bisa lebih dapat diselamatkan dari pengaruh lingkungan yang keras itu, tapi tetap memang harus diakui meskipun terselamatkan dirinya, usaha orang tua untuk menyelamatkan anak-anak ini memang haruslah sangat besar sebab dorongan atau tekanan dari lingkungan akan sangat kuat sekali. Contoh ada keluarga yang anak-anaknya terselamatkan dari lingkungan yang buruk itu, ternyata ketika saya baca orang tua sengaja menyekolahkan anak-anaknya ke wilayah sekolah yang berbeda. Ia akan rela mengendarai mobil, mengantar jemput anaknya jauh, tapi dengan cara itulah anak-anaknya itu diselamatkan dari lingkungan yang keras itu. Sebab sekali lagi meskipun di dalam rumah anak-anak itu dibesarkan dengan kasih sayang dan sebagainya tapi kalau lingkungannya sarat dengan kekerasan dimana orang harus bertahan hidup dengan cara-cara yang keras, kecenderungannya nanti sisi kemanusiaan itu akhirnya pudar, tergantikan oleh kemarahan, kekerasan.
GS : Kalau seorang anak melihat bagaimana rumahnya digusur lalu orang tuanya dipaksa keluar dari rumah itu, hal itu menimbulkan trauma tersendiri juga, Pak Paul.
PG : Itu juga bagian yang sering terjadi dalam masyarakat, tidak bisa tidak anak-anak itu akan menyimpan kemarahan dalam hatinya pula.
GS : Karena orang tua dan tetangga-tetangga itu biasanya mereka berkumpul untuk melakukan perlawanan dan seringkali terjadi pertengkaran di sana, Pak Paul.
PG : Betul sekali oleh karena itu yang membuat kita mengerti, tidak mudah untuk menghilangkan permusuhan antar kelompok sebab biasanya seperti waktu terjadi pertikaian, anak-anak melihat dan mereka juga mendengar juga apa yang dikatakan oleh orang-orang dewasa dalam kelompok itu dan akhirnya merekalah yang nanti setelah besar meneruskannya lagi. Nanti diteruskan lagi oleh anak-anak mereka seperti itu.
GS : Dan itu bukan hanya terjadi di luar rumah tetapi bisa terjadi di dalam rumah.
PG : Betul sekali jadi akhirnya mereka menyerap kekerasan itu dan dibawa ke dalam rumah akhirnya anak-anaknya menjadi korban. Waktu istrinya menjadi korban, kita melihat ini di Indonesia juga sama misalnya orang yang bekerja di lapangan, bekerja kasar harus menghadapi kekerasan hidup, ada yang berdagang kecil-kecilan harus menghadapi para pemalak, para preman, hidup dengan kekerasan seperti itu untuk menafkahi keluarga tidak jarang mereka sendiri akan menjadi orang yang keras juga, menghadapi istrinya, menghadapi anak-anaknya akhirnya pemukulan sering terjadi juga.
GS : Faktor lain yang melatar belakangi KDRT ini apa, Pak Paul ?
PG : Orang yang menjadi korban pelecehan atau kekerasan ternyata bukan saja korban kekerasan yang berpotensi melakukan tindak kekerasan. Korban pelecehan lainnya seperti pencabulan dan penghinaan juga berpotensi mengembangkan masalah yang serupa. Tampaknya pengalaman ditindas menanamkan benih marah dan keinginan untuk membalas sehingga kita menjadi mudah tersulut, hal sepele bisa membuat kita merasa terhina dan kembali tertindas sehingga membuat kita mudah meledak. Sudah tentu apabila kita sendiri adalah korban pemukulan di rumah, nah potensi untuk mengembangkan perilaku yang sama sangat besar.
GS : Jadi ini ketika anak itu menjadi korban, waktu masih kecil menjadi korban pelecehan atau kekerasan, begitu Pak Paul ?
PG : Bukan hanya kekerasan karena kalau korban kekerasan lebih masuk akal, dia sering dipukuli sehingga akhirnya mengembangkan perilaku yang serupa, tapi ternyata yang lain-lainnya seperti penghinaan itu cukup kuat untuk menanamkan reaksi marah sehingga nantinya mudah sekali tersulut dan terlibat juga dalam tindakan kekerasan. Dan yang satunya lagi adalah pelecehan seksual, jadi anak-anak yang dilecehkan secara seksual, anak tidak merasa berdaya ditindas secara fisik atau melakukan hal-hal yang dia ketahui tidak benar dan menjijikkan itu menimbulkan kemarahan yang dalam, sehingga mereka setelah besar mudah sekali untuk bisa tersulut dan meledak.
GS : Biasanya yang menjadi korban pelecehan seksual adalah anak-anak perempuan. Apakah nanti didalam rumah tangga dia menjadi ibu atau istri yang bisa melakukan KDRT, Pak Paul ?
PG : Mungkin tidak separah laki-laki, tapi amarahnya bisa tidak terkendali, bisa dilampiaskan lewat perkataan karena pada umumnya perempuan bisa mengungkapkan kemarahan lewat perkataan jauh lebih mudah dari kaum pria, sehingga tidak begitu cepat atau langsung menggunakan kekerasan fisik. Tapi tidak jarang anak-anak yang menjadi korban karena tidak bisa memukul suami atau apa, tapi akhirnya anak yang menjadi korban. Memukuli anak dan kalau memukul benar-benar tidak bisa terkendali.
GS : Itu pun termasuk KDRT antara ibu dan anaknya. Selain korban pelecehan ada yang dikatakan lebih ringan tetapi seringkali di dalam keluarga terutama dimana banyak anak, kalau ada anak yang diperlakukan dengan tidak adil dibandingkan dengan saudara-saudara yang lain, apakah itu juga bisa memunculkan sifat KDRT, Pak Paul ?
PG : Kita lihat contohnya, kakak-kakak Yusuf di Alkitab karena mereka merasa tidak diperlakukan adil oleh ayahnya, Yakub, jadi kemarahanlah yang muncul dan tindakannya sangat drastik yaitu menculik Yusuf dan berniat membunuh Yusuf, tapi puji Tuhan tidak jadi membunuh Yusuf akhirnya Yusuf dijual sebagai seorang budak. Jadi perlakuan tidak adil bisa membakar kemarahan orang. Bukan saja dalam rumah, tapi di luar rumah pun begitu. Bila kita adalah bagian dari sekelompok masyarakat yang tertindas, besar kemungkinan kita akan menyimpan kemarahan yang sewaktu-waktu meledak. Tidak bisa tidak keinginan untuk membalas tertanam dan reaksi terhadap segala sesuatu yang dianggap sebagai ketidakadilan menjadi berlebihan, sebab dalam pernikahan acapkali kemarahan menjadi masalah yang terus-menerus muncul.
GS : Tapi itu hanya kemarahan atau disertai dengan perbuatan, Pak Paul ?
PG : Bisa juga dengan perbuatan karena memang benih-benih kemarahan itu sudah tertanam. Ini kadang-kadang luput kita perhatikan karena kita beranggapan ini ‘kan diluar dirinya, tapi tidak jarang anggota masyarakat yang merasa dirinya adalah bagian dari kelompok yang tertindas akhirnya lebih mudah untuk meletupkan kemarahannya dengan tindakan-tindakan yang lebih keras. Ini kita lihat misalnya di Amerika Serikat yang kita ketahui masih banyak orang-orang berkulit hitam yang merasa mereka adalah masyarakat terdiskriminasi. Sudah tentu ada benarnya, tidak semua orang di sana merasakan diperlakukan secara sama dan rata dengan orang lain. Jadi kita bisa melihat contohnya pada tahun 1992 terjadi peristiwa pemukulan seseorang yang bernama Rodney King oleh polisi-polisi di Los Angeles, langsung masyarakat berkulit hitam turun ke jalanan membakar toko-toko, merampok toko-toko, memukuli orang-orang, menganiaya orang-orang sampai menimbulkan kekacauan yang sangat parah di sana. Kenapa begitu ? Karena mereka merasa bahwa mereka adalah masyarakat yang tertindas, jadi begitu keluar kemarahannya memang benar-benar sangat kuat kemarahan itu dalam tindak kekerasan.
GS : Apakah itu bukan hanya kebutuhan solidaritas antara satu dengan yang lainnya, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu itu ada, tapi itu lebih dari sekadar solidaritas, itu juga adalah benar-benar letupan kebencian. Saya masih ingat membaca sebuah kisah yang sangat-sangat mengharukan, ada seorang berkulit putih yang sering berdiri di depan area pertokoan, sering memberitakan Injil kepada orang yang lewat di sana. Waktu ia mendengar ada keributan di daerah itu, ia langsung ke sana sebab ia merasa terpanggil untuk menegur, memperingati jangan sampai orang-orang ini khilaf, lupa daratan, bertindak anarkhis. Ia berdiri di situ dan mulailah memberitahukan orang, "Jangan, jangan, berhenti, berhenti !" Tidak lama sekelompok orang datang langsung memukuli dia sampai mati, padahal apa yang dia katakan adalah peringatan yang baik, karena ia mau menghentikan tindakan orang-orang yang sedang benar-benar diamuk oleh amarah. Bukan saja mereka tidak menghiraukan, mereka akhirnya menghabisi nyawanya seperti itu, Pak Gunawan.
GS : Karena mungkin dianggap musuh juga, begitu Pak Paul ?
PG : Betul.
GS : Pak Paul, apakah ada faktor latar belakang yang lain yang membuat seseorang mudah melakukan kekerasan dalam rumah tangga ?
PG : Ini yang paling serius menurut saya, yaitu orang yang berkepribadian psikopat. Mungkin dari semua penyebab inilah yang paling serius. Kepribadian psikopat mendapatkan kepuasannya dari tindakan penindasan dan penyiksaan, benar-benar sebuah kebutuhan untuk menyiksa dan menindas sebab dari menindas dan menyiksalah dia merasa puas. Dia selalu ingin menguasai orang dan berusaha membuat orang tunduk dan bergantung kepadanya, itu sebab pada waktu pasangannya menolak atau berniat melepaskan diri darinya, ia akan marah dan akan menggunakan segala cara untuk menaklukkan pasangannya. Akhirnya kemarahan dan kekerasan menjadi senjata ampuhnya untuk menguasai kita.
GS : Ini berarti orang itu sudah mengalami kelainan jiwa pada tahap tertentu, Pak Paul ?
PG : Ini adalah bagian dari salah satu penyakit yang menyerang kepribadian manusia, ini kepribadian psikopat atau antisosial memang sebuah kepribadian yang sangat berbahaya karena mereka tidak bisa berempati, mengerti perasaan orang, memahami penderitaan orang yang disiksa olehnya. Tidak mau tahu juga, bukan hanya tidak bisa. Memang ciri utamanya adalah luar biasa kejamnya. Kalau ada orang yang menikah dengan seseorang dengan kepribadian psikopat, ini sebuah pernikahan yang luar biasa berbahayanya.
GS : Bagaimana pasangan atau yang menjadi korban kekerasan rumah tangga ini bisa mengetahui apa sebenarnya yang melatar belakangi pasangannya begitu keras terhadap dia. Bagaimana, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu dalam masa berpacaran tidak boleh tergesa-gesa, mesti benar-benar mengenal baik-baik, jangan iya-kan jarak jauh tidak pernah ketemu. Dikenalkan iya saja, jangan ! Benar-benar kenallah dia lewat waktu yang lama, kalau bisa di atas 2 tahun, 3 tahun dan kenalilah keluarganya, kenalilah kakak dan adik-adiknya, pamannya, benar-benar lihatlah keluarganya secara seksama. Apakah ada yang menggunakan kekerasan, apakah ada yang bermasalah dan sebagainya. Dengan cara itu kita baru bisa lebih mengenal latar belakangnya dan dengan masa berpacaran yang relatif lama, 2 atau 3 tahun, kita bisa melihat langsung reaksi dia pada waktu kita bersitegang dengan dia, apakah dia marah, meledak. Orang yang masih berpacaran kemudian ada perbedaan pendapat dan meledak, meledak, untuk saya adalah sebuah sinyal, bahwa besar kemungkinan orang ini memunyai masalah dengan kemarahan dan kalau begitu cepat meledak berarti jarak antara ledakan kemarahan dan kekerasan atau pemukulan, jaraknya sangatlah dekat.
GS : Apakah di dalam Alkitab ada contoh-contoh konkretnya, Pak Paul ?
PG : Salah satu tokoh di Alkitab yang memenuhi salah satu kriteria yang telah kita baca tadi adalah Musa. Walau ia sendiri tidak mengalami penindasan, ia harus menyak-sikan penindasan yang dilakukan oleh orang Mesir kepada bangsanya Israel dan sudah tentu termasuk di antaranya kaum kerabat atau bahkan keluarganya sendiri. Tidak heran Musa bertumbuh besar dengan kemarahan, tidak usah jauh-jauh ia pasti ingat latar belakangnya, ia harus juga disembunyikan karena perintah Firaun saat itu adalah untuk membunuh bayi-bayi laki-laki yang lahir dari orang-orang Israel. Jadi benar-benar ia melihat bangsanya itu bangsa yang ditindas. Berkali-kali kemarahan muncul dan menjadi masalah dalam kehidupannya, sungguh pun demikian sebagaimana dapat kita lihat Musa dipakai Tuhan melakukan pekerjaan-Nya. Ia terus bergumul dengan kemarahan namun kemarahan tidak lagi menguasai dirinya, perlahan tapi pasti hati yang lembut bertunas menjadi bagian terkuat dalam dirinya. Begitu Pak Gunawan, maka dikatakan di Firman Tuhan di Bilangan 12:3, "Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi".
GS : Tapi memang faktor usia bisa memengaruhi kekerasan seseorang, artinya kalau dia semakin tua, dia semakin jarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
PG : Sudah tentu ada pengaruh besar dengan menuanya tubuh, melemahnya badan kita. Sudah tentu akan ada pengaruh kita menjadi lebih bisa menguasai diri dan tentu karena kita juga belajar dari pengalaman hidup, kita akhirnya lebih bisa bersikap bijaksana, namun kita juga mesti mengerti bahwa seringkali kemarahan dan kekerasan ini tidak selesai dengan cepat. Ada orang-orang yang harus mengalami pemukulan sampai di usia paro baya.
GS : Jadi sebenarnya orang-orang yang melakukan KDRT itu adalah korban juga, Pak Paul, dari lingkungannya ?
PG : Seringkali ya, Pak Gunawan. Bukan orang-orang yang tanpa sebab memutuskan menjadi seseorang yang mau memukuli orang-orang di sekitarnya kecuali yang tadi saya sebut itu orang yang memunyai kepribadian psikopat itu beda, tapi yang lain-lainnya kebanyakan memang adalah korban dari lingkungannya.
GS : Pak Paul, sebenarnya kita masih akan melanjutkan perbincangan ini karena masalah KDRT itu sekarang sudah seringkali diperbincangkan dan kita perlu tahu bagaimana kita harus menyikapinya, namun karena keterbatasan waktu maka untuk kali ini kita cukupkan sampai di sini dan kita berharap para pendengar kita bisa mengikuti perbincangan kita selanjutnya.
Terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Profil Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.