Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Peran Orang Tua dalam Pembentukan Jati Diri Remaja. Kami percaya Anda semua ingin tahu apa yang akan kami bicarakan pada saat ini, karenanya dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul kita sering kali mendengar istilah jati diri, sebenarnya apa Pak Paul jati diri itu?
PG : Suatu pengetahuan tentang siapa kita ini, jadi setiap kita mesti mempunyai gambaran siapa kita ini. Memang gambaran ini tidak selalu sama, karena akan dipengaruhi juga oleh hal-hal yang kia alami pada masa yang akan datang.
Tapi kita mesti mempunyai gambaran bahwa kita adalah orang yang seperti ini dan yang seperti ininya itu cukup permanen.
(2) GS : Seberapa penting pengetahuan itu perlu dimiliki oleh seorang remaja Pak Paul?
PG : Sebetulnya sangat penting sekali, seperti yang sudah kita bahas pada siaran TELAGA yang lampau, anak-anak remaja yang memasuki kancah usia remaja tanpa memiliki bekal sama sekali tentang sapa dia, niscaya bisa langsung dipengaruhi oleh teman-temannya, dan dia tidak berdaya untuk mengevaluasi masukan teman-temannya atau bujukan teman-temannya, dia akan cenderung mengikuti saja yang dikatakan oleh teman-temannya.
(3) GS : Tapi bagaimana caranya supaya anak remaja memiliki konsep diri yang jelas seperti yang tadi Pak Paul katakan?
PG : Jadi yang diperlukan di sini adalah masukan dari orang tua sendiri atau dari keluarga terutama yang saya maksud keluarga adalah dari pihak orang tua. Nah, otomatis ini tidak bisa terjadi swaktu anak sudah menginjak usia remaja.
Ini harus terjadi bahkan pada usia yang paling dini. Contoh sewaktu anak digendong oleh orang tua pada masa bayi, orang tua berkata aduh senyummu bagus, aduh ketawanya kok lucu, nah ini adalah masukan, si bayi belum tahu apa yang dikatakan orang tuanya tapi si bayi bisa merasakan bahwa yang dikatakan orang tuanya itu sesuatu yang baik, sesuatu yang menyenangkan. Karena bayi itu meskipun belum bisa memahami perkataan, dia sudah bisa merasakan ungkapan perasaan, jadi perasaan yang baik yang disalurkan kepada si bayi membuat si bayi juga merasa tenang. Itu sebabnya kalau anak-anak menangis waktu masih bayi seorang ibu biasanya akan mencoba menenangkan si bayi dengan bernyanyi lagu yang lembut atau mengajaknya bicara atau bersenandung. Tidak ada bayi yang sedang menangis dicoba ditenangkan dengan hardikan-hardikan atau dengan suara yang lantang-lantang, keras-keras tidak karena anak bisa menangkap getaran, emosi si ibu itu. Nah, dari hal-hal kecil seperti itu sebetulnya orang tua sudah mulai berkomunikasi dengan si anak meskipun ini komunikasi yang sepihak dan belum melibatkan kemampuan berpikir yang canggih, tapi ini pun penting.
GS : Nah itu dalam proses pembentukan jati diri anak, Pak Paul?
PG : Itu cikal bakalnya, dia harus mulai mendapatkan suatu perasaan bahwa orang tuanya menyambut dia, orang tuanya menerima dia. Berbeda dengan yang kalau mulai menangis yang diperolehnya bukanah pelukan, bukanlah suara yang lembut malah hardikan, kemarahan, karena si orang tua merasa terganggu.
Nah, meskipun si anak belum bisa mengerti apa yang dikatakan si orang tua dia sudah bisa merasakan bahwa orang tuanya tidak menyambutnya, tidak sabar terhadap anaknya. Sekali lagi ini hal-hal yang tidak bisa diungkapkan karena belum mempunyai kemampuan mengekspresikan seperti kita ini orang dewasa. Tapi pesan-pesan ini yang diterimanya itu sedikit banyak mulai mempengaruhi sikap si anak pada orang tua, maksud saya begini kalau si anak mendapatkan pelukan atau kata-kata yang tenang dan menyejukkan waktu dia menangis waktu dia mulai besar kalau dia merasa susah atau sedih dia akan mencari ayah atau ibunya. Tapi kalau dari kecil dia terlalu sering mendengarkan hardikan, waktu dia menangis dia akan menciptakan rasa takut. Dalam dirinya yang timbul bukan rasa rindu dan ingin dekat dengan orang tua, justru sejak kecil dia tidak mau terlalu dekat dengan orang tua, karena secara naluriah dia tidak ingin berdekatan dengan seseorang yang justru membuatnya merasa takut atau tegang, justru dia akan mencoba menghindarkan. Nah interaksi seperti ini menjadi interaksi yang tidak positif, interaksi yang justru membuat jarak antara si anak dan orang tua dan yang paling penting adalah orang tua mulai kehilangan kesempatan untuk memberikan masukan-masukan kepada si anak, karena anak sudah mulai menjaga jarak darinya.
IR : Juga kalau orang tua terlalu sibuk Pak Paul, anak tidak bisa dekat dengan orang tua?
PG : Betul, misalkan dia bicara, dia bertanya, ibu atau bapaknya mendengarkan kemudian menjawab, lain kali dia akan bertanya sebab dia tahu dia akan didengarkan dan dijawab. Tapi kebalikannya jga betul, kalau dia bertanya orang tua tidak memperhatikan apalagi menjawabnya 2, 3 kali terjadi lama-lama dia akan enggan bertanya, sebab yang dia inginkan tidak dia peroleh, orang tua tidak mendengarkan apalagi menjawabnya.
Kalau komunikasi sudah tercipta dari kecil, komunikasi sudah ada jalurnya, sudah tersedia, nah orang tua sudah mulai bisa memberikan masukan-masukan atau gizi-gizi kepada si anak, memasukkan informasi, nasihat, kata-kata tanggapan supaya si anak mulai mengerti siapa dia. Nah, saya kira ada beberapa hal yang orang tua bisa dan seharusnya memasukkan ke dalam diri anak. Yang pertama adalah orang tua perlu menanamkan kepada anak bahwa anak adalah seseorang yang mereka kasihi, yang bukan saja mereka sambut tapi sangat mereka kasihi. Dengan kata lain anak-anak ini adalah anak-anak yang berharga di mata orang tua, anak-anak perlu mengetahui bahwa mereka itu penting, mereka itu berharga. Waktu mereka berkata saya ikut, orang tua tidak selalu berkata di rumah jangan ikut, tapi kadang kala orang tua bisa berkata yuk silakan ikut, orang tua misalnya berkata yuk kita pergi rekreasi, yuk kita pergi beli mainan untukmu, yuk kita rayakan hari ulang tahunmu. Jadi hal-hal yang kecil, aktifitas-aktifitas kehidupan seperti itu sebetulnya merupakan berita, pesan kepada si anak bahwa engkau itu kami kasihi dan engkau itu penting serta berharga bagi kami. Nah, inilah cikal bakal secara generik atau umum, nanti secara lebih spesifik anak-anak mulai membutuhkan tanggapan yang juga lebih spesifik untuk kehidupannya, tapi dasar ini harus anak peroleh.
GS : Nah dalam rangka orang tua berkomunikasi dengan anak Pak Paul, itu yang agak sulit pada masa kecil sering kali kita itu tanpa sengaja mengolok-olok anak kita, ada dampaknya tidak Pak Paul, kalau itu dilakukan terus-menerus. Mengolok-olok misalnya saja sejak kecil itu sudah digundul rambutnya jadi rambutnya sudah dipotong habis, kemudian anak itu tidak dipanggil dengan namanya tapi dipanggil dengan gundulnya itu tadi.
PG : Saya kira olok-olokan seperti itu lebih banyak dampak negatif daripada positifnya, ada anak-anak yang misalkan dipanggil si gendut. Waktu ia masih kecil umur 3 tahun dia belum bisa mengert, tapi pada waktu dia usia 8, 9 tahun di saat dia baru mulai mengerti apa itu namanya malu, saya kira dipanggil gundul-gundul itu atau gendut-gendut itu akan menciptakan rasa malu padanya dan bahwa dia itu bukanlah seorang anak yang menarik.
Jadi orang tua perlu memberikan masukan yang mengkonfirmasikan bahwa si anak itu baik, anak itu berharga, bukannya bahan lelucon atau ejekan.
GS : Tapi sebenarnya mulai kapan anak itu membutuhkan konsep diri yang jelas, mempunyai jati diri yang jelas?
PG : Dia mulai membutuhkan serius pada masa dia memasuki usia remaja, jadi pada masa usia sekitar 12 tahun, di situlah anak-anak sebetulnya sudah harus memiliki secara mendasar gambaran tentangsiapa dia barulah dia bisa masuk ke dalam usia remajanya dengan lebih aman.
Kalau ada masukan-masukan dari teman yang bertolak belakang dari yang dia sudah terima dari orang tuanya, dia berkesempatan untuk membandingkan dan mengevaluasi mana yang benar. Kalau orang tua tidak memberikan sama sekali masukan kepadanya, dia akan mencaplok yang dia terima dari teman-temannya.
GS : Tadi Pak Paul sudah katakan, dasarnya itu dibangun mulai kecil Pak Paul, nah sampai usia ke 12 apa peran orang tua Pak Paul?
PG : Selain dari tetap mengkomunikasikan bahwa mereka penting, mereka berharga dan mereka dikasihi, orang tua juga perlu memberikan dasar yang kedua kepada anak-anak, peranannya di sini adalah ahwa kamu baik, tetapi kamu bisa lebih baik.
Di sini maksudnya adalah orang tua perlu mengarahkan anak ke mana dia harus bertindak atau pergi dengan siapa dia bergaul, hidup seperti apa yang baik. Nah, engkau ini sebetulnya siapa dan engkau seharusnyalah menjadi seperti apa, nah inilah hal-hal yang perlu dikomunikasikan pada si anak dan ini bisa disampaikannya dengan cara yang sangat informal orang tua mulai memasukkan kata-kata yang membuat anak mengerti seharusnya dia itu seperti apa. Jadi kalau yang tadi yang pertama mengasihi anak supaya anak tahu bahwa dirinya adalah seorang yang dikasihi, seseorang yang berharga. Disiplin, teguran atau nasihat dan pengarahan itu sebetulnya merupakan upaya orang tua untuk mengatakan kepada si anak, engkau baik tapi engkau masih bisa lebih baik lagi, engkau lebih bisa menjadi orang yang seharusnya Tuhan kehendaki bagimu. Nah, di sini peranan orang tua untuk mulai mengarahkan si anak melakukan hal yang benar.
IR : Nah Pak Paul, tentu banyak orang tua yang sudah memberikan pengarahan-pengarahan yang baik kepada anak-anaknya dan waktu di rumah anak juga rasanya menurut. Tapi ketika dia bergaul keluar, anak ini kadang-kadang berubah Pak Paul, jadi anak ini yang dulu manis, anak yang menurut dan orang tua juga sudah mengarahkan semaksimal mungkin tapi kadang-kadang waktu bergaul di luar dia bisa keluar dari rel, sehingga itu mengejutkan orang tua.
PG : Saya mengibaratkan anak-anak itu seperti anak-anak yang berenang di kolam renang yang kecil, dia akan berkata saya bisa berenang, saya bisa berenang dan kita memang sudah mengajarkan dia brenang dengan gayanya dia berenang.
Tapi waktu kita taruh dia di lautan, di tepi laut dan menyuruhnya berenang di tengah gelombang, saya kira ceritanya akan lain, dia akan diombang-ambing oleh gelombang tersebut. Jadi saya mau katakan di rumah si anak memang sama-sama di air, seperti dia di lautan tapi di rumah itu seperti kolam kecil yang boleh dikata tidak ada gelombangnya begitu diterjunkan di tepi laut di mana ada gelombang besar kemampuan berenangnya tiba-tiba diuji ulang dan akan ada waktu di mana dia akan dihempaskan oleh gelombang itu. Namun kalau dia memang sudah bisa berenang pada akhirnya dia akan berenang lagi melalui ombak-ombak itu sehingga tidak diseret oleh ombak.
GS : Saya tertarik tadi yang ibu Ida katakan, jadi ada memang remaja, ini sudah masuk remaja yang punya 2 sisi yang berbeda. Di rumah dia kelihatan manis sehingga menyukakan hati kita sebagai orang tua, tapi kita dapat laporan dari gurunya atau dari teman-teman kita, anakmu itu gini, gini, gini yang bertolak belakang, nah bagaimana hal itu terjadi Pak Paul?
PG : Ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah dia kebetulan berkumpul dengan teman-teman yang mempunyai gaya hidup atau nilai hidup sangat berbeda dengan yang dianut oleh orang tuana.
Nah, kalau kebetulan mirip atau sama biasanya gejolaknya tidak terlalu besar, tapi kalau teman mempunyai nilai hidup atau gaya hidup yang sangat berlainan dengan orang tua, si anak cenderung akan mulai terseret-seret. Contoh orang tua hemat, orang tua mengajarkan untuk hanya membeli barang yang baru kalau barang yang lama sudah rusak. Tapi teman-teman di sekolah misalkan mempunyai filsafat kehidupan belilah barang yang menjadi modenya atau trendnya, nah yang mana dia harus ikuti menunggu baju yang sama yang dia pakai 3 tahun yang lalu sampai rusak baru beli baju baru atau dia beli baju baru meskipun dia belum perlu baju baru. Kenapa dia beli, karena memang trendnya, nah ini saja biasanya menimbulkan suatu konflik; masalahnya kalau dia tidak memakai baju baru trend yang sekarang ini, dia akan dilihat kuno dan itu sangat memalukannya, dia merasa di luar dari kelompoknya. Jadi adakalanya kita mesti waspada untuk mengerti anak juga bahwa memang teman-teman tidak mempunyai gaya hidup atau nilai hidup yang sama dengan kita.
GS : Nah, kalau sampai terjadi begitu apakah kita sebagai orang tua kemudian berkesimpulan wah saya ini salah mendidik anak, sehingga tidak terbentuk jati diri yang sesuai dengan yang kita harapkan, begitu Pak Paul?
PG : Tidak jadi ada waktu memang si anak ini seperti tadi berenang di laut, sehingga mulai dihempaskan oleh ombak, tapi kok saya percaya kalau orang tua terus memantau, terus memberikan masukanini tidak benar, kamu baru beli baju sekarang mau beli baju lagi dan baju ini begini mahal bukan harga yang murah, mama sendiri, papa sendiri tidak membeli baju yang begini mahal, saya tidak keberatan membeli baju yang mahal tapi jangan sekarang, tunggu sebulan lagi misalnya seperti itu.
Nah, si anak sedikit banyak akan mendapatkan rem dan dia tidak terlalu terhempas oleh teman-temannya.
IR : Jadi paling tidak dia masih ingat akan pesan-pesan dan pengarahan orang tua itu paling tidak masih membekas ya Pak Paul?
PG : Betul dan bekas-bekasnya tidak menguap begitu saja Ibu Ida, sebetulnya masih ada tapi memang dia harus bergumul untuk mengikuti kehendak orang tuanya sebab dia memang harus melawan arus ditengah-tengah temannya itu.
Jadi adakalanya memang sikap anak bertolak-belakang karena lingkungan atau teman-temannya mempunyai gaya hidup yang terlalu jauh berbeda dengan kehidupan kita orang tua. Tapi ada yang lain juga kenapa anak-anak akhirnya bisa bertolak belakang. Yang kedua anak-anak remaja memang sedang memasuki usia di mana dia mulai berpikir sendiri, sebelumnya mereka berpikir melalui pikiran orang tua, apa yang dikatakan orang tua itulah yang dianggap paling benar. Pada usia remaja dia sudah mulai berpikir abstrak dan kritis dan mulailah dia mempertanyakan yang sudah digariskan orang tuanya, nah ini adalah suatu bagian yang normal, alamiah dalam pertumbuhan remaja. Dia mulai mempertanyakan, mulailah dia berdebat memang, mulailah dia seolah-olah tidak mau terima apa yang dikatakan orang tuanya, tapi sampai batas yang wajar ini adalah hal yang sehat karena dia benar-benar mulai mengepakkan sayapnya. Mulai mau berpikir sendiri, nah orang tua perlu menghadapinya dengan bijaksana, jangan menggempur dia, engkau mau mengkhianati kami, engkau mau membuang nilai-nilai iman kami, atau cara-cara hidup kami, engkau sekarang berubah, engkau sudah dirusak oleh teman-temanmu; jangan kita menggempurnya seperti itu. Lebih baik kita dengarkan kenapa dia mempertanyakan, kita harus menjawabnya selogis mungkin sebab jawaban yang pokoknya inilah yang saya maksud, saya minta itu sudah diterima oleh si anak. Jadi kita juga harus menjawab dengan logis dan kita juga memasuki jiwanya dengan berkata ya sayapun juga kadang kala misalnya mempertanyakan kenapa kok begini ya, kenapa kok begitu ya, kenapa misalnya kalau Tuhan mengasihi kita kok Tuhan membiarkan kita menderita, saya pun kadang-kadang tidak mengerti itu. Jadi kita pun harus mulai berani mengidentifikasi diri dengan mereka, sehingga mereka bisa melihat orang tua bukanlah seperti Hitler, seperti tirani yang memaksakan kehendaknya tapi bisa juga memahami pergumulan mereka, sebab memang dia akan mulai mempertanyakan. Sehingga kadang-kadang membuat orang tua merasa aduh yang saya ajarkan kok hilang.
GS : Ya, bahkan kita kadang frustrasi, yang sudah diajarkan yang baik, tapi buahnya kok tidak kelihatan.
PG : Tapi sebetulnya, saya harus tekankan tidak hilang begitu saja dan jangan bosan, jangan sampai memberikan pantauan. Sebab di tengah-tengah kancah mereka kancah kehidupan remaja, suara kita etap harus bisa mereka dengar, jangan sampai kita tidak berdengung.
(4) GS : Makanya beberapa waktu yang lalu kita pernah menyajikan dalam acara TELAGA ini peranan teman dalam kehidupan remaja. Nah, di sini Pak Paul di dalam pembentukan jati diri itu 'kan tidak luput dari peranan teman, tapi tetap sebagai orang tua itu peranannya apa?
PG : Secara spesifik, selain dari memberitahukan bahwa mereka yang dikasihi, mereka adalah anak yang penting buat kita terus kemudian mereka adalah anak-anak yang bisa lebih baik lagi dengan meberikan pengarahan, kita mulai bisa memberitahukan kepada mereka bahwa mereka mempunyai kemampuan-kemampuan atau keunikan-keunikan tertentu.
Jadi di sinilah fungsi orang tua yaitu sebagai pemberitahu, sebagai pemberi tanggapan, sebagai cermin yang bisa memberitahukan anak inilah yang seharusnya kamu miliki dan inilah keadaanmu sekarang. Jadi kesanggupan apa, kebiasaan apa, keunikan apa, apa yang spesial tentang tubuhnya, tentang caranya dia bicara, tentang cara dia bergaul dengan orang, inilah anak-anak yang perlu ketahui. Sebagai contoh saya pernah berkata kepada salah satu anak saya, bahwa dia akan menjadi seorang guru yang baik, ini saya katakan pada beberapa tahun yang lalu, dia bertanya kenapa papa berkata demikian, saya bilang kamu orang yang sangat ramah, dan kamu orang yang senang menolong, nah seorang guru perlu mempunyai sikap ramah dan mau menolong, dia pasti disenangi muridnya. Kedua kamu adalah seorang anak yang kreatif kamu bisa menggambar dengan baik, itu adalah kemampuan yang dihargai oleh seorang anak-anak didik, mereka akan senang kalau gurunya itu bisa menggambar, bisa kreatif. Nah, yang saya lakukan adalah saya mulai menanamkan arah hidupnya, saya tidak tahu pasti dia akan menjadi apa nanti itu urusan Tuhan, tapi sebagai orang tua kita perlu mulai menanamkan secara spesifik arah hidupnya dengan membukakan kepada si anak, kemampuannya, keunikan yang khusus itu. Sehingga anak mulai melihat o…..ini nanti bisa menjadi guru, kadang-kadang waktu saya bicara dengan dia, dia berkata nanti saya mau jadi guru. Nantinya dia mau jadi guru atau tidak, itu sekali lagi di tangan Tuhan, yang paling penting dia mengerti bahwa hidupnya itu menuju pada suatu titik atau arah tertentu nah itu yang penting. Jangan sampai anak-anak kita itu tidak tahu tentang keunikan dirinya, sehingga juga hidupnya seperti layang-layang yang sudah putus.
GS : Pak Paul, apakah kita sebagai orang tua itu bisa tahu apakah anak kita itu sudah menemukan jati dirinya atau belum; itu bisa tahu tidak Pak Paul?
PG : Saya kira kita bisa mendeteksinya dengan cara berapa mudahnya dia terombang-ambing. Anak yang mudah terombang-ambing dan misalkan dia terombang-ambing oleh temannya bertahun-tahun itu sayakira memperlihatkan bahwa proses pembentukan jati dirinya memakan waktu yang lebih lama, tidak semua anak sama, ada yang lebih lamban, ada yang lebih cepat.
Ada yang lebih lamban, mungkin saja karena kecenderungannya memang untuk sedikit lebih nakal, lebih badung dan sebagainya. Sehingga membuat dia lebih banyak bergumul untuk menggabungkan masukan dari orang tua dan masukan dari teman-temannya.
GS : Apakah benar seorang anak perempuan, remaja putri itu lebih cepat menemukan jati dirinya dibandingkan remaja pria?
PG : Seharusnya tidak, seolah-olah karena biasanya yang menunjukkan problem atau perilaku bermasalah adalah anak-anak pria, tapi sebetulnya bisa dikatakan sama, semua orang tidak bisa sama tapisaya kira pria dan wanita sama.
GS : Nah, apakah seseorang yang sekali menemukan jati dirinya dia akan tetap di situ atau dia bisa berubah nanti suatu saat, Pak Paul?
PG : Dia akan mempertahankan kira-kira bagian dasar dari dirinya itu tapi dia akan terus memolesnya dan menambahkannya dengan masukan yang baru, yang tidak relevan lagi dia akan tinggalkan, kemdian dia masukkan lagi yang baru terus-menerus menjadi suatu proses yang dinamis.
GS : Sehubungan dengan pembentukan jati diri ini yang sangat besar peranannya adalah orang tua, apa yang Alkitab itu katakan kepada kita Pak Paul?
PG : Amsal 1:8 berkata : "Hai anak-Ku dengarlah didikan ayahmu dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu. Sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu dan suatu kalung bagi lhermu."
Jadi memang Tuhan meminta anak-anak mendengarkan didikan orang tua ibaratnya seperti karangan bunga atau kalung bagi leher si anak yang akan menghiasi si anak. Nah, tugas orang tua sudah pasti adalah memberi didikan dan memberikan ajaran tidak boleh berhenti, itu memang tugas yang Tuhan embankan sampai anak akhirnya menerima ini menjadi suatu karangan bunga untuk kepalanya serta kalung untuk lehernya.
GS : Mungkin yang agak sulit bagi orang tua yang dulunya, waktu masa remajanya dia sendiri kesulitan di dalam menemukan jati dirinya sehingga sekarang di dalam melakukan bantuan terhadap anaknya untuk menemukan jati dirinya juga sulit Pak Paul?
PG : Kita bisa melakukannya dengan cara yang sederhana yaitu mulailah melihat kualitas si anak yang sederhana, yang simpel-simpel misalkan kesabarannya, ketekunannya, dari situlah kita mulai, kta berikan tanggapan kamu anak yang tekun, kamu anak yang rajin ya, saya tahu pasti kau anak yang rajin, anak yang tekun kebanyakan bisa mencapai banyak dalam hidupnya.
Nah, itu jati diri o....saya tekun ya, o....saya rajin ya jadi mulailah dengan hal-hal sederhana seperti itu namun sangat bermakna bagi pertumbuhan si anak.
GS : Jadi terutama hal-hal yang positif yang dimiliki anak itu yang kita tumbuh kembangkan dalam diri anak itu.
GS : Saya percaya itu memang panggilan Tuhan kepada kita sebagai orang tua untuk generasi yang akan datang ini.
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang Peranan Orang Tua di dalam Pembentukan Jati Diri Remajanya, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 48 B
- Apa sebenarnya jati diri itu….?
- Seberapa penting seorang remaja perlu mengetahui jati dirinya…?
- Bagaimana cara remaja memiliki konsep diri yang jelas….?
- Apa peranan orang tua dalam pembentukan jati diri remaja…?