Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi,
di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur
Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen
dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang
dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling
serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali
ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang “Pengkhianatan
Dalam Pernikahan”. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita
sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu
kita sudah berbicara tentang pengkhianatan dalam pernikahan ini namun belum
tuntas dibicarakan. Kita akan lanjutkan pada kesempatan ini. Supaya para
pendengar kita yang mungkin baru pertama kali mengikuti acara ini atau yang
lalu tidak mengikutinya, minta kesediaan Pak Paul untuk mengulas secara singkat
apa yang pernah kita bicarakan pada kesempatan yang lampau.
PG : Jadi kita memang memfokuskan pada
masalah perselingkuhan, Pak Gunawan tapi memang kita mau melihat ke akarnya
bahwa sebetulnya perselingkuhan adalah sebuah pengkhianatan maka dampaknya
begitu mendalam. Orang yang menjadi korban perselingkuhan biasanya perlu sangat
dalam sekali karena ada unsur pengkhianatan di dalamnya dan kita tahu
pengkhianatan merupakan sebuah pelanggaran terhadap kepercayaan yang telah kita
berikan kepada seseorang dan kita juga membahas bahwa bukan saja
perselingkuhan, meskipun yang paling sering kita dengar perselingkuhan tapi
pengkhianatan juga bisa mengambil bentuk yang bermacam-macam misalnya orang
yang bicara langsung atau tidak langsung, sebetulnya memunyai dunia tersendiri
melihat pornografi, tidak lagi mau berhubungan dengan istrinya. Atau ada yang
menjalin hubungan dengan sesama jenis, di luar nikah, jadi macam-macam yang
lain-lainnya. Yang juga kita bahas ternyata penyebabnya bermacam-macam tidak
sesederhana itu. Jadi kita juga sering menemukan bahwa orang-orang itu mungkin
sudah lama menumpuk masalah, sudah tidak merasa puas lagi dengan pasangannya
atau ada yang merasa buntu, tidak bisa menembus pasangannya. Coba
memberitahukan pasangan tidak bisa mendengarkan, coba meminta pengertiannya
tidak bisa diberikan, akhirnya dari pada terus hidup dalam kebuntuan, dalam
ketidakpuasan atau ketidakbahagiaan atau juga dalam kehampaan dan kesepian
akhirnya ia mencari alternatif lain. Alternatif untuk keluar dari
ketidakbahagiaannya itu dan yang ia lakukan bersama dengan orang lain dan juga
ada orang yang sudah terlalu tertekan hidup bersama pasangannya akhirnya ia
butuh istirahat, akhirnya dia jatuh ke dalam dosa, dia berhubungan dengan orang
lain juga. Kita melihat itulah hal-hal yang biasanya memunculkan dosa
perselingkuhan namun kita juga melihat sebetulnya ada hal-hal yang bisa
dilakukan untuk mencegahnya. Kita sudah membahas bahwa yang pertama yang
penting adalah dari awal seharusnya kita memilih pasangan lebih berhati-hati.
Kita mengerti bahwa tidak selalu kita bisa mengerti semua tentang pasangan
kita, tapi cobalah lebih memerhatikan latar belakang pasangan kita, karakter,
sifat-sifatnya apakah memang tidak stabil, mudah diombang-ambingkan. Apakah
orang ini butuh sekali pengakuan dari orang dan juga kita mau melihat bagaimana
keimanannya, kerohaniannya seperti apa. Apakah ia memang seorang yang rohani,
pengikut Tuhan yang setia. Jadi berhati-hati, itu memang resep yang harus kita
ikuti. Yang kedua, karena begitu banyaknya perselingkuhan yang muncul dari
pernikahan yang bermasalah, nah kita juga akhirnya membahas seharusnyalah dalam
pernikahan kita tidak terlalu memfokuskan pada hal-hal yang kecil, yang tidak
penting. Cobalah fokuskan pada hal-hal yang penting dan yang positif, kita
mesti mengingat bahwa yang menyatukan kita pada awalnya adalah hal-hal yang
penting, bahwa misalnya ia bertanggungjawab, ia seorang perempuan yang bisa
mengurus rumah tangga, ia orang yang setia. Hal-hal yang penting-penting itu
yang kita fokuskan dan sering-seringlah sampaikan penghargaan kita kepada
pasangan kita, sedangkan hal-hal yang lebih kecil misalnya tentang gaya hidup,
kelemahan-kelemahan yang lain jangan terlalu dipersoalkan.
GS : Selain kedua hal itu, Pak Paul,
apakah ada hal lain yang bisa diupayakan, dilakukan supaya jangan terjadi
perselingkuhan dalam pernikahan ?
PG : Yang berikut seharusnya kita lebih
memfokuskan perhatian kita pada pengembangan diri yang sehat. Mengapa kita
harus lebih memfokuskan pada pengembangan diri yang sehat ? Sebab sudah pasti
diri yang sehat akan menghasilkan komunikasi yang sehat. Diri yang tidak sehat,
yang negatif, yang sering menyalahkan orang tidak akan bisa menjalin komunikasi
yang sehat. Pastilah pada waktu menerima teguran, ia akan marah, tersinggung,
tidak ditanggapi juga marah atau merasa curiga, “Kamu maksudnya apa ?”, jadi
berpikiran buruk. Jadi diri yang tidak sehat akan memberi dampak yang langsung
kepada komunikasi dan diri yang sehat akan menghasilkan relasi yang sehat
dengan pasangannya, sehingga ia bisa berelasi dengan baik tapi orang yang
dirinya tidak sehat memanipulasi, memanfaatkan pasangan, ada yang merasa perlu
menjajah pasangan, ada yang merasa perlu menaruh pasangannya dalam sangkar, ada
yang merasa memanfaatkan akhirnya relasi menjadi tidak sehat. Bukan untuk
saling memberi, saling membangun tapi akhirnya bagaimana bisa saling
menggarong, jadi penting sekali diri yang sehat kita fokuskan. Diri kita
sendiri harus kita perbaiki sehingga makin hari kita makin sehat.
GS : Tapi seringkali orang tidak sadar,
Pak Paul, bahwa dirinya sedang sakit. Dia menganggap sehat terus tetapi
berulang kali timbul masalah dalam rumah tangganya.
PG : Sebetulnya salah satu indikator yang
sederhana yang bisa kita gunakan untuk melihat apakah diri kita sehat atau
tidak sehat adalah begini, kalau kita memang memiliki diri yang sehat kita
cenderung menarik orang kepada kita, tapi kalau kita memang bukan diri yang
sehat kita cenderung menghalau orang. Jadi sebetulnya kita bisa bercermin diri
dan melihat apakah kita orang yang dikerumuni atau tidak oleh orang. Orang
senang berbicara dengan kita, orang senang bertanya kepada kita dan kita
memberikan masukan, nah itu pertanda bahwa kita adalah diri yang sehat, maka
kita menarik orang. Kita secara alamiah tidak suka dengan orang yang tidak
sehat yang nanti mengkritik kita, yang salah mengerti, yang tersinggung, yang
nanti memanipulasi kita, kita tidak suka dengan orang-orang seperti itu. Kita
akan menjauh dari mereka. Atau orang yang negatif yang bisanya mengeluh saja,
kita tidak menyukainya. Itulah salah satu ukurannya kalau kita memang melihat
dia seperti kurang sehat, orang tidak mau dekat-dekat dengan kita. Kita akuilah
kita memunyai masalah dan kita mencoba mencari bantuan untuk memerbaiki diri
kita.
GS : Susahnya ketika orang tidak datang
pada kita, kita merasa memang yang bermasalah itu orang lain bukan saya. Mereka
yang tidak mau dekat dengan saya, saya sendiri mau saja. Ini juga tidak sehat
sebenarnya, Pak Paul.
PG : Betul, kadang-kadang begini
ironinya, Ibu Dientje dan Pak Gunawan, orang yang relatif sehat, orang yang
lebih bersedia mendengar masukan tentang dirinya meskipun itu bukan masukan
yang positif, ia lebih siap menerima kritikan. Tapi kalau kita memang kurang
sehat lebih susah mendengarkan masukan dari orang. Kita cenderung mengatakan
bahwa orang lain yang tidak mengerti kita, orang lain yang berpikiran buruk.
DL : Ada juga suami yang sudah sering
berbuat yang salah tapi di hadapan isterinya dia selalu mengatakan yang benar,
sehingga pada satu saat isterinya mengatakan, “Kalau kamu sudah melacur terus,
saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, lebih baik cerai, karena saya sudah
berdoa terus untuk kamu dan kamu tidak berubah”. Itu keputusan yang seperti apa
yang seharusnya diambil oleh seorang isteri terhadap suaminya yang sudah
seperti itu, Pak Paul ?
PG : Dalam kasus itu tidak sehat dan dia
tidak mengakui problemnya, dia tidak mau menyelesaikan problemnya. Jadi memang
si isteri hanya bisa meminta suaminya untuk bertobat dan sadar, tetapi kalau
memang suaminya terus begitu dan tidak mau juga, dalam hal itu saya secara
pribadi akan membenarkan. Dia tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketakutan,
nanti kapan kapan suaminya terkena penyakit atau bersikap kasar atau misalnya
bisa terkena HIV/AIDS dan lain-lain, itu ‘kan bisa terjangkit. Si isteri bisa
menjadi korban, dalam kasus-kasus seperti itu mungkin sekali langkah terakhir harus
berpisah dengan suaminya kalau memang suaminya sama sekali tidak mau melihat
diri untuk bertobat.
GS : Pak Paul, hal lain apa yang bisa
dilakukan atau dikerjakan didalam menjaga supaya jangan terjadi perselingkuhan
atau bahkan pengkhianatan dalam pernikahan ?
PG : Seharusnya kita telah merencanakan
dan melakukan kegiatan yang menyenangkan, jadi pernikahan itu perlu diisi
dengan hal-hal yang memang menyenangkan, karena kalau tidak ada sama sekali
akhirnya lebih banyak kewajiban, tugas, kewajiban, tugas. Akhirnya kita juga
merasa lelah dan setelah itu kita melihat orang lain senang, bisa menyenangkan
kita, kita berkata, “Oh dia pasti lebih baik daripada kita” padahal
tanggungjawab ada pada diri kita sendiri awalnya dengan pasangan kita. Kitalah
yang mesti merencanakan, melakukan hal-hal yang menyenangkan. Misalnya,
sering-seringlah pergi, sering-seringlah rekreasi bersama, nikmatilah ! Tadi
saya sudah singgung, seringkali kita dengan pasangan sendiri tidak bisa, tapi
dengan orang lain baru bisa. Kita berkata, “Bersama dia lebih bahagia”. Dengan
pasangan sendiri kenapa tidak, direncanakan, dicoba untuk dilakukan. Besar
kemungkinan kalau memang dari awal pernikahan kita sudah membiasakan diri untuk
pergi menikmati hidup ini, rekreasi dan sebagainya, kita akhirnya lebih bisa
pergi bersama tanpa harus bertengkar di jalanan, lebih bisa menikmati waktu
dengan pasangan kita. Jadi intinya kegiatan yang menyenangkan akan menciptakan
hati yang senang dan hati yang senang akan menciptakan relasi yang kuat.
DL : Betul itu, Pak Paul. Saya setelah
tidak bekerja, sebelumnya 8 tahun saya bekerja di Surabaya, jauh dari suami.
Setelah tidak bekerja saya merasakan kami hampir tiap pagi jalan sama-sama, itu
sesuatu yang menyenangkan walaupun kami tidak pergi ke tempat yang indah. Kami
ke pasar bersama-sama, itu membuat kami makin akrab. Itu bagus sekali.
PG : Betul, hati yang senang benar-benar
menciptakan relasi yang kuat. Hal-hal yang sederhana seperti itu yang mesti
kita suburkan dalam relasi kita.
GS : Di situ memang pasangan itu harus
saling mengenal, Pak Paul. Karena apa yang menyenangkan buat saya belum tentu
menyenangkan untuk isteri saya. Sehingga harus dicari bersama-sama, apa yang
menyenangkan dan bisa dikerjakan berdua.
PG : Ya, ya. Kadang-kadang sudah tentu
kita harus mengalah, kita mungkin tidak terlalu menyenanginya tapi pasangan
kita menyenangi, ya sudahlah kita mengalah dan sudah tentu ada hal-hal yang
bisa kita lakukan dimana kita dua dua senang. Kata Ibu Dientje tadi tidak harus
mengeluarkan uang yang banyak karena bisa juga kita jalan pagi bersama, itu
juga sudah cukup.
GS : Unsur menyenangkan ini yang penting
untuk dilakukan di sini. Jadi bukan kegiatan itu sendiri tapi perasaan senang
yang ditimbulkan dari itu karena jika hal itu sudah dilakukan berkali-kali lalu
membosankan. Kalau keduanya mulai merasa bosan, cari kegiatan yang lain.
PG : Ya, jadi banyak hal kecil yang bisa
kita lakukan bersama.
GS : Yang lainnya lagi apa, Pak Paul ?
PG : Kita seharusnya memberi lebih banyak
waktu untuk belajar mengambil keputusan bersama. Ini sungguh-sungguh suatu
keterampilan yang mesti kita pelajari. Kita bisa mengambil keputusan, belum
tentu bisa mengambilnya bersama-sama, sehingga keduanya bisa searah. Ada
kalanya orang waktu menikah karena tidak terbiasa, bertengkar karena tidak
cocok. Akhirnya yang mereka lakukan, menyerah. Tidak usah lagi mengambil
keputusan bersama, yang terjadi jurang pemisah makin membesar, makin tidak bisa
mengambil keputusan bersama. Padahal kita tahu dalam hidup ini adakalanya kita
harus mengambil keputusan bersama. Kalau kita menjadi pihak yang pasif,
pasangan kita yang mengambil keputusan terus, lama-kelamaan kita berontak, kita
merasa tidak memunyai hak dalam rumah tangga ini. Akhirnya menimbulkan masalah,
kita bertambah jauh dari pasangan kita. Jadi biasakanlah, belajarlah mengambil
keputusan bersama. Kita misalnya meminta dia untuk mengemukakan pendapatnya,
kita dengarkan mengapa ia berpendapat begini, kita coba mencari jalan tengah,
kita mencari alternatif lain. Memang akan lebih banyak waktu yang harus
diberikan, mungkin sedikit lebih pusing juga, tapi makin sering kita
melakukannya makin bisa kita mengambil keputusan bersama. Nantinya kalau sudah
makin sering dan sudah makin mudah, lain kali tidak begitu lama lagi. Makin
terampil, jadi ini suatu keterampilan yang mesti dikuasai dan yang tadi sudah
saya singgung, saya sayangkan begitu banyak orang yang tidak mau menguasainya
karena merasa sudahlah menyerah, tidak usah. Akhirnya membuat daerah atau wilayah
masing-masing, ini wilayahmu kamu yang ambil keputusan, ini wilayah saya yang
ambil keputusan. Kalau dicampur masing-masing ribut, akhirnya dunianya makin
terpisah, ada jurang dan relasinya pun makin retak.
GS : Kalau saya melihatnya bukan
keputusannya yang penting, Pak Paul, tetapi menyamakan persepsi menghadapi
problem yang dihadapi harus dihadapi bersama-sama, supaya jangan si suami
bicara begini, si isteri bicara begitu apalagi di hadapan anak. Anak akan
menjadi bingung.
PG : Betul sekali, jadi pengambilan
keputusan diawali oleh penyelarasan persepsi, Pak Gunawan, tepat sekali. Dan
itu yang memang susah, jadi harus belajar melihat dengan sudut pandang yang
sama karena itu saja perlu waktu, untuk melihat dengan ‘teropong’ yang sama
karena kita masing-masing membawa ‘teropong’ yang berbeda. Contoh yang paling
mudah, tadi kita baru saja bicara tentang rekreasi bersama, ada orang yang
berkata, “Tidak apa-apa kita keluar uang lebih banyak kita nikmati, namanya
juga rekreasi, tidak apa-apa lebih mahal kita naik pesawat terbang, kita mau
tinggal di hotel yang lebih bagus. Sekali-sekali rekreasi”. Yang satunya
berkata, “Kenapa harus begitu, kalau bisa yang lebih murah mengapa pilih yang
mahal ?” Jadi akhirnya ribut, karena sekali lagi persepsinya sudah berbeda.
Rekreasi harus seperti apa, yang satu begini dan yang lain begitu, akhirnya
bertabrakan. Biarkan terjadi pertengkaran tapi bicara lagi, coba selaraskan
lagi, semakin sering kita selaraskan, perlahan-lahan kita makin sering ketemu
asalkan ada kerelaan untuk mengalah juga di hati, tidak selalu harus menang.
GS : Kalau begitu selain bersama-sama
mengambil keputusan, juga bersama-sama menyelesaikan suatu konflik yang terjadi
di dalam keluarga itu, Pak Paul.
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan. Karena
tidak bisa tidak dalam pengambilan keputusan, misalkan tidak ada keselarasan,
muncul konflik. Bagaimana kita harus menyelesaikan kalau sampai konflik itu
muncul ? Saya mau memberikan beberapa prinsip yang sederhana. Yang pertama
adalah ingatlah bahwa di jalan yang benar ada yang salah dan di jalan yang
salah ada yang benar. Jadi jangan terlalu yakin diri, karena waktu kita
bertengkar menganggap diri benar, seringkali waktu kita amati dalam pendapat
yang kita anggap benar, ada juga hal-hal yang salah. Dan kita anggap pasangan
kita salah semuanya tapi kalau kita pikir-pikir ada benarnya juga mengapa ia
berpikir begitu. Misalnya tadi saya sebut contoh rekreasi itu, mungkin kita
bisa berkata, “Ada benarnya juga tidak usah naik yang mahal, tidak usah tinggal
di hotel yang terlalu bagus, tidak apa-apa hemat di sini atau kita kompromi”.
Jadi ingat prinsip yang pertama itu. Yang kedua, memahami dan menyampaikan
pemahaman adalah separuh jalan menuju perdamaian. Waktu kita konflik cobalah
ulang yang dikatakan oleh pasangan kita untuk memastikan kita sungguh-sungguh
memahaminya. Waktu pasangan mendengar kita mengatakannya dengan tepat, bahwa
itulah yang dia pikirkan, itulah yang dia rasakan, sudah merasa lega. Mungkin
saja jalan menuju perdamaian sekarang sudah lebih mulus. Yang ketiga, prinsip
yang sederhana yang akan saya bagikan adalah kerugian dari mengalah ternyata
tidak seburuk yang dibayangkan dan keuntungan dari kemenangan ternyata tidak
semanis yang dibayangkan juga. Misalkan kita merasa menang, pasangan kita
menurut kepada kita, ya tidak semanis karena dia menurut dengan terpaksa juga.
Kalau kita yang harus mengalah, ya ternyata mengalah juga tidak seburuk yang
kita bayangkan. Dengan perkataan lain, sudahlah jangan terlalu mempertahankan
pendapat, masing-masing belajar untuk lebih cepat mengalah.
GS : Cuma ini ‘kan menyangkut soal gengsi
seseorang untuk mau mengalah, untuk mau mundur sejenak, sehingga biasanya
konflik yang tadinya masalahnya sepele menjadi begitu kompleks, karena banyak
hal yang masuk di situ akhirnya.
PG : Ya seringkali seperti itu juga, Pak
Gunawan.
GS : Berarti masih ada hal lain yang
perlu kita kerjakan untuk menjaga supaya tidak ada pengkhianatan dalam
pernikahan, apa itu, Pak Paul ?
PG : Yang lain seharusnya kita lebih
membatasi diri dan lebih mengawasi pasangan dalam pergaulan. Kita sendiri harus
menerapkan monitor untuk diri kita, batasilah jangan terlalu bebas. Tapi juga
penting mengawasi pasangan, sekali-sekali kita harus menanyakan, “Mengapa pulangnya
malam ? Kok kamu harus mengantar dia ?” Tidak apa-apa bertanya seperti itu.
Berikan ijin kepada pasangan kita untuk bertanya apabila memang ia meragukan.
Kita harus sadar bahwa diri kita memunyai rasa ingin tahu, termasuk rasa ingin
tahu dosa. Mau melakukan perselingkuhan, rasanya bagaimana ya ? Kadang-kadang
muncul rasa ingin tahu melahirkan rasa ingin puas dari hubungan selingkuh itu.
Rasa ingin puas melahirkan rasa ingin lagi, jadi kita mesti hati-hati dalam
pergaulan jangan anggap remeh sebab perselingkuhan dimulai dari pergaulan yang
bebas itu.
GS : Biasanya orang yang berselingkuh
atau berkhianat itu selalu punya alasan untuk menutupi kesalahannya.
PG : Ya, dia tidak mudah untuk berkata,
“Ya ini kesalahan saya, saya memang lemah”. Memang tidak mau mengakuinya.
GS : Jadi mana yang lebih utama kita
lakukan, mengawasi diri sendiri atau mengawasi pasangan kita ?
PG : Sudah tentu kalau kita memang
menyadari kelemahan kita, kita harus mengawasi diri sendiri sebab pasangan kita
tidak selalu bersama kita dan kita selalu bisa berbohong. Maka kita harus
mengawasi diri sendiri yang paling penting, kita tahu bahwa Tuhan melihat kita
dan mengawasi.
GS : Tapi itu sebenarnya bisa kita
sharingkan dengan pasangan kita dan mengatakan untuk tidak segan-segan mengoreksi
kita atau melakukan pengawasan terhadap diri kita. Dengan ijin yang kita
berikan itu memudahkan pasangan melakukan pengawasan, Pak Paul.
PG : Itu saya kira memang harus kita
lakukan meskipun kita mungkin tidak suka ditanya-tanya oleh pasangan tapi lebih
baik begitu sehingga kita juga lebih berhati-hati daripada kita tahu kita bisa
bebas berbuat semau-maunya. Pasangan tidak akan bertanya, kita manusia berdosa
bisa sekali waktu lengah dan jatuh.
DL : Tapi intinya kalau kita takut akan
Tuhan, kita tidak akan seperti itu, Pak Paul ?
PG : Maka saya masukkan lagi yang berikut
adalah dalam mencegah perselingkuhan kita seharusnya lebih banyak memberi
perhatian pada hal-hal rohani, ini memang kuncinya. Kita mesti mengasihi Tuhan
lebih, melayani Tuhan, benar-benar takut Tuhan, jangan main-main ! Harus
benar-benar hidup kudus, itu yang kita harus pentingkan.
DL : Pak Paul, kalau sudah terlanjur,
sudah ketahuan dikhianati, apakah isteri atau suami bisa menerima kembali
pasangannya apa adanya, karena tentu ada ganjalan dalam hatinya ?
PG : Ini pertanyaan yang penting, Bu
Dientje. Apa yang harus dilakukan kalau sudah terjadi seperti itu ? Langkah
pertama yang akan saya tanyakan, bukanlah menanyakan apakah ia berniat
memulihkan relasi tapi kita memang harus bertanya, apakah kita berniat
memulihkan relasi. Mengapa kita harus bertanya demikian, sebab kalau kita
berniat memulihkan relasi, perjalanannya panjang. Kita mesti memiliki
kesabaran, membereskan masalah akibat perselingkuhan itu panjang sekali, kita
mesti sabar. Yang kedua adalah, memang diperlukan dukungan yang kuat, kita
mesti memunyai teman atau sahabat atau keluarga atau hamba-hamba Tuhan yang
bisa memberikan kita dukungan, karena kita akan anjlok naik turun, naik turun
diombang-ambingkan oleh perasaan kita, oleh tindakannya dia dan yang berikut
adalah diperlukan iman yang tegar benar-benar. Kita harus terus berdoa,
bergantung pada Tuhan dan kekuatan-Nya karena kalau tidak anjlok lagi. Memang
ini perjalanan yang sangat susah, pertama-tama kita harus bertanya, apakah kita
berniat memulihkan ? Kalau kita berniat nah itulah konsekwensinya harus kita
tanggung.
DL : Apakah akibatnya bagi anak-anak,
misalnya anak-anak sudah melihat ayahnya selingkuh lalu sekarang ayahnya
bertobat lagi, ibunya menerima, apakah itu tidak ada sesuatu misalnya ada anak
yang benci kepada ayahnya ?
PG : Sudah pasti itu hal yang perlu
dibereskan, harus dibereskan lewat konseling dan itu akan makan waktu lagi.
GS : Selain niat yang begitu kuat, Pak
Paul, langkah konkret apa yang bisa kita lakukan ?
PG : Pertama, kita harus menimba kekuatan
setiap hari dari Tuhan lewat doa dan firman-Nya, tidak bisa lepas setiap hari
datang kepada Tuhan. Kedua, kita mesti fokuskan perhatian kita pada tugas dan
tanggungjawab kita saja, bukan pada tugas dan tanggungjawab pasangan kita. Kita
tidak bisa berkata, “Kamu seharusnya memikirkan, kamu seharusnya di rumah”.
Memang dia tidak mau, dia sedang sibuk dengan orang lain. Fokuskan pada
tanggungjawab kita saja. Yang ketiga, jangan terlalu memperhatikan detail
perbuatannya, sebab ini akan mengayunkan suasana hati kita. Kadang-kadang saya
mendapat komentar seperti ini dari korban perselingkuhan, “Aduh dia hari ini
kelihatannya baik, dia hari ini memerhatikan saya”, dia senang. Keesokan
harinya menghubungi saya lagi dan berkata, “Wah, dia kemarin tidak pulang,
sampai pagi baru pulang” anjlok lagi. Saya sering katakan, “Jangan perhatikan
detailnya, dia akan naik turun, dia akan baik, dia akan meninggalkan kamu,
jangan dipusingkan”. Fokuskan saja pada diri jadi yang mesti kita ingat adalah
keluarga memerlukan kestabilan dan saat ini kita adalah satu-satunya tiang
dalam keluarga. Jadi kita mesti kuat, mesti stabil demi anak-anak kita.
GS : Memang banyak langkah konkret yang sudah
Pak Paul sampaikan, namun sebelum kita menyudahi perbincangan ini apakah ada
ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Roma 5:3-5 berkata, “Dan
bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena
kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan
menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan
tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh
Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita”. Ini firman Tuhan yang
kita dapat gunakan sebagai pegangan dalam menghadapi krisis pengkhianatan dalam
keluarga kita. Kita mau bertahan sebab kita tahu kesengsaraan ini bisa
membentuk kita menjadi orang yang lebih tangguh, yang lebih tekun lagi dan kita
tahu bahwa Tuhan dengan kasih-Nya sudah mencurahkan pada kita kasih karunia-Nya
dan itu akan bisa memberikan kepada kita pengharapan.
GS : Terima kasih Pak Paul, dan para
pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti
perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur
Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Pengkhianatan
Dalam Pernikahan” bagian yang kedua dan terakhir. Bagi Anda yang
berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi
kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK)
Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org
kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org.
Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya
dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa
pada acara TELAGA yang akan datang.