Pengaruh Relasi Anak-Orangtua Pada Pernikahan Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T513B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Di antara semua relasi, mungkin terpenting adalah relasi anak dan orangtua. Bukan saja relasi ini berdampak pada perkembangan jiwa anak, relasi ini pun berdampak pada relasi anak dan keluarganya kelak. Berikut ini akan dipaparkan dampak relasi anak dan orangtua pada relasi anak dan keluarganya serta saran bagaimana mengurangi dampak negatifnya
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Di antara semua relasi, mungkin terpenting adalah relasi anak dan orangtua. Bukan saja relasi ini berdampak pada perkembangan jiwa anak, relasi ini pun berdampak pada relasi anak dan keluarganya kelak. Berikut ini akan dipaparkan dampak relasi anak dan orangtua pada relasi anak dan keluarganya serta saran bagaimana mengurangi dampak negatifnya.

  1. Berkaitan dengan PEMILIHAN PASANGAN HIDUP.
    Di dalam relasi anak dan orangtua yang positif, besar kemungkinan anak akan memilih pasangan hidup yang menyerupai orangtuanya yang berlawanan jenis. Jadi, anak laki memilih istri yang menyerupai ibunya sedang anak perempuan memilih suami yang menyerupai ayahnya. Sebaliknya, bila relasi anak dan orangtua negatif, maka besar kemungkinan anak akan memilih pasangan hidup yang tidak menyerupai orangtuanya yang berlawanan jenis. Ada satu hal yang mesti kita sadari dalam hal pemilihan pasangan hidup yaitu kita tidak memilih atau tertarik pada seseorang secara acak atau kebetulan. Sesungguhnya ada dua faktor yang berperan dalam menentukan dengan siapakah kita tertarik yaitu (a) faktor familiarity atau seberapa asingnya orang itu buat kita dan (b) faktor security atau seberapa amannya orang itu buat kita. Singkat kata, kita cenderung memilih pasangan yang buat kita tidak asing lagi serta menciptakan rasa aman, dan menjauh dari orang yang asing dan membuat kita terancam. Dari kedua faktor itu ternyata, faktor yang lebih kuat menentukan pilihan kita adalah faktor KEAMANAN. Itu sebab, jika relasi kita dan orangtua positif, kita memilih pasangan yang serupa dengan orangtua sebab pilihan itu tidak asing lagi serta memberi rasa aman. Sebaliknya, bila relasi kita dan orangtua negatif, kita memilih yang tidak menyerupai orangtua karena, walau asing atau berbeda dari orangtua, kita merasa lebih aman. Di dalam memilih pasangan hidup kita harus jeli; kita mesti melihat orang sejelas-jelasnya dan seutuh mungkin. Salah satu bahaya yang kadang luput diperhatikan adalah, kita tidak melihat pasangan secara jelas dan utuh. Maksud saya, kita terlalu cepat menyimpulkan bahwa orang itu sepadan dengan kita atas dasar kesamaan atau perbedaan yang kita lihat. Di dalam kasus relasi yang positif dengan orangtua, begitu kita melihat bahwa orang itu memunyai kesamaan dengan orangtua, kita langsung memutuskan bahwa ia adalah orang yang tepat buat kita. Padahal di balik kesamaan ada segudang perbedaan antara orang itu dan orangtua, perbedaan yang harus diperhatikan karena berpotensi menimbulkan ketegangan. Di balik perbedaan ada sejumlah kesamaan antara orang itu dan orangtua, kesamaan yang berpotensi menciptakan masalah. Itu sebab kita perlu berhati-hati; kita mesti mengenal pasangan secara jelas dan utuh sebelum menikah.
  2. Berhubungan dengan PENGELOLAAN EMOSI.
    Bila kita dibesarkan di dalam keluarga di mana pengekspresian emosi diredam, besar kemungkinan kita pun akan berbuat yang sama dengan keluarga kita kelak. Misalkan, jika orangtua melarang kita untuk mengutarakan kekesalan atau kemarahan, besar kemungkinan kita pun akan melarang keluarga kita kelak untuk mengekspresikan rasa kesal atau marah. Sebaliknya, kita akan menuntut keluarga untuk selalu menyatakan emosi gembira atau puas. Sudah tentu saya tidak menganjurkan kita untuk mengumbar perasaan tanpa kendali. Tidak! Kita perlu menguasai emosi sehingga emosi dapat keluar dengan tepat dan sesuai takaran. Yang tidak seharusnya kita lakukan adalah meredam emosi tertentu sehingga emosi tersebut menghilang dari hidup kita. Masalahnya adalah pembatasan emosi seperti itu membuat kita pincang. Makin hari makin kita tidak bersentuhan dengan realitas dan reaksi kita yang sesungguhnya. Dan, sudah tentu emosi itu bukannya lenyap, melainkan ditekan ke dalam saja. Setelah berkeluarga kita cenderung menerapkan peraturan yang sama dan ini membuat pasangan dan anak menderita serta hidup terkungkung. Akhirnya relasi kita dengan mereka mandeg dan tidak dapat mendalam lagi. Sama seperti kita, mereka pun tidak bisa mengelola emosi dengan baik dan cenderung bersikap ekstrem. Jika tak terbendung lagi, luapan emosi pun keluar dengan sangat kuat dan liar. Jika kita dibesarkan di dalam keluarga di mana emosi keluar dengan bebas tanpa rem, kita pun cenderung mengembangkan pola yang serupa. Kemarahan yang membara di hati selalu siap meledak, kapan saja kita merasa tidak senang. Kita pun perlu menekankan kepada keluarga bahwa kemarahan atau emosi lainnya adalah bagian yang wajar dari kehidupan kita sebagai manusia. Bukan saja kita perlu menerimanya, kita pun harus mendorong keluarga untuk berani mengungkapkan perasaannya.

  3. Berkaitan dengan CARA MEMBESARKAN ANAK.
    Pada umumnya kita cenderung mengadopsi cara orangtua membesarkan kita. Kendati kita tidak menyenanginya tatkala kecil, pada akhirnya kita menerapkan metode yang sama. Sebagai contoh, jika orangtua menggunakan pukulan, maka kita cenderung menerapkan pukulan dalam mendisiplin anak. Sebaliknya, jika orangtua tidak menggunakan pukulan, kita pun cenderung tidak menggunakan pukulan dalam membesarkan anak. Bila orangtua irit memuji, kita pun irit memuji. Sebaliknya, jika orangtua sering memuji, kita pun cenderung memuji anak.

Amsal 17:6, "Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka". Bila kita membesarkan anak dengan baik, mereka pun setelah dewasa cenderung membesarkan anak dengan baik pula. Bagi kita mereka adalah mahkota yang kita kenakan di kepala yang membuat kita bangga.