Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini bersama dengan Ibu Wulan, S.Th kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengampuni", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, tema yang akan kita bicarakan pada malam hari ini rupanya sangat menarik, karena banyak atau sering kali dibicarakan tetapi pelaksanaannya yang sulit. Dan diharapkan dengan perbincangan ini akan ada satu arahan berdasarkan firman Tuhan yang Pak Paul bisa sampaikan. Tetapi sebenarnya bagaimana dengan mengampuni itu sendiri Pak Paul, bukankah banyak dibicarakan tetapi kenapa tetap sulit untuk dilaksanakan?
PG : Mengampuni sangat terkait dengan atribut atau karakter Tuhan, sebab Tuhan yang kita kenal adalah Tuhan yang mengampuni. Bahkan dasar dari relasi kita dengan Tuhan adalah pengampunan itu sediri yang kita terima dari Tuhan.
Seperti tadi Pak Gunawan sudah katakan, memang sering kali kita mendengar himbauan atau penjelasan dari firman Tuhan tentang mengampuni. Dan salah satu yang sering kali dikutip adalah
Matius 18:21-22, di mana terjadi percakapan antara Petrus salah seorang murid Tuhan dan Tuhan Yesus. Dikatakan di sini, Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Bagaimanakah mungkin kita mengampuni orang sebanyak itu, yang secara tidak langsung berarti tanpa batas. Inilah pertanyaan yang coba kita akan jawab pada perbincangan hari ini.
GS : Memang tepat sekali apa yang dipertanyakan oleh Petrus, bagaimana kita bisa mengampuni orang sampai tujuh puluh kali tujuh. Pada hakekatnya bukan 490-nya tetapi tanpa batas yang tadi Pak Paul katakan. Sebenarnya kesulitan atau hambatan-hambatan apa yang sering kali dialami oleh kita atau oleh seseorang di dalam hal mengampuni orang lain ini Pak Paul?
PG : Ada beberapa, yang pertama adalah kita ini memiliki kodrat keadilan, dan sebagai makhluk yang dianugerahkan kodrat keadilan kita terdorong untuk menuntut balas tatkala kita dirugikan. Kitamempunyai kodrat keadilan, dan keadilan adalah setimpal atau sepadan.
Jadi kalau orang merugikan kita; supaya keadilan itu ditegakkan, kita merasakan dorongan untuk memberikan balasan. Dan juga karena kita mempunyai kodrat keadilan, kita ingin menghukum perbuatan salah itu dengan ganjaran yang menurut kita setimpal dengan tindakannya. Jadi waktu orang berbuat sesuatu yang merugikan atau menyakiti kita karena kita makhluk yang memiliki kodrat keadilan, kita langsung terdorong secara alamiah mau memberikan balasan atau ganjaran yang menurut kita setimpal dengan tindakannya. Saya kira ini penghalang pertama mengapa sukar bagi kita untuk mengampuni orang. Sebab mengampuni berarti kita merelakan lepasnya hak untuk mengganjar atau membalas perbuatan orang itu.
WL : Kalau konteksnya dalam hal berbangsa dan bernegara Pak Paul; kita selalu mengidam-idamkan adanya penegakan keadilan. Bagaimana pendapat Pak Paul sendiri, kaitannya dengan keadilan ini. Apakah Pak Paul setuju; ya sudah diampuni saja para koruptor dan semua yang sejenis itu, Pak Paul?
PG : Nah, ini bagus sekali, kita perlu mengklarifikasi bahwa yang Tuhan maksudkan di sini bukanlah hukum kenegaraan atau hukum dalam masyarakat, tetapi ini adalah konteksnya relasi pribadi. Waku orang berbuat salah kepada kita, Tuhan meminta kita mengampuni perbuatan salah itu.
Nah, ini harus dibedakan dari keadilan yang harus ditegakkan di dalam sebuah masyarakat. Maka di Perjanjian Lama pun Tuhan menetapkan sanksi atau hukuman bagi orang yang melakukan pelanggaran. Sebab tanpa adanya hukuman bagi perbuatan salah, maka kita akan menciptakan masyarakat yang cenderung anarkis, semua orang akhirnya cenderung berbuat semaunya atau seenaknya. Jadi sekali lagi konteks pembicaraan antara Petrus dan Tuhan Yesus ini adalah konteks relasi interpersonal, relasi kita dengan sesama. Apakah tindakan kristiani, sewaktu orang melakukan hal-hal yang menyakiti hati kita.
GS : Terkait dengan itu Pak Paul, misalnya ini penipuan, kita ditipu oleh saudara kandung sendiri, nah secara hukum dia pasti akan dihukum karena itu di bawa ke pengadilan. Lalu bagaimana sikap kita, kadang-kadang kita sulit memberikan pengampunan walaupun itu saudara kandung yang sudah jelas-jelas makan uang kita?
PG : Dan kesulitannya adalah karena kita merasa dikhianati, ditipu oleh saudara kandung sendiri dan ini membuat kita merasa sakit dan marah. Ini adalah salah satu rintangan juga Pak Gunawan, ritangan yang menyukarkan kita untuk mengampuni.
Sewaktu kita merasakan sakit dan marah, membuat kita terdorong ingin melampiaskan emosi sakit dan marah itu; emosi terluka dan emosi marah. Dalam bentuk apakah kita ingin melampiaskannya? Dalam bentuk pembalasan. Sebab emosi yang kuat itu seolah-olah mendorong untuk keluar dari dalam diri kita, keluarnya dalam bentuk tindakan pembalasan. Waktu kita mengeluarkan tindakan pembalasan itu, memang lebih mudah bagi kita untuk menyurutkan intensitas marah dan sakit yang kita rasakan. Itu sebabnya emosi sewaktu begitu membara benar-benar menghalangi kita untuk mengampuni. Pada waktu kita mengingat perbuatan yang jahat itu kita merasakan sakit dan marahnya, nah pada detik-detik itu memang sangat sukar sekali bagi kita untuk berkata saya mengampunimu. Justru yang rasanya ingin kita lakukan adalah memberikan balasan, dengan memberikan balasan emosi kita keluar, maka intensitas kemarahan kita mulai mereda pula.
WL : Pak Paul, berkaitan dengan penjelasan Pak Paul, biasanya kalau orang-orang yang mempunyai masalah sakit hati, sulit mengampuni sampai bertahun-tahun belum selesai, itu 'kan agak tertolong dengan proses terapi. Kemudian klien ditolong untuk kembali ke moment itu, lalu dilampiaskan di hadapan terapisnya. Apakah menurut Pak Paul sendiri, proses seperti itu sebenarnya proses "membalas" juga; mengeluarkan semua unek-unek kemarahan kita kepada orang hanya tidak di depan orangnya. Apakah seperti itu atau yang lain?
PG : Saya kira kita mesti pecah menjadi dua antara melampiaskan atau mengeluarkan emosi dan melakukan pembalasan. Jelas Tuhan berkata: Pembalasan adalah hak-Ku/hak Tuhan, jadi itu sesuatu yang emang milik Tuhan secara eksklusif.
Manusia tidak diberikan hak untuk membalas dalam relasi interpersonal. Sekali lagi saya tekankan, dalam masyarakat manusia diharapkan Tuhan untuk menegakkan keadilan, menciptakan sistem peradilan yang melibatkan hukuman pada orang yang telah melakukan pelanggaran. Nah, dalam relasi interpersonal ini saya kira sah dan baik bagi kita untuk bisa melampiaskan atau mengeluarkan rasa sakit dan marah kita. Namun jangan sampai rasa sakit dan marah itu akhirnya berkelanjutan dalam bentuk tindakan konkret yaitu membalas orang lain, itu yang Tuhan minta kita untuk berhenti. Kita boleh mengeluarkan isi hati kita, rasa sakit kita, dan marah kita tapi kita diminta Tuhan berhenti di situ. Tuhan tidak mau kita melangkah maju dan mengambil posisi sebagai pembalas, itu adalah hak Tuhan. Jadi menjawab pertanyaan Ibu Wulan tadi, dalam konteks terapi apakah dibenarkan? Sangat-sangat dibenarkan, justru itu adalah cara yang sehat untuk orang bisa mengeluarkan beban-beban dan kepahitannya. Nah setelah itu dikeluarkan, otomatis intensitas emosi yang tadi menekannya sekarang mulai berkurang.
GS : Tapi dia sendiri bukankah belum tentu mengampuni orang yang bersangkutan atau yang bersalah kepada dia itu?
PG : Betul, pada saat itu setelah dia mulai merasakan hatinya tidak lagi berat ditekan oleh emosi marah dan sakit, dia dapat melihat masalah dengan lebih jernih dan mengambil keputusan untuk megampuni.
Ini yang harus kita tekankan, bahwa pada akhirnya yang penting adalah kita mau atau tidak mengampuni. Yang Tuhan minta kepada kita adalah kemauan kita utuk mengampuni, maka di Matius pasal 5 Tuhan juga berkata: "Jikalau kamu tidak mengampuni saudaramu, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni engkau." Nah, apakah pengampunan itu bisa langsung kita berikan? Bisa, dalam pengertian secara rasional kita berketetapan hati mau mengampuni. Namun dari titik ketetapan hati sampai benar-benar bisa melihat dia dengan biasa lagi tanpa amarah, tanpa kebencian, dan sebagainya itu akan memerlukan waktu. Semakin dalam luka berarti semakin panjang waktu yang kita butuhkan. Tapi yang penting adalah adanya ketetapan hati, adanya kemauan untuk mengampuni, tinggal nanti dalam pelaksanaannya kita memang harus jatuh bangun bergumul untuk mengampuni orang yang telah bersalah kepada kita.
GS : Kalau satu pengampunan saja sudah begitu sulit untuk dilakukan apalagi tadi yang Tuhan Yesus katakan harus mengampuni tujuh puluh kali tujuh, bagaimana hal itu bisa terjadi?
PG : Pertama-tama kita ingin lebih jelas lagi melihat perkataan Tuhan itu. Petrus berkata kita itu dituntut untuk mengampuni tujuh kali, nah bagi Petrus tujuh kali adalah suatu jumlah secara haafiah, benar-benar 1 2 3 4 5 6 7 setelah tujuh kali kami tidak akan lagi memberikan pengampunan.
Yang kami lakukan adalah memberikan pembalasan, jadi Petrus melihatnya secara harafiah. Tuhan mengajar Petrus untuk tidak melihatnya secara harafiah, Tuhan menjelaskan tujuh puluh kali tujuh kali; Tuhan tidak membicarakan tentang masalah jumlah atau angka. Tuhan sedang mengajarkan Petrus untuk memiliki sifat atau karakter pengampun dan untuk bisa menjelaskannya dengan cara yang mudah dimengerti oleh Petrus dan kita semua, Tuhan menggunakan jumlah atau angka, 490 kali. Yang jelas kita tahu itu bukanlah menunjukkan angka atau jumlah, tapi sebuah jumlah yang tak terbatas. Dengan kata lain, Tuhan menginginkan sifat pengampun menjadi bagian dari kehidupan kita sebagai anak-anak Tuhan. Apa yang harus kita lakukan? Yang pertama, mengampuni seseorang lebih dari sekali hanyalah dimungkinkan bila kita memandang perbuatannya satu per-satu. Maksud saya, kecenderungan kita adalah menyamaratakan satu perbuatan salah dengan perbuatan-perbuatan yang lain. Dan mengaitkan satu perbuatan dengan pribadi orang secara keseluruhan. Jadi kita langsung menganggap orang ini seperti perbuatannya yang telah menyakiti kita. Sedangkan belum tentu satu perbuatan mewakili atau mencerminkan pribadi orang itu secara keseluruhan. Untuk bisa mengampuni orang terus-menerus, memang kita ini harus melihat perbuatan orang itu sedikit banyak terpisah dari pribadinya. Dan belum tentu perbuatannya mencerminkan dirinya secara utuh, kita benar-benar hanya menyoroti perbuatannya itu. Dengan cara itulah kita lebih dimungkinkan mengampuni perbuatannya yang kedua, sebab kita tidak lagi mengaitkan perbuatannya yang kedua dengan perbuatannya yang pertama. Dan kita tidak mengaitkan perbuatannya yang pertama dan kedua sebagai pencerminan dari karakter orang itu secara keseluruhan. Sekali kita mengelompokkan orang itu sebagai inilah sifatnya, gara-gara perbuatannya yang menyakiti kita, kita tidak akan bisa mengampuninya. Jadi kita hanya bisa mengampuni kalau kita memang memisahkan perbuatan yang pertama dengan yang kedua, dan perbuatan-perbuatan itu dari dirinya secara utuh.
GS : Tetapi bagaimana itu bisa dihindari karena sering kali perbuatan yang kedua itu sangat terkait dengan yang pertama. Misalnya suami yang suka memukul istrinya, dia sudah nangis-nangis minta maaf dan istrinya memaafkan dia, tapi lain kali dia pukul lagi. Nah perbuatannya yang pertama dan kedua itu sangat terkait Pak Paul?
PG : Betul, jadi adakalanya itu yang terjadi Pak Gunawan, memang perbuatan satu, dua dan tiga itu sangat terkait karena sama, jadi bukan saja terkait tapi memang sama. Kalau sama memang kita akirnya menyimpulkan ini adalah suatu kesengajaan sebab diulang lagi dan diulang lagi.
Nah apa sikap kita? Sebetulnya tetap, respons kristiani yang Tuhan harapkan dari kita adalah memberi pengampunan. Selain memberi pengampunan, kita juga dituntut Tuhan untuk hidup berhikmat. Artinya apa? Misalkan kita melihat contoh suami yang memukuli istri, kita berusaha menghindari faktor pemicu yang menyebabkan suami itu memukul kita. Misalkan mata kita yang menantangnya, suara kita yang meninggi atau emosi kita yang histeris dan sebagainya. Hal-hal seperti itu bisa kita hindarkan. Atau kalau memang suami kita tidak mempunyai masalah dengan tindakan-tindakan kita itu, tapi memang sifatnya atau perangainya yang jahat, sedikit-sedikit mau memukul berarti kita perlu berhikmat. Misalkan kita berkata kepadanya: "Sekali lagi engkau memukul aku, aku akan laporkan engkau pada polisi." Dan benar-benar dia memukul kita kedua kalinya, kita laporkan ke polisi, minta perlindungan polisi dan minta polisi untuk menangkapnya karena ini adalah tindak kriminal memukuli orang. Jadi dengan kata lain, kita dituntut Tuhan untuk juga bertindak melindungi diri kita dalam situasi seperti itu. Apakah dengan kita melindungi diri itu identik dengan kita tidak mengampuninya? Ya tidak, kita tetap bisa mengampuninya.
WL : Kalau misalnya seseorang melakukan tindak kejahatan yang secara umum cukup besar. Misalnya membunuh orang yang kita kasihi, jangankan kesalahan dapat dipisahkan dengan kesalahan yang lain, jangankan kita bisa mengampuni perbuatan yang kedua, ketiga, keempat, kelima, yang pertama saja masih sulit sekali untuk diampuni, Pak Paul?
PG : Nah, ini kita masuk ke point berikutnya Ibu Wulan, mengampuni berulang kali melawan kodrat manusiawi kita, dan hanya dimungkinkan bila kita hidup di dalam Tuhan. Sebab mengampuni berulang ali sesungguhnya kodrat ilahi, jadi betul sekali perkataan Ibu Wulan tadi.
Mustahil bagi kita mengampuni orang yang melakukan kesalahan yang begitu jahat berulang kali. Sebab secara manusiawi itu memang tidak sesuai dengan kodrat kita. Jadi kita simpulkan mengampuni berulang kali sungguh-sungguh adalah kodrat ilahi. Nah, kalau ini kodrat ilahi berarti kita hanya bisa melakukannya dengan kuasa Tuhan. Kita mesti hidup dekat dengan Tuhan, karena hanya dekat dengan Tuhanlah kuasa-Nya baru dapat mengalir masuk ke dalam diri kita dan memampukan kita melakukan sesuatu yang ilahi seperti mengampuni ini. Bagaimana caranya Tuhan menolong kita dan memampukan kita untuk mengampuni, benar-benar kita tidak bisa menciptakannya, merekayasanya supaya ada. Kita hanya perlu hidup dekat dengan Tuhan, bersekutu sangat akrab dengan Tuhan dan meminta kuasa-Nya untuk bisa mengampuni orang. Nah kalau itu terjadi barulah pada akhirnya kita bisa mengampuni, nah ini sesuai dengan yang Tuhan Yesus katakan di
Yohanes 15:4, "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku." Jadi kita harus bersarang, berakar pada pokok anggur, pada Tuhan Yesus sendiri. Barulah nanti kita akan menerima aliran kuasa-Nya untuk dapat mengampuni orang yang bersalah kepada kita.
GS : Ya memang didalam hal mengampuni kadang-kadang terbersit rasa khawatir, nanti kalau sudah diampuni dia seenaknya saja terhadap diri kita. Lalu memudahkan atau menggampangkan segala sesuatu begitu saja, "O....gampang kok, nanti toh diampuni lagi." Nah ini sikap kita harus bagaimana, Pak?
PG : Kita mengampuni itu dalam pengertian, di dalam hati kita memang mau menghapus kesalahannya, sehingga kita mau melihat dia itu sebagai manusia yang baru. Tapi di dalam prakteknya atau kenyaaannya, apakah kita tidak boleh misalkan kita sebagai seorang guru, melihat siswa melakukan kesalahan yang sama.
Nah sudah sepatutnyalah kita memberikan ganjaran atau sanksi kepada siswa kita itu. Atau kita sebagai orang tua melihat anak kita melakukan perbuatan yang salah berulang kali, apakah kita tidak boleh memberikan ganjaran kepadanya? O....silakan, kita memberikan ganjaran sesuai dengan perbuatannya agar dia belajar untuk tidak mengulangi perbuatannya itu. Jadi dengan kata lain, pengampunan memang adalah sebuah sikap hati, sungguh-sungguh sikap hati di dalam diri kita. Namun dalam caranya kita nanti memperlakukan orang yang telah berbuat salah kepada kita, saya kira terbuka banyak pilihan. Adakalanya karena kita belum bisa atau belum siap berbicara dengan pasangan kita yang telah menyakiti hati kita, mungkin kita perlu waktu untuk berdiam diri dan kita berkata kepadanya, "Mohon berikan saya waktu untuk berdiam diri, saya belum bisa bicara dengan engkau. Berikan saya waktu mungkin selama 3, 4 hari ini atau seminggu ini atau dua minggu ini engkau melukai aku terlalu dalam, aku hendak berdiam diri terlebih dahulu." Pasangan kita sudah tentu akan merasa terhukum, namun tujuan kita memang untuk bisa memulihkan perasaan kita yang telah disakiti itu. Nah, sekali lagi itu salah satu pilihan tindakan yang mungkin sekali lebih mendidik, lebih mendewasakan pasangan kita atau anak kita atau siapa pun, supaya nanti waktu berelasi dengan kita mereka jadinya akan lebih berhati-hati.
GS : Memang sangat terkait sekali antara pengampunan dengan bagaimana kita itu menyerahkan diri pada Tuhan, Pak Paul. Kalau kita percaya bahwa Tuhan yang sudah mengampuni kita lalu kita bisa mengampuni orang lain, itu kemampuan yang Tuhan berikan secara khusus kepada kita sebenarnya.
PG : Betul Pak Gunawan, jadi pengampunan sebetulnya terkait dengan iman, semakin besar iman semakin mungkin kita mengampuni orang. Kenapa saya berkata begitu? Karena sewaktu kita menolak mengamuni dan kita ingin membalas, sebetulnya itu salah satu cara untuk mulai pembalasan; pembalasan merupakan upaya kita untuk melindungi diri.
Jadi pembalasan bisa kita tafsir sebagai perisai yang kita gunakan, jangan sampai orang ini mengulangi perbuatannya yang menyakiti kita, maka kita memberikan balasan kepadanya. Jadi balasan itu sebagai salah satu bentuk untuk melindungi diri kita. Jadi yang saya katakan tadi, terkait dengan iman di sini; kalau kita memang bisa menyerahkan semua kepada Tuhan dan percaya bahwa masih ada Tuhan yang dapat melindungi kita, kita memang lebih mampu untuk mengampuni. Sebab kita tahu bahwa meskipun saya mengampuni dan meskipun saya menjadi lebih rawan dan dilihat oleh dia seolah-olah saya itu lemah, tapi saya percaya Tuhan akan melindungi saya. Jadi tidak apa-apa saya memberikan pengampunan, karena saya tahu Tuhan akan tetap melindungi saya. Itu sebabnya tadi saya katakan ada korelasi antara iman, percaya, bersandar sepenuhnya kepada Tuhan untuk melindungi kita dan kemampuan untuk mengampuni.
WL : Ada orang yang mempunyai konsep iman begini, "Ya, sudah saya tidak usah membalas 'kan pembalasan dari Tuhan jauh lebih dahsyat dari apa yang bisa saya lakukan." Berarti sebenarnya dia bukan murni mengampuni Pak, karena setiap kali dia berpikir ya sudah pembalasan dari Tuhan pasti lebih besar dari apa yang bisa saya lakukan, begitu Pak Paul.
PG : Saya kira itu juga dimaklumi oleh Tuhan, dalam kemarahan, dalam kesakitan kita sebetulnya ingin membalas, tapi Tuhan meminta kita berhenti hanya pada pengekspresian kemarahan. Dan salah sau bentuknya seperti yang tadi Ibu Wulan katakan, "Tuhan, balaskan sakit hatiku, biarlah Engkau nanti yang memukulnya supaya dia kapok dan sebagainya."
Silakan tidak apa-apa, karena itu adalah cetusan hati kita yang telah disakiti oleh orang.
WL : Itu rasanya tidak sepantasnya diucapkan, Pak Paul?
PG : Ya, saya mengerti, seolah-olah itu mengotori lidah, mengotori hati, tidak kudus lagi. Tapi itulah yang dilakukan oleh Daud di dalam Mazmurnya. Berkali-kali Daud berkata hal-hal seperti itu "Patahkanlah rahangnya Tuhan," seolah-olah Daud meminta Tuhan untuk menonjok musuhnya itu.
Jadi itu adalah cetusan, cetusan hati yang marah, yang sakit dan Tuhan menerima. Sebab Tuhan sudah katakan jangan membalas, karena membalas itu adalah milik-Ku atau Hak-Ku. Jadi selama engkau tidak membalas dan engkau hanya cetuskan perasaan-perasaan itu, Tuhan akan terima dan dengarkan. Apakah nanti Tuhan akan membalasnya seperti yang kita harapkan? Itu nanti juga adalah hak eksklusif Tuhan.
GS : Memang ini sesuatu yang tidak mudah dilakukan, tapi kita percaya Roh Tuhan yang ada di dalam diri kita itu akan menolong kita atau memampukan kita untuk memberikan pengampunan kepada sesama kita. Terima kasih sekali untuk perbincangan kali ini dan juga untuk Ibu Wulan terima kasih. Kepada para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih karena Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengampuni". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.