Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang peran orang tua dalam pendidikan anak pada usia dini yaitu usia sejak lahir sampai sekitar 10 tahun. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kali ini kami ingin mengajak para pendengar untuk ikut berbincang-bincang di dalam peran orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Dan ini mungkin secara khusus perlu ditujukan kepada pasangan-pasangan muda, pasangan suami-istri yang muda, yang mempunyai anak-anak kecil. Kita semua menyadari bahwa pendidikan anak itu dimulai dari rumah dan merupakan dasar yang sangat penting, bukan begitu Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, ada satu ayat dari Amsal 29 : 17 yang berkata: Didiklah
anakmu, maka ia akan memberikan ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu. Jadi memang Alkitab meminta kita, ini bukanlah pilihan agar kita mendidik anak kita, dan tujuannya adalah waktu anak kita terdidik dengan baik dia akan pada akhirnya memberikan ketenteraman kepada kita, ketenangan dan juga membawa
sukacita kepada kita.
GS : Ya, tapi pada umumnya pasangan-pasangan suami-istri itu juga bukan orang-orang yang ahli dalam bidang pendidikan anak itu, apa yang ingin Pak Paul sampaikan pada acara Telaga ini?
(1) PG : Salah satu kendalanya Pak Gunawan, agar kita ini sadar terlebih dahulu. Kendala terbesar adalah kita ini produk didikan orangtua kita dan adakalanya kita bukanlah hasil didikan yang baik, namun perjalanan hidup kita akhirnya membawa kita ke tempat yang berbeda, sehingga kita bisa belajar menjadi orangtua yang lebih baik. Namun sering kali hal-hal yang pernah kita terima dari orangtua kita, yang tidak sehat itu menjadi bagian hidup kita dan akhirnya sewaktu kita mendidik anak, kita menggunakan cara yang sama. Atau kebalikannya, karena kita takut sekali mendidik anak seperti orangtua kita dulu mendidik kita dengan keras, kita akhirnya melakukan hal yang merugikan anak kita, yakni tidak berani keras sama sekali dengan anak. Jadi sekali lagi didikan masa lalu itu mempengaruhi kita, baik kita ini melestarikannya/menggunakan metode yang sama atau kebalikannya, kita benar-benar membuang didikan orangtua kita dan akhirnya pindah ke kutub yang satunya dan sangat berlebihan.
GS : Dalam pengalaman saya Pak Paul, mendidik anak khususnya pada usia dini sebenarnya saya lebih banyak menyerahkan kepada istri saya, khususnya pada masa-masa anak saya yang pertama baru lahir. Pokoknya yang masih bayi itu saya tidak ikut-ikut pendidikannya.
PG : Saya kira ini bisa dimaklumi Pak Gunawan, sebab para ayah akhirnya terbentur pada faktor waktu dan istrilah atau ibulah yang akan mempunyai waktu lebih banyak dengan
anak, sehingga lebih berkesempatan untuk mendidik anak. Tapi kita sadari semakin anak besar, semakin kita juga lebih bisa berperan di dalam hidupnya.
GS : Tentu menjadi suatu persoalan tersendiri buat ibu itu, ibu muda itu Pak Paul?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi saya pernah membaca satu hasil riset yang
mengemukakan bahwa nomor satu adalah perempuan itu lebih mudah mengalami depresi dibanding pria, bahkan dikatakan perbandingannya 2:1. Namun di antara wanita yang paling mudah dan paling rawan dihinggapi depresi adalah para ibu muda yang tinggal di rumah mengasuh anak-anak kecil. Jadi para ibu muda dengan anak-anak kecil adalah kelompok yang paling rawan dihinggapi depresi, jadi kita sekarang mulai menyoroti mendidik anak usia kecil misalnya di bawah usia 10 tahun. Orang yang mendidik anak usia kecil adalah juga orangtua yang rawan atau mudah dihinggapi oleh depresi, artinya apa? Artinya mereka ini adalah para ibu muda ini merasakan keterjebakan, merasakan kejenuhan, merasakan kelelahan mental yang amat sangat dalam mendidik anak-anak yang masih kecil ini. Nah, akhirnya juga mereka ini diharapkan untuk mendidik anak sehingga anak itu bisa menguasai dirinya dengan lebih baik. Masalahnya adalah kalau tidak hati-hati, kita akan melihat adanya suatu interaksi yang negatif antara para ibu muda ini dengan anak-anak yang masih kecil ini. Sebab para ibu muda ini bukanlah orang-orang yang berada pada keadaan yang sangat menyenangkan, dia sendiri dalam keadaan tertekan. Nah, dalam keadaan tertekan ini dia harus juga mendisiplin anak, kalau tidak hati-hati disiplin ini bisa berlebihan, disiplin ini bisa akhirnya ditunggangi oleh rasa frustrasi yang memang sudah menghinggapinya begitu.
(2) GS : Jadi bagaimana ibu muda ini mengatasi masalahnya itu, Pak Paul?
PG : Memang tidak gampang ya, kita soroti dulu para ibu muda ini, lebih-lebih para ibu muda pada zaman kita sekarang, biasanya adalah produk perguruan tinggi, cukup banyak wanita sekarang yang lulus diploma atau bahkan S1 dan bahkan ada yang lebih dari S1. Cukup banyak di antara mereka yang sebelum mempunyai anak adalah sebagai wanita karier, bekerja dan sejak kecil mereka memang dididik untuk berproduktif atau mempunyai hasil dengan karya-karya kerja mereka. Namun sekarang tiba-tiba mereka
harus berada di rumah, tidak bisa bekerja di luar dan harus menghadapi 1 anak atau 2 anak yang masih kecil-kecil di mana mereka tidak bisa berbagi rasa dengan orang dewasa, akhirnya mereka terjebak dalam 1 lingkungan yang sangat monoton dan sangat menuntut. Dan tuntutan ini diberikan nonstop, terus-menerus, sehingga akhirnya kalau tidak hati-hati yang akan sering kali muncul adalah kemarahan, kemarahan dan kemarahan. Nah, kita ketahui bahwa disiplin yang terlalu diisi oleh kemarahan, tidak efektif, membuat anak akhirnya tidak takut lagi dengan teguran dan instruksi si ibu. Jadi kita harus menyadari dulu semua latar belakang ini, baru nanti kita masuk kepada bagaimana cara ibu muda ini bisa mendisiplin anak dengan lebih baik. Saya kira nomor satu adalah peranan suami penting di sini Pak Gunawan, untuk bisa menjadi tumpahan perasaan si ibu. Kalau si suami pulang terlalu capek, tidak ada waktu mendengarkan keluh kesah si istri saya kira ini tidak menolong, malah menambah perasaan frustrasi dalam diri si istri. Jadi si suami pada masa-masa ini perlu membatasi diri dan perlu memberikan dirinya, agar bisa saling berbagi rasa dengan istrinya, dengan cara ini beban si istri berkurang karena perasaan tertekannya, frustrasinya itu bisa diungkapkan. Sehingga keesokan harinya waktu dia menjaga si anak lagi, dia seolah-olah mendapatkan kekuatan yang baru.
(3) IR : Kalau seorang ibu muda ini berkarier Pak Paul, juga mungkin aktif dalam pelayanan misalnya, bagaimana apakah mereka itu bisa mendisiplinkan anak?
PG : Prinsipnya adalah apakah si ibu itu bisa membagi waktu dengan baik, sehingga anak itu masih mendapatkan perhatian yang cukup dari si ibu. Saya tidak kaku dalam hal ini, idealnya terus terang, anak-anak yang masih kecil dirawat secara penuh waktu oleh ibunya. Masih kecil dalam pengertian bagi saya kalau memungkinkan sampai anak-anak usia sekolah, kalau memungkinkan ibu itu tidak bekerja di luar, di dalam saja. Setelah anak-anak sekolah, idealnya adalah ibu muda boleh bekerja di luar tapi sampai sebatas waktu anak-anak itu pulang kembali. Misalnya jam 02.00, jam 03.00 ibu itu sudah kembali, sehingga anak-anak itu waktu kembali jam 12.00 atau jam 01.00 hanya di rumah tanpa orang tua selama 1 jam, setelah itu ibu sudah ada di rumah, nah bagi saya itu lebih ideal. Apakah itu baik bagi seorang ibu untuk bekerja di luar, nah riset yang saya baca ini juga mengatakan begini Bu Ida, ternyata para ibu muda yang berkarier di luar itu mereka tidak terlalu rawan terhadap depresi. Jadi mereka itu ternyata bisa lebih senang dan akhirnya mereka merasa lebih efektif dalam mendisiplin anak, nah ini mungkin saja. Sebab mereka mendapatkan kepuasan batiniah setelah bekerja di luar, sehingga waktu di rumah meskipun capek secara fisik namun secara mental mereka itu cukup segar.
GS : Pada kenyataannya sekarang ini banyak pasangan-pasangan muda itu kalau mempunyai anak kecil kemudian mengundang baby sitter, nah bagaimana peran orangtua berbagi
dengan baby sitter karena itu 'kan harus seimbang?
PG : Yang saya khawatirkan adalah setelah adanya baby sitter, kita ini sebagai orangtua terlalu melimpahkan tanggung jawab kepada baby sitter. Cukup sering saya melihatnya di gereja, para ibu muda tidak lagi menggendong anak, jadi anak itu bahkan pada hari ibu itu tidak bekerja pun tidak dijamah, sebab yang menggendong, yang merawat, yang memberi makan tetap baby sitter atau susternya. Nah, hal ini saya kira sudah berlebihan sebab bagi saya fungsi baby sitter adalah menjaga tatkala ibunya absen, tapi sekarang ibunya ada pun yang merawat tetap adalah si baby sitter.
GS : Jadi semacam pengambilalihan tugas atau pelimpahan tugas.
PG : Betul, dan kita tahu bahwa baby sitter kebanyakan yang saya tahu adalah tidak mendisiplin anak. Sebab mereka merasa ini bukan fungsi mereka, tugas mereka hanyalah menjaga anak itu. Nah akhirnya saya takut ibu muda atau orangtua tidak lagi terjun langsung dalam mendidik anak.
GS : Tadi Pak Paul katakan kita berbicara tentang pendidikan anak mulai lahir sampai 10 tahun, tentu pola asuhannya, pola pendidikannya berubah. Hanya yang kami tidak tahu itu adalah sampai usia berapa pola pendidikan itu berubah Pak Paul?
PG : OK! Saya menggunakan beberapa istilah Pak Gunawan, pada masa kecil anak-anak itu
didisiplin dengan instruksi, jadi perintah langsung, dan anak itu perlu tanggap dan tunduk pada instruksi kita, itu saya akan kategorikan untuk anak-anak usia 0 atau 1 tahun sampai usia sekitar 10 tahun. Pada masa anak-anak memasuki usia remaja, usia 11 tahun hingga usia 17, 18 tahun saya menggunakan istilah direksi atau petunjuk. Jadi yang pertama adalah instruksi langsung, tapi pada usia setelah 10 tahun kita menggunakan direksi atau 'direction' pengarahan, tidak lagi kita ini memberikan
instruksi. Nah, jangan sampai terbalik, kalau terbalik hasilnya benar-benar bisa merugikan si anak, sebab ada orangtua yang pada masa kecil anak-anak itu diberikan pengarahan/direction/direksi. Pada masa remaja baru diberikan instruksi terus-
menerus ya berantakan semuanya. Justru melawan, jadi pada masa kecil kita berikan instruksi dalam pengertian instruksi itu nomor satu harus jelas, dipahami oleh si anak. Kita harus mengerti bahwa anak belum tentu mengerti instruksi kita, maksudnya apa? Bukannya anak tidak mengerti kata-kata kita, kebanyakan mereka mengerti kata-kata kita. Misalnya jangan naik ke bangku, dia mengerti jangan naik ke bangku, tapi anak tidak mengerti instruksi itu, dalam pengertian kenapa tidak boleh naik ke bangku. Nah anak kecil umur 5, 4 tahun 6, 7 tahun perlu tahu, kenapa instruksi itu diberikan, nah ini yang saya maksud instruksi harus jelas Pak Gunawan, kalau tidak jelas si anak cenderung melakukannya lagi, itu yang pertama yang paling pokok. Yang kedua adalah instruksi itu harus diberikan dengan wibawa, artinya kalau si orangtua tidak dipandang, tidak dihormati, tidak ditakuti oleh si anak pada usia kecil, instruksi itu akan hampa, akan kosong tidak ada bobotnya. Maksudnya apa? Jadi si ibu atau si bapak waktu memberikan instruksi suara itu harus/tidak harus keras, tapi harus mantap (GS: Tegas maksudnya) harus tegas dan kalau sudah berkata: nanti kalau engkau lakukan lagi saya akan hukum itu harus dijalani. Nah, itulah faktor-faktor yang memperkuat wibawa pada orangtua itu.
GS : Yang menarik sekali tadi Pak Paul singgung tentang hukuman, memang instruksi erat kaitannya kalau tidak dilakukan dihukum begitu. Tapi yang menjadi problem orangtua muda adalah bagaimana cara memberikan hukuman itu kepada anak yang kecil itu. Kadang-kadang kita merasa masih kecil kita maklumilah, tidak apa-apa.
PG : Saya sekali lagi mengacu pada nasihat Dr. James Dobson yang berkata kita menghukum anak sewaktu anak membangkang kita. Jangan menghukum anak sewaktu anak melakukan kesalahan yang umum dilakukan pada anak seusia itu, misalnya menumpahkan air di meja waktu sedang makan atau tersandung sehingga memecahkan barang. Hal-hal itu tidak seharusnya mengundang hukuman, karena itu adalah kesalahan yang layak atau yang umum dilakukan. Nah waktu anak membangkang, kita suruh dia jangan naik ke atas meja dia melihat kita terus naik ke atas meja, di saat itulah kita langsung harus memberikan hukuman. Nah, jadi hukuman kita berikan dengan langsung, jangan menunda hukuman terlalu lama, apalagi pada anak kecil. Pada anak remaja kita bisa gunakan hukuman yang kita tunda, misalnya kita bisa berkata: Karena engkau pulang malam, Mama sudah bilang jangan pulang malam, selama 1 minggu ini kamu tidak boleh keluar. Atau akhir bulan nanti saya sudah janjikan anak itu untuk membeli misalnya komputer saya tunda sampai bulan depan lagi. Nah, pada anak-anak remaja bisa kita gunakan penundaan hukuman itu, kepada anak-anak kecil tidak bisa, hukuman langsung kita berikan di saat dia bersalah. Waktu itulah dia sadar dia itu dihukum karena kesalahannya itu.
IR : Pak Paul, disiplin itu harus ditanamkan oleh seorang ibu dan seorang ayah, jadi ayah harus berperan juga. Bagaimana mendisiplinkan anak yang mempunyai kelainan mungkin Pak Paul, ada anak yang didisiplinkan itu menurut tapi ada juga yang luar biasa agresifnya, sehingga kedua orangtua itu sampai kewalahan, itu bagaimana Pak Paul?
PG : OK! Memang semua anak-anak itu mempunyai keunikan, ada anak yang cenderung penurut, ada anak yang cenderung pembangkang, keras kepala. Nah anak-anak yang mempunyai kemauan keras cenderung susah sekali untuk dididik dengan kekerasan. Jadi kuncinya adalah kita harus didik dia dengan lemah lembut, dengan jelas dan dengan konsisten, itu untuk anak-anak yang memang berkemauan keras atau keras kepala. Dengan lemah lembut artinya anak-anak ini cenderung lebih mendengar instruksi kita
kalau disampaikan dengan lemah lembut. Kita juga harus jelas, dalam pengertian si anak sudah tahu kalau dia membangkang, dia akan mendapatkan sanksi itu. Kalau dia tidak tahu bahwa dia akan mendapatkan kemudian diberikan sanksi yang berat anak ini makin memberontak. Jadi anak-anak yang keras kepala harus diberikan suatu kejelasan. Kalau engkau pulang malam lagi, kalau engkau naik sepeda lagi sebelum belajar akan saya hukum dengan cara memukul pantat kamu sebanyak 5 kali. Nah, waktu dia naik sepeda kita langsung bawa ke dalam rumah, kita pukul pantatnya dengan rotan selama 5 kali, nah itu yang harus kita lakukan, jadi jelas dan dia tahu itulah sanksinya. Dan yang ketiga harus konsisten, artinya kalau kita sudah katakan kita akan hukum, kita akan hukum dia, kalau kita sudah katakan dia boleh pergi dan dia boleh pergi. Misalkan kita sudah katakan kalau engkau main sepeda, engkau akan saya hukum 5 kali rotan, tapi terus karena kita panas kita berkata: Minggu depan juga kita tidak jadi pergi misalnya ke dunia fantasi. Nah anak itu akan kaget sekali karena tidak ada kaitannya dengan dunia fantasi itu, tapi karena kita emosi kita mengaitkannya dengan pergi ke dunia fantasi minggu depannya, kita tidak konsisten dengan kata-kata kita. Jadi anak-anak yang keras kepala ini perlu dididik, masih ada kesempatan mendidiknya namun 3 hal itu harus kita penuhi.
IR : Tentu berbeda Pak Paul dengan anak yang sudah remaja 'kan tidak bisa dipukul Pak
Paul?
PG : Betul, jadi hukuman itu lain lagi bentuknya, tidak lagi berbentuk pukulan fisik. Perlu
saya garis bawahi bahwa anak-anak perlu kita pukul kalau memang dia membangkang, tadi saya sudah singgung namun pemukulan itu bukan berarti pukul kepala, pukul badannya, jambak rambutnya, tidak. Saya menggunakan prinsip yang juga dikemukakan oleh Dr. James Dobson yaitu pukullah pantatnya. Ada yang berkata jangan pukul pakai tangan, pukul pakai rotan sebab tangan itu melambangkan kasih, rotan itu melambangkan disiplin jangan digabung, bagi saya masing-masing boleh saja. Saya dulu mencoba melakukan itu yaitu memukul pantat anak saya dengan objek yang lain, tapi akhirnya saya gunakan tangan. Kenapa saya gunakan tangan? Sebab akhirnya saya lebih tahu berapa kerasnya saya memukul anak saya, waktu tangan saya sakit, saya tahu saya memukulnya keterlaluan, sehingga akhirnya saya gunakan tangan.
GS : Ya, apakah peran nenek atau kakek yang kebetulan mungkin serumah itu mempunyai peran di dalam pendidikan anak-anak, Pak. Kadang-kadang khususnya kita yang ada di Indonesia ini banyak yang masih berkumpul dengan orangtua, nah pada saat orangtua mau mendisiplin anak mereka, kemudian kakek dan nenek ini menghalangi, lebih-lebih itu cucu pertamanya.
PG : Ya itu yang sering terjadi Pak Gunawan, saya adalah salah satu orang yang menikmati kasih sayang nenek saya, sehingga kalau saya diomeli karena saya nakal, yang akan membela saya adalah nenek saya. Bahkan nenek saya berkata: Memang adikmu begitu, memang kakakmu begitu padahal saya yang salah, saya yang jahil. Jadi sebetulnya itu tidak sehat, meskipun saya menikmati itu waktu saya masih kecil tapi itu tidak sehat, karena akhirnya membuat anak merasa tidak apa-apa melanggar peraturan.
GS : Atau justru bingung, orangtuanya bilang tidak, ini kakek neneknya saja melindungi.
PG : Pada masa kecil mungkin sedikit bingung, tapi setelah dewasa justru senang (GS: ada
tempat perlindungan) ya soalnya ada algojo.
GS : Ada yang menjadi kenyataan juga biasanya anak pertama itu menjadi korban pendidikan orang tuanya, mungkin karena kami belum terbiasa atau belum berpengalaman sehingga anak pertama itu menjadi korban Pak Paul.
PG : Tepat sekali, anak pertama cukup sering menjadi korban dari 2 bentuk Pak Gunawan.
Bentuk pertama adalah pemanjaan yang berlebihan karena anak pertama, yang kedua adalah korban tekanan yang berlebihan. Jadi pemanjaan, dampaknya kita tahu anak itu akhirnya tidak bisa menguasai diri, yang dia kehendaki harus terjadi, egois dan sebagainya, itu korban atau dampak dari pemanjaan. Yang kedua adalah anak pertama sering kali juga menjadi korban tekanan yang berlebihan, karena orangtua bisa menjadi orangtua yang terlalu hati-hati tatkala anak itu adalah anak pertama, sehingga dituntut harus ini, harus itu, dan dituntutnya itu benar-benar secara berlebihan sehingga si anak menjadi korban tekanan. Harus memberikan contoh yang baik kepada adikmu, harus menegur adikmu dan sebagainya, jadi kasihan juga memang.
GS : Jadi lebih berbahagia memang orangtua-orangtua zaman sekarang Pak Paul yang ada banyak media yang bisa membekali pasangan-pasangan muda usia ini.
PG : Betul, ada satu prinsip lagi Pak Gunawan tentang membesarkan anak-anak pada usia kecil yaitu waktu kita mendisiplin anak, harus mengerti jelas anak kita itu. Jadi adakalanya kita ini mendisiplin secara membabi buta, anak sejak kecil sudah memiliki kepribadian, jadi seturut dengan yang tadi ibu Ida katakan tentang ada anak yang keras kepala, ada anak yang memang penurut, nah kita harus tahu anak kita. Ada anak yang hanya perlu kita beritahu, titik, ada anak yang harus kita lebih tegas, ada anak yang hanya kita ajak berbicara, ada anak yang harus kita sabarkan, ada anak yang harus kita mengalah dulu baru kita nanti masuk lagi. Itu semua adalah teknik-teknik mengorangtuai anak yang tidak bisa saya bahas atau Pak Gunawan bahas secara teoritis, karena bergantung pada pengenalan orangtua terhadap anaknya. Yang saya takuti kita sering kali tidak sadar.
IR : Kira-kira keterlambatan orangtua di dalam salah mendidik waktu kecil, kadang-kadang dampaknya waktu remaja anak ini baru kelihatan kelakuannya. Apakah bisa ditolong Pak
Paul, kesalahkaprahan cara mendidik itu?
PG : Masih bisa sebetulnya kalau si anak tahu dia sebetulnya dicintai, kalau si anak sudah merasakan bahwa dia tidak dicintai oleh si orangtua, meskipun orangtua berusaha pada masa remaja sudah agak susah, tapi kalau si anak tahu dia dicintai tapi ada kesalahan- kesalahan dalam mendidik saja, harapan itu lebih besar, jadi masih bisa memang.
GS : Ya kita bersyukur bahwa kasih Tuhan itu tidak pernah terlambat atas keluarga kita.
Jadi dengan pertolongan Tuhan kita boleh yakin bahwa anak-anak kita pun kalau kita
didik di luar pengetahuan kita bahwa kita salah mendidik saya rasa dengan usaha yang sungguh-sungguh bersama-sama dengan Tuhan itu masih bisa teratasi, Pak Paul.
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, telah kami persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang mendidik anak pada usia dini yaitu usia sekitar kelahiran sampai 10 tahun, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.