Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pembentukan jati diri. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, mungkin banyak di antara para pendengar, khususnya pecinta acara Telaga ini yang punya anak remaja. Yang disebut anak remaja baik pria maupun wanita itu batasannya bagaimana, Pak?
PG : Biasanya kita menggolongkan remaja pada usia sekitar 11-12 tahun hingga 20 tahun, ada yang menyebut usia 11-12 sebagai pra remaja dan ada yang sudah memasukkannya sebagai kategori remaja.
GS : Itu yang terukur dari usia, tetapi apakah ada hal-hal yang bisa diindikasikan dalam diri seorang remaja?
PG : Secara fisik remaja memang dibedakan dari anak-anak yaitu kita bisa melihat dari pertumbuhan yang cukup pesat pada usia-usia sekitar 11-12 tahun, terus sampai usia sekitar 18 hingga 20 tahn.
Jadi pada usia sebelumnya tidak melihat perbedaan yang terlalu mencolok namun tatkala memasuki usia sekitar 11-12, tiba-tiba kita melihat anak kita seperti menggelembung, makin membesar dengan begitu cepat, itulah salah satu ciri fisiknya. Dari pertumbuhan yang pesat itu remaja dibedakan dari anak-anak dalam pengertian, kemampuan berpikirnya jauh lebih abstrak dibandingkan pada masa kanak-kanak yang sangat konkret. Pada masa ini anak-anak remaja mampu untuk melihat ke depan, membayangkan apa yang terjadi di masa yang akan datang. Mulai bisa bercita-cita, kalau anak kecil memang bisa bicara atau berkata saya mau jadi dokter, menjadi insinyur namun sebetulnya belum mempunyai gambaran yang begitu pasti atau jelas tentang yang dikatakannya itu. Berbeda dengan anak-anak remaja pada usia belasan tahun, waktu dia berkata saya akan menjadi apa atau apa, dia sudah mempunyai gambaran yang lebih jelas tentang apa yang diinginkannya pada masa depan. Selain itu masa remaja diidentikkan dengan masa mempertanyakan nilai-nilai kepercayaannya, nilai-nilai moralnya, mempertanyakan yang sudah diwariskan kepadanya, kenapa harus seperti ini, kenapa bukan seperti itu, nah itu adalah bagian kehidupan remaja yang relatif wajar. Berteman juga merupakan ciri yang khas pada masa remaja di mana sebelumnya remaja menggantungkan konsep dirinya pada anggapan yang diberikan orang tua, sedangkan pada masa remaja anak-anak sangat menggantungkan konsep dirinya pada penilaian yang diberikan oleh teman-temannya. Sehingga kita melihat pada masa remaja mereka lebih mementingkan teman daripada orang tua. Ada banyak hal lain yang saya kira bisa kita ungkap tentang masa remaja, Pak Gunawan.
GS : Kalau kita pernah atau sedang punya anak yang memasuki usia remaja, pada umumnya sebagai orang tua kita mengeluh betapa sulitnya mendidik dan mendampingi remaja. Tapi sebaliknya remaja pun saya rasa mempunyai pergumulan-pergumulannya sendiri, sejauh mana hal itu terjadi, Pak Paul?
PG : Apa yang Pak Gunawan katakan memang tepat sekali, pada masa remaja orang tua memasuki suatu fase yang sangat berbeda dari fase sebelumnya. Jadi memang pernikahan itu dibagi dalam fase-fase fase sebelum mempunyai anak, fase tatkala anak berusia balita hingga 12 tahun, dan fase berikutnya adalah pada waktu anak-anak berusia remaja.
Fase anak-anak berusia remaja merupakan fase yang sangat menantang bagi orang tua, karena orang tua akan menerima tantangan dari remaja, mereka akan mempertanyakan kenapa saya tidak boleh pergi. Pada usia sebelumnya, anak-anak kecil tidak akan bertanya seperti itu, kenapa saya harus di rumah, kenapa saya tidak boleh ke rumah si ini dan sebagainya. Orang tua yang tidak terbiasa dengan sikap remaja akan mempertanyakan apa yang mereka telah putuskan, biasanya bereaksi dengan cukup keras ya, bisa-bisa remaja itu ditekan supaya tidak mempunyai suara atau kalau sudah kehilangan akal ada orang tua yang akhirnya lepas tangan, membiarkan anak remaja berbuat semaunya. Nah, kita tahu kedua sikap yang ekstrim itu tidak tepat, Pak Gunawan. Jadi penting sekali agar orang tua mampu berdiri di tengah, mengatur agar remaja itu mulai bisa mengembangkan sayap, belajar mandiri, atau otonom di pihak lain tapi tetap tunduk pada instruksi atau permintaan orang tuanya.
GS : Mungkin kita sebagai orang tua, misalnya sampai 10 tahun bisa seperti ini, remaja 'kan 11-12 tahun. Maksudnya selama 10 tahun kita terbiasa mendidik anak dengan hal-hal yang seperti kita diktekan dan dia menurut, dia manis. Lalu tiba-tiba tadi Pak Paul katakan, anaknya menggelembung terlalu cepat dan kita tidak siap untuk mengantisipasi seperti itu. Apakah itu yang terjadi pada diri orang tua juga?
PG : Saya kira demikian Pak Gunawan, jadi orang tua maupun remaja tiba-tiba merasakan bahwa mereka tidak siap untuk hidup dengan satu sama lain. Tiba-tiba baik anak maupun orang tua merasakan bhwa di pihak yang satu, maksudnya di pihak yang lainnya mereka merasa tidak dimengerti.
Jadi anak-anak remaja merasakan orang tua tidak mengerti diri mereka dan tidak mau mengerti tentang mereka. Saya pernah membaca satu buku yang ditulis kalau tidak salah oleh Jay Cassler menekankan bahwa remaja mempunyai satu keluhan utama. Dan keluhan itu, keluhan utama remaja namun di pihak lain saya sekarang sebagai orang tua anak remaja bisa berkata bahwa kita-kita pun sebagai orang tua tidak merasa dimengerti oleh anak remaja kita.
GS : Nah, Pak Paul banyaknya pertanyaan yang muncul di dalam diri anak itu sebenarnya dalam rangka apa?
PG : Sebetulnya semua itu adalah proses pembentukan dirinya, Pak Gunawan dan itu justru adalah suatu proses yang alamiah, yang seharusnya terjadi dan yang baik. Justru kalau tidak terjadi, sebeulnya itu bukanlah gejala yang kita harapkan.
Jadi pada masa ini remaja secara natural akan mulai banyak mempertanyakan, mempertanyakan keputusan yang kita yakini, dan itu adalah untuk membangun dirinya juga.
(2) GS : Nah kalau Pak Paul katakan tadi. itu dalam proses pembentukan dirinya tentu saja tidak terjadi sekaligus, yang dinamakan proses tentunya bertahap. Dalam proses pembentukan diri remaja itu ada berapa tahap?
PG : Untuk membentuk jati diri remaja, remaja itu harus melalui sekurang-kurangnya dua fase, Pak Gunawan. Fase yang pertama saya sebut fase pembedaan. Pembedaan artinya remaja mulai melihat dirnya berbeda, tidak mau dilihat terlalu sama dengan orang tua.
Misalkan dulu orang tuanya meminta dia berpakaian pakaian-pakaian yang tertentu ya, dia akan memakainya dan menurut kata-kata orang tuanya. Pada usia remaja dia mulai menolak, dia akan berkata kuno, bukan modelnya, ibu tidak mengerti zaman dan sebagainya. Dengan perkataan lain, anak remaja mulai ingin dibedakan dari orang tua, nah ini sekaligus adalah hal yang positif bukan hal yang negatif. Karena memang dia mulai mengepakkan sayap keluar dari sarang, jadi salah satu caranya untuk lepas dari naungan orang tua adalah tampil beda dari orang tuanya. Selain dari membedakan diri dengan orang tua, remaja juga mencoba membedakan diri dengan teman-temannya. Di sini ada dua hal yang terjadi sekaligus, di satu pihak remaja ingin seperti teman-temannya, jadi pada umumnya dia ingin seperti teman-temannya tidak mau terlihat terlalu berbeda, namun untuk hal-hal tertentu dia sesungguhnya ingin tampil beda dari teman-temannya. Jadi misalkan seorang anak remaja yang tinggi badannya, hampir sama dengan rekan-rekan seusianya mungkin misalnya waktu bergaul dengan teman-teman putrinya dia akan tampil lebih diam padahal dia bukan orang yang terlalu diam. Tapi waktu dia lihat teman-temannya ramai di depan teman-teman putri dia sengaja untuk diam, dia tidak mau terlalu ramai seperti teman-temannya atau hal-hal yang lainnya kecil-kecil seperti itu yang dia bisa lakukan. Pada intinya adalah dia ingin dilihat berbeda, nah ini terutama dia ingin dilihat berbeda di hadapan teman-teman putri sebab menjadi oknum atau faktor yang penting dalam pembentukan jati dirinya pada saat-saat seperti ini.
GS : Kalau kesadaran bahwa memang dia berbeda secara lawan jenis itu sudah lampau atau juga masuk pada saat ini?
PG : Dia sudah melewatinya, jadi pada usia remaja anak-anak itu sudah tahu bahwa dia itu berbeda dengan lawan jenisnya. Perbedaan lawan jenis itu biasanya disadari pada usia sekitar 4, 5 tahun.
GS : Kalau dengan saudara-saudaranya, apakah dia merasa berbeda?
PG : Nah ini juga sama, jadi lain dari orang tua yang berkaitan dengan keluarga adalah hal yang harus dia bedakan. Dia tidak begitu suka kalau ibunya atau ayahnya memberikan baju yang sama, kecali anak kembar yang mungkin tidak ada pilihan lain.
Tapi kalau tidak anak kembar, orang tua memberikan baju yang sama, sepatu yang sama, pada umumnya anak remaja tidak terlalu suka, karena sekali lagi dia mau dibedakan. Jadi dengan perkataan lain, dia melihat dirinya itu istimewa atau melihat dirinya itu unik. Nah pembentukan jati diri harus dilandasi dengan fondasi yang pertama yaitu fondasi keunikannya, keistimewaannya yang lain dari keistimewaan yang lain-lainnya. Saya bisa berikan contoh dari anak-anak saya sendiri Pak Gunawan, saya mempunyai 3 anak. Kadang-kadang dalam percakapan kami berkata kepada satu anak, kamu ini mempunyai kemampuan misalnya saya sebut apa dan ini kemampuan yang baik sekali. Nah hampir dapat dipastikan saudaranya akan langsung bertanya, "kalau saya apa", "kalau saya apa". Dan kalau misalkan kami berkata: "o... sama, engkau juga mempunyai kemampuan yang sama" saya bisa melihat wajah yang kecewa, sebab yang mereka harapkan adalah sesuatu yang berbeda.
GS : Itu adalah tahap atau fase yang pertama Pak Paul, tadi Pak Paul katakan sedikitnya ada 2 fase, fase yang berikutnya apa Pak?
PG : Fase berikutnya adalah fase perbandingan, nah setelah remaja itu melewati fase pembedaan bahwa dia itu berbeda dari orang lain dan disitulah dimulai proses pembentukan jati dirinya untuk mmasuki fase perbandingan.
Perbandingan maksudnya dia menyoroti dirinya dari segi persamaannya dengan orang lain, sebab akhirnya dia menyadari bahwa tidak terlalu banyak hal yang membedakan dari orang lain. Mayoritas yang akan dia temukan justru persamaan, ini baru disadari oleh remaja pada fase berikutnya. Dia melihat dia bisa bermain gitar, temannya bisa bermain gitar, dia bisa berenang, temannya bisa berenang, jadi pada masa-masa berikutnya justru dia menemukan kesamaan-kesamaan antara dia dan temannya. Namun dalam hal kesamaan ini, dia juga mulai membandingkan kualitas kemampuannya. Kualitas artinya berapa baiknya atau berapa buruknya. Misalkan sama-sama suka matematika, nah dia mulai mengukur siapa yang lebih tinggi angka matematikanya. Berenang, dia mengukur siapa yang berenang lebih cepat dan sebagainya, nanti misalnya sudah umur 17, 18 tahun mulai menyukai lawan jenisnya baik pria maupun wanita misalnya. Mulai jugalah terjadi persaingan di sini, siapa yang disukai oleh si gadis atau si pria tersebut, dia mencoba untuk bersaing karena dia menemukan bahwa dia menyukai orang yang sama dengan temannya. Di sini remaja tidak bisa tidak harus membandingkan dirinya, namun dalam hal yang sama dan dari segi kualitasnya, Pak Gunawan.
GS : Sering kali di kamar anak-anak remaja ada gambar-gambar yang rasanya menjadi idola dia, baik pria maupun wanita. Nah itu adalah fase membandingkan atau membedakan?
PG : Sebetulnya itu adalah fase membandingkan, Pak Gunawan, jadi dia ingin menjadi seperti orang lain yang dia anggap mempunyai kesamaan dengan dia. Misalnya waktu dia memilih penyanyi, dia memlih penyanyi yang kebetulan menyanyikan lagu-lagu yang dia gemari, jadi tipe lagunya memang yang dia gemari, dia akan mencoba untuk menjadi seperti dia, pada usia-usia remaja hal ini adalah hal yang wajar.
Namun kalau si remaja akhirnya tidak bisa menerima bahwa dia itu kurang, dibandingkan temannya misalnya tadi tentang matematika bahwa temannya lebih tinggi daripada dia, dia bisa mengalami goncangan di sini. Yang ideal atau yang sehat adalah si remaja berhasil menerima keterbatasannya bahwa "ya saya dengan dia sama-sama menyenangi matematika tapi dia lebih baik, kami sama-sama tinggi tapi dia lebih tampan daripada saya, kami sama-sama naik motor tapi motornya lebih bagus daripada motor saya." Nah hal-hal seperti itu harus menjadi pergumulan remaja sebab awalnya dia ingin tetap istimewa. Ini adalah bawaan dari fase sebelumnya itu fase beda, fase istimewa saya ini unik. Lama-kelamaan dia mulai melihat dia tidak terlalu unik, jadinya banyak sama dengan orang-orang lain. Dalam kesamaan itu dia sebetulnya tetap ingin menonjol, tetap ingin istimewa, nah dengan cara mengukur diri, mudah-mudahan kualitasnya atau kemampuannya lebih baik daripada temannya. Kalau tidak berhasil mencapainya maka dia harus mengakuinya, ini yang sehat, belajar menerima keterbatasannya. Jadi dengan perkataan lain, Pak Gunawan, fase pertama kalau berhasil dilewati dia berhasil membedakan dirinya, mengakui keunikannya, dia akan bisa menemukan siapa dia berdasarkan keistimewaan atau keunikannya. Namun harus disertai dengan fase berikutnya yakni dia bisa mengakui keterbatasannya atau kekurangannya dan mampu menerima dirinya meskipun dia melihat kekurangan pada dirinya itu. Keduanya ini menjadi suatu keseimbangan, Pak Gunawan, keseimbangan yang akan membuat dirinya itu diri yang utuh. Jadi memang harus ada keseimbangan antara keduanya, nah inilah jati diri yang sehat, Pak Gunawan.
(3) GS : Jika remaja sedang dalam proses yang berat, peran orang tua sebaiknya sejauh mana?
PG : Peran yang pertama adalah dia harus memahami, ini yang sedang dilewati oleh remaja. Jadi misalkan remaja mulai memberontak, jangan tergesa-gesa kita mau menggilasnya, melarangnya, makin megencangkan genggaman kita pada dia, saya kira itu makin merusak si remaja.
Makin membuat si remaja itu tertekan, mengkerut kalau dia tidak bisa melawan dan dia akan mencari-cari kesempatan di luar pengetahuan orang tua atau kalau dia merasa kuat dan memang dia berkarakter lebih keras dia lawan, berontak sehingga hari lepas hari akan diisi dengan pertengkaran, itu juga tidak sehat. Jadi orang tua harus menerima fakta bahwa remaja akan mulai melawan mereka, mempertanyakan, memberontak dan kalau kita bisa sesuaikan justru merupakan hal yang sehat bagi si remaja, menjadikan dia sebagai seseorang yang dewasa.
GS : Cuma memang pada masa-masa itu kekhawatiran orang tua menjadi lebih besar, Pak Paul, karena dia sudah mulai besar, bisa pergi sendiri, ketergantungannya makin berkurang, seolah-olah kita sebagai orang tua kehilangan kontrol terhadap anak remaja kita.
PG : Saya kira perasaan hilang kontrol akan kita alami sebab tiba-tiba dia tidak lagi kasat mata, dulu ke mana-mana kita yang pegang tangannya, kita yang antar, sekarang dia pergi sendiri, tibatiba dia pulang.
Berjam-jam dia tidak hadir di depan mata kita dan itu memang mencemaskan dan kita mulai merasakan ada yang terhilang di sini. Kita seolah-olah tidak bisa lagi menjaga atau mengontrolnya, tapi seharusnyalah memang begitu, Pak Gunawan. Jadi yang penting adalah perbedaan antara sebelum remaja dan sesudah memasuki fase remaja, orang tua lebih menuntut pertanggungjawaban. Artinya lebih diberikan kebebasan kepada remaja melalui prosesnya, kita tidak perlu terlalu mencampuri langkah demi langkah proses itu. Kita lebih meminta dia memberikan tanggung jawabnya, misalnya dia ingin pergi dengan teman-temannya, nah kita perlu tahu dengan teman-temannya yang mana, itu baik buat kita. Jadi jangan sampai remaja pergi dan hanya berkata dengan teman, o... tidak, teman punya nama, teman punya orang tua, teman juga punya rumah, kita ingin tahu itu semuanya. Tapi setelah itu dan kita tahu dia mau pergi ke mana ya sudah, kemungkinan besar dia akan mengatakan pergi ke tempat misalnya nonton film. Tapi kebanyakan remaja tidak hanya mengunjungi bioskop, dalam perjalanan dan setelah pulang dari bioskop mungkin akan ada 3,4 tempat lain yang akan mereka kunjungi. Kita tidak perlu terlalu mencari-cari informasi tempat-tempat apa itu, misalkan kita tahu anak-anak kita memang bergaul dengan anak-anak yang baik dan kita bisa mencari tahu dengan lebih santai di waktu yang lain. Waktu dia pulang kita tidak perlu menginterogasi dari mana saja, ke mana saja, sudah pasti kebanyakan remaja akan pergi ke rumah teman-temannya, ke rumah si A, ke rumah si B, baru nanti nonton. Dari nonton pergi makan dulu atau minum dulu atau apa baru akhirnya pulang ke rumah. Jadi tuntutlah pertanggungjawaban, dia mengatakan akan pulang jam 12.00 kita minta dia pulang jam 12.00, apabila dia lalai kita perlu menegurnya. Tapi untuk detailnya kita lebih berikan dia kebebasan, sekali-sekali dalam pembicaraan kita bisa menanyakan "Kamu ke mana saja kalau pergi?" "O.....kami kadang-kadang ke rumah si A, rumah si B", Baik, asal kita tahu jalurnya sudah benar kita tidak perlu terlalu mencampuri detail-detailnya.
GS : Selain itu bimbingan rohani apa yang bisa kita berikan pada anak kita? Kita sebagai orang yang percaya tentu ingin menanamkan konsep-konsep spiritual yang benar.
PG : Yang penting adalah anak-anak remaja perlu tahu bahwa dia bertanggung jawab langsung kepada Tuhan. Dan konsep ini kita tanamkan sebelum dia menginjak usia remaja, artinya dia bertanggung jwab bukan saja kepada orang tua tapi kepada Bapanya yang di surga.
Bahwa ada hal-hal yang dia akan lakukan yang sebetulnya melanggar peraturan kita, tapi kita memang tidak bisa mengetahuinya dengan pasti, namun ada Allah Bapa yang mengawasinya. Hal itu perlu diingat oleh anak remaja dan perlu ditanamkan dari kecil, bahwa ada Tuhan yang mengawasi mereka dan mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Tuhan.
GS : Seringkali di dalam pertanyaan-pertanyaan dia mempertanyakan imannya, mempertanyakan Allah dan sebagainya, kadang-kadang sebagai orang tua tidak bisa menjawab semuanya, Pak Paul. Nah apa seharusnya yang dilakukan orang tua kalau sudah begitu?
PG : Kalau tidak bisa menjawab, kita bisa berkata, "Boleh tidak nanti Mama atau Papa mencari jawabannya dulu". Kami akan belajar atau bertanya pada hamba Tuhan, atau kita ajak dia bersama-sama ertanya kepada seorang hamba Tuhan atau seorang majelis yang lebih mengerti tentang firman Tuhan, nah itu bisa kita jadikan proyek bersama.
Atau kita bisa katakan terus terang memang saya tidak bisa katakan dengan apa adanya kepada dia. Ketakutan kita salah satunya adalah anak kita akan meninggalkan iman kepercayaan kita, kita sangat mengkhawatirkan itu, tapi saya kira yang paling penting dari kecil kita tanamkan, kita tanamkan terus-menerus bibit firman Tuhan dalam hidupnya. Waktu sudah remaja kita bimbing dia, kalau dia memang mulai goyah atau apa ingat baik-baik jangan sampai kita datang kepadanya dengan palu dan godam, kemudian kita menghantamnya supaya dia jera, takut dan tidak berani meninggalkan iman kita, saya kira caranya bukan begitu. Biarkan dia bergumul, biarkan dia bertanya tapi selalu tegaskan bahwa Tuhan mengasihi dia, bahwa Tuhan telah mati untuk dosanya dan Tuhan tidak akan meninggalkan dia. Jadi itu yang kita tekankan pada dia, dengan cinta kasih kita berikan pada dia.
GS : Mungkin mereka lebih banyak juga berkumpul dengan teman-temannya dan sebagainya, sering kali terjadi banyak anak-anak lain dari latar belakang agama yang berbeda lalu mulai mempertanyakan imannya itu tadi, Pak Paul. Tetapi itu juga dalam rangka dia membentuk jati dirinya sebagai seseorang yang utuh nantinya.
PG : Betul, jadi dalam tanya jawab dengan remaja, sewaktu dia mempertanyakan tentang iman kepercayaan yang lain. Saya kira penting bagi kita memberikan sikap yang positif, artinya tidak baik kia ini menjelek-jelekkan iman kepercayaan yang lain.
Sebab apapun yang kita katakan kalau kita menjelek-jelekkan iman kepercayaan yang lain, anak-anak kita atau remaja-remaja di rumah kita akan bisa berkata, "Engkau memiliki kasih Tuhan tetapi engkau menjelekkan orang seperti itu". Jadi kita benar-benar tidak akan mencerminkan firman Tuhan yang meminta kita mengasihi orang, hati-hati dalam hal seperti ini. Jadi sikap yang positif saya kira penting untuk kita berikan kepada anak-anak remaja kita.
GS : Pada masa-masa itu mereka juga mulai senang untuk berdiskusi atau berdebat Pak Paul, apa itu memang masanya?
PG : Memang masanya dan silakan jawab serasional mungkin, seobjektif mungkin. Saya bisa maklum karena kadang mungkin kita juga bisa tertantang untuk tidak sabar dan sedikit jengkel karena kadan-kadang mereka memojokkan kita, sengaja membuat kita marah atau apa, yang secara natural mungkin kita marah-marah lagi.
Tapi sebisanya kita tidak berdebat, kita hanya paparkan dan kalau memang selesai, ya selesai. Kita tidak tahu, ya tidak tahu, sehingga si remaja akhirnya melihat yang paling penting adalah contoh kehidupan arang tuanya. Bahwa orang tuanya bukan saja membicarakan tentang Tuhan, tapi orang tuanya mempunyai Tuhan dalam hidupnya. Nah ini yang akan berbicara sangat keras, sangat-sangat efektif ke dalam kehidupan seorang remaja.
GS : Memang sulit bagi orang tua maupun bagi remaja sendiri pada masa-masa seperti itu. Dan saya yakin sekali bahwa Tuhan juga memberikan bimbingan melalui firmanNya, baik kepada kita maupun kepada para remaja. Mungkin ada firman Tuhan yang mau dibagikan kepada kita, Pak Paul?
PG : Saya akan membacakan dari Lukas 12:31, "Tetapi carilah kerajaanNya maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu." Masa remaja adalah masa yang bisa berpotensi menmbulkan kecemasan, karena remaja mulai memikirkan masa depan, hal-hal yang biasanya mereka yakini.
Jadi ditandai dengan banyak pergumulan, pergolakan, kecemasan, pertanyaan, dan kekhawatiran juga bisa mulai muncul. Kita bisa menegaskan sekali lagi dan terus-menerus kepada anak remaja bahwa tugas utamanya adalah mencari kerajaan Tuhan dan kebenarannya, maka semua yang mereka khawatirkan, pikirkan nanti akan Tuhan atur, nanti akan Tuhan jawab. Jadi penting sekali bagi orang tua membimbing anak remaja untuk mulai menyerahkan hidupnya kepada Tuhan, di mana kecemasan dan kekhawatiran adalah bagian dari hidup ini.
GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang pembentukan jati diri remaja. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.