Pasangan yang Tidak Aman secara Sosial

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T525A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Dampak rasa tidak aman secara sosial, kita dituntut memberikan rasa aman terutama di hadapan orang lain. Selain itu ia pun memaksa kita membatasi pergaulan dan aktivitas yang melibatkan orang lain. Yang ketiga ia kerap menuntut kita memberikan pengakuan dan perhatian yang besar. Rasa aman tidak dapat muncul seketika dan perlu dipupuk. Rasa tidak aman adalah aktivitas perasaan dan kita harus dikendalikan oleh akal budi dan pengertian. Jangan biarkan perasaan menguasai kita.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Ketujuh adalah pasangan yang tidak aman secara sosial. Pada dasarnya orang yang tidak aman secara sosial adalah orang yang takut akan penolakan dari lingkungan. Ia beranggapan bahwa orang tidak menyukainya dan tidak menginginkan kehadirannya karena ia kurang baik atau kurang berharga. Itu sebab ia tidak nyaman berada di tengah orang, terutama yang tidak dikenalnya dengan baik. Bahkan di tengah teman yang dikenalnya pun, ia merasa gamang karena meragukan penerimaan mereka terhadap dirinya. Ia baru merasa tenang bila ia mendapatkan kepastian orang menerima dan menghargai dirinya. Ada beberapa masalah yang kerap timbul di dalam pernikahan dengan pasangan yang tidak memiliki rasa aman.

Pertama, karena ketidakamanannya, ia pun mengharapkan—atau lebih tepat lagi, menuntut—kita, pasangannya, untuk memberikannya rasa aman, terutama di hadapan orang lain. Jadi, kita senantiasa harus peka dengan ketidakamanannya dan berusaha melindunginya dari ancaman luar—tidak soal ancaman itu ada atau tidak. Nah, tuntutan ini dapat membebani kita. Bukannya kita tidak mau melindunginya, tetapi adakalanya kita memang tidak melihat bahwa orang mengancamnya atau menyerangnya. Buat kita, apa yang orang perbuat adalah wajar dan tidak ada unsur niat buruk sama sekali. Masalahnya adalah, ia merasa demikian. Tidak bisa tidak, konflik pun sering terjadi. Usaha kita meyakinkannya bahwa orang tidak bermaksud buruk dan tidak berniat menyudutkan atau merendahkannya ditolaknya mentah-mentah. Malah, penjelasan kita ditafsirnya secara negatif—bahwa kita lebih mengutamakan dan membela orang lain—ketimbang pasangan sendiri. Jika ini terjadi berulang kali, kita pun takut menghadirkannya di tengah teman; kita takut ia bereaksi seperti itu lagi dan kita harus bertengkar dengannya. Belum lagi kita harus dibuat tidak nyaman di hadapan teman gara-gara sikapnya yang tidak bersahabat. Akhirnya kita pun memilih menghindar dari pergaulan.

Kedua, karena ketidakamanannya, maka ia pun memaksa kita untuk membatasi pergaulan dan aktivitas yang melibatkan orang lain. Persoalannya adalah, hampir semua kegiatan bersifat sosial, dalam pengertian, melibatkan orang lain, mulai dari sanak saudara, sampai ke rekan kerja dan pelayanan. Jadi, tuntutannya agar kita membatasi ruang lingkup sosial tidak beda dengan menghilangkan sebagian besar diri dan kehidupan kita. Alhasil, kita kehilangan diri kita, demi membuatnya merasa aman. Dan, ini tidak mudah. Kita meradang dan akhirnya marah. Masalahnya adalah kondisi kita terjepit. Jika kita tidak menuruti kemauannya, maka ia pun akan memutuskan kontak sama sekali dengan lingkungan dan ini pasti menyusahkan kita. Apa yang harus kita katakan kepada sanak saudara bila ia tidak hadir dalam pertemuan keluarga? Apa yang mesti kita katakan kepada rekan sepelayanan atau teman di gereja jika ia memilih tidak hadir? Namun, bila kita menuruti kehendaknya, kita pun akan kehilangan sebagian besar diri dan kehidupan kita. Kita pasti tertekan. Jadi, memang serba sulit.

Ketiga, karena rasa tidak amannya, ia pun kerap menuntut kita untuk memberikannya pengakuan dan perhatian yang besar kepadanya. Manakala kita lupa memberikannya pengakuan dan perhatian, ia akan marah dan menuduh kita tidak lagi mengasihinya dan tidak lagi mementingkannya. Singkat kata, kita senantiasa harus peka terhadap kebutuhannya. Pada akhirnya kita merasa letih dan frustrasi. Pertengkaran pun tak terhindarkan. Belum lagi, tugas kerja dan pelayanan kita pun terganggu karena energi kita terkuras untuknya.

Apakah yang mesti kita perbuat? Oleh karena kita tidak dapat memaksanya untuk merasa aman, maka kita mesti mengikuti gerak dan iramanya, setidaknya selama beberapa tahun. Kita harus membatasi pergaulan dan memberinya perhatian yang khusus, baik secara pribadi maupun di muka umum. Bila kita memaksanya untuk merasa aman dan membiarkannya sendiri, hampir dapat dipastikan relasi pernikahan kita akan retak. Jadi, sebaiknya kita berkorban untuk membekalinya dengan rasa aman, setidaknya selama beberapa tahun. Setelah itu, perlahan-lahan kita mengajaknya untuk bertemu dengan teman dalam lingkup kecil, misalkan kita pergi bersama dengan satu pasangan lain. Jika ia sudah merasa aman, kita dapat mengajak pasangan lain untuk pergi bersama dan bila ini pun berjalan baik, barulah kita pergi bersama dua pasangan sekaligus dan seterusnya. Terpenting adalah di dalam rumah, kita terus memberikannya perhatian khusus dan di depan orang, kita pun menunjukkan perhatian kepadanya dan memperlakukannya secara khusus. Memang tidak mudah, tetapi inilah jalannya. Rasa aman tidak dapat muncul seketika dan perlu dipupuk. Kepada pasangan yang tidak aman, saya pun ingin menitipkan pesan yaitu akuilah ketidakamanan itu. Jangan menyangkal dan malah menuduh bahwa pasanganlah yang tidak peka dan tidak tahu bagaimana memperlakukan Anda. Jika Anda mengakui kelemahan dan meminta pertolongan pasangan, saya yakin pasangan pasti bersedia menolong Anda. Jadi, akuilah bahwa memang Anda takut penolakan orang dan bahwa Anda merasa diri tidak cukup baik. Satu lagi, setiap kali Anda menerima perhatian pasangan baik di rumah maupun di luar rumah, sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada pasangan. Ini penting untuk mengobati kelelahannya memberi perhatian khusus kepada Anda. Amsal 19:8 mengingatkan, "Siapa memperoleh akal budi mengasihi dirinya; siapa berpegang pada pengertian, mendapat kebahagiaan." Rasa tidak aman adalah aktivitas perasaan. Sudah tentu kita boleh memerhatikan perasaan tetapi kita tidak boleh dikendalikan oleh perasaan. Kita harus dikendalikan oleh akal budi dan pengertian. Jadi, jangan biarkan perasaan menguasai kita; sebaliknya, gunakan pikiran dan pengertian untuk menyimpulkan apa yang terjadi. Orang yang menggunakan akal budi mengasihi dirinya dan orang yang menggunakan pengertian memperoleh kebahagiaan. Sebaliknya, orang yang tidak memakai akal budi menyusahkan dirinya dan orang yang tidak menggunakan pengertian menyengsarakan dirinya